Surah Al Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak pelajaran berharga, kisah para nabi, dan petunjuk ilahi. Di antara ayat-ayatnya, rentang 91 hingga 100 menyajikan narasi yang kuat mengenai respons kaum Yahudi terhadap ajaran Nabi Musa 'alaihissalam dan penolakan mereka terhadap kebenaran, bahkan ketika dihadapkan pada mukjizat. Memahami ayat-ayat ini dalam teks Latin dan terjemahannya dapat memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang sejarah kenabian dan sifat manusia.
Ayat-ayat ini muncul dalam konteks di mana Bani Israil diperintahkan untuk memasuki tanah yang dijanjikan (Baitul Maqdis). Namun, keraguan dan kekufuran mereka sering kali menghalangi mereka untuk menerima rahmat Allah. Dalam rentang ayat 91-100, Allah Subhanallahu Wa Ta'ala menyoroti sifat keras kepala dan keingkaran sebagian dari mereka terhadap mukjizat yang ditampilkan oleh Nabi Musa dan para nabi setelahnya. Mereka sering kali berdalih dan mencari alasan untuk tidak mengikuti ajaran Allah, bahkan ketika bukti-bukti telah jelas tersaji.
Wa idza qila lahum aminu bima anzala Allahu qalu nu'minu bima unzila 'alayna wa yakfuruna bima wara'ahu wa huwal haqq muSaddiqan lima ma'ahum, qul falima taqtuluna anbiya'allahi min qablu in kuntum mu'minin.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada apa (Al-Qur'an) yang telah diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Dan mereka kafir kepada yang sesudahnya, padahal (Al-Qur'an) itu adalah kebenaran yang membenarkan apa (Taurat) yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu membunuh nabi-nabi Allah sejak dahulu, jika kamu memang orang-orang yang beriman?"
Ayat ini dengan jelas menggambarkan kemunafikan sebagian kaum Yahudi. Ketika diperintahkan untuk beriman kepada Al-Qur'an, mereka beralasan hanya beriman pada apa yang diturunkan kepada mereka (Taurat). Namun, sikap ini kontradiktif dengan sejarah mereka sendiri yang telah membunuh banyak nabi Allah sebelum era Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa keimanan mereka dangkal dan selektif, tidak berdasarkan ketundukan total kepada wahyu Allah.
Selanjutnya, ayat-ayat ini kembali merujuk pada kisah Nabi Musa. Allah mengingatkan Bani Israil tentang mukjizat-mukjizat yang telah diberikan kepada Musa, seperti terbelahnya Laut Merah untuk menyelamatkan mereka dari kejaran Firaun. Meskipun telah menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah yang luar biasa, hati mereka tetap keras dan mereka terus membangkang.
Wa idz qultum ya Musa lan nu'mina laka hatta narallaha jahratan, fa akhadza tkumush sha'iqatu wa antum tandzurun.
Dan (ingatlah) ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami melihat Allah dengan terang." Maka badanmu menyambar (petir) dan kamu melihatnya.
Tsumma ba'atsnakum min ba'di mautikum la'allakum tasykurun.
Kemudian Kami membangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.
Permintaan untuk melihat Allah secara langsung adalah puncak kesombongan dan kebodohan mereka. Sebagai respons, Allah menurunkan petir yang membinasakan sebagian dari mereka, sebagai peringatan keras. Namun, Allah kemudian membangkitkan mereka kembali, sebuah mukjizat lain, dengan harapan agar mereka menjadi orang-orang yang bersyukur. Sayangnya, bahkan mukjizat ini pun tidak sepenuhnya menumbuhkan rasa syukur dan ketaatan dalam diri mereka.
Allah juga mengingatkan tentang nikmat lain yang diberikan kepada Bani Israil di padang Tih, yaitu manna (embun manis) dan salwa (burung puyuh) sebagai makanan. Namun, lagi-lagi, mereka menunjukkan ketidakpuasan dan merindukan makanan yang biasa mereka makan di Mesir, seperti bawang merah dan sayuran lainnya. Ini menunjukkan betapa sulitnya mengubah pola pikir dan kebiasaan buruk yang telah mengakar.
Wa dhallalna 'alaikumul ghamama wa anzana 'alaikumul manna was salwa, kulu min thayyibati ma razaqnakum, wa ma dhalamuna walakin kanu anfusahum yadhlimun.
Dan Kami menungi-mungi kamu dengan awan, dan Kami menurunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah daripada rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
Kisah-kisah dalam Al Baqarah ayat 91-100 ini bukan sekadar catatan sejarah masa lalu. Pelajaran yang dapat dipetik sangat relevan untuk kehidupan kita saat ini. Pertama, pentingnya sikap tawadhu' dan ketundukan total kepada ajaran Allah, bukan bersikap selektif berdasarkan hawa nafsu atau tradisi yang bertentangan. Kedua, peringatan terhadap kesombongan dan keingkaran, karena hal itu hanya akan membawa kerugian pada diri sendiri. Ketiga, anjuran untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, sekecil apapun itu, dan tidak mudah mengeluh atau meratapi apa yang tidak ada.
Memahami teks Latin dan terjemahan ayat-ayat ini memberikan kita kesempatan untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan Allah dan bagaimana kita merespons petunjuk-Nya. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah-kisah ini dan menjadi hamba-Nya yang senantiasa taat dan bersyukur.