Simbol yang mewakili ketahanan budaya.
Aksara Jawa, sebuah warisan budaya tak ternilai dari tanah Jawa, kini menghadapi tantangan yang semakin besar di era digital yang serba cepat ini. Bentuknya yang unik, setiap goresan memiliki makna filosofis mendalam, perlahan namun pasti terancam ambruk oleh arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang menggeser perhatian generasi muda.
Ada berbagai faktor yang berkontribusi pada tren penurunan minat dan penggunaan Aksara Jawa. Salah satu alasan utama adalah minimnya relevansi yang dirasakan oleh generasi muda dalam kehidupan sehari-hari mereka. Di sekolah, pengajaran Aksara Jawa seringkali hanya menjadi mata pelajaran sampingan yang kurang mendapatkan penekanan dibandingkan dengan mata pelajaran umum lainnya. Akibatnya, banyak siswa yang hanya mengenalnya sekilas tanpa memiliki pemahaman mendalam tentang cara membaca, menulis, apalagi mengaplikasikannya.
Di luar lingkungan akademis, Aksara Jawa semakin jarang terlihat dalam bentuk tulisan sehari-hari. Surat kabar, majalah, bahkan media sosial lebih didominasi oleh aksara Latin. Keterbatasan font digital yang mendukung Aksara Jawa juga menjadi kendala teknis yang signifikan. Meskipun ada upaya untuk menciptakan font Aksara Jawa, ketersediaannya belum merata dan seringkali belum terintegrasi dengan baik dalam berbagai platform digital yang umum digunakan.
Selain itu, ada juga faktor perubahan gaya hidup. Kemudahan komunikasi melalui media digital telah mengubah cara interaksi antarindividu. Generasi sekarang terbiasa dengan pesan singkat, emoji, dan bahasa yang lebih ringkas. Aksara Jawa, dengan kompleksitasnya, tentu membutuhkan waktu dan dedikasi untuk dipelajari dan digunakan, yang mungkin terasa kurang efisien bagi sebagian orang.
Kepunahan Aksara Jawa bukan hanya sekadar hilangnya sebuah bentuk tulisan. Ini adalah kehilangan sebagian besar dari identitas budaya Jawa. Aksara Jawa adalah cerminan dari sejarah, kearifan lokal, nilai-nilai leluhur, dan cara pandang masyarakat Jawa terhadap dunia. Setiap karakter, setiap sandhangan, memiliki cerita dan makna yang terjalin erat dengan kehidupan masyarakatnya.
Dengan hilangnya Aksara Jawa, kita berisiko kehilangan akses langsung ke sumber-sumber sejarah tertulis dalam bahasa aslinya. Naskah-naskah kuno, prasasti, dan karya sastra klasik yang ditulis menggunakan Aksara Jawa akan semakin sulit dipahami oleh generasi mendatang. Ini dapat menyebabkan terputusnya mata rantai pengetahuan dan warisan budaya yang seharusnya terus dijaga dan dilestarikan.
Lebih jauh lagi, hilangnya Aksara Jawa dapat mengikis rasa kebanggaan dan identitas budaya di kalangan masyarakat Jawa. Budaya yang kuat adalah fondasi penting bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Jika elemen fundamental seperti bahasa dan tulisan khasnya mulai menghilang, maka identitas budaya itu sendiri akan menjadi rapuh.
Meskipun ancaman itu nyata, bukan berarti Aksara Jawa telah benar-benar ambruk. Masih banyak pihak yang berjuang keras untuk merevitalisasinya. Berbagai komunitas budaya, akademisi, seniman, dan pegiat literasi terus berupaya mengenalkan kembali Aksara Jawa kepada masyarakat, terutama generasi muda.
Beberapa langkah konkret yang bisa diambil antara lain:
Aksara Jawa adalah permata budaya yang patut kita jaga. Ancaman "ambruk" yang dihadapinya bukan berarti akhir dari segalanya, melainkan panggilan untuk bertindak. Dengan kesadaran bersama dan upaya kolektif, kita dapat mencegah aksara bersejarah ini tenggelam ditelan zaman, dan memastikan warisan ini tetap hidup dan relevan untuk generasi yang akan datang.