Surah Al-Baqarah, kitab suci umat Islam, menyimpan banyak pelajaran berharga dan kisah-kisah teladan. Di antara ayat-ayatnya yang penuh hikmah, rentang ayat 60 hingga 100 menyajikan serangkaian peristiwa monumental yang dialami oleh Nabi Musa 'alaihissalam dan kaumnya, Bani Israil. Ayat-ayat ini tidak hanya menceritakan ujian dan mukjizat, tetapi juga menyoroti sifat manusia, ketidaktaatan, dan betapa agungnya kekuasaan Allah SWT.
(Lihat Al-Baqarah: 60)
Salah satu kisah paling terkenal yang terangkum dalam rentang ayat ini adalah ketika Bani Israil berada dalam kondisi yang sangat kritis. Mereka dilanda kehausan yang luar biasa di padang Tih. Dalam keputusasaan, mereka mendatangi Nabi Musa dan memohon pertolongan. Nabi Musa, dengan senantiasa berserah diri kepada Allah, berdoa memohon agar diberikan solusi atas penderitaan kaumnya.
"Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu!' Maka memancarlah dari batu itu dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya. Makanlah dan minumlah dari rezeki Allah, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di bumi, menjadi perusak."
Mukjizat ini adalah bukti nyata dari kekuasaan Allah yang mampu menciptakan kehidupan bahkan dari benda mati. Dua belas mata air yang memancar dari sebuah batu padat menunjukkan betapa Allah mampu mengatasi segala kesulitan. Setiap suku telah diatur tempat minumnya, menunjukkan keadilan dan keteraturan ilahi dalam memberikan rezeki. Namun, pelajaran yang disampaikan Nabi Musa tidak berhenti pada mukjizat itu sendiri; beliau juga mengingatkan mereka untuk tidak berbuat kerusakan dan menikmati rezeki yang diberikan dengan syukur.
(Lihat Al-Baqarah: 61-62)
Sayangnya, kisah Bani Israil tidak selalu diwarnai dengan ketaatan. Meskipun telah menyaksikan begitu banyak mukjizat dan pertolongan dari Allah melalui Nabi Musa, mereka seringkali dilanda keraguan dan ketidakpuasan. Dalam ayat-ayat berikutnya, kita mendapati mereka mengeluh, merindukan makanan yang berbeda dari manna dan salwa yang telah Allah anugerahkan. Mereka berkata, "Wahai Musa! Kami tidak bisa sabar (makan) makanan yang sama terus-menerus. Maka, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami apa yang ditumbuhkan oleh bumi, seperti sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang-kacangnya, dan lobaknya."
Ucapan ini menunjukkan kurangnya rasa syukur dan ketidakmauan untuk menerima karunia Allah sebagaimana adanya. Ketidakpuasan ini berujung pada konsekuensi yang berat, yaitu mereka dijatuhi kehinaan dan kemiskinan di dunia, serta kembali mendapat murka dari Allah. Ini adalah peringatan keras bagi kita semua bahwa kenikmatan duniawi yang berlimpah tidak akan menjamin kebahagiaan jika dibarengi dengan kekufuran dan ketidakbersyukuran.
(Lihat Al-Baqarah: 63-82)
Rentang ayat ini juga mencakup berbagai perintah dan larangan, serta penegasan kembali atas perjanjian yang pernah diambil oleh Bani Israil. Mereka diperintahkan untuk menegakkan salat, menunaikan zakat, berbakti kepada orang tua, tidak menumpahkan darah, dan berbagai syariat lainnya. Namun, mereka kerap kali melanggarnya. Ayat-ayat ini menggambarkan betapa Bani Israil seringkali mengikrarkan janji dengan lisan namun mengingkarinya dalam perbuatan.
Bahkan, terdapat kisah mengenai perintah penyembelihan sapi betina yang penuh dengan pertanyaan dan penolakan dari mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan mencari celah dan mempersulit diri sendiri, padahal Nabi Musa telah diamanatkan untuk menyampaikan perintah Allah yang jelas. Keterlambatan mereka dalam melaksanakan perintah ini, akibat keraguan dan keengganan, menunjukkan betapa beratnya hidayah untuk diterima oleh hati yang tertutup.
(Lihat Al-Baqarah: 83-100)
Puncak dari rentang ayat ini adalah pengingat akan kehidupan setelah mati dan kebangkitan. Allah SWT menegaskan kembali janji-Nya untuk membangkitkan orang-orang yang telah meninggal. Ayat-ayat ini menjadi peneguh keyakinan umat beriman terhadap hari perhitungan, di mana setiap amal akan dimintai pertanggungjawaban. Bagi Bani Israil, ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat akan perjanjian Allah yang abadi, serta peringatan akan akibat dari pengkhianatan terhadap janji tersebut.
Secara keseluruhan, Al-Baqarah ayat 60-100 menyajikan sebuah narasi yang kaya akan pelajaran moral, spiritual, dan teologis. Kisah Nabi Musa dan Bani Israil adalah cerminan dari pergulatan antara keimanan dan keraguan, ketaatan dan pembangkangan, serta betapa besar kekuatan wahyu dan mukjizat dalam membimbing manusia menuju jalan kebenaran. Ayat-ayat ini mengajak kita untuk senantiasa merenungi nikmat Allah, bersyukur atas karunia-Nya, dan taat pada setiap perintah-Nya, agar kita terhindar dari murka-Nya dan meraih kebahagiaan dunia akhirat.