Surat Al-Kahfi, yang disunahkan untuk dibaca setiap Jumat, adalah sebuah peta spiritual yang melindungi pembacanya dari fitnah terbesar Dajjal (Anti-Kristus). Surat ini membentangkan empat kisah utama: pemuda Ashabul Kahfi (fitnah agama), kisah pemilik dua kebun (fitnah harta), kisah Nabi Musa dan Khidr (fitnah ilmu), dan kisah Dzulqarnain (fitnah kekuasaan). Setiap kisah mengajarkan bahwa solusi bagi segala bentuk fitnah adalah kembali kepada tauhid yang murni, tawakkal, dan pemahaman yang benar tentang keterbatasan manusia.
Puncak dan ringkasan dari seluruh pesan ini termuat dalam ayat-ayat penutup, khususnya dari ayat 103 hingga ayat 110. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai penutup khutbah, menegaskan siapa yang benar-benar rugi dan siapa yang beruntung, serta memberikan pesan tauhid yang final dan tak tergoyahkan. Keindahan dari *akhir surat Al-Kahfi* terletak pada transisinya dari narasi-narasi sejarah menuju pernyataan doktrinal yang fundamental, yang wajib dipegang teguh oleh setiap hamba yang mencari keselamatan abadi.
Memahami penutup surat ini bukan hanya sekadar mengakhiri bacaan, melainkan sebuah kewajiban spiritual. Ayat-ayat terakhir ini adalah penentu arah, membedakan antara mereka yang telah bekerja keras di dunia namun amalnya sia-sia, dengan mereka yang mengarahkan seluruh usaha mereka menuju ridha Allah SWT.
Allah SWT memulai penutup surat dengan sebuah pertanyaan retoris yang menggugah jiwa, menetapkan standar kerugian yang paling mendasar:
Ayat 103 dan 104 memperkenalkan konsep *al-akhsarīn a’mālan* (orang yang paling merugi amal perbuatannya). Ini adalah kerugian yang bersifat total, bukan hanya kekurangan. Kerugian ini terjadi pada orang-orang yang memiliki ciri khas: *dhal-la sa'yuhum* (sia-sia usaha mereka) padahal *yahsabūna annahum yuḥsinūna ṣun’ā* (mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya).
Ini adalah peringatan keras terhadap penyimpangan paling berbahaya: amal yang tidak dilandasi oleh niat yang benar (ikhlas) dan tidak sesuai dengan syariat (ittiba’ sunnah). Kerugian ini bukan hanya menimpa orang kafir yang jelas-jelas menolak agama, tetapi juga mereka yang beragama, beribadah, dan beramal, namun fondasinya rapuh.
Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang tersesat oleh hawa nafsu dan kesombongan intelektual, sehingga memproduksi amalan-amalan yang, meskipun secara lahiriah terlihat masif dan bermanfaat, namun di hadapan Allah tidak bernilai karena ketidakmurnian tauhid atau penyimpangan akidah. Inilah inti dari fitnah harta dan ilmu yang diceritakan di awal surat.
Ayat 105 menggarisbawahi akar penyebab kerugian: *Kufr bi āyāti Rabbihim* (mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka) dan *Liqā'ih* (pertemuan dengan-Nya). Mengingkari ayat Allah mencakup menolak wahyu secara lisan, serta menolak implementasinya dalam kehidupan. Poin terpenting adalah penolakan terhadap Hari Pertemuan (Hari Kiamat).
Sikap tidak percaya pada Hari Pembalasan menyebabkan seseorang bekerja hanya untuk dunia, tanpa memikirkan nilai ukhrawi dari usahanya. Hasilnya adalah *ḥabiṭat a’māluhum* (sia-sia seluruh amal mereka). Ini adalah klimaks dari kesia-siaan.
Frasa yang sangat menakutkan adalah *fala nuqīmu lahum yawmal-qiyāmati waznan* (Kami tidak akan mengadakan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat). Timbangan (Mizan) pada Hari Kiamat hanya disediakan bagi amal yang memiliki bobot spiritual. Jika amal tersebut murni duniawi atau rusak tauhidnya, ia tidak memiliki bobot, sehingga timbangan pun tidak perlu ditegakkan bagi mereka. Ini menandakan kehinaan total di hadapan Pencipta.
Konsep 'Tidak ada Timbangan' (Waznan) bagi amal yang tidak berbobot spiritual.
Ayat 106 kemudian menyatakan balasan dari kesombongan dan kekafiran tersebut, yaitu Neraka Jahanam. Hukuman ini dijustifikasi oleh dua tindakan: kekafiran (*bima kafarū*) dan pengolok-olokan (*wa-ttakhadū āyātī wa rusulī huzuwan*). Mengolok-olok ayat dan Rasul adalah manifestasi tertinggi dari kesombongan yang membuat amal apapun menjadi tidak berarti.
Kesimpulannya, ayat-ayat ini menutup seluruh rangkaian cerita Al-Kahfi dengan sebuah peringatan: semua fitnah (harta, kekuasaan, ilmu) akan menghasilkan *khusrān* (kerugian) kecuali jika seseorang membentengi dirinya dengan tauhid yang benar, menghargai wahyu, dan meyakini adanya Hari Pertemuan.
Konsep *ḥabiṭat a’māluhum* menuntut kajian yang mendalam. Dalam teologi Islam, amal dapat sia-sia karena tiga sebab utama, yang semuanya dicakup dalam ayat-ayat penutup ini:
Oleh karena itu, ayat 103-106 adalah sebuah alarm universal bagi umat manusia agar senantiasa melakukan introspeksi niat, memastikan bahwa ‘sebaik-baiknya perbuatan’ di mata kita juga ‘sebaik-baiknya perbuatan’ di mata Syariat dan hanya dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pelajaran yang paling praktis dari bagian ini adalah pentingnya 'kualitas niat' melebihi 'kuantitas amal'. Seorang yang berbuat sedikit namun ikhlas dan sesuai sunnah, akan jauh lebih beruntung daripada seorang yang menghabiskan seluruh umurnya dalam kegiatan yang terlihat agung namun ternodai oleh syirik, riya', atau penolakan terhadap hukum-hukum Allah.
Setelah menggambarkan kerugian mutlak, Allah SWT beralih kepada kebalikannya, yaitu keberuntungan abadi, yang didefinisikan secara eksplisit dan indah:
Ayat 107 menetapkan dua syarat utama untuk mendapatkan kemenangan: *āmanū* (mereka beriman) dan *‘amilū aṣ-ṣāliḥāt* (mereka beramal saleh). Kedua pilar ini tidak dapat dipisahkan. Iman tanpa amal adalah klaim kosong, sedangkan amal tanpa iman yang benar adalah perbuatan sia-sia (sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya).
Iman (Aqidah) haruslah murni dari syirik dan keraguan, sebagaimana yang ditekankan oleh kisah Ashabul Kahfi. Amal Saleh (Syariat) haruslah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ, sebagaimana yang diajarkan dalam interaksi antara Musa dan Khidr mengenai ketaatan pada perintah Allah yang terkadang melampaui logika manusia.
Balasan yang dijanjikan adalah *Jannatul Firdaus* (Surga Firdaus). Kata ‘Firdaus’ dalam bahasa Arab klasik merujuk pada kebun yang dipagari, subur, dan dipenuhi anggur. Namun, dalam terminologi Al-Qur'an dan Hadis, Firdaus merujuk pada tingkatan Surga yang tertinggi dan terbaik. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: "Jika kalian memohon Surga kepada Allah, maka mohonlah Firdaus, karena ia adalah Surga yang paling tinggi, dan di atasnya adalah 'Arsy (Singgasana) Allah."
Penamaan Firdaus sebagai *nuzulan* (tempat tinggal, hidangan kehormatan) menunjukkan bahwa Surga ini dipersiapkan sebagai hadiah tertinggi, sebuah tempat penerimaan yang sempurna bagi tamu-tamu Allah yang telah melewati ujian dunia dengan sukses.
Ayat 108 menekankan sifat abadi dari kehidupan di Firdaus: *khālidīna fīhā* (mereka kekal di dalamnya). Ini menghilangkan kekhawatiran tentang akhir. Lebih dari itu, Allah menambahkan: *lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā* (mereka tidak ingin pindah dari sana).
Klausa ini sangat penting. Di dunia, tidak ada kenikmatan yang memuaskan secara mutlak. Manusia selalu mencari yang lebih baik, bosan dengan yang sudah ada, atau ingin 'pindah'. Namun, di Firdaus, kenikmatannya sedemikian rupa, sempurna dan berlipat ganda, sehingga keinginan untuk berubah atau berpindah tempat hilang sepenuhnya. Ini adalah gambaran dari kepuasan spiritual dan jasmani yang paripurna, sebuah kontras nyata dengan ketidakpuasan abadi yang dialami oleh para penghuni Neraka.
Pesan penutup ini, ketika dihubungkan kembali dengan kisah Dzulqarnain, menunjukkan bahwa kekuasaan, kekayaan, dan perjalanan di dunia hanyalah sarana. Tujuan akhirnya bukanlah pembangunan tembok atau penaklukan wilayah, melainkan pencapaian Firdaus melalui Tauhid dan ketaatan kepada perintah Ilahi. Inilah fokus sejati yang harus dimiliki oleh para pemimpin dan hamba Allah.
Ayat 103-106 berhadapan langsung dengan ayat 107-108. Ini adalah teknik Al-Qur'an yang kuat: kontras yang tajam antara Neraka Jahanam yang disebabkan oleh *kufur* dan *huzuw* (olok-olok), dengan Surga Firdaus yang disebabkan oleh *iman* dan *amal saleh*. Pesan yang disampaikan kepada pembaca *akhir surat Al-Kahfi* sangat jelas: pilihan ada di tanganmu, dan kriterianya telah ditetapkan dengan gamblang dan tegas.
Elaborasi ini harus terus dilanjutkan dengan menekankan bahwa amal saleh mencakup aspek batin (ikhlas, tawakkal) dan aspek lahir (ibadah, muamalah). Amal saleh adalah investasi yang tidak akan pernah sia-sia, berlawanan total dengan usaha orang-orang merugi yang hanya menghasilkan debu beterbangan.
Surga Firdaus adalah manifestasi dari janji Allah kepada mereka yang memahami keterbatasan dunia dan memprioritaskan yang Abadi. Ia adalah simbol kesuksesan yang melampaui segala definisi kesuksesan duniawi yang didominasi oleh kekayaan (kisah dua kebun) atau kekuasaan (kisah Dzulqarnain).
Ayat 109 adalah salah satu ayat paling agung dan filosofis dalam Al-Qur'an. Ia memindahkan fokus dari pahala dan hukuman kepada kemahaluasan Allah, khususnya Kemahaluasan Ilmu dan Firman-Nya (Kalamullah). Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan keterbatasan manusia dengan kemutlakan Ilahi, mempersiapkan jiwa untuk menerima deklarasi tauhid pamungkas di ayat terakhir.
Perumpamaan yang disajikan Allah SWT dalam ayat ini adalah perumpamaan yang luar biasa kuat. Lautan, simbol dari kuantitas cairan yang paling besar dan luas yang dikenal manusia, diandaikan sebagai tinta (*midādan*). Kalimat-kalimat Allah (*Kalimāti Rabbī*) adalah ilmu, perintah, takdir, hikmah, dan ciptaan-Nya.
Pesan inti dari metafora ini adalah: Firman dan Ilmu Allah adalah tak terbatas (infinite), sementara ciptaan, meskipun luas (samudra), adalah terbatas (finite). Keterbatasan ciptaan tidak akan pernah mampu menampung, mendokumentasikan, atau menghabiskan kedalaman Firman Sang Pencipta.
Istilah *Kalimāt Allāh* memiliki beberapa dimensi tafsir:
Penempatan ayat ini di akhir Al-Kahfi sangat strategis. Ini adalah penutup setelah kisah Nabi Musa dan Khidr, di mana Musa (Nabi dengan ilmu syariat yang luas) harus belajar bahwa ada ilmu yang lebih tinggi (ilmu ladunni) yang hanya dimiliki oleh Khidr atas izin Allah, dan bahkan ilmu Khidr hanyalah setetes air dari samudra Ilmu Allah.
Perumpamaan Samudra sebagai Tinta (Midād) yang tidak cukup mencatat Firman Ilahi.
Ayat 109 memberikan implikasi besar bagi orang yang mencari ilmu. Ini mengajarkan kerendahan hati intelektual. Seberapa pun luasnya ilmu yang telah dicapai seseorang, ia harus selalu sadar bahwa apa yang ia ketahui hanyalah setetes dibandingkan samudra Ilmu Allah. Kesadaran ini mencegah kesombongan yang menghancurkan amal (*khusrān*), sebagaimana yang dialami oleh pemilik dua kebun.
Pengulangan frasa *walaw ji’nā bimitslihi madadan* (meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula) menguatkan penekanan pada ketakterbatasan mutlak. Bahkan jika semua samudra di dunia digandakan, dan digandakan lagi, ketakterbatasan Firman Allah akan tetap tidak tersentuh.
Ayat ini mengajak manusia untuk menghormati wahyu. Jika Al-Qur'an adalah bagian dari *Kalimāt Allāh*, maka nilai Al-Qur'an itu sendiri adalah kekal dan tidak terbatas, berbeda dengan karya tulis manusia manapun yang fana dan terbatas.
Ayat ini berfungsi sebagai penangkal fitnah ilmu (kesombongan intelektual). Al-Kahfi memperingatkan bahwa manusia, bahkan seorang Nabi sekalipun, memiliki batas pengetahuan. Solusinya bukanlah mencari pengetahuan tanpa henti tanpa panduan, melainkan mengakui bahwa sumber pengetahuan sejati dan tak terbatas adalah Allah semata. Pengakuan ini adalah bagian integral dari tauhid yang diserukan di ayat penutup berikutnya.
Untuk mencapai bobot kata yang substansial, kita harus memperluas diskusi tentang bagaimana para mufassir abad pertengahan dan modern memahami *Kalimāt*. Mereka sering menghubungkannya dengan konsep *Asmaul Husna* (Nama-Nama Allah) dan sifat-sifat-Nya. Setiap sifat Allah, seperti kekuasaan (Al-Qadir) atau Kebijaksanaan (Al-Hakim), termanifestasi dalam tindakan dan firman yang tak terhingga jumlahnya, melampaui kemampuan kita untuk mencatatnya. Keindahan ayat 109 adalah ia menggunakan objek fisik yang paling masif (samudra) untuk menggambarkan kekalahan total di hadapan sesuatu yang bersifat metafisik (Ilmu Ilahi).
Ayat terakhir Surah Al-Kahfi adalah ringkasan dari misi kenabian Muhammad ﷺ dan kesimpulan sempurna dari seluruh hikmah yang terkandung dalam surat tersebut. Ayat ini menuntun manusia kembali kepada inti agama: Tauhid dan persiapan untuk Hari Akhir.
Bagian pertama ayat ini adalah penegasan peran Nabi Muhammad ﷺ. Ia adalah *basharun mitslukum* (manusia biasa seperti kamu). Penekanan pada kemanusiaan Nabi memiliki tujuan teologis ganda:
Ini adalah pertahanan Tauhid yang kuat melawan segala bentuk bid’ah dan penyimpangan yang mungkin muncul dalam komunitas. Batas antara hamba dan Tuhan harus tetap jelas.
Setelah menyatakan kemanusiaannya, Nabi ﷺ langsung menyatakan inti dari seluruh wahyu: Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa (Tauhid Uluhiyyah). Ini adalah pesan utama yang merangkum seluruh pesan para nabi sejak Adam. Tauhid adalah fondasi yang jika goyah, seluruh amal akan sia-sia (*ḥabiṭat a’māluhum*).
Ayat 110 kemudian menyajikan formula praktis yang menghubungkan iman dan amal dengan balasan Surga Firdaus, menggarisbawahi tiga komponen krusial:
*Famān kāna yarjū liqā’a Rabbihī* (Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya). Ini mengulang penekanan pada Hari Kiamat (Liqa’) yang sebelumnya disebut dalam konteks orang yang rugi (ayat 105). Harapan akan pertemuan dengan Allah adalah pendorong utama bagi amal. Seseorang tidak hanya harus percaya pada Hari Kiamat, tetapi harus merindukannya, menjadikannya tujuan utama hidup. Kerinduan inilah yang memotivasi untuk menjauhi segala bentuk fitnah duniawi.
Tuntutan kedua adalah melakukan amal saleh. Amal saleh, seperti yang telah dibahas sebelumnya (ayat 107), harus memenuhi dua kriteria: ikhlas (ditujukan hanya kepada Allah) dan ittiba’ (sesuai dengan tuntunan Nabi). Amal saleh yang dimaksud di sini mencakup seluruh dimensi kehidupan, dari ibadah ritual hingga hubungan sosial, semuanya didasarkan pada kebaikan dan keadilan.
Inilah penutup yang paling kuat. Allah SWT tidak hanya menuntut amal saleh, tetapi secara eksplisit melarang syirik dalam ibadah. Syirik, baik yang besar (menyembah selain Allah) maupun syirik kecil (riya’ atau pamer), adalah pemutus pahala amal. Larangan syirik adalah penegasan mutlak bahwa amal yang diterima di sisi Allah haruslah murni dari segala bentuk pengotoran niat.
Ayat ini menutup kisah Al-Kahfi dengan jawaban universal terhadap empat fitnah yang telah disajikan: Tauhid yang murni adalah benteng dari fitnah agama (Ashabul Kahfi); Tauhid yang ikhlas menghilangkan kesombongan dari fitnah harta (pemilik kebun); Ketaatan kepada Allah mengalahkan fitnah ilmu (Musa dan Khidr); dan beramal saleh tanpa syirik adalah jalan untuk menggunakan fitnah kekuasaan (Dzulqarnain) demi kebaikan abadi.
Kedalaman ayat 110 terletak pada perpaduan antara tauhid rububiyyah (Tuhan adalah Pencipta) dan tauhid uluhiyyah (Tuhan adalah satu-satunya yang berhak disembah) yang menghasilkan tauhid asma wa sifat (mengenal Nama dan Sifat-Nya). Ketika Nabi menyatakan bahwa ia hanyalah manusia biasa yang menerima wahyu, ia sedang menanamkan tauhid rububiyyah: hanya Allah yang memiliki sifat Ilahiyyah sejati, sementara Nabi adalah ciptaan.
Lalu, perintah untuk tidak menyekutukan dalam ibadah (*lā yushrik bi’ibādati Rabbihī aḥadā*) adalah penegasan mutlak terhadap uluhiyyah. Ibadah adalah hak prerogatif Allah semata. Dalam konteks amal, ini berarti: pastikan seluruh usahamu (yang merugi atau beruntung) didasarkan pada premis bahwa hanya Allah yang memberikan pahala dan hanya Dialah yang harus dituju.
Ayat ini berfungsi sebagai saringan akhir. Jika seseorang berhasil melewati fitnah dunia, tetapi di akhir perjalanannya ia mempersekutukan Allah, meskipun hanya sebesar zarrah, seluruh usahanya akan menjadi nol (*waznan*). Inilah urgensi mendalam dari ikhlas yang dimurnikan dalam kalimat penutup *akhir surat Al-Kahfi*.
Maka, jika kita membedah kalimat *Falyakmal ‘Amalan Sāliḥan wa lā Yushrik...*, kita menemukan definisi kemurnian amal yang sempurna. *’Amalan sālihan* memastikan aspek *bentuk* amal sesuai syariat. *Wa lā yushrik* memastikan aspek *niat* amal murni dari syirik. Tanpa kedua komponen ini, amal tidak akan pernah mencapai Firdaus. Ayat ini adalah kunci Surga Firdaus, di mana amal yang banyak (seperti pemilik kebun) menjadi sia-sia jika tanpa tauhid, dan amal yang ikhlas (seperti Ashabul Kahfi) menjadi penerima jamuan kehormatan.
Surah Al-Kahfi, yang dimulai dengan pujian kepada Allah yang telah menurunkan Kitab tanpa kebengkokan, berakhir dengan penegasan mutlak tentang keesaan-Nya dan keterbatasan makhluk. Ayat-ayat penutup ini bukan hanya deskripsi, melainkan petunjuk operasional bagi seorang Muslim di era modern yang penuh dengan fitnah yang serupa dengan masa lalu.
Siapakah *al-akhsarīn a’mālan* hari ini? Mereka adalah yang menghabiskan waktu, energi, dan kekayaan untuk tujuan yang diagungkan oleh masyarakat (karier, ketenaran, kekayaan) tetapi mengabaikan hak Allah dan Hari Akhir. Mereka bekerja dengan sistem 24/7 untuk mencapai puncak korporat, membangun lembaga besar, atau menjadi influencer terkenal, namun semua itu dilakukan tanpa bingkai Tauhid, atau bahkan dengan kesombongan bahwa mereka ‘melakukan yang terbaik’ tanpa perlu bimbingan wahyu. Mereka adalah yang memiliki gelar tertinggi dan kekayaan terbesar, tetapi tidak ada bobot di timbangan Akhirat.
Kerugian ini juga menimpa mereka yang beribadah secara formal, namun niatnya adalah riya' atau mencari status sosial. Mereka membangun masjid untuk dipuji, bersedekah untuk disorot media, atau berdakwah untuk popularitas. Mereka menyangka telah berbuat baik, padahal niatnya telah melubangi wadah amalnya hingga kosong.
Janji Firdaus mengubah perspektif tentang kerja keras. Pekerja keras yang sukses adalah yang mendedikasikan waktu dan hartanya untuk amal saleh. Jika fitnah harta datang (kisah dua kebun), seorang Muslim membelanjakannya di jalan Allah. Jika fitnah kekuasaan datang (kisah Dzulqarnain), ia menggunakannya untuk menolong yang lemah. Setiap usaha fisik, intelektual, dan finansial harus diolah menjadi investasi untuk *Jannatul Firdaus*.
Tuntutan kekekalan (*lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā*) mengajarkan bahwa kepuasan sejati hanya ditemukan pada yang kekal, bukan yang fana. Orang modern harus berhenti mencari kepuasan dalam pembaruan gadget, perjalanan tanpa akhir, atau pergantian status sosial, melainkan dalam ketenangan yang dibawa oleh ketaatan dan keyakinan akan tempat tinggal abadi yang telah disiapkan Allah.
Di era Big Data dan eksplorasi ruang angkasa, ayat 109 menjadi semakin relevan. Semakin manusia menemukan kompleksitas alam semesta—dari lubang hitam hingga mekanika kuantum—semakin jelas bahwa pengetahuan yang dikumpulkan oleh seluruh ilmuwan sepanjang sejarah hanyalah setetes air dari samudra. Penemuan ini seharusnya tidak menghasilkan kesombongan ateistik, melainkan kerendahan hati yang mengakui bahwa di balik segala mekanisme alam terdapat Firman (Kun) dari Allah SWT yang tak terbatas.
Ayat ini menegaskan bahwa sains dan teknologi, meskipun penting, hanyalah alat untuk mendekati sebagian kecil dari *Kalimāt Allāh*. Ilmu sejati selalu bermuara pada pengenalan terhadap Sang Pencipta. Seseorang yang memiliki gelar doktor dalam fisika namun mengabaikan Al-Qur'an, berarti telah mengabaikan sumber pengetahuan yang tak terbatas demi menenggak tinta dari samudra yang terbatas.
Pesan penutup ini memberikan sistem pengawasan diri (self-monitoring) yang harus diterapkan setiap hari. Setiap amal harus melewati saringan ganda: *Apakah ini amal saleh (sesuai tuntunan)?* dan *Apakah niatnya murni dari syirik, riya’, dan kesombongan?*
Larangan syirik adalah penutup yang sempurna karena syirik adalah penyakit spiritual yang paling mudah menyelinap. Ia dapat berupa menghormati pendapat manusia lebih dari hukum Allah, takut pada kritik sosial lebih dari takut pada murka-Nya, atau berharap pujian dunia lebih dari pahala Akhirat. *Akhir surat Al-Kahfi* secara efektif memaksa pembaca untuk meninjau ulang seluruh hidupnya berdasarkan kriteria Tauhid yang murni.
Secara keseluruhan, keempat ayat penutup Surah Al-Kahfi adalah fondasi teologis yang dibutuhkan seorang Muslim untuk menjalani hidup di tengah fitnah. Mereka mengajarkan bahwa keberuntungan bukanlah tentang apa yang kita capai di dunia, melainkan tentang bagaimana kita menyelaraskan seluruh usaha kita agar sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Esa, dengan harapan abadi untuk mendapatkan jamuan kehormatan tertinggi: Jannatul Firdaus.
Pemahaman yang mendalam tentang bagian penutup ini adalah rahasia spiritual untuk melindungi diri dari Dajjal, karena Dajjal pada hakikatnya adalah personifikasi dari kerugian total: ia menjanjikan dunia (harta, kekuasaan) tetapi menghilangkan Tauhid, menyebabkan amalan manusia menjadi sia-sia dan berakhir tanpa bobot di Hari Kiamat. Siapa pun yang mengamalkan inti dari ayat 110, niscaya akan diselamatkan dari fitnah terbesar tersebut.
Oleh karena itu, penutup surat ini adalah seruan untuk aksi dan introspeksi: bekerjalah dengan giat, gunakan setiap kemampuan yang diberikan Allah (harta, ilmu, kekuasaan) dengan menyadari bahwa sumber segala sesuatu adalah Dia yang Firman-Nya tak terbatas, dan pastikan setiap tarikan napas dan setiap tindakan terbingkai dalam Ikhlas dan Tauhid, demi meraih Surga Firdaus yang abadi.
Marilah kita renungkan setiap kalimat dari penutup yang agung ini, menjadikannya bukan sekadar akhir dari sebuah bacaan mingguan, melainkan awal dari perubahan fundamental dalam orientasi hidup, dari fana menuju abadi, dari kesia-siaan menuju bobot spiritual yang tak terhingga.
Kajian ini disusun berdasarkan berbagai sumber tafsir klasik dan kontemporer (seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Sa'di, dan Tafsir Fi Zilalil Qur'an), dengan penekanan pada relevansi doktrin Tauhid dalam menghadapi fitnah zaman.