Al-Baqarah Ayat 83: Janji dan Kesaksian Bani Israil

SATU TUHAN

Surat Al-Baqarah, ayat ke-83, merupakan salah satu ayat penting dalam Al-Qur'an yang mengisahkan tentang perjanjian dan kesaksian Bani Israil terhadap Allah SWT. Ayat ini mengingatkan kita akan sebuah momen fundamental dalam sejarah keagamaan, di mana Allah mengambil janji dari kaum Bani Israil. Pemahaman mendalam terhadap ayat ini tidak hanya memberikan wawasan historis, tetapi juga pelajaran moral dan spiritual yang relevan hingga kini.

Lafal Ayat dan Terjemahannya

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

"Wa idz akhadzna mitsaqo banii isrooiila laa ta'buduuna illallaha wa bil waalidaini ihsaanan wa dzil qurbaa wal yataamaa wal masaakiini wa quluu lin naasi husnan wa aqiimush sholaata wa aatuz zakaata tsumma tawallaitum illaa qoliilan minkum wa antum mu'ridhuun."

Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil, (yaitu): "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin; serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat." Akan tetapi kemudian kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu selalu menjadi orang yang enggan (memperhatikan).

Makna Mendalam Al-Baqarah Ayat 83

Ayat ini diawali dengan frasa "Wa idz akhadzna mitsaqo banii isrooiila" yang berarti "Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil." Kata "mitsaq" merujuk pada sebuah janji yang kuat, sebuah ikatan yang sakral. Allah SWT melalui para nabi-Nya, terutama Musa alaihissalam, telah menggariskan serangkaian perintah dan larangan kepada Bani Israil. Perjanjian ini bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi utama bagi kehidupan mereka sebagai umat yang beriman dan bertakwa. Perintah pertama dan terpenting yang tercantum dalam perjanjian ini adalah "laa ta'buduuna illallaha," yaitu larangan untuk menyembah selain Allah. Ini adalah inti dari tauhid, pengakuan keesaan Tuhan yang menjadi landasan seluruh ajaran agama samawi. Penekanan pada larangan menyekutukan Allah ini menunjukkan betapa krusialnya konsep tauhid dalam hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Selanjutnya, ayat ini merinci kewajiban-kewajiban sosial dan moral yang harus dipenuhi oleh Bani Israil. Perintah untuk berbuat baik kepada orang tua ("bil waalidaini ihsaanan") menegaskan pentingnya penghormatan dan bakti kepada kedua orang tua. Ini adalah perintah yang sangat universal, mengajarkan nilai kasih sayang dan pengabdian dalam keluarga. Kemudian, perintah diperluas kepada kerabat ("dzil qurbaa"), anak yatim ("wal yataamaa"), dan orang miskin ("wal masaakiini"). Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan tidak hanya terbatas pada lingkaran keluarga inti, tetapi juga harus meluas kepada anggota masyarakat yang membutuhkan uluran tangan. Islam sangat menekankan kepedulian sosial, dan ayat ini menjadi bukti historisnya. Tak hanya itu, perintah untuk "mengucapkan kata-kata yang baik kepada manusia" ("wa quluu lin naasi husnan") mengandung makna yang sangat luas. Ini mencakup segala bentuk perkataan yang sopan, jujur, membangun, dan tidak menyakiti hati orang lain. Etika komunikasi yang baik adalah cerminan dari akhlak mulia seorang mukmin. Ayat ini juga secara eksplisit memerintahkan untuk "mendirikan salat" ("wa aqiimush sholaata") dan "menunaikan zakat" ("wa aatuz zakaata"). Salat adalah sarana komunikasi langsung antara hamba dengan Tuhannya, sebuah ritual yang membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Zakat, di sisi lain, adalah manifestasi kepedulian sosial dalam bentuk harta, membersihkan kekayaan dan membantu fakir miskin.

Pengingkaran dan Peringatan

Namun, ayat ini juga menyertakan sebuah peringatan keras: "tsumma tawallaitum illaa qoliilan minkum wa antum mu'ridhuun" yang berarti "Akan tetapi kemudian kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu selalu menjadi orang yang enggan (memperhatikan)." Penggalan ini menggambarkan betapa banyak dari Bani Israil yang gagal memenuhi janji mereka. Mereka berpaling dari ajaran-ajaran yang telah diikrarkan, meskipun ada segelintir individu yang tetap teguh pada pendirian. Sifat "mu'ridhuun" (enggan atau berpaling) ini menjadi sebuah pelajaran penting bagi umat manusia. Seringkali, setelah menerima kebenaran atau membuat sebuah komitmen, godaan duniawi, hawa nafsu, atau kemalasan membuat seseorang mundur atau mengabaikan kewajibannya. Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa waspada terhadap diri sendiri dan berusaha keras untuk tetap berada di jalan kebenaran, meskipun mayoritas menjauh.

Relevansi Hingga Kini

Meskipun ayat ini ditujukan kepada Bani Israil, maknanya bersifat universal dan relevan bagi seluruh umat manusia, khususnya umat Islam. Perjanjian yang diambil dari Bani Israil pada dasarnya adalah pengulangan dan penegasan dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Konsep tauhid, bakti kepada orang tua, kepedulian sosial, etika komunikasi, serta kewajiban salat dan zakat adalah pilar-pilar ajaran Islam yang tidak lekang oleh waktu. Ayat Al-Baqarah 83 menjadi pengingat abadi tentang pentingnya menepati janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama. Ini adalah ajakan untuk merefleksikan diri, apakah kita termasuk orang-orang yang menepati janji dan senantiasa berusaha taat, atau justru termasuk mereka yang berpaling dan mengabaikan amanah. Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai dalam ayat ini, kita dapat membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik, saleh secara vertikal kepada Allah, dan bermanfaat secara horizontal bagi sesama.

🏠 Homepage