Agama Druze, yang juga dikenal sebagai Tawhid (monoteisme), adalah agama esoteris yang memiliki sejarah dan ajaran yang kaya serta unik. Meskipun seringkali dikelompokkan dalam konteks agama-agama Ibrahimiah, Druze memiliki kepercayaan, praktik, dan tradisi yang membedakannya secara signifikan. Komunitas Druze tersebar di beberapa negara, terutama di Lebanon, Suriah, Yordania, dan Israel, dengan populasi yang relatif kecil namun memiliki identitas budaya dan keagamaan yang kuat.
Agama Druze muncul pada awal abad ke-11 di Mesir, di bawah Kekhalifahan Fatimiyah. Pendirinya yang paling diakui adalah Hakim bi-Amr Allah, khalifah keenam dari dinasti Fatimiyah, meskipun pandangan ini diperdebatkan oleh beberapa sarjana. Namun, peran utama dalam pengembangan ajaran Druze dikaitkan dengan Hamza ibn Ali ibn Ahmad, yang dianggap sebagai nabi dan rasul utama oleh pengikut Druze. Hamza ibn Ali adalah seorang cendekiawan Persia yang berdedikasi untuk menyebarkan ajaran tentang keesaan Tuhan yang absolut.
Ajaran Druze mulai disebarkan secara luas pada masa kepemimpinan Hakim, yang pada masanya mengeluarkan dekret yang mendukung ide-ide keesaan Tuhan yang radikal. Setelah Hakim menghilang secara misterius, Hamza ibn Ali terus memimpin komunitas dan menyusun kitab-kitab suci Druze, terutama Rasail al-Hikma (Surat-surat Kebijaksanaan). Ajaran-ajaran ini kemudian dikodifikasi dan disebarkan lebih lanjut, yang akhirnya menyebabkan perpecahan dengan Islam Ortodoks. Karena penindasan dan penganiayaan, komunitas Druze mulai bermigrasi ke wilayah pegunungan Levant, tempat mereka mengembangkan budaya dan struktur sosial yang unik.
Inti dari ajaran Druze adalah konsep Tawhid, yang menekankan keesaan Tuhan yang mutlak dan tak tergoyahkan. Tuhan dianggap sebagai entitas yang melampaui segala deskripsi dan pemahaman manusia. Konsep Tuhan dalam Druze tidak memiliki bentuk fisik, jenis kelamin, atau atribut yang dapat disamakan dengan ciptaan-Nya. Ajaran Druze sangat menekankan pentingnya iman dan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu konsep penting lainnya adalah reinkarnasi atau transmigrasi jiwa. Pengikut Druze percaya bahwa jiwa manusia bersifat abadi dan akan terus bereinkarnasi dalam bentuk manusia setelah kematian. Siklus reinkarnasi ini berlanjut hingga jiwa mencapai kesempurnaan spiritual. Konsep ini mempengaruhi cara mereka memandang kehidupan, kematian, dan hubungan antarmanusia.
Agama Druze juga mengajarkan tentang penjelmaan ilahi, di mana Tuhan dapat mewujud dalam bentuk manusia. Tokoh sentral dalam penjelmaan ilahi ini adalah al-Hakim bi-Amr Allah, yang diyakini sebagai manifestasi Tuhan di bumi. Ini adalah salah satu aspek yang paling membedakan Druze dari agama-agama lain, termasuk Islam, yang menolak gagasan tentang penjelmaan Tuhan.
Selain itu, ajaran Druze mencakup nilai-nilai moral seperti kejujuran, kesetiaan, kerendahan hati, dan kemurahan hati. Komunitas Druze sangat menghargai kesatuan (wahda) dan persaudaraan antar sesama pengikut, serta menghormati semua orang tanpa memandang latar belakang agama atau etnis mereka. Mereka menganut prinsip taqiyya, yaitu kemampuan untuk menyembunyikan keyakinan keagamaan mereka demi keselamatan diri, yang kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman mengenai sifat agama mereka yang tertutup.
Praktik keagamaan dalam Druze bersifat esoteris dan terbagi menjadi dua tingkatan: al-juhhal (orang awam) dan al-‘uqqal (orang bijak atau rohaniawan). Al-‘uqqal adalah mereka yang telah mencapai tingkat pemahaman spiritual yang mendalam dan memiliki akses ke ajaran-ajaran rahasia. Al-juhhal menjalankan praktik keagamaan yang lebih umum dan kurang mendalam.
Tempat ibadah utama bagi komunitas Druze dikenal sebagai khalwa atau majlis al-din. Di tempat ini, al-‘uqqal berkumpul untuk mempelajari kitab-kitab suci, berdiskusi, dan berdoa. Ibadah Druze umumnya tidak dilakukan di depan umum dan bersifat lebih pribadi atau komunal dalam skala kecil.
Meskipun Druze memiliki kitab sucinya sendiri, yaitu Rasail al-Hikma, mereka juga menghormati kitab-kitab suci dari agama Ibrahimiah lainnya, seperti Al-Qur'an, Injil, dan Taurat. Hal ini mencerminkan pandangan mereka yang menganggap diri mereka sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari tradisi monoteistik sebelumnya.
Satu aspek penting dari tradisi Druze adalah penekanan pada kesetiaan dan ketahanan. Komunitas Druze telah menghadapi banyak tantangan sepanjang sejarahnya, namun mereka berhasil mempertahankan identitas dan kepercayaan mereka. Mereka dikenal karena hubungan yang kuat dalam komunitas mereka dan seringkali berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka di negara-negara tempat mereka tinggal.
Agama Druze tidak memiliki ritus peralihan yang ketat seperti sunat dalam Islam atau baptisan dalam Kristen, namun terdapat penekanan kuat pada pendidikan spiritual dan moral sejak usia dini. Keluarga memainkan peran sentral dalam menanamkan nilai-nilai Druze kepada generasi muda.
Hubungan Druze dengan agama-agama lain seringkali kompleks. Secara historis, mereka telah menghadapi diskriminasi dan penganiayaan, yang menyebabkan mereka cenderung menjaga kerahasiaan ajaran mereka. Namun, dalam banyak kasus, mereka hidup berdampingan secara damai dengan komunitas Muslim, Kristen, dan Yahudi di wilayah mereka. Mereka menghargai dialog antaragama dan menghormati keyakinan orang lain, meskipun keyakinan inti mereka tetap berbeda.
Di Israel, komunitas Druze memiliki status khusus dan dikenal karena kesetiaan mereka kepada negara. Di Lebanon, mereka membentuk salah satu komunitas agama utama yang memainkan peran penting dalam lanskap politik negara tersebut.
Memahami agama Druze memberikan wawasan yang menarik tentang keragaman spiritualitas manusia dan bagaimana komunitas dapat mempertahankan identitas unik mereka di dunia yang terus berubah.