Dalam khazanah ajaran spiritual, Surah Al Ikhlas, Surah Al Falaq, dan Surah An Nas menempati posisi yang sangat fundamental. Ketiganya seringkali dibaca bersamaan, membentuk sebuah triad yang tak terpisahkan: Al Ikhlas menegaskan dasar keimanan—Tauhid, Keesaan Tuhan—sementara Al Falaq dan An Nas bertindak sebagai perisai, merangkum strategi perlindungan diri dari segala bentuk keburukan, baik yang bersifat material maupun spiritual. Sinergi antara penegasan tauhid (keyakinan) dan permohonan perlindungan (tindakan) ini merupakan model ideal bagi seorang hamba dalam menjalani kehidupan fana.
Tiga surah pendek ini, yang sering kita sebut sebagai surah-surah pelindung (terutama Al Falaq dan An Nas yang dikenal sebagai *Mu'awwidhatain*), adalah jawaban ilahi terhadap kegelisahan dan kerentanan manusia. Mereka menawarkan solusi spiritual yang kokoh, mengarahkan hati dan pikiran untuk bergantung hanya kepada Satu Zat Yang Maha Kuasa. Menggali kedalaman makna dari setiap kata dalam surah-surah ini bukan sekadar tugas akademis, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang memperkuat ikatan seorang hamba dengan Penciptanya.
Artikel ini akan membedah secara rinci, lapis demi lapis, struktur linguistik, konteks pewahyuan (*Asbabun Nuzul*), dan implikasi filosofis dari ketiga surah agung ini. Kita akan melihat bagaimana Al Ikhlas menjadi kunci yang membuka gerbang pemahaman tentang Tuhan, sementara Al Falaq dan An Nas menjadi kunci yang menutup pintu masuk segala mara bahaya.
Surah Al Ikhlas, meskipun hanya terdiri dari empat ayat, memiliki bobot makna yang setara dengan sepertiga dari keseluruhan ajaran kitab suci. Nama 'Al Ikhlas' sendiri berarti 'Pemurnian' atau 'Ketulusan', merujuk pada pemurnian akidah dari segala bentuk syirik dan kontaminasi pemahaman yang keliru mengenai Tuhan.
Para mufassir sepakat bahwa surah ini diturunkan sebagai jawaban tegas atas pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin atau Ahli Kitab kepada Nabi. Mereka bertanya, "Jelaskan kepada kami mengenai Tuhanmu. Apa nasab-Nya? Terbuat dari apa Dia?" Pertanyaan ini mencerminkan mentalitas manusia yang terbiasa mengukur segala sesuatu dengan standar materi, standar makhluk. Jawaban yang diturunkan melalui Al Ikhlas adalah penolakan total terhadap semua analogi materi.
Kata kunci di sini adalah أَحَدٌ (Ahad). Meskipun kata lain untuk satu adalah *wahid*, penggunaan *Ahad* dalam konteks ini mengandung makna keesaan mutlak yang tak terbagi, tak berawal, dan tak berbanding. Keesaan *Ahad* menolak pluralitas, menolak bagian, dan menolak persekutuan. Allah adalah Esa dalam Zat-Nya, Esa dalam Sifat-Nya, dan Esa dalam Af'al-Nya (Perbuatan-Nya).
Penggunaan kata *Qul* (Katakanlah) merupakan perintah langsung, menekankan pentingnya deklarasi ini, bukan sekadar kepercayaan pribadi, tetapi sebuah proklamasi yang harus disebarkan.
الصَّمَدُ (Ash-Shamad) adalah salah satu nama dan sifat Allah yang paling mendalam maknanya. Secara linguistik, ia memiliki beberapa penafsiran utama yang saling melengkapi:
Ayat ini mengajarkan bahwa seluruh alam semesta, dari atom terkecil hingga galaksi terbesar, berada dalam keadaan mutlak butuh kepada Allah, sedangkan Dia sama sekali tidak membutuhkan apapun dari ciptaan-Nya. Inilah esensi dari ketergantungan kosmis.
Pernyataan ini adalah penolakan terhadap konsep ilahiah yang melekat pada banyak agama dan mitologi kuno, yang menganggap Tuhan memiliki anak (keturunan) atau berasal dari entitas yang lebih tua. Konsep beranak (*Yalid*) menyiratkan kebutuhan untuk melestarikan diri atau melimpahkan sebagian zat-Nya, sementara diperanakkan (*Yuulad*) menyiratkan keberawalan dan kebutuhan pada sebab eksistensi. Kedua sifat ini mustahil bagi Wujud Yang Kekal dan Abadi.
كُفُوًا (Kufuwan) berarti setara, sebanding, atau sepadan. Ayat penutup ini menyempurnakan deklarasi Tauhid. Setelah menolak sifat material (Ash-Shamad) dan menolak konsep nasab (Lam Yalid wa Lam Yuulad), ayat ini menolak kesetaraan dalam hal Zat, Sifat, dan Nama. Tidak ada makhluk yang dapat dibandingkan atau disamakan dengan Allah, baik dalam kekuasaan, pengetahuan, maupun keagungan-Nya.
Al Ikhlas, dengan singkatnya yang menawan, merangkum seluruh esensi tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat. Ia membebaskan akal dari bayangan-bayangan semu tentang Tuhan dan menempatkan ibadah pada poros yang benar: penyembahan kepada Zat Yang Mutlak Sempurna dan Tunggal.
Surah Al Falaq, bersama An Nas, dikenal sebagai *Mu'awwidhatain* (dua surah tempat mencari perlindungan). Jika Al Ikhlas adalah tentang siapa Yang Kita Sembah, maka Al Falaq adalah tentang bagaimana Kita Memohon Pertolongan kepada-Nya. Surah ini secara spesifik berfokus pada keburukan yang datang dari luar diri manusia, keburukan alam semesta, dan keburukan sihir.
Kata الفَلَقِ (Al Falaq) diterjemahkan sebagai 'waktu subuh' atau 'pecahnya fajar'. Namun, para ulama tafsir juga memberi makna yang lebih luas: segala sesuatu yang dipecahkan atau diciptakan, seperti benih yang pecah menumbuhkan tanaman, atau gunung yang pecah mengeluarkan mata air. Intinya, Al Falaq adalah momen transisi dari kegelapan menuju cahaya, sebuah simbol kekuatan Allah untuk mengeluarkan sesuatu dari ketiadaan atau kegelapan. Ketika kita memohon perlindungan kepada Tuhan *Falaq*, kita memohon perlindungan kepada Dia yang mampu memunculkan cahaya harapan dari kegelapan yang paling pekat.
Perintah *Qul* (Katakanlah) lagi-lagi menunjukkan bahwa permohonan perlindungan ini harus diucapkan dan dijadikan komitmen lisan. Kata أَعُوذُ (A'udzu) berarti 'aku mencari perlindungan', 'aku berlindung', atau 'aku menempatkan diriku di bawah perlindungan'. Ini adalah deklarasi kerentanan manusia dan kebergantungan total kepada Yang Maha Melindungi.
Ini adalah permohonan perlindungan yang bersifat umum dan menyeluruh. Mencakup kejahatan dari hewan buas, bencana alam, penyakit, hingga kejahatan dari jin dan manusia. Ayat ini mengakui bahwa keburukan (syarr) adalah bagian dari ciptaan Allah, namun bukan berarti Allah meridhai keburukan itu. Sebaliknya, Allah menciptakan kontras antara kebaikan dan keburukan sebagai ujian bagi manusia. Dengan memohon perlindungan, kita mengakui kekuasaan Allah atas seluruh spektrum ciptaan-Nya.
غَاسِقٍ (Ghaasiq) berarti malam yang gelap atau sesuatu yang datang pada malam hari, dan وَقَبَ (Waqab) berarti ia telah masuk atau meliputi. Kegelapan malam secara historis maupun psikologis sering dikaitkan dengan peningkatan risiko dan kejahatan. Dalam kegelapan, kejahatan (seperti pencurian, serangan mendadak, atau munculnya makhluk gaib) lebih mudah terjadi. Kegelapan juga melambangkan kegelapan kebodohan dan kesesatan yang menutupi kebenaran. Permintaan perlindungan di sini spesifik: dari bahaya yang tersembunyi dan mengintai dalam kegelapan.
Ayat ini merujuk secara eksplisit pada praktik sihir. النَّفَّاثَاتِ (An-Naffaatsaat) adalah para pelaku sihir, baik laki-laki maupun perempuan, yang ritualnya melibatkan meniupkan mantra pada simpul atau ikatan (buhul) dengan niat mencelakai orang lain. Ayat ini sangat relevan dengan Asbabun Nuzul surah ini dan An Nas, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW pernah disihir. Permintaan perlindungan ini menunjukkan realitas sihir dan bahayanya, serta mengajarkan bahwa pertahanan terbaik terhadap sihir adalah berlindung kepada Allah, bukan mencari sihir tandingan atau cara-cara lain yang dilarang.
Ini adalah keburukan terakhir yang disebutkan dalam Al Falaq, namun sering dianggap sebagai keburukan yang paling universal dan merusak. حَاسِدٍ (Haasid) adalah orang yang memiliki rasa dengki (hasad). Hasad adalah keinginan agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang. Dengki di sini disebutkan secara spesifik 'apabila ia mendengki' (*idzaa hasad*), yang berarti apabila kedengkian itu telah diwujudkan dalam tindakan atau lintasan energi negatif (seperti 'ain/pandangan mata yang jahat).
Para ulama tafsir mencatat bahwa kedengkian (hasad) adalah sumber dari banyak kejahatan lain. Hasad dapat mendorong pelakunya untuk menyihir, memfitnah, atau melakukan kekerasan. Oleh karena itu, mencari perlindungan dari hasad adalah mencari perlindungan dari akar spiritual banyak keburukan eksternal.
Sementara Al Falaq berfokus pada ancaman fisik, alamiah, dan sihir dari luar, Surah An Nas (Manusia) mengalihkan perhatian kita kepada musuh yang paling berbahaya: bisikan jahat (*waswasah*) yang menyerang benteng hati dan pikiran manusia. Ini adalah pertempuran internal yang menentukan nasib spiritual seseorang.
Surah ini dibuka dengan menyebut tiga atribut utama Allah, semuanya dikaitkan dengan manusia (*An-Nas*):
Penggunaan tiga nama ini berturut-turut menciptakan sebuah benteng yang kokoh. Kita berlindung kepada Allah berdasarkan kekuasaan-Nya (Malik), hak-Nya untuk disembah (Ilah), dan kemampuan-Nya untuk memelihara (Rabb). Permohonan ini menunjukkan bahwa hanya melalui ketundukan total (tauhid) perlindungan sejati dapat dicapai.
Ini adalah inti dari Surah An Nas. Musuh yang dicari perlindungannya adalah الْوَسْوَاسِ (Al Waswas)—pembisik—yang memiliki sifat الْخَنَّاسِ (Al Khannas)—yang bersembunyi atau mundur. Sifat *Khannas* menjelaskan mekanisme syaitan: ia aktif membisikkan keburukan dan keraguan ketika manusia lalai dan jauh dari zikir kepada Allah. Namun, begitu manusia mengingat Allah dan berzikir, syaitan itu akan mundur dan bersembunyi.
Bisikan ini tidaklah keras, melainkan halus, seringkali meniru suara hati nurani atau logika rasional. Tugas *Khannas* adalah menanamkan keraguan tentang akidah, mendorong kemalasan dalam ibadah, atau memicu amarah dan kesombongan. Perlindungan di sini bersifat internal, memerlukan kesadaran diri dan zikir yang konstan.
Ayat ini menjelaskan dua fakta penting mengenai bisikan:
Lokasi Bisikan (Fii Shuduurin Naas): Syaitan tidak membisikkan ke telinga, tetapi ke *shudur* (dada/hati). Dada adalah pusat emosi, kehendak, dan keyakinan. Ketika dada manusia dipenuhi oleh kekosongan spiritual, ia menjadi lahan subur bagi bisikan. Perlindungan kepada Allah adalah upaya untuk mengisi dada dengan iman yang kuat, sehingga bisikan itu tidak memiliki ruang.
Sumber Bisikan (Minal Jinnati Wan Naas): Bisikan jahat datang dari dua sumber: golongan jin (syaitan) dan golongan manusia (syaitan dari kalangan manusia). Syaitan jin bertindak melalui energi dan bisikan gaib, sedangkan syaitan manusia bertindak melalui ucapan yang merusak, ajakan yang sesat, atau lingkungan yang negatif. Ini mengingatkan bahwa musuh kita tidak selalu tidak terlihat; terkadang musuh terdekat kita adalah manusia yang menyesatkan dengan kata-kata manis atau pengaruh buruk.
Surah An Nas mengajarkan disiplin spiritual yang tiada henti. Musuh internal ini tidak pernah tidur, dan pertahanan kita harus terus diaktifkan melalui zikir, refleksi, dan permohonan perlindungan kepada Tiga Kekuatan (Rabb, Malik, Ilah).
Setelah menelaah Surah Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas secara terpisah, sangat penting untuk memahami mengapa sunnah Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk membaca ketiga surah ini bersama-sama dalam banyak kesempatan, terutama sebelum tidur, setelah salat, dan saat melakukan *Ruqyah* (pengobatan spiritual).
Urutan pembacaan yang umum (Ikhlas, Falaq, Nas) mencerminkan hierarki spiritual yang sempurna. Al Ikhlas (Tauhid) berfungsi sebagai prasyarat utama sebelum memohon perlindungan (Isti'adzah). Mengapa?
Pasangan Al Falaq dan An Nas (Mu'awwidhatain) melengkapi satu sama lain untuk memberikan perlindungan holistik:
Dengan membaca keduanya, seorang hamba menutup semua celah kelemahan, baik yang datang dari musuh yang menyerang dari luar benteng fisik, maupun musuh yang menyusup ke dalam benteng hati.
Pentingnya tiga surah ini ditekankan dalam banyak hadis. Di antara praktik-praktik yang dianjurkan:
Praktik ini menunjukkan bahwa surah-surah ini bukan sekadar ayat yang dibaca, melainkan sebuah ritual pemberdayaan spiritual harian, sebuah penyerahan diri yang diperbarui setiap saat.
Untuk benar-benar menghargai kekuatan tiga surah ini, kita harus menyelam lebih dalam ke dalam nuansa linguistiknya, yang seringkali hilang dalam terjemahan sederhana. Masing-masing kata dipilih dengan presisi ilahi untuk menimbulkan resonansi spiritual yang maksimal.
Penafsiran modern juga melihat *Ghaasiq idzaa waqab* bukan hanya sebagai malam fisik, tetapi juga sebagai keadaan kegelapan mental dan moral. Ini mencakup masa-masa fitnah, penyebaran kebodohan, dan krisis kepercayaan, di mana hati manusia menjadi gelap dan mudah diserang keraguan. Dengan berlindung dari *Ghaasiq*, kita berlindung dari epidemi spiritual yang menyerang akal sehat.
Mengenai *Naffaatsaati fil 'uqad*, ini mengajarkan bahwa niat jahat yang dikuatkan dengan ritual tertentu (sihir) memiliki dampak nyata. Ini bukanlah takhayul, tetapi manifestasi dari penggunaan energi negatif oleh syaitan jin dan manusia. Doa ini adalah penangkal paling efektif, karena ia memutus mata rantai ketergantungan pada sebab material dan menyerahkan hasilnya kepada kehendak Ilahi.
Dalam konteks modern, sihir bisa dianalogikan dengan bentuk-bentuk manipulasi psikologis yang merusak, propaganda beracun, atau upaya pelemahan spiritual yang sistematis. Surah ini mengajarkan pertahanan diri dari semua bentuk racun mental yang diikatkan pada diri kita.
Sifat *Al Khannas* (yang bersembunyi) adalah pelajaran psikologis yang luar biasa. Bisikan syaitan tidak akan bertahan menghadapi kesadaran dan zikir yang aktif. Ini mengindikasikan pentingnya kesiapan mental. Syaitan mencari celah; celah itu adalah kelalaian (*ghaflah*). Ketika manusia lalai, syaitan masuk; ketika manusia sadar dan berzikir, syaitan mundur. Pertempuran spiritual ini adalah pertarungan untuk mempertahankan kesadaran ilahi.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa waswas adalah penyakit jiwa yang dapat menyerang akidah, ibadah (khususnya wudu dan salat), dan interaksi sosial. Surah An Nas adalah formula anti-kecemasan dan anti-OCD (Obsessive-Compulsive Disorder) spiritual, karena ia mengarahkan fokus kepada Raja dan Sembahan, bukan kepada bisikan keraguan.
Penekanan bahwa bisikan datang dari jin dan manusia (*minal jinnati wan naas*) adalah pengakuan atas bahaya pengaruh sosial. Kita sering mengabaikan bahwa teman yang buruk, pemimpin yang menyesatkan, atau media yang beracun, semuanya dapat bertindak sebagai syaitan dari golongan manusia. Mereka "membisikkan" ide-ide buruk ke dalam dada melalui pembenaran, pujian palsu, atau kritik yang menghancurkan. Perlindungan dari An Nas adalah permohonan untuk dilindungi dari lingkungan dan hubungan yang toksik secara spiritual.
Surah Al Ikhlas tidak hanya menolak dewa-dewi pagan, tetapi juga menolak konsep tuhan yang terbatas. Keesaan *Ahad* adalah keesaan yang melampaui imajinasi manusia. Ketika kita merenungkan ayat *Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad*, kita mengakui ketidakmampuan akal untuk sepenuhnya memahami Zat Ilahi, dan pada saat yang sama, kita menegaskan bahwa tiada satu pun yang layak menerima peribadatan selain Dia. Ini adalah kemerdekaan intelektual dan spiritual: membebaskan diri dari perbandingan yang merendahkan keagungan Tuhan.
Pembacaan Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas bukanlah sekadar ritual lisan, tetapi harus diterjemahkan menjadi perubahan perilaku dan pemurnian hati (*Tazkiyatun Nafs*).
Ketika kita membaca Al Falaq dan An Nas, kita sedang memperbarui Tawakkal (penyerahan diri dan kepercayaan mutlak). Tawakkal ini bukan berarti pasif, melainkan sebuah keyakinan yang aktif bahwa setelah melakukan semua usaha yang diizinkan (seperti menghindari tempat buruk atau menjaga lisan), hasil akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Permohonan perlindungan ini adalah manifestasi dari tawakkal. Ia mengakui keterbatasan diri kita dan kekuasaan tak terbatas Allah.
Salah satu medan pertempuran utama *Al Khannas* adalah ibadah, khususnya salat. Bisikan keraguan tentang niat, jumlah rakaat, atau keabsahan wudu sering menyerang. Membaca An Nas secara sadar saat bisikan itu datang adalah terapi spiritual. Hal ini mengingatkan kita bahwa kita sedang berhadapan dengan *Malik An-Nas* (Raja Manusia) dan bisikan ini adalah tipu daya musuh yang harus diabaikan, bukan dilayani.
Karena Al Ikhlas adalah sepertiga Al-Qur'an (dalam hal makna tauhid), surah ini harus menjadi pelajaran pertama dan terpenting bagi anak-anak. Jika fondasi tauhid sudah kokoh, perlindungan dari Al Falaq dan An Nas akan berakar kuat. Anak yang memahami bahwa Tuhan itu Esa dan tidak bergantung kepada siapapun, akan lebih mudah menangkis bisikan buruk dan rasa dengki di kemudian hari.
Menjadikan tiga surah ini sebagai bagian tak terpisahkan dari zikir pagi dan petang, serta zikir harian, adalah memastikan bahwa benteng spiritual kita tidak pernah lengah. Setiap kali kita mengucapkan *Qul A’udzu*, kita sedang memasang perisai yang terbuat dari keimanan yang kokoh.
Hasad, yang disebut secara khusus dalam Al Falaq, adalah keburukan yang unik karena berasal dari hati manusia namun dampaknya bersifat eksternal. Sifat hasad ini seringkali menjadi ujian terberat bagi persaudaraan dan komunitas. Ketika kita meminta perlindungan dari hasad, kita tidak hanya meminta agar diri kita tidak celaka oleh kedengkian orang lain, tetapi juga meminta agar hati kita sendiri dijaga dari munculnya benih-benih hasad. Ini adalah perlindungan dua arah.
Penting untuk membedakan antara *Hasad* dan *Ghibthah* (iri yang sehat, yaitu keinginan untuk memiliki kebaikan yang sama tanpa berharap nikmat orang lain hilang). Al Falaq secara khusus menangani *Hasad* yang destruktif, yang berpotensi melahirkan kejahatan nyata.
Pilar-pilar ini, Al Ikhlas sebagai fondasi Keesaan, Al Falaq sebagai perisai eksternal yang menjaga diri dari segala ancaman alamiah dan sihir, serta An Nas sebagai benteng internal yang melindungi dada dari serangan waswas dan pengaruh buruk, membentuk sebuah sistem pertahanan spiritual yang lengkap. Kedalaman tafsir dan aplikasi praktis dari ketiga surah ini mengajarkan bahwa spiritualitas yang sejati harus dimulai dari pemurnian akidah dan diakhiri dengan penyerahan diri total kepada Sang Pencipta Tunggal. Kesinambungan zikir dan refleksi atas tiga surah ini adalah kunci menuju hati yang tenang dan jiwa yang terlindungi secara abadi.
Perenungan terhadap ayat-ayat ini melampaui batas waktu dan tempat. Di tengah kompleksitas dan kekacauan dunia modern, di mana ancaman tidak hanya berupa sihir dan malam gelap, tetapi juga kecemasan, depresi, dan keraguan eksistensial, Surah Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas tetap relevan. Mereka adalah kompas yang menunjuk ke Satu Titik Pusat (Tauhid) dan peta jalan yang menunjukkan cara berlindung dari segala jurang kehancuran, baik yang diciptakan oleh musuh yang terlihat maupun musuh yang bersembunyi di sudut hati.
Dengan demikian, membaca ketiga surah ini setiap hari adalah membangun hubungan yang konstan dan mendalam dengan kekuatan perlindungan Ilahi. Ini adalah pengingat bahwa dalam setiap momen kehidupan, kita harus kembali kepada Rabbil Falaq, Malik An-Nas, dan Ilah An-Nas, menegaskan kembali keesaan-Nya, dan memohon agar kegelapan tidak pernah menelan cahaya iman di dalam dada kita. Inilah intisari dari hidup seorang mukmin: Tauhid yang kokoh dan Isti'adzah yang tulus.
Di era digital, *waswasah minal jinnati wan naas* mengambil bentuk baru. Syaitan dari kalangan manusia menggunakan platform komunikasi untuk menyebarkan kebencian, fitnah, dan perpecahan. Kebisingan informasi yang tak berujung dapat menyebabkan kegelapan hati (*Ghaasiqin idzaa waqab*) di siang hari bolong. Kita dibanjiri oleh ideologi yang meragukan Tauhid (melawan Al Ikhlas) dan hasad yang terekspos secara publik melalui perbandingan sosial yang tak sehat (melawan Al Falaq).
Maka, aplikasi modern dari An Nas adalah disiplin diri dalam mengonsumsi informasi. Ketika kita memohon perlindungan dari *waswasil khannas*, kita secara implisit memohon agar Allah membantu kita menyaring dan menolak narasi yang merusak iman, meragukan kebenaran, dan memicu amarah atau kesombongan. Membaca surah ini sebelum berselancar di dunia maya, misalnya, menjadi penguatan spiritual yang sangat diperlukan.
Ketika seseorang telah menginternalisasi konsep *Allahush Shamad* (Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu), perilakunya dalam interaksi sosial (*muamalah*) akan berubah. Sifat kesombongan (yang merupakan kebalikan dari *Ash-Shamad*, karena sombong berarti merasa tidak butuh) akan terkikis. Orang yang berpegang pada Al Ikhlas akan lebih mudah bersyukur atas nikmat sekecil apa pun, karena ia tahu bahwa segala sesuatu datang dari Yang Maha Esa, dan ia tidak akan pernah merasa setara atau lebih unggul dari orang lain, mengingat *Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad* berlaku universal terhadap makhluk.
Pemahaman Tauhid yang benar menghasilkan rendah hati, ketenangan batin, dan kepasrahan, yang merupakan benteng terkuat melawan segala bentuk kejahatan, baik yang dibisikkan oleh syaitan maupun yang dilemparkan oleh pendengki. Keimanan yang murni adalah inti dari segala perlindungan.