Indonesia adalah negeri yang kaya akan keberagaman bahasa dan aksara. Di balik keindahan bahasa lisan yang beraneka ragam, tersimpan pula warisan aksara yang memiliki kekhasan tersendiri. Dua di antara konsep penting dalam kajian aksara Nusantara adalah aksara murda dan aksara swara. Meskipun seringkali dibahas bersamaan, keduanya memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam merepresentasikan bunyi.
Simbol abstrak merepresentasikan kekayaan aksara.
Memahami Aksara Murda
Aksara murda, dalam konteks beberapa aksara Nusantara seperti Pallawa, Jawa, Sunda, dan Bali, merujuk pada bentuk aksara kapital atau aksara besar. Istilah "murda" sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "mahkota" atau "kepala". Hal ini mengindikasikan bahwa aksara murda memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau istimewa dibandingkan dengan aksara biasa. Penggunaan aksara murda umumnya terbatas pada penulisan nama diri, gelar kehormatan, dan kata-kata yang memiliki makna penting atau sakral.
Fungsi utama aksara murda adalah untuk memberikan penekanan dan menandakan keagungan. Dalam naskah-naskah kuno, aksara murda seringkali digunakan untuk menuliskan nama raja, dewa, atau tokoh penting lainnya. Penggunaannya bukan sekadar estetika, tetapi juga sebagai penanda hierarki dan penghormatan. Misalnya, dalam aksara Jawa, ada beberapa pasangan aksara nglelingga (murda) yang berbeda dengan aksara biasa, seperti aksara 'Na' murda yang berbeda dengan 'na' biasa, atau 'Ta' murda yang berbeda dengan 'ta' biasa. Pemahaman terhadap bentuk dan penggunaannya sangat penting bagi para filolog atau peneliti yang mempelajari manuskrip kuno.
Meskipun konsep ini muncul dalam beberapa tradisi aksara di Asia Selatan dan Tenggara, penerapannya dalam aksara Nusantara memiliki ciri khas tersendiri yang mencerminkan budaya dan nilai-nilai lokal. Penggunaan aksara murda menunjukkan adanya sistem penulisan yang kompleks dan penuh makna simbolis, yang erat kaitannya dengan kosmologi dan struktur sosial masyarakat pada masa lalu.
Menelusuri Aksara Swara
Berbeda dengan aksara murda yang lebih menekankan pada status dan bentuk, aksara swara lebih berkaitan dengan representasi bunyi vokal. Dalam beberapa aksara di Indonesia, terutama yang berasal dari rumpun aksara Brahmi, terdapat aksara khusus yang berfungsi untuk menandai vokal-vokal tertentu, khususnya vokal yang berdiri sendiri atau ketika vokal tersebut berada di awal suku kata.
Istilah "swara" sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "suara" atau "vokal". Aksara swara ini penting karena banyak aksara di Nusantara yang bersifat abugida, di mana setiap konsonan secara inheren memiliki vokal 'a'. Ketika bunyi vokal lain muncul (seperti 'i', 'u', 'e', 'o') atau ketika konsonan tidak diikuti oleh vokal apa pun, diperlukan penanda khusus. Inilah peran aksara swara.
Contoh umum aksara swara dapat ditemukan dalam aksara seperti aksara Sunda. Di sana, terdapat aksara-aksara yang merepresentasikan vokal 'a', 'i', 'u', 'é', dan 'o' yang berdiri sendiri. Aksara-aksara ini digunakan ketika kata dimulai dengan vokal, atau ketika vokal tersebut perlu ditekankan. Tanpa aksara swara, representasi bunyi vokal akan menjadi ambigu dan menyulitkan pembacaan naskah. Ini menunjukkan bahwa sistem penulisan Nusantara tidak hanya tentang konsonan, tetapi juga memiliki mekanisme yang canggih untuk merepresentasikan sistem fonetik secara lengkap.
Perbedaan dan Keterkaitan
Secara ringkas, perbedaan utama antara aksara murda dan swara dapat dilihat dari fungsinya:
- Aksara Murda: Berfungsi sebagai aksara kapital, menandakan keagungan, status, dan penekanan. Umumnya digunakan untuk nama diri, gelar, dan kata penting.
- Aksara Swara: Berfungsi sebagai representasi bunyi vokal yang berdiri sendiri atau di awal suku kata. Penting untuk melengkapi sistem abugida agar bunyi vokal dapat direpresentasikan secara akurat.
Meskipun berbeda fungsi, keduanya merupakan elemen vital dalam sistem aksara Nusantara yang kaya. Keduanya menunjukkan tingkat perkembangan linguistik dan kepiawaian para pencipta dan penggunanya dalam mengadaptasi sistem penulisan asing ke dalam konteks lokal. Mempelajari aksara murda dan swara bukan hanya tentang mengenali bentuk-bentuk huruf, tetapi juga tentang memahami sejarah, budaya, dan cara pandang masyarakat Nusantara masa lalu terhadap bahasa dan penulisan.
Di era digital ini, pelestarian dan pemahaman terhadap aksara-aksara kuno seperti ini menjadi semakin penting. Upaya digitalisasi naskah, pengembangan font aksara tradisional, dan pendidikan tentang warisan budaya ini adalah langkah-langkah krusial untuk memastikan kekayaan fonetik Nusantara tidak hilang ditelan zaman.