Ilustrasi: Nilai-nilai luhur dalam amal saleh.
Dalam kehidupan seorang Muslim, keimanan bukanlah sekadar keyakinan hati semata, melainkan manifestasi nyata dalam setiap tindakan dan perilaku sehari-hari. Al-Qur'an, sebagai pedoman hidup abadi, senantiasa mengingatkan umatnya tentang pentingnya amal saleh. Surah Al-Baqarah, ayat 177 hingga 182, memberikan pemahaman mendalam mengenai hakikat kebaikan yang sejati, yang melampaui sekadar tuntutan ritual formal semata. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan bukanlah tentang mengarahkan wajah ke timur atau barat saat salat, melainkan tentang substansi iman dan aplikasi nilai-nilai luhur dalam kehidupan.
"Bukanlah kebaikan itu ialah menghadapkan wajahmu ke timur dan ke barat, tetapi kebaikan ialah (kebaikan) orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan pengemis-pengemis dan hamba-hamba yang memerlukan kebebasan, dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 177)
Ayat 177 ini menguraikan elemen-elemen fundamental yang membentuk karakter seorang mukmin sejati. Pertama, ia menegaskan keutamaan iman yang kokoh kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab suci, dan para nabi. Keimanan ini adalah fondasi utama yang menopang seluruh amal perbuatan. Namun, iman tersebut tidak bersifat pasif. Ia diwujudkan dalam tindakan nyata yang penuh empati dan kepedulian sosial.
Penyebutan tentang "memberikan harta yang dicintainya" menunjukkan bahwa kebaikan sejati melibatkan pengorbanan. Memberikan sesuatu yang kita miliki dan sayangi kepada pihak yang membutuhkan, seperti kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan pengemis, adalah bukti konkret dari keimanan yang mendalam. Ayat ini juga mencakup pembebasan budak atau hamba sahaya, sebuah praktik yang sangat relevan pada zamannya dan memiliki makna simbolis pembebasan dari segala bentuk penindasan.
Selain itu, ayat ini menekankan pentingnya mendirikan salat dan menunaikan zakat. Salat adalah sarana komunikasi langsung dengan Sang Pencipta, yang memelihara hubungan vertikal. Sementara zakat adalah manifestasi kepedulian horizontal, yang membantu menciptakan keseimbangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Ketepatan janji dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan juga merupakan ciri khas orang-orang yang beriman, menunjukkan integritas, ketangguhan, dan kepercayaan penuh kepada ketetapan Allah.
Melanjutkan pembahasan, ayat 178-179 berbicara tentang hukum qisas (hukuman balasan) dalam pembunuhan. Ayat-ayat ini menegaskan prinsip keadilan dan perlindungan jiwa. Allah memerintahkan agar orang yang membunuh dibalas setimpal. Namun, ayat 178 juga membuka ruang untuk memaafkan (afwu) dan berdamai dengan membayar diyat (tebusan) dengan cara yang makruf (baik dan sesuai syariat). Ini menunjukkan bahwa Islam memberikan alternatif yang berorientasi pada rekonsiliasi dan pemulihan hubungan, dengan tetap menjaga hak korban dan keluarganya.
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat keringanan dari saudaranya, hendaklah (yang membunuh) mengikuti cara yang baik (membayar diyat) dan menunaikannya kepada (ahli waris) si terbunuh dengan baik (pula). Ini adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa melampaui batas sesudah itu, maka ia akan mendapat siksa yang pedih." (QS. Al-Baqarah: 178)
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 179)
Ayat 179 secara brilian menyoroti hikmah mendalam di balik hukum qisas, yaitu sebagai sarana pencegahan agar tercipta kehidupan yang lebih aman dan tertib di masyarakat. Ketika mengetahui ada konsekuensi yang jelas dan berat bagi tindakan pembunuhan, seseorang akan lebih berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan. Ini menunjukkan bahwa aturan hukum dalam Islam bukan semata-mata bersifat hukuman, tetapi juga memiliki dimensi preventif dan protektif demi kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya, ayat 180-182 menggarisbawahi pentingnya wasiat dan kewajiban memberikan warisan kepada orang tua dan kerabat. Ayat-ayat ini mengatur agar orang yang akan meninggal dunia mewasiatkan hartanya kepada kedua orang tuanya dan kerabatnya secara makruf. Ini merupakan bagian dari tanggung jawab moral untuk memastikan kelangsungan hidup dan kesejahteraan keluarga setelah kepergiannya.
"Diwajibkan atas kamu, apabila salah seorang dari kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta, agar membuat wasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 180)
Kemudian, ayat 181 memberikan penegasan dan peringatan keras bagi siapa saja yang mengubah wasiat setelah mendengarnya. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala niat dan perbuatan. Perubahan wasiat yang merugikan ahli waris yang berhak akan menjadi dosa besar bagi pelakunya.
"Maka barangsiapa mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, sesungguhnya dosanya adalah atas orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 181)
Ayat 182 melengkapi pembahasan ini dengan penjelasan mengenai keringanan bagi orang yang beriman dan beramal saleh apabila ia mengetahui perubahan wasiat yang dilakukan secara zalim. Kebaikan dan keadilan yang mereka tunjukkan akan mendapatkan balasan dari Allah, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
"Tetapi barangsiapa khawatir adanya penyimpangan pada wasiat dari penyusunan wasiat, sedang ia berbuat keadilan, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 182)
Secara keseluruhan, rangkaian ayat Al-Baqarah 177-182 ini memberikan gambaran komprehensif tentang esensi kebaikan dalam Islam. Kebaikan sejati berakar pada keimanan yang kokoh, diejawantahkan melalui kepedulian sosial, empati, ketepatan janji, kesabaran, penegakan keadilan, dan pelaksanaan amanah, termasuk dalam urusan wasiat dan warisan. Ayat-ayat ini bukan hanya panduan ritual, tetapi sebuah cetak biru untuk merajut kehidupan yang penuh makna, berkontribusi pada kemaslahatan individu dan masyarakat, serta meraih keridaan Allah SWT. Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai luhur ini, seorang Muslim dapat membangun karakter yang saleh, kokoh, dan senantiasa membawa rahmat bagi sekitarnya.