Visualisasi sederhana Aksara Sunda, menyiratkan warisan dan perubahan.
Frasa "Jati kasilih ku junti" dalam bahasa Sunda bukan sekadar peribahasa biasa, melainkan sebuah cerminan mendalam tentang perjalanan waktu, perubahan nilai, dan identitas budaya. Secara harfiah, frasa ini dapat diartikan sebagai "kayu jati digantikan oleh kayu junti". Kayu jati dikenal sebagai kayu yang kuat, awet, dan memiliki nilai ekonomis serta filosofis tinggi. Sebaliknya, kayu junti, meskipun memiliki kegunaan, seringkali dianggap memiliki kualitas yang lebih rendah dan sifat yang lebih rapuh. Peribahasa ini menggambarkan situasi di mana sesuatu yang berharga, asli, dan berkualitas tinggi perlahan-lahan tersingkir atau tergantikan oleh sesuatu yang lain, yang mungkin lebih baru, lebih mudah didapat, atau lebih populer, namun tidak memiliki kedalaman dan keaslian yang sama.
Dalam konteks aksara Sunda, peribahasa ini terasa sangat relevan. Aksara Sunda, yang dikenal juga sebagai Sunda Kuno atau Kaganga, adalah sistem penulisan tradisional masyarakat Sunda. Ia memiliki sejarah panjang, kaya akan nilai-nilai budaya, dan menjadi penanda identitas etnis yang kuat. Aksara ini merupakan warisan leluhur yang menyimpan berbagai naskah kuno, mulai dari lontar keagamaan, sastra, sejarah, hingga ilmu pengetahuan. Keaslian dan kedalaman nilai yang terkandung dalam aksara Sunda inilah yang bisa diibaratkan sebagai "jati".
Aksara Sunda adalah representasi visual dari bahasa Sunda yang telah digunakan selama berabad-abad. Ia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga medium pelestari tradisi lisan dan tulisan. Naskah-naskah kuno yang ditulis menggunakan aksara Sunda menjadi bukti otentik peradaban Sunda di masa lalu. Mempelajari aksara Sunda berarti menggali akar budaya, memahami kearifan lokal, dan merekonstruksi sejarah yang mungkin terabaikan oleh arus modernisasi. Keberadaan aksara Sunda yang kaya akan ragam bentuk dan nilai filologis menjadikannya "jati" yang kokoh, fondasi yang tidak mudah goyah dalam membangun identitas masyarakat Sunda.
Setiap guratan dan bentuk dalam aksara Sunda memiliki cerita. Bentuk-bentuknya yang unik, dipengaruhi oleh sistem aksara Brahmi dari India melalui perantara Pallawa dan Kawi, mencerminkan evolusi linguistik dan budaya yang khas. Filosofi di balik setiap karakter, cara penulisan, dan strukturnya menunjukkan kehalusan budi dan pemikiran masyarakat Sunda pada zamannya. Ini adalah warisan intelektual yang tak ternilai harganya, yang seharusnya dijaga dan dilestarikan layaknya harta karun.
Namun, seiring berjalannya waktu dan derasnya pengaruh globalisasi, aksara Sunda menghadapi tantangan yang signifikan, inilah yang dapat diibaratkan sebagai kehadiran "junti". Huruf Latin yang lebih familiar, lebih mudah diketik di berbagai platform digital, dan mendominasi pendidikan formal, perlahan-lahan mulai menggeser penggunaan aksara Sunda. Banyak generasi muda Sunda yang lebih fasih menggunakan huruf Latin daripada aksara leluhurnya. Informasi dan pengetahuan yang dulu ditulis dalam aksara Sunda, kini banyak diterjemahkan atau dibuat ulang dalam huruf Latin, seolah-olah versi aslinya menjadi kurang relevan.
Keadaan ini diperparah dengan minimnya sarana dan prasarana pendukung untuk pembelajaran dan penggunaan aksara Sunda secara luas. Kurikulum sekolah yang tidak lagi memprioritaskan pengenalan aksara tradisional, minimnya materi bacaan kontemporer dalam aksara Sunda, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan budaya ini, semuanya berkontribusi pada proses "kasilih" atau tersingkirnya "jati". Teknologi digital yang seharusnya bisa menjadi alat bantu pelestarian, justru seringkali menjadi medium dominasi huruf Latin karena kemudahan penggunaannya.
Menerjemahkan peribahasa "Jati kasilih ku junti" ke dalam upaya pelestarian aksara Sunda berarti kita perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk mengembalikan nilai "jati" aksara Sunda di hadapan dominasi "junti". Pertama, revitalisasi pendidikan. Aksara Sunda perlu diperkenalkan kembali secara intensif di sekolah-sekolah, tidak hanya sebagai mata pelajaran tambahan, tetapi sebagai bagian integral dari kurikulum yang menumbuhkan rasa bangga dan cinta terhadap budaya lokal.
Kedua, pemanfaatan teknologi. Meskipun teknologi sering menjadi pengganti, ia juga bisa menjadi alat penyelamat. Pengembangan aplikasi pembelajaran aksara Sunda yang interaktif, pembuatan keyboard aksara Sunda untuk perangkat mobile dan komputer, serta digitalisasi naskah-naskah kuno dalam format yang mudah diakses, dapat membantu mempopulerkan kembali aksara ini. Konten kreatif dalam aksara Sunda, seperti komik, cerita pendek, atau bahkan lagu, juga dapat menjadi daya tarik bagi generasi muda.
Ketiga, kesadaran masyarakat. Kampanye kesadaran budaya perlu digencarkan. Penting untuk terus mengingatkan masyarakat Sunda, bahwa aksara Sunda adalah jati diri mereka yang berharga. Acara-acara budaya, workshop, dan festival yang menampilkan aksara Sunda dapat menjadi sarana edukasi dan apresiasi. Peran tokoh masyarakat, budayawan, dan pemerintah daerah sangat krusial dalam menggerakkan upaya ini.
Pada akhirnya, makna "Jati kasilih ku junti" seharusnya menjadi pengingat, bukan takdir yang harus diterima tanpa perlawanan. Aksara Sunda adalah jati diri yang kuat, warisan yang tak ternilai. Menjaganya dari ancaman tersingkir oleh pengaruh yang lebih baru dan dangkal adalah tugas bersama. Dengan kesadaran, upaya kolaboratif, dan pemanfaatan sumber daya yang ada, kita dapat memastikan bahwa keindahan dan kedalaman aksara Sunda tetap lestari dan terus hidup, bukan hanya sebagai relik masa lalu, tetapi sebagai bagian hidup dari identitas masyarakat Sunda di masa kini dan masa mendatang.