Analisis Komprehensif Surah Al-Fil: Menjawab Tuntas Pertanyaan Al Fil Ada Berapa Ayat, Konteks Historis, dan Hikmah Mendalam

Gajah dan Perlindungan

Representasi simbolik kekuatan dan perlindungan dalam Surah Al-Fil.

Surah Al-Fil (سورة الفيل) merupakan salah satu surat pendek yang paling terkenal dalam Al-Qur’an. Ia ditempatkan sebagai surat ke-105, bagian dari kelompok surat Makkiyah (diturunkan di Mekah), meskipun beberapa ulama seperti Qatadah berpendapat ia diturunkan di Madinah, pandangan mayoritas meyakini ia adalah Makkiyah karena kekhasan narasi, ritme, dan fokus tematiknya yang menekankan tauhid dan peringatan bagi kaum Quraisy.

Pertanyaan mendasar mengenai struktur surat ini, khususnya mengenai Al Fil ada berapa ayat, menjadi kunci untuk memahami kepadatan pesan yang terkandung di dalamnya. Jawaban terhadap pertanyaan ini sederhana namun membawa kita pada lautan hikmah dan detail linguistik yang luar biasa.

I. Jawaban Struktural: Jumlah Ayat Surah Al-Fil

Surah Al-Fil secara universal diakui dan disepakati oleh seluruh mazhab qiraat dan ulama tafsir memiliki jumlah ayat yang sangat ringkas, namun padat maknanya. Jawaban tuntasnya adalah:

Surah Al-Fil terdiri dari lima (5) ayat.

Meskipun singkat, lima ayat ini merangkum sebuah peristiwa historis kolosal yang dikenal sebagai ‘Amul Fil (Tahun Gajah), sebuah tahun yang menjadi penanda waktu yang sangat penting, karena pada tahun itulah Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan. Oleh karena itu, surah ini bukan hanya kisah masa lalu, tetapi juga pembuka jalan bagi masa depan risalah kenabian.

II. Latar Belakang Sejarah: Tahun Gajah dan Abraha

Untuk memahami mengapa hanya dibutuhkan lima ayat untuk menceritakan kisah sebesar ini, kita harus menyelami konteks historisnya. Kisah ini terjadi di sekitar tahun 570 Masehi, beberapa dekade sebelum masa kenabian dimulai.

A. Ambisi Abraha Al-Ashram

Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Abraha Al-Ashram, seorang wakil Gubernur dari Kerajaan Aksum (Abisinia atau Etiopia) di Yaman. Abraha adalah seorang Kristen yang taat, dan ia melihat Ka’bah di Mekah sebagai pusat gravitasi spiritual dan ekonomi yang menghalangi dominasinya.

Karena ambisinya untuk memindahkan pusat ibadah dan perdagangan ke Yaman, Abraha membangun sebuah gereja besar dan indah di Sana’a yang dikenal sebagai Al-Qullais. Tujuannya adalah mengalihkan fokus masyarakat Arab dari Ka’bah ke gerejanya. Namun, upaya ini gagal. Suatu riwayat menyebutkan bahwa sebagian orang Arab (mungkin dari Kinanah atau Faqim) yang marah dengan ambisi tersebut melakukan tindakan provokatif yang menghina Al-Qullais, yang memicu kemarahan besar Abraha.

Kemarahan Abraha tidak terhingga. Ia bersumpah untuk menghancurkan Ka’bah, yang dianggapnya sebagai sumber kehormatan dan kebanggaan Arab, dan dengan demikian menghancurkan fondasi spiritual Mekah. Ia lantas menyiapkan pasukan besar, yang terkenal karena melibatkan gajah. Kehadiran gajah dalam peperangan di semenanjung Arab saat itu adalah sesuatu yang sangat asing, memberikan kesan kekuatan militer yang tak tertandingi dan menakutkan.

B. Peristiwa di Lembah Muhassir

Ketika pasukan Abraha tiba di pinggiran Mekah, mereka menjarah harta benda penduduk, termasuk unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad ﷺ. Abdul Muththalib kemudian menemui Abraha, tetapi ia hanya meminta unta-untanya dikembalikan, bukan keselamatan Ka’bah.

Ketika Abraha bertanya mengapa ia hanya memikirkan untanya dan tidak memohon perlindungan rumah sucinya, Abdul Muththalib memberikan jawaban yang legendaris: "Saya adalah pemilik unta, dan Rumah itu memiliki Pemilik (Rabb) yang akan melindunginya." Jawaban ini menegaskan keyakinan monoteistik kuno yang masih dipegang oleh beberapa orang Arab pada masa Jahiliyah, sekaligus menunjukkan kepasrahan total kepada kekuasaan Ilahi.

Saat Abraha hendak menyerang, gajah yang paling besar, yang bernama Mahmud, menolak bergerak menuju Ka’bah. Ini adalah mukjizat awal. Dan kemudian, datanglah hukuman Ilahi yang digambarkan dalam lima ayat surah tersebut.

Burung Ababil

Simbol burung dan kehancuran yang ditimpakan oleh kuasa Allah.

III. Tafsir Mendalam Setiap Ayat (5000 Kata Ekspansi)

Meskipun hanya lima ayat, setiap kalimatnya mengandung detail linguistik, retorika, dan teologis yang luar biasa. Untuk mencapai kedalaman pemahaman, kita akan menguraikan makna setiap ayat secara terperinci, sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir klasik seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Ar-Razi.

Ayat Pertama (Ayat 1 dari 5): Pertanyaan Retoris yang Menampar

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
(Alam tara kaifa fa’ala Rabbuka bi-ashābil Fīl)

Terjemah: “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?”

A. Analisis Linguistik Kata Per Kata (Ayat 1)

1. أَلَمْ تَرَ (Alam tara): Frasa ini adalah inti retorika dalam Surah Al-Fil. Secara harfiah berarti "Tidakkah kamu melihat?". Namun, konteksnya di sini tidak harus merujuk pada penglihatan fisik oleh Nabi Muhammad ﷺ, yang baru lahir pada tahun kejadian tersebut. Frasa ini memiliki dua interpretasi mendalam:

2. كَيْفَ (Kaifa): Kata tanya "Bagaimana". Penggunaan 'kaifa' di sini bukan sekadar menanyakan metode, tetapi menggarisbawahi keunikan dan keagungan cara Allah melakukan tindakan tersebut. Itu adalah 'bagaimana' yang menuntut refleksi mendalam, karena cara penghancurannya tidak konvensional, melainkan luar biasa dan menakjubkan, jauh dari metode peperangan manusia biasa.

3. فَعَلَ رَبُّكَ (Fa’ala Rabbuka): “Telah berbuat Tuhanmu”. Fokus pada kata 'Rabbuka' (Tuhanmu) adalah vital. Ini secara langsung menghubungkan tindakan luar biasa tersebut dengan Pemelihara (Rabb) Nabi Muhammad ﷺ dan, melalui Nabi, kepada seluruh umat Islam. Ini menegaskan bahwa perlindungan Ka'bah adalah manifestasi awal dari perlindungan yang sama yang akan diberikan kepada risalah kenabian.

4. بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (Bi-ashābil Fīl): “Terhadap Pasukan Bergajah”. Penyebutan "ashab" (pemilik/pasukan) merujuk kepada seluruh rombongan Abraha. Penamaan surat ini berdasarkan gajah (Al-Fil) menunjukkan betapa gajah tersebut adalah simbol kekuatan dan kebanggaan yang dibawa oleh musuh, yang kemudian menjadi simbol kehancuran mereka. Kekuatan yang paling besar dan mengancamlah yang dihancurkan secara total, menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan yang dapat menandingi kekuasaan Ilahi.

Dalam ringkasnya, Ayat 1 adalah sebuah permulaan yang menggugah, menarik perhatian pendengar ke sebuah kebenaran historis yang tidak mungkin disangkal oleh kaum Quraisy.

Ayat Kedua (Ayat 2 dari 5): Strategi Penyesatan dan Kehinaan

أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
(Alam yaj’al kaidahum fī taḍlīl)

Terjemah: “Bukankah Dia (Allah) telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) sia-sia?”

B. Analisis Linguistik Kata Per Kata (Ayat 2)

1. أَلَمْ يَجْعَلْ (Alam yaj’al): “Bukankah Dia telah menjadikan?” Ini adalah penegasan negatif yang sangat kuat, setara dengan menyatakan: "Tentu saja Dia telah menjadikan!" Ini adalah konfirmasi atas pertanyaan retoris sebelumnya.

2. كَيْدَهُمْ (Kaidahum): Kata ini berarti "tipu daya," "rencana jahat," atau "konspirasi." Kaidahum merangkum seluruh perencanaan militer Abraha, mulai dari pembangunan Al-Qullais, pengumpulan pasukannya yang kuat, hingga pergerakan gajah-gajah yang sangat diandalkan. Perencanaan ini dianggap Abraha sebagai strategi yang sempurna untuk menghancurkan Mekah.

3. فِي تَضْلِيلٍ (Fī taḍlīl): “Sia-sia” atau “dalam kesesatan/kekeliruan total.” Kata Tadlīl mengandung arti menjauhkan dari tujuan atau membuat rencana tersebut benar-benar gagal dan tersesat dari jalurnya. Maknanya bukan hanya rencana itu gagal, tetapi juga rencana tersebut berbalik menjadi bumerang, membawa kehancuran total bagi perancangnya sendiri. Allah membuat kekuatan mereka, yang seharusnya membawa kemenangan, menjadi penyebab kekalahan dan kehinaan mereka.

Ayat 2 menjelaskan bahwa fokus perlindungan Allah bukan hanya pada hasil (Ka'bah tetap berdiri), tetapi juga pada proses kehancuran rencana musuh. Kaidahum (tipu daya) mereka tidak hanya dihentikan, tetapi dibuat 'tersesat' dari tujuan aslinya, membuktikan bahwa otoritas Ilahi selalu di atas otoritas militer manapun.

Ayat Ketiga (Ayat 3 dari 5): Pengerahan Makhluk Tak Terduga

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
(Wa arsala ‘alaihim ṭairan abābīl)

Terjemah: “Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong (Abābīl).”

C. Analisis Linguistik Kata Per Kata (Ayat 3)

1. وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ (Wa arsala ‘alaihim): “Dan Dia mengirimkan kepada mereka.” Tindakan 'irsāl' (mengirimkan) adalah tindakan aktif dari Allah, menunjukkan inisiasi hukuman tersebut berasal langsung dari otoritas kosmis.

2. طَيْرًا (Ṭairan): “Burung-burung.” Penekanan di sini adalah pada makhluk yang sangat kecil dan rapuh dibandingkan dengan pasukan gajah yang perkasa. Allah memilih agen yang paling tidak terduga untuk melaksanakan hukuman-Nya, menegaskan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada ukuran atau teknologi, tetapi pada kehendak Ilahi.

3. أَبَابِيلَ (Abābīl): Ini adalah kata kunci terpenting dalam Surah Al-Fil dan telah menjadi subjek banyak diskusi. Kata Abābīl bukanlah nama jenis burung tertentu. Para ahli bahasa dan tafsir sepakat bahwa maknanya adalah:

Pengerahan Burung Abābīl adalah mukjizat yang tidak dapat dijelaskan secara alami, menegaskan adanya intervensi supranatural untuk melindungi rumah suci-Nya.

Ayat Keempat (Ayat 4 dari 5): Senjata Azab

تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
(Tarmīhim biḥijāratim min Sijjīl)

Terjemah: “Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah liat yang dibakar (Sijjīl).”

D. Analisis Linguistik Kata Per Kata (Ayat 4)

1. تَرْمِيهِمْ (Tarmīhim): “Yang melempari mereka.” Ini adalah deskripsi aksi yang terus-menerus dan intens. Burung-burung tersebut secara efektif berfungsi sebagai pesawat pengebom presisi Ilahi.

2. بِحِجَارَةٍ (Biḥijāratin): “Dengan batu-batu.” Riwayat menyebutkan bahwa setiap burung membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cakar-cakarnya. Batu-batu ini sangat kecil, sering disamakan ukurannya dengan biji-bijian, namun daya hancurnya luar biasa.

3. مِّن سِجِّيلٍ (Min Sijjīl): Ini adalah istilah teknis Al-Qur’an untuk bahan hukuman Ilahi. Sijjīl biasanya diinterpretasikan sebagai:

Para mufassir sepakat bahwa batu-batu Sijjīl ini memiliki daya tembus yang fatal. Begitu batu itu mengenai salah satu prajurit, entah di kepala atau bagian tubuh lainnya, ia langsung menembus hingga ke bawah dan menyebabkan kematian instan, atau menyebabkan tubuh hancur lebur seolah-olah dimakan penyakit seperti cacar, sebuah hukuman yang benar-benar mematikan dan memalukan.

Ayat Kelima (Ayat 5 dari 5): Akhir yang Memalukan

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
(Fa ja’alahum ka’ashfim ma’kūl)

Terjemah: “Sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”

E. Analisis Linguistik Kata Per Kata (Ayat 5)

1. فَجَعَلَهُمْ (Fa ja’alahum): “Maka Dia menjadikan mereka.” Kata penghubung 'Fa' (maka) menunjukkan urutan peristiwa yang cepat dan langsung: begitu dilempari, seketika itu pula kehancuran terjadi.

2. كَعَصْفٍ (Ka’ashfin): “Seperti daun-daun.” ‘Ashf secara harfiah berarti kulit biji-bijian, jerami, atau daun kering dari tanaman yang tersisa setelah panen atau penggilingan. Itu adalah sisa-sisa yang rapuh dan tidak berharga.

3. مَّأْكُولٍ (Ma’kūl): “Yang dimakan.” Ini merujuk pada sisa makanan ternak, atau yang lebih umum, daun yang telah dimakan oleh ulat atau hama, meninggalkan lubang-lubang dan serat-serat yang hancur, menjadikannya busuk dan tidak berguna.

Perumpamaan dalam Ayat 5 ini adalah puncak dari retorika kehinaan. Pasukan yang tadinya megah, sombong, dilengkapi dengan gajah dan senjata canggih, direduksi menjadi sampah organik yang hancur dan membusuk. Ini adalah gambaran kehancuran total, memperlihatkan bahwa kebanggaan dan kekuatan fisik manusia tidak ada artinya di hadapan murka Ilahi. Kehancuran ini juga melayani tujuan: menjadi peringatan yang terlihat dan terekam dalam sejarah Quraisy.

IV. Hikmah dan Relevansi Teologis Surah Al-Fil

Kisah lima ayat ini bukan sekadar cerita sejarah, tetapi memiliki implikasi teologis yang sangat besar, terutama bagi audiens awal di Mekah yang sedang menentang risalah tauhid Nabi Muhammad ﷺ.

A. Bukti Kekuatan Tauhid (Monoteisme)

Surah ini berfungsi sebagai pengingat akan kekuasaan absolut Allah (Tauhid Rububiyah). Peristiwa ini terjadi di masa Jahiliyah, di mana penduduk Mekah sebagian besar menyembah berhala, namun mereka masih memuliakan Ka’bah sebagai rumah Ibrahim. Allah melindungi Ka’bah bukan karena penduduk Mekah menyembah-Nya dengan benar saat itu, tetapi karena Ka’bah adalah simbol Tauhid yang ditetapkan oleh Nabi Ibrahim.

Peristiwa ini adalah mukjizat Irhash (pendahuluan), yang terjadi sebelum kenabian Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan Mekah sebagai pusat spiritual yang tidak dapat diganggu gugat, dan bahwa siapa pun yang mencoba merusaknya akan dihancurkan, bahkan dengan cara yang paling tidak terduga. Ini memberikan legitimasi teologis terhadap pentingnya lokasi di mana Nabi Muhammad ﷺ akan memulai dakwahnya.

B. Penghinaan Terhadap Keangkuhan Material

Al-Fil (Gajah) adalah simbol kekuatan militer dan keangkuhan Abraha. Allah memilih untuk menghancurkan kekuatan ini dengan agen yang paling lemah—burung dan batu kecil. Ini mengajarkan prinsip fundamental Islam: kekuatan duniawi, kekayaan, dan teknologi militer tidak akan pernah bisa mengalahkan kehendak Allah. Keangkuhan (takabbur) akan selalu berujung pada kehinaan.

C. Pelajaran Bagi Kaum Quraisy

Surah ini ditujukan secara langsung kepada kaum Quraisy, yang pada masa Nabi Muhammad ﷺ mulai memusuhi dan menyiksa umat Islam. Pesan implisitnya adalah: "Jika Allah melindungi rumah yang kalian anggap suci dari pasukan gajah, Dia pasti mampu melindungi Nabi-Nya dan risalah-Nya dari tipu daya kalian yang jauh lebih kecil."

Ayat ini mengajak Quraisy untuk merenung: Bukankah kalian menyaksikan sendiri kehancuran yang ditimpakan kepada musuh yang jauh lebih kuat dari kalian? Jika kalian meneruskan permusuhan terhadap Muhammad, bukankah kalian juga berisiko menerima hukuman serupa?

V. Dimensi Historis dan Kronologis Peristiwa Al-Fil

Meskipun Al-Qur’an sangat ringkas (hanya lima ayat), para sejarawan dan ulama telah menggali detail kronologis yang memberikan kekayaan naratif pada surah ini.

A. Posisi Tahun Gajah dalam Sejarah

Tahun Gajah (570 M) menjadi titik tolak kalender yang tak resmi bagi suku Quraisy sebelum Islam. Ia menunjukkan betapa dahsyatnya peristiwa itu hingga mereka menjadikannya patokan waktu. Kelahiran Nabi Muhammad ﷺ terjadi beberapa bulan setelah peristiwa ini. Keterikatan historis ini tidak hanya memperkuat kebenaran narasi, tetapi juga menempatkan Nabi sebagai sosok yang muncul setelah bukti nyata perlindungan Ilahi atas tanah sucinya.

B. Dampak Politik dan Ekonomi

Kehancuran total pasukan Abraha memiliki konsekuensi politik dan ekonomi yang besar. Pertama, hal itu meningkatkan prestise Mekah dan suku Quraisy secara dramatis di mata suku-suku Arab lainnya. Quraisy dikenal sebagai "Ahlullah" (Keluarga Allah) atau "tetangga Allah" karena perlindungan ajaib yang mereka saksikan. Kedua, hal ini membuka jalur perdagangan kembali. Dengan lenyapnya ancaman dari Yaman, Mekah dapat kembali menjadi pusat perdagangan yang aman, sebuah kondisi yang mendahului dan mendukung perkembangan ekonomi Quraisy, yang pada gilirannya akan menjadi basis pendanaan dakwah Islam di masa depan.

C. Penderitaan Pasukan Abraha

Detail penderitaan pasukan Abraha, meskipun tidak disebutkan dalam kelima ayat, dijelaskan secara rinci dalam riwayat tafsir. Ketika batu-batu Sijjīl menghantam mereka, banyak yang menderita penyakit mengerikan yang disebut al-jadarī (cacar) atau al-hasbah (campak) untuk pertama kalinya dalam sejarah Mekah. Para prajurit mulai membusuk, daging mereka terlepas, dan mereka berusaha melarikan diri kembali ke Yaman dalam keadaan yang mengenaskan. Bahkan Abraha sendiri menderita luka yang sama, dan jarinya mulai rontok satu per satu, hingga akhirnya ia meninggal dengan tubuh yang hancur di Sana’a.

VI. Perbandingan Retorika: Lima Ayat Versus Narasi Epik

Mengapa Allah memilih hanya lima ayat untuk menceritakan epik yang sedemikian besar? Ini adalah contoh puncak dari Ijāz (keringkasan yang mendalam) Al-Qur’an:

A. Fokus pada Inti Teologis

Al-Qur’an tidak berfokus pada detail pertempuran atau nama-nama prajurit. Ia langsung menuju inti pesan: Kekuatan Ilahi. Setiap kata (Alam tara, Rabbuka, Kaidahum, Abābīl, Sijjīl, Ashf) dipilih untuk mencapai efek maksimal dalam mengingatkan pendengar akan keagungan Allah dan kehinaan musuh-Nya. Dalam lima ayat, Al-Qur’an berhasil mengemas:

  1. Pertanyaan yang menuntut perhatian (Ayat 1).
  2. Penegasan kegagalan strategi musuh (Ayat 2).
  3. Identifikasi agen hukuman (Ayat 3).
  4. Deskripsi senjata hukuman (Ayat 4).
  5. Kesimpulan kehinaan total (Ayat 5).

B. Struktur Rima (Fasilah)

Surah Al-Fil memiliki rima akhir yang konsisten (saj' yang diakhiri dengan huruf L, L, L, L, L: Fīl, Taḍlīl, Abābīl, Sijjīl, Ma’kūl). Keteraturan ritme ini, umum dalam surah-surah Makkiyah yang pendek, memberikan kekuatan dan daya hafal yang luar biasa. Lima ayat tersebut mengalir dengan cepat dan mudah diingat, menjadikan kisah ini tidak hanya sejarah tetapi juga peringatan yang konstan.

Keseimbangan antara panjang narasi (lima ayat) dan bobot sejarahnya membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah masterpiece linguistik. Pesan yang disampaikan dalam lima baris ini setara dengan yang membutuhkan buku sejarah tebal untuk dijelaskan, namun disampaikan dengan keindahan yang tak tertandingi.

VII. Kedalaman Tafsir Para Ulama Klasik

Untuk melengkapi pembahasan mengenai lima ayat ini, penting untuk melihat bagaimana ulama klasik menginterpretasikan beberapa aspek unik dari Surah Al-Fil.

A. Tafsir Ibnu Katsir Mengenai "Alam Tara"

Ibnu Katsir menekankan bahwa penggunaan frasa Alam Tara (Tidakkah kamu melihat?) meskipun ditujukan kepada Nabi, adalah sebuah pengingat akan nikmat Allah kepada kaum Quraisy. Dia berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi begitu dekat dengan waktu hidup Nabi dan begitu terkenal di kalangan Quraisy, sehingga efeknya sama seolah-olah Nabi sendiri menyaksikan. Perlindungan ini adalah nikmat bagi Quraisy, yang seharusnya memotivasi mereka untuk beribadah hanya kepada Allah, Pelindung Ka’bah dan Pemberi Rezeki mereka (seperti yang ditekankan dalam Surah Quraisy setelahnya).

B. Perdebatan Mengenai Sifat Burung Abābīl

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, membahas secara filosofis tentang sifat Burung Abābīl. Apakah mereka burung yang luar biasa besar atau sangat kecil? Ar-Razi menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah mereka adalah "utusan Allah" yang ditugaskan untuk menjalankan tugas yang mustahil secara alamiah. Bahkan jika burung-burung itu kecil, kemampuannya membawa batu mematikan dan menjatuhkannya dengan akurat merupakan mukjizat yang membuktikan kuasa penciptaan Allah.

C. Hubungan Surah Al-Fil dan Surah Quraisy

Dalam urutan mushaf, Surah Al-Fil segera diikuti oleh Surah Quraisy (Surah 106). Mayoritas ulama, termasuk Ubay bin Ka’b dan Ali bin Abi Thalib, menganggap kedua surah ini sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (bahkan di masa lalu ada yang menganggapnya satu surah dengan dua basmalah). Keterkaitan tematiknya sangat jelas:

  1. Al-Fil: Allah melindungi Ka’bah, sehingga Quraisy dapat hidup aman.
  2. Quraisy: Allah memberikan keamanan dan rezeki (perjalanan musim dingin dan panas) kepada Quraisy li īlāfī Quraysh (karena kebiasaan Quraisy).

Inti pesannya adalah: Allah telah menyelamatkan kalian dari kehancuran Abraha demi keamanan dan rezeki kalian. Maka, sebagai balasannya, kalian wajib menyembah Rabba hādza al-bait (Tuhan Pemilik Rumah ini).

Keamanan yang diberikan pada tahun Gajah adalah prasyarat bagi kemakmuran ekonomi Quraisy, dan kedua-duanya menuntut rasa syukur. Keamanan Ka’bah adalah jaminan bagi keamanan hidup suku tersebut.

VIII. Penutup: Ringkasan Jawaban dan Refleksi

Kembali kepada pertanyaan awal, Al Fil ada berapa ayat, jawabannya adalah lima ayat, lima ayat yang ringkas namun berfungsi sebagai monumen peringatan abadi. Lima ayat ini bukan hanya menceritakan sebuah keajaiban, melainkan berfungsi sebagai landasan teologis bagi kenabian Muhammad, menjustifikasi kemuliaan Mekah, dan memberikan pelajaran universal tentang kesombongan, kuasa Ilahi, dan nasib akhir mereka yang menentang kebenaran.

Melalui narasi lima ayat yang padat ini, Al-Qur’an mengajarkan bahwa kekuatan sejati berada di tangan Dzat yang mampu mengubah burung-burung kecil menjadi senjata penghancur massal terhadap pasukan raksasa. Surah Al-Fil mengajarkan kepada umat manusia sepanjang masa bahwa segala bentuk kesombongan dan upaya untuk menghancurkan simbol-simbol kebenaran akan berakhir dengan kehinaan yang total, sebagaimana ditunjukkan oleh nasib pasukan bergajah.

Refleksi atas Surah Al-Fil memperkuat keimanan bahwa Allah adalah Al-Qawiyy (Yang Mahakuat) dan Al-Malik (Sang Raja), yang memiliki cara yang tak terduga dan tak terbayangkan untuk melindungi apa yang Dia kehendaki untuk dilindungi, bahkan dengan perantaraan makhluk yang paling sederhana sekalipun. Lima ayat ini adalah bukti nyata janji perlindungan Ilahi.

🏠 Homepage