Surah Al-Fatihah, yang secara harfiah berarti 'Pembukaan', merupakan permata mahkota dalam Al-Qur'an. Ia adalah surah pertama, sekaligus yang paling sering dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia, mengingat statusnya sebagai rukun sahnya salat. Keagungan dan signifikansi surah ini telah menjadikannya subjek penelitian dan perenungan mendalam selama berabad-abad.
Namun, di balik keagungannya, muncul sebuah pertanyaan fundamental yang seringkali memicu diskusi di kalangan para penuntut ilmu: Al-Fatihah berapa ayat? Jawaban baku yang diterima secara luas adalah tujuh (7) ayat. Meskipun demikian, penetapan jumlah ayat, terutama mengenai inklusi Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim), adalah topik yang mengandung khilafiyah (perbedaan pendapat) di antara mazhab dan para ahli qira'at (pembacaan Al-Qur'an).
Secara umum, konsensus utama di kalangan ulama, khususnya yang mengikuti madzhab Syafi'i dan riwayat dari Kufah (tempat asal Qira'at Ashim, yang paling populer di dunia), menetapkan bahwa Surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh (7) ayat.
Dasar penetapan ini tidak hanya berasal dari hitungan internal surah tersebut, tetapi juga dikuatkan oleh nash (teks) Hadis dan penamaan khusus dalam Al-Qur'an itu sendiri. Allah SWT menamakan Al-Fatihah sebagai As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang) dalam Surah Al-Hijr ayat 87:
“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang diulang-ulang dan Al-Qur'an yang agung.”
Penamaan ini secara definitif menunjukkan bahwa jumlah ayatnya adalah tujuh. Namun, perbedaan muncul dalam cara para ulama menghitung ketujuh ayat tersebut, khususnya terkait dengan status Basmalah.
Penghitungan ayat Al-Fatihah bergantung pada bagaimana ulama memperlakukan kalimat Bismillahirrahmanirrahim:
Menurut madzhab Syafi'i dan hitungan yang berasal dari Ahli Qira'at Kufah (termasuk Hafs 'an Ashim), Basmalah adalah ayat pertama (ayat 1) dari Al-Fatihah. Dengan memasukkan Basmalah, ayat ketujuh (terakhir) adalah keseluruhan kalimat:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Ini adalah pandangan yang paling dominan di Indonesia dan sebagian besar dunia Islam.
Ulama dari Madinah (seperti Imam Malik) dan sebagian ulama Hanafi berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat independen yang berfungsi sebagai pemisah dan berkah, tetapi bukan bagian integral (ayat ke-1) dari Surah Al-Fatihah. Mereka menghitung Al-Fatihah sebagai tujuh ayat dengan memulai hitungan ayat 1 dari:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Untuk tetap mencapai tujuh ayat (sesuai nash Al-Hijr 87), mereka memisahkan ayat terakhir (yang panjang) menjadi dua ayat. Ayat 6 adalah:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Dan Ayat 7 adalah:
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Dalam pandangan ini, perbedaan hitungan ayat hanya terjadi pada Mushaf yang digunakan, tetapi totalnya tetap 7. Mereka menekankan bahwa dalam salat, membaca Al-Fatihah tanpa Basmalah (sebagai ayat) sudah sah, meskipun sunnah membaca Basmalah sebelum membaca surah.
Ada juga pandangan yang memasukkan Basmalah, tetapi menghitung total ayat hanya enam atau delapan, meskipun ini adalah pandangan minoritas yang jarang diikuti karena bertentangan dengan sebutan As-Sab'ul Matsani. Oleh karena itu, konsensus kuat menetapkan bahwa Surah Al-Fatihah adalah 7 ayat, meskipun metode penghitungannya yang berbeda.
Berdasarkan riwayat Hafs 'an Ashim, berikut adalah tujuh ayat Surah Al-Fatihah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Untuk memahami keagungan Al-Fatihah, kita perlu menelaah setiap ayatnya secara rinci. Tafsir ini akan mengikuti hitungan tujuh ayat di mana Basmalah dianggap sebagai ayat pertama, sesuai Mushaf Indonesia dan madzhab Syafi'i.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.)
Jika Basmalah dianggap sebagai ayat pertama Al-Fatihah (seperti pandangan Imam Syafi'i), ia berfungsi sebagai kunci pembuka yang menetapkan kerangka teologis surah ini. Ia mengajarkan bahwa setiap tindakan, termasuk pembacaan Al-Qur'an dan salat, harus dimulai dengan pengakuan akan keesaan dan rahmat Allah. Nama Allah (Allah) merujuk pada Dzat yang wajib disembah. Sementara Ar-Rahman (Maha Pengasih) merujuk pada kasih sayang universal-Nya di dunia (meliputi mukmin dan kafir), dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) merujuk pada kasih sayang khusus-Nya bagi hamba-hamba-Nya di akhirat.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah perintah bagi setiap muslim untuk memulai segala sesuatu dengan nama Allah, Dzat yang memiliki segala kebaikan, dan untuk selalu mengingat bahwa keberhasilan segala urusan hanyalah dengan pertolongan dan kasih sayang-Nya.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.)
Ayat ini adalah inti dari tauhid. Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah) adalah pujian yang mencakup pengakuan terhadap segala sifat kesempurnaan-Nya. Al-Hamd berbeda dengan Asy-Syukr (syukur). Syukur biasanya diberikan atas nikmat yang diterima, sedangkan Al-Hamd diberikan kepada Dzat yang secara inheren sempurna, baik Dia telah memberi nikmat kepada kita maupun tidak.
Kata Rabbil 'Alamin (Tuhan seluruh alam) menjelaskan bahwa Allah adalah Pengatur, Pemilik, dan Pencipta segala sesuatu yang ada di alam semesta. Kata al-'Alamin (alam semesta) mencakup semua makhluk di langit, di bumi, jin, manusia, dan segala entitas yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menafsirkan bahwa Rabb adalah Dzat yang menciptakan, memelihara, mendidik, dan mengatur. Ini menunjukkan bahwa ibadah hanya pantas ditujukan kepada-Nya semata.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.)
Pengulangan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim setelah menyebutkan sifat Rububiyah (Ketuhanan) pada ayat 2 memiliki makna retoris dan teologis yang mendalam. Pengulangan ini menenangkan hati hamba. Setelah hamba mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak atas alam semesta (Rabbul 'Alamin), muncul rasa takut. Namun, pengulangan ini berfungsi sebagai penegasan bahwa kekuasaan mutlak itu disertai dengan rahmat dan kasih sayang yang luas, menjauhkan hamba dari keputusasaan.
Dalam ilmu Balaghah (retorika Arab), pengulangan ini memperkuat makna dan menegaskan bahwa rahmat adalah sifat esensial Allah, yang mendahului sifat pembalasan-Nya.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(Pemilik Hari Pembalasan.)
Ayat ini mengalihkan fokus dari Rahmat Allah di dunia ke Kekuasaan Mutlak-Nya di akhirat. Maliki Yaumiddin mengandung dua bacaan utama yang sah: Māliki (Pemilik) dan Maliki (Raja/Penguasa). Kedua bacaan ini saling melengkapi; Allah adalah Pemilik segala sesuatu, dan Raja di Hari Kiamat. Ini adalah hari di mana segala kekuasaan makhluk akan sirna dan hanya kekuasaan Allah yang tersisa.
Hari Pembalasan (Yaumiddin) adalah hari penghakiman. Penekanan pada kepemilikan hari tersebut mengingatkan manusia akan tanggung jawab, menanamkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong ketaatan. Tafsir At-Tabari menjelaskan bahwa Allah memiliki kekuasaan penuh untuk memutuskan apa yang akan terjadi pada setiap jiwa tanpa ada yang dapat membantah atau mengintervensi keputusan-Nya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.)
Ayat ini adalah inti perjanjian antara hamba dan Tuhan, dan merupakan titik transisi utama dalam surah. Empat ayat sebelumnya adalah pujian dan pengakuan terhadap sifat-sifat Allah (Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat). Ayat kelima ini adalah respons hamba, berupa ikrar janji dan permohonan.
Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini mencakup semua bentuk kesempurnaan agama: ibadah dan pertolongan. Ibadah adalah realisasi perintah Allah, sedangkan permohonan pertolongan adalah pengakuan akan kelemahan diri.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(Tunjukilah kami jalan yang lurus.)
Setelah menyatakan ikrar ketaatan, hamba menyadari bahwa ketaatan hanya dapat tercapai dengan pertolongan Allah, maka ia memohon hidayah. Shirotol Mustaqim (jalan yang lurus) adalah jalan yang jelas, tidak bengkok, yang membawa kepada keridhaan Allah.
Permintaan hidayah ini memiliki cakupan yang sangat luas. Hidayah mencakup:
Permohonan ini dibaca setidaknya 17 kali sehari (dalam salat fardhu), menunjukkan betapa fundamental dan terus-menerusnya kebutuhan manusia terhadap bimbingan Ilahi.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.)
Ayat terakhir ini berfungsi sebagai penjelasan (tafsir) bagi "jalan yang lurus" yang diminta pada ayat sebelumnya. Jalan yang lurus didefinisikan secara positif (jalan orang-orang yang diberi nikmat) dan secara negatif (bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan jalan orang yang sesat).
Dengan demikian, permintaan hidayah adalah permintaan untuk diberikan ilmu (sehingga tidak sesat) dan diberikan kekuatan untuk mengamalkan ilmu tersebut (sehingga tidak dimurkai). Ayat ini menutup Surah Al-Fatihah dengan permohonan yang komprehensif, mencakup aspek ilmu dan amal.
Karena posisi Surah Al-Fatihah berapa ayat pun hitungannya, ia memiliki keutamaan yang luar biasa. Para ulama memberikan surah ini puluhan nama, namun yang paling masyhur adalah sebagai berikut:
Al-Fatihah disebut Induk Kitab karena ia mencakup ringkasan seluruh ajaran Al-Qur'an. Seluruh tema besar Al-Qur'an—yaitu tauhid, janji dan ancaman, ibadah, kisah umat terdahulu, dan hukum-hukum—semuanya terkandung secara ringkas dalam tujuh ayat ini. Tauhid tercermin dalam "Iyyaka Na'budu", janji dan ancaman tercermin dalam "Maliki Yaumiddin", dan kisah umat terdahulu tercermin dalam "Shirotol Ladzina An'amta 'Alaihim" hingga akhir.
Nama ini adalah nama yang ditetapkan oleh Al-Qur'an itu sendiri (Al-Hijr: 87). "Matsani" berarti diulang-ulang. Ini merujuk pada fakta bahwa Al-Fatihah wajib diulang-ulang dalam setiap rakaat salat. Tidak ada surah lain yang memiliki keharusan diulang sesering ini, menegaskan posisinya yang tak tertandingi.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman: "Aku membagi salat (maksudnya Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta." Hadis ini menjelaskan bahwa Al-Fatihah adalah dialog langsung antara hamba dan Rabbnya, sehingga ia disebut "As-Shalah".
Surah ini disebut Al-Wafiyah karena tidak boleh dibagi atau dipotong-potong saat dibaca dalam salat. Ia harus dibaca secara keseluruhan, menunjukkan kesempurnaan dan keutuhan maknanya.
Al-Fatihah juga memiliki fungsi sebagai penyembuh. Dalam Hadis riwayat Bukhari, sekelompok sahabat menggunakan Al-Fatihah untuk mengobati orang yang tersengat kalajengking, dan Rasulullah SAW membenarkan perbuatan tersebut, memberinya status sebagai ruqyah syar'iyyah.
Keindahan Surah Al-Fatihah tidak hanya terletak pada maknanya yang padat, tetapi juga pada struktur linguistiknya. Meskipun Surah Al-Fatihah berapa ayat pun hitungannya, strukturnya tetap utuh secara retorika.
Dalam Ayat 5: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, hamba menggunakan kata ganti orang pertama jamak, "kami" (na'budu/nasta'in), meskipun seseorang mungkin salat sendirian. Penggunaan bentuk jamak ini menunjukkan:
Al-Fatihah menampilkan perpindahan gaya bahasa yang disebut Iltifat. Tiga ayat pertama (setelah Basmalah) menggunakan kata ganti orang ketiga (Ghaib): "Segala puji bagi Allah (Dia), Tuhan (Dia) seluruh alam." Seolah-olah hamba sedang berbicara tentang Allah secara tidak langsung.
Namun, di Ayat 5, terjadi perpindahan mendadak ke kata ganti orang kedua (Mukhatab): "Hanya kepada Engkau (Iyyaka) kami menyembah." Perpindahan ini menciptakan kejutan retoris, menandakan bahwa hamba telah berhasil mendekati Dzat yang dibicarakan, dan kini berbicara langsung kepada-Nya. Ini adalah puncak spiritual surah tersebut.
Para ulama Balaghah membagi Al-Fatihah menjadi dua bagian utama:
Ayat 5, Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kedua bagian ini. Ia menunjukkan adab tertinggi dalam berdoa: memulai dengan pujian dan pengakuan sebelum mengajukan permintaan.
Kedudukan Al-Fatihah sangat tinggi dalam fikih Islam, khususnya dalam mazhab Syafi'i, yang merupakan mazhab mayoritas di Indonesia. Terlepas dari khilafiyah mengenai Surah Al-Fatihah berapa ayat, semua mazhab sepakat tentang keharusan membacanya dalam salat (kecuali dalam keadaan tertentu).
Imam Syafi'i berpegangan teguh pada Hadis Nabi Muhammad SAW:
"Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembukaan kitab)." (HR Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis ini, membaca Surah Al-Fatihah adalah rukun (pilar) salat. Jika seseorang sengaja meninggalkannya, salatnya batal. Keharusan membaca Al-Fatihah ini berlaku untuk imam, makmum (orang yang mengikuti), dan orang yang salat sendirian.
Perbedaan pandangan mengenai Al-Fatihah berapa ayat sangat memengaruhi praktik salat:
Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun semua ulama sepakat bahwa total ayat adalah 7, cara penghitungan ayat tersebut memiliki implikasi hukum yang serius dalam ibadah sehari-hari.
Pemahaman mengenai Surah Al-Fatihah berapa ayat juga berkaitan erat dengan sejarah kodifikasi Al-Qur'an dan perbedaan dalam Qira'at (metode pembacaan).
Penomoran ayat (al-Fawasil) bukanlah bagian dari wahyu, melainkan upaya para ulama dan ahli qira'at untuk mempermudah pembagian dan hafalan. Terdapat beberapa sistem penomoran historis utama:
Karena riwayat Qira'at Ashim dari Kufah adalah yang paling dominan digunakan, sistem hitungan Kufi-lah yang secara praktis menjadi standar global, sehingga penetapan Al-Fatihah 7 ayat dengan Basmalah sebagai ayat pertama menjadi pandangan yang paling dikenal.
Terlepas dari perbedaan penomoran, penamaan Al-Fatihah sebagai As-Sab'ul Matsani (tujuh yang diulang) adalah bukti bahwa perbedaan hitungan tidak mengurangi kemuliaan surah. Perbedaan ini adalah rahmat dan kemudahan, bukan kontradiksi. Inti dari surah, yaitu pujian, ikrar tauhid, dan permohonan hidayah, tetap sama dalam semua riwayat.
Para ulama menegaskan bahwa perbedaan pendapat mengenai Basmalah bukanlah pertentangan dalam pokok akidah, melainkan perbedaan dalam furu' (cabang) hukum yang didasarkan pada riwayat dan transmisi penomoran yang sampai kepada mereka dari para Tabi'in dan Sahabat di wilayah-wilayah Islam yang berbeda (Madinah, Makkah, Kufah, Syam).
Angka tujuh (7) dalam Surah Al-Fatihah berapa ayat pun hitungannya, membawa makna simbolis dan teologis yang mendalam, sesuai dengan penamaannya sebagai As-Sab'ul Matsani.
Jika kita melihat kembali pembagian retorika (pujian dan permintaan), terdapat keseimbangan yang sempurna:
Dalam hadis Qudsi, Allah membagi surah menjadi dua: tiga setengah ayat untuk-Nya dan tiga setengah ayat untuk hamba. Keseimbangan ini menegaskan bahwa ibadah (pujian) harus mendahului doa (permintaan), dan pertolongan Allah (istianah) adalah prasyarat keberhasilan ibadah (ibadah).
Beberapa ahli tafsir kontemporer mengaitkan setiap ayat dengan tingkatan spiritual atau kebutuhan manusia:
Tujuh ayat ini, oleh karena itu, merupakan kurikulum spiritual yang ringkas dan sempurna, yang mencakup akidah, syariat, dan akhlak.
Kesimpulannya, Surah Al-Fatihah adalah tujuh (7) ayat. Meskipun ada perbedaan historis dan fikih mengenai apakah Basmalah termasuk dalam hitungan ayat ke-1 atau tidak, seluruh ulama sepakat bahwa total ayat tidak boleh kurang atau lebih dari tujuh, sebagaimana ditunjukkan oleh nash Al-Qur'an (As-Sab'ul Matsani).
Keagungan surah ini terletak pada sifatnya yang komprehensif. Dalam tujuh baris singkat, Al-Fatihah:
Oleh karena itu, mengetahui Al-Fatihah berapa ayat bukan sekadar pengetahuan angka, melainkan pintu gerbang untuk memahami kedalaman maknanya, sehingga setiap muslim dapat melaksanakan ibadahnya dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan.
Pembacaan Surah Al-Fatihah, yang diulang-ulang dalam setiap rakaat salat, adalah jaminan bagi seorang mukmin untuk selalu berada di jalur yang lurus, menjauhi jalan orang yang dimurkai dan orang yang sesat, selama hayat dikandung badan.
Dalam rangka melaksanakan pembacaan Al-Fatihah yang benar, pemahaman terhadap hukum tajwid dan waqaf (tempat berhenti) sangat krusial. Perbedaan penomoran ayat, terutama pada ayat terakhir, memunculkan diskusi tentang di mana seharusnya pembaca berhenti.
Bagi mereka yang mengikuti hitungan Kufi (7 ayat, Basmalah termasuk), ayat terakhir dibaca panjang hingga:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Waqaf (berhenti) dilakukan setelah waladh-dhāllīn.
Namun, bagi mereka yang mengikuti hitungan Madani (yang membagi ayat 7 menjadi dua), mereka cenderung waqaf (berhenti) di tengah kalimat, yaitu setelah:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Dan melanjutkan dengan ayat terakhir:
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Meskipun perbedaan ini minor dalam makna keseluruhan, ia mempengaruhi irama dan transmisi Qira'at.
Bagian terakhir dari Surah Al-Fatihah berapa ayat pun hitungannya, sering menjadi sorotan tajwid karena mengandung dua huruf yang sangat penting:
Kesempurnaan salat sangat bergantung pada kesempurnaan pembacaan Al-Fatihah, dan kesempurnaan pembacaan memerlukan perhatian penuh pada tajwid.
Tidak ada surah lain yang memiliki pengaruh teologis sekuat Al-Fatihah. Tujuh ayat ini telah menjadi pondasi bagi seluruh cabang ilmu teologi Islam.
Al-Fatihah memperkenalkan Allah melalui empat nama utama (termasuk lafadz jalalah): Allah, Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan Rabbul 'Alamin. Surah ini menetapkan bahwa sifat-sifat Allah bukan sekadar nama, melainkan esensi yang harus diakui hamba:
Pengakuan terhadap keempat aspek ini adalah kunci menuju tauhid yang murni.
Imam Al-Ghazali dan ulama tasawuf lainnya sering merenungkan bagaimana Surah Al-Fatihah merangkum seluruh dimensi agama:
Struktur tujuh ayat yang begitu ringkas ini adalah mukjizat retoris Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa fondasi agama adalah lurus dan sederhana, meskipun detailnya luas.
Ayat terakhir, yang merupakan klimaks dari permintaan hidayah, menawarkan model doa yang sempurna. Ayat ini, meskipun bagian dari tujuh ayat, memiliki substansi yang memerlukan perenungan terus-menerus.
Ketika seorang muslim memohon "Ihdina Shiratal Mustaqim" (Tunjukilah kami jalan yang lurus), ia tidak hanya memohon untuk dibimbing ke jalan itu, tetapi juga memohon agar tetap stabil di atasnya. Sebab, jalan yang lurus adalah konsep dinamis; seseorang bisa saja berada di atasnya hari ini, tetapi tergelincir besok.
Ini selaras dengan hadis Rasulullah SAW yang sering berdoa: "Ya Muqallibal Qulub, Tsabbit Qalbi 'Ala Dinik" (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu). Al-Fatihah mengajarkan bahwa hidayah bukanlah pencapaian statis, tetapi anugerah yang harus diminta secara berulang-ulang.
Ayat 7 membagi umat manusia menjadi tiga kategori utama, yang harus dihindari oleh seorang muslim agar ia tidak sesat:
Permintaan dalam Al-Fatihah adalah untuk diselamatkan dari dua penyakit terburuk yang merusak hati dan akal: kesombongan yang menghalangi amal, dan kebodohan yang merusak niat.
Selain fungsinya sebagai rukun salat, Al-Fatihah juga memiliki peran sentral dalam praktik spiritual muslim di luar ibadah formal. Meskipun perdebatan Surah Al-Fatihah berapa ayat penting dalam konteks fikih, fungsinya sebagai doa dan obat tetap tak terbantahkan.
Para ulama seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi menyinggung bahwa setiap kebutuhan dunia dan akhirat manusia sudah tercakup dalam tujuh ayat ini. Dari kebutuhan spiritual (tauhid) hingga kebutuhan fisik (perlindungan dan petunjuk), semuanya terangkum.
Ketika seorang hamba membaca Al-Fatihah, ia seolah-olah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Allah. Ia memuji Allah atas kekuasaan-Nya, menyembah-Nya, dan mengakui bahwa dirinya lemah dan membutuhkan bimbingan konstan.
Al-Fatihah disebut Ummul Kitab karena ia adalah ringkasan, dan surah-surah lain dalam Al-Qur'an adalah penjelasan (tafsir) dari poin-poin yang disebutkan di dalamnya. Sebagai contoh:
Dengan demikian, Al-Fatihah adalah peta jalan, dan Al-Qur'an secara keseluruhan adalah detail navigasi untuk mengikuti peta tersebut.
Sebagai rekapitulasi, pertanyaan kunci Al-Fatihah berapa ayat dijawab dengan tegas: tujuh (7) ayat. Konsensus ini didasarkan pada penamaan Ilahi As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang). Perbedaan muncul hanya dalam metodologi penghitungan ayat tersebut:
Perbedaan ini adalah bagian dari kekayaan tradisi keilmuan Islam dan tidak mengurangi validitas Surah Al-Fatihah sebagai rukun salat yang harus dibaca secara lengkap.
Keagungan surah ini terletak pada fondasi teologis dan spiritual yang ia tanamkan dalam hati setiap muslim. Tujuh ayat ini adalah dialog harian yang tak terhindarkan antara hamba dan Penciptanya, memastikan arah hidup seorang mukmin selalu tertuju pada jalan yang lurus, jauh dari kesesatan dan murka Ilahi. Kewajiban membacanya berulang kali memastikan bahwa hamba tidak pernah melupakan janji tauhid dan kebutuhan abadi akan hidayah-Nya.