Surah Al-Baqarah, ayat 131 hingga 135, merupakan permata hikmah yang mengingatkan kita akan hakikat keislaman sejati: ketundukan total kepada Allah dan permohonan ampun serta bimbingan yang tulus. Ayat-ayat ini menampilkan keteladanan para nabi, khususnya Nabi Ibrahim alaihissalam, sebagai sosok mukmin yang senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
اِذَا قَالَ لَهُ رَبُّهٗٓ اَسْلِمْ ۖ قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan seluruh alam."
Ayat 131 ini menggambarkan momen krusial dalam kehidupan Nabi Ibrahim. Perintah Allah untuk "aslim" (tunduk patuhlah) disambut dengan respons yang penuh keyakinan dan kepasrahan: "aslamtu li Rabbil 'alamin" (aku tunduk patuh kepada Tuhan seluruh alam). Ini bukan sekadar ucapan, melainkan manifestasi dari keimanan yang mendalam, sebuah pernyataan bahwa seluruh eksistensi Ibrahim telah diserahkan sepenuhnya kepada Allah, Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Keikhlasan ini menjadi inti dari konsep Islam, yaitu penyerahan diri secara total kepada kehendak Ilahi.
وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهِيْمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَۗ
Dan Ibrahim mewasiatkan kalimat itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. "Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama (Islam) ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam."
Ketaatan Nabi Ibrahim tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia meneruskan warisan keimanan ini kepada keturunannya, termasuk Nabi Yakub. Wasiat ini menekankan pentingnya menjaga identitas keislaman hingga akhir hayat. Kata "musimun" di sini tidak hanya berarti "orang Islam" secara formal, tetapi lebih dalam lagi merujuk pada keadaan jiwa yang senantiasa tunduk dan berserah diri kepada Allah. Ini mengajarkan kepada kita pentingnya mendidik generasi penerus agar teguh berpegang pada nilai-nilai Islam, bukan sekadar warisan leluhur, melainkan sebuah pilihan sadar yang harus dijaga hingga napas terakhir.
اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَآءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُ ۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْ ۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ ۠ اِلٰهًا وَّاحِدًا وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
Apakah kamu menjadi saksi saat Yakub menghadapi kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, "Patung apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishak, Tuhan Yang Maha Esa; dan kami berserah diri kepada-Nya."
Ayat 133 melanjutkan kisah Nabi Yakub yang juga memberikan penekanan serupa kepada anak-anaknya. Pertanyaan "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" adalah pengingat kuat agar tidak menyimpang dari tauhid. Jawaban anak-anaknya, "Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu... Tuhan Yang Maha Esa; dan kami berserah diri kepada-Nya," menunjukkan kelanjutan tali keimanan yang murni dan teguh dari generasi ke generasi. Ini menegaskan bahwa tauhid adalah pondasi utama yang harus diwariskan. Penyebutan nama-nama para nabi pendahulu, Ibrahim, Ismail, dan Ishak, menunjukkan bahwa ajaran tauhid ini adalah ajaran para nabi yang dibawa oleh Allah semenjak zaman purba.
تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَّا كَسَبْتُمْ ۚ وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Itulah umat yang telah berlalu. Mereka memperoleh apa yang telah mereka usahakan, dan kamu memperoleh apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat 134 ini memberikan pelajaran penting tentang akuntabilitas individu. "Itulah umat yang telah berlalu. Mereka memperoleh apa yang telah mereka usahakan, dan kamu memperoleh apa yang telah kamu usahakan." Setiap individu akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri di hadapan Allah. Kita tidak bisa bergantung pada amal perbuatan orang lain, sekaya atau sekuat apapun mereka. Keberhasilan atau kegagalan di akhirat ditentukan oleh amalan kita sendiri. Pesan ini mendorong kita untuk fokus pada perbaikan diri dan meningkatkan amal ibadah kita.
وَقَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى تَأْتِيَنَا بِاللّٰهِ جَهْرَةً فَاَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ وَهُمْ يَنْظُرُوْنَ
Dan mereka berkata, "Kami tidak akan beriman kepadamu sampai engkau datangkan kepada kami Allah (bersama) para rasul." Maka menyambarlah petir mereka (membinasakan) ketika mereka melihatnya.
Terakhir, ayat 135 ini mengisahkan tentang kaum Yahudi yang menantang Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mendatangkan Allah secara langsung, sebuah permintaan yang mustahil dan menunjukkan kekerasan hati serta ketidakmauan mereka untuk beriman. Akibat kekeraskepalaan mereka, mereka diazab dengan petir. Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan yang sejati tidak dapat dipaksakan, dan penolakan terhadap kebenaran secara terang-terangan akan berakibat pada murka Ilahi. Ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang menolak bukti-bukti kebesaran Allah dan ajaran para rasul-Nya.
Secara keseluruhan, ayat 131-135 Surah Al-Baqarah mengajak kita untuk merenungkan makna ketundukan total kepada Allah, pentingnya mewariskan nilai-nilai Islam kepada generasi mendatang, serta kesadaran akan tanggung jawab individu di hadapan Tuhan. Teladan Nabi Ibrahim dan Yakub mengingatkan kita untuk senantiasa berdoa memohon keteguhan iman dan jangan pernah menyerah dalam perjalanan menuju Allah, sembari menjauhi sikap keras kepala dan penolakan terhadap kebenaran yang dapat membawa pada kehancuran.