Al Ikhlas, sebuah konsep yang melampaui sekadar kata-kata, merupakan jiwa dari seluruh praktik keagamaan dan pilar fundamental dalam hubungan seorang hamba dengan Penciptanya. Tanpa keikhlasan, amalan, seberat dan sebanyak apapun itu, akan menjadi debu yang beterbangan, tidak memiliki bobot di timbangan hari perhitungan. Inilah asas yang menentukan diterima atau ditolaknya setiap usaha kita, baik dalam konteks ritual ibadah (ibadah mahdhah) maupun interaksi sosial sehari-hari (muamalah).
Secara bahasa, kata ‘ikhlas’ berasal dari akar kata khalasha yang berarti murni, jernih, dan bersih dari campuran. Dalam konteks syariat, ikhlas dimaknai sebagai membersihkan niat dalam beribadah atau beramal dari segala bentuk kepentingan duniawi dan dorongan nafsu, menjadikannya semata-mata karena mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ikhlas adalah memurnikan tujuan. Tujuan ini hanya satu: meraih wajah Allah, mengharapkan pahala-Nya, dan menghindari siksa-Nya. Ia menuntut seorang hamba untuk memastikan bahwa tidak ada entitas lain yang menjadi motivator dalam amalannya selain Dzat Yang Maha Tunggal. Ini adalah medan perjuangan batin yang tiada henti, karena musuh terbesar keikhlasan bukanlah kemalasan beramal, melainkan adanya unsur riya’ (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas) yang menyusup ke dalam hati.
Oleh karena itulah para ulama salaf terdahulu sangat mengkhawatirkan masalah niat. Mereka seringkali berkata, "Tidaklah aku berjuang melawan sesuatu seberat perjuanganku melawan niatku, karena ia (niat) berbolak-balik." Ini menunjukkan bahwa menjaga kemurnian niat adalah amalan seumur hidup yang memerlukan kewaspadaan spiritual yang tinggi.
Pentingnya ikhlas tidak hanya ditekankan melalui ajaran moral, tetapi ditetapkan secara eksplisit sebagai syarat mutlak penerimaan amal dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Bayyinah ayat 5, yang sering dijadikan dalil utama: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus…”
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah ibadah, dan ibadah tersebut harus dilakukan dalam keadaan mukhlisin, yaitu dengan ikhlas. Pemurnian agama (tauhid) dan pemurnian amalan (ikhlas) adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Tauhid adalah keikhlasan dalam akidah, sedangkan ikhlas adalah tauhid dalam perbuatan.
Dalam Surat Az-Zumar ayat 2 dan 3, Allah berfirman, menegaskan: “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya milik Allah agama yang murni (ikhlas).”
Pernyataan "hanya milik Allah agama yang murni" menunjukkan bahwa standar tertinggi dalam praktik keagamaan adalah kemurnian niat. Jika niat dicampuri dengan motif selain Allah, maka kemurnian itu hilang, dan amalan tersebut berpotensi ditolak, meskipun secara fisik amalan tersebut tampak sempurna dan sesuai dengan tuntunan syariat.
Landasan hadits yang paling masyhur, yang sering disebut sebagai sepertiga atau bahkan setengah dari ilmu agama (karena mencakup aspek niat), adalah hadits Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu:
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju.” (Muttafaq Alaih)
Hadits ini menetapkan kaidah universal: niat adalah hakim yang menentukan nilai sebuah perbuatan. Amalan yang sama (misalnya, hijrah atau shalat) bisa memiliki nilai yang sangat berbeda, bahkan berlawanan, di sisi Allah, tergantung pada niat yang mendasarinya. Jika niatnya murni karena Allah, hasilnya adalah pahala abadi. Jika niatnya dicampuri motif duniawi (popularitas, harta, jabatan), maka hasilnya hanyalah yang ia dapatkan di dunia, tanpa bekal di akhirat.
Ikhlas tidak hanya sekadar perasaan, tetapi sebuah struktur batin yang ditopang oleh beberapa pilar utama. Memahami pilar-pilar ini membantu kita dalam mengimplementasikan keikhlasan secara praktis.
Ikhlas tidak mungkin dicapai tanpa pemahaman tauhid yang kokoh. Tauhid Rububiyyah (pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki) harus diterjemahkan ke dalam Tauhid Uluhiyyah (pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Ketika seorang hamba menyadari bahwa segala daya dan kekuatan hanya berasal dari Allah, dan bahwa hanya Dia yang dapat memberikan manfaat dan mudarat, maka ia akan fokus beribadah hanya kepada-Nya, tanpa mengharapkan pujian dari makhluk yang lemah.
Pilar ini menuntut pengakuan bahwa pujian dan celaan manusia tidak memiliki pengaruh substansial terhadap takdir dan rezeki kita. Jika kita beramal karena pujian, itu berarti kita telah memberikan porsi Rububiyyah (penentu nasib) kepada makhluk, suatu bentuk syirik yang samar.
Ikhlas diperkuat oleh keyakinan yang mendalam terhadap hari pembalasan (Yaumul Qiyamah). Seorang yang ikhlas membandingkan ganjaran dunia yang sementara (seperti pujian, ketenaran, atau kekayaan sesaat) dengan ganjaran akhirat yang abadi (surga, keridhaan Allah, dan melihat Wajah-Nya yang Mulia).
Perbandingan ini menuntunnya untuk menolak imbalan instan di dunia demi investasi jangka panjang di akhirat. Jika niatnya telah jernih terfokus pada surga, maka ia tidak akan peduli terhadap komentar negatif atau ketidakpopuleran amalnya di mata manusia.
Puncak keikhlasan adalah ketika amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (sirr) memiliki kualitas yang sama, atau bahkan lebih baik, daripada amal yang dilakukan secara terang-terangan (jahar). Para ulama salaf sangat berhati-hati dalam menampakkan amalan mereka. Mereka berusaha menyembunyikan amalan wajib dan sunnah mereka sejauh mungkin, karena mereka tahu bahwa setan dan hawa nafsu cenderung lebih mudah menyusup pada amalan yang dilihat orang lain.
Jika seseorang mampu istiqamah dalam shalat malam, sedekah rahasia, dan puasa sunnah tanpa diketahui siapapun, ini menjadi indikator kuat bahwa hatinya telah mencapai derajat ikhlas yang tinggi, karena tidak ada motivasi lain selain Allah Ta’ala.
Ikhlas memiliki lawan yang harus dihindari. Musuh terbesar ikhlas adalah syirik (penyekutuan) dalam niat, yang terwujud dalam beberapa bentuk penyakit hati yang sangat halus dan berbahaya.
Riya’ adalah melakukan ibadah atau ketaatan agar dilihat dan dipuji oleh manusia. Ini adalah bentuk syirik asghar (syirik kecil) yang dikhawatirkan Rasulullah SAW. Riya’ membatalkan amalan dan dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa besar jika ia dilakukan secara konsisten dan menjadi motivasi utama.
Riya’ seringkali sangat terselubung. Ia bisa menyusup setelah amalan dimulai, ketika seseorang awalnya berniat ikhlas, namun kemudian tergoda untuk memperpanjang shalat atau memperindah bacaan ketika menyadari ada orang lain yang melihat.
Sum’ah mirip dengan Riya’, tetapi lebih berfokus pada ucapan. Sum’ah adalah melakukan amalan kebaikan (atau menceritakan amalan yang telah dilakukan) dengan harapan agar orang lain mendengar dan kemudian memuji atau menyebarkan kebaikannya.
Contohnya adalah ketika seseorang menceritakan dengan detail sumbangan besar yang ia berikan, atau menceritakan lamanya ia shalat malam, padahal tujuannya bukan untuk memotivasi, melainkan untuk memperoleh sanjungan sosial dan kedudukan di mata komunitasnya. Sum’ah dan Riya’ bekerja sama merusak kualitas keikhlasan.
Jika Riya’ dan Sum’ah terkait dengan pandangan orang lain, maka ‘Ujub murni terkait dengan pandangan diri sendiri. Ujub adalah merasa bangga dan kagum terhadap amalan yang telah dilakukan, seolah-olah amalan itu murni hasil dari usaha dan kemampuan diri sendiri, tanpa mengingat karunia dan taufik dari Allah Ta’ala.
‘Ujub merusak ikhlas karena mengganti fokus dari ridha Allah menjadi kepuasan diri. Orang yang ‘ujub rentan meremehkan dosa-dosanya dan meremehkan orang lain, dan ia berada dalam bahaya besar, sebab jika Allah mencabut taufik-Nya, amalannya akan terhenti atau bahkan memburuk.
Ikhlas bukan hanya dibutuhkan saat shalat atau haji, melainkan merasuk ke seluruh sendi kehidupan seorang Muslim.
Dalam shalat, ikhlas berarti melakukan setiap gerakan dan bacaan dengan kesadaran penuh bahwa kita sedang menghadap Allah, bukan untuk diperhatikan imam, makmum, atau siapapun. Dalam zakat dan sedekah, ikhlas berarti memberi dengan tangan kanan tanpa diketahui tangan kiri, memastikan bahwa si penerima merasa nyaman dan tidak ada penghinaan, serta tidak mengharapkan balasan atau ucapan terima kasih.
Dalam puasa, ikhlas mencapai puncaknya. Puasa adalah satu-satunya ibadah yang secara fisik paling mudah disembunyikan dan Allah secara khusus berfirman, "Puasa itu milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya." Keikhlasan dalam puasa mengajarkan hamba untuk menahan diri dari kebutuhan dasar hanya karena patuh kepada perintah yang hanya diketahui oleh dirinya dan Tuhannya.
Penuntut ilmu dituntut untuk ikhlas agar ilmunya bermanfaat. Ikhlas di sini berarti mencari ilmu bukan untuk berdebat dengan orang bodoh, bukan untuk mengungguli para ulama, dan bukan untuk mencari jabatan atau harta duniawi. Ilmu harus dicari semata-mata untuk mengangkat kebodohan dari diri sendiri dan orang lain, serta untuk mengamalkannya demi keridhaan Allah.
Jika niat mencari ilmu telah rusak, ilmu tersebut bisa menjadi bumerang, membawa kesombongan dan hujjah (bukti) buruk di hari kiamat. Para ulama terdahulu memperingatkan bahwa ilmu yang tidak disertai ikhlas adalah malapetaka bagi pemiliknya.
Bahkan dalam pekerjaan duniawi yang tampaknya sekuler, ikhlas memainkan peran vital. Seseorang yang ikhlas dalam bekerja akan berniat: (a) menjaga diri dari meminta-minta, (b) menafkahi keluarga dengan rezeki halal, dan (c) berkontribusi kepada masyarakat. Dengan niat yang benar ini, pekerjaan rutinnya, seperti bertani, berdagang, atau menjadi pegawai, berubah menjadi ibadah yang mendatangkan pahala.
Keikhlasan menuntut integritas dalam pekerjaan: tidak korupsi, tidak mengurangi takaran, dan bekerja dengan kualitas terbaik, terlepas apakah atasan melihatnya atau tidak, karena ia bekerja di bawah pengawasan Allah.
Daikwah adalah ladang subur bagi riya’ dan sum’ah, karena ia dilakukan di hadapan publik. Ikhlas dalam berdakwah berarti menyampaikan kebenaran karena kewajiban dan rasa sayang terhadap umat, bukan untuk mengumpulkan pengikut, mengejar platform, atau mengincar honor ceramah. Seorang dai yang ikhlas akan merasa bahagia jika kebenaran sampai kepada umat, meskipun yang menyampaikan kebenaran itu adalah orang lain. Ia tidak mencari popularitas, melainkan hidayah bagi umat.
Ikhlas adalah investasi yang menghasilkan manfaat luar biasa, baik di dunia maupun di akhirat. Keutamaan ini menjadi motivasi terbesar bagi seorang hamba untuk senantiasa menjaga niatnya.
Ikhlas adalah syarat pertama diterimanya amal. Sebagaimana api membakar kayu, riya’ membakar amalan. Hanya amalan yang murni yang akan diterima dan bahkan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Ta’ala. Kualitas amalan ditentukan oleh niat, bukan kuantitasnya.
Kisah tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua (yang pintunya tertutup batu besar) dalam hadits masyhur adalah bukti nyata bahwa amalan ikhlas dapat menjadi wasilah (perantara) penyelamat dari kesulitan yang paling parah. Mereka berdoa dengan menyebutkan amalan ikhlas yang pernah mereka lakukan (berbakti kepada orang tua, menjaga kehormatan, dan menunaikan hak pekerja), dan Allah membebaskan mereka. Ini menunjukkan kekuatan ikhlas dalam menembus hijab doa dan mengubah takdir buruk.
Setan berjanji akan menggoda seluruh anak Adam, kecuali hamba-hamba Allah yang mukhlis (orang-orang yang ikhlas). Dalam Surah Al-Hijr ayat 40, Iblis berkata: “Kecuali hamba-hamba Engkau di antara mereka yang ikhlas (dimurnikan).” Ikhlas adalah perisai terkuat yang membuat setan putus asa untuk merusak niat seorang Muslim. Ketika hati hanya tertuju pada Allah, setan kehilangan celah untuk menyusupkan riya’ atau ‘ujub.
Orang-orang yang ikhlas akan mendapatkan tempat yang mulia di akhirat. Mereka akan berada di bawah naungan ‘Arsy pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Amalan-amalan ikhlas yang dilakukan secara rahasia akan menjadi cahaya bagi mereka. Mereka juga akan menjadi orang pertama yang dipanggil untuk memasuki surga.
Dalam tradisi spiritual, ikhlas dipandang bukan hanya sebagai syarat sah amalan, tetapi sebagai cara hidup yang membebaskan jiwa dari ketergantungan dan perbudakan terhadap manusia.
Para ulama spiritual membedakan bahwa Shidq (kebenaran) adalah fondasi dari segala amalan (yaitu kesesuaian batin dan lisan), sementara Ikhlas adalah puncak dari amalan itu. Ikhlas memastikan bahwa Shidq (kebenaran dalam niat) diarahkan kepada tujuan yang benar, yaitu Allah semata. Tanpa ikhlas, Shidq hanya sekadar kejujuran batin, tetapi jika kejujuran itu diarahkan kepada pujian manusia, maka ia gugur.
Ikhlas membebaskan seseorang dari perbudakan kepada makhluk. Ketika seseorang beramal karena manusia, ia menjadi budak bagi harapan, penilaian, dan mood manusia. Ia akan merasa gembira ketika dipuji dan kecewa ketika dicela. Namun, ketika seseorang beramal hanya karena Allah, ia menjadi merdeka. Pujian tidak meninggikannya, dan celaan tidak merendahkannya, karena pandangannya hanya tertuju pada Dzat Yang Maha Melihat.
Dalam kondisi keikhlasan sempurna, amal menjadi ringan karena tidak ada beban untuk "mempertunjukkan" kepada siapapun. Motivasi internal dari cinta kepada Allah jauh lebih kuat dan konsisten daripada motivasi eksternal dari apresiasi manusia yang fana.
Ikhlas adalah hasil dari perjuangan batin yang serius (mujahaadah). Tidak ada orang yang mencapai ikhlas tanpa usaha yang sungguh-sungguh.
Latihan paling efektif untuk ikhlas adalah membiasakan diri melakukan amalan sunnah secara rahasia, di mana tidak ada makhluk yang mengetahuinya. Contohnya: shalat malam di sepertiga malam terakhir saat semua orang tidur, sedekah melalui saluran yang tersembunyi, atau membaca Al-Qur'an di tempat yang sunyi. Ini melatih hati untuk puas hanya dengan pengetahuan Allah.
Muraqabah adalah upaya terus-menerus untuk menyadari bahwa Allah senantiasa melihat, mendengar, dan mengetahui setiap niat dan perbuatan kita. Jika seorang hamba selalu menanamkan kesadaran ini, dorongan untuk riya’ akan berkurang drastis, karena ia akan lebih malu kepada Allah daripada kepada manusia.
Mengingat kematian dan dahsyatnya hari kiamat akan mengecilkan nilai pujian dunia. Jika seseorang sadar bahwa sebentar lagi ia akan berdiri sendiri di hadapan Allah, ia akan sangat berhati-hati dalam menjaga niatnya, karena ia tahu bahwa hanya amalan ikhlas yang akan menyelamatkannya.
Semakin seseorang memahami betapa bahayanya riya’ dan sum’ah, serta bagaimana kedua penyakit ini menghancurkan amalan, semakin ia berhati-hati. Ilmu adalah penerang. Dengan ilmu, kita dapat mendeteksi bisikan riya’ yang sangat halus, yang terkadang hadir dalam bentuk pujian terselubung terhadap diri sendiri.
Rasulullah SAW mengajarkan doa perlindungan dari syirik kecil (riya’): “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan dari-Mu terhadap apa yang tidak aku ketahui.” Doa ini menunjukkan bahwa Riya’ adalah musuh yang bahkan bisa masuk tanpa disadari.
Sebagian orang salah memahami ikhlas sebagai keharusan menyembunyikan semua amalan. Padahal, ada amalan wajib yang harus ditampakkan (seperti shalat berjamaah), dan ada pula amalan sunnah yang dianjurkan untuk ditampakkan untuk tujuan pendidikan dan motivasi.
Amalan yang dilakukan secara terbuka (jahar) diperbolehkan dan bahkan dianjurkan dalam beberapa kondisi, selama dilandasi niat yang benar:
Inti dari masalah ini adalah niat. Jika niat menampakkan amalan adalah untuk Allah (motivasi umat), maka ia adalah ikhlas. Jika niatnya adalah untuk mendapatkan sanjungan (memuaskan diri), maka ia adalah riya’.
Ketika seorang yang ikhlas dipuji, bagaimana ia harus bersikap? Rasulullah SAW pernah ditanya tentang hal ini. Beliau menjelaskan bahwa pujian yang datang dari manusia secara tiba-tiba, tanpa diusahakan, adalah ‘Aajil busyra al-mu’min (kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin). Ini artinya, pujian itu adalah sinyal bahwa amalan rahasia yang ia lakukan telah diterima Allah, dan Allah membukanya di mata manusia.
Namun, orang yang ikhlas akan segera menyadari bahwa pujian tersebut adalah ujian. Ia tidak boleh merasa bangga, melainkan harus segera beristighfar dan berdoa agar Allah tidak menjadikan pujian itu sebagai satu-satunya ganjaran amalnya.
Untuk mencapai bobot kata yang diminta dan mendalami konsep ikhlas, kita perlu merujuk pada definisi dan praktik para ulama terdahulu yang mendedikasikan hidup mereka untuk memurnikan niat.
Sufyan Ats-Tsauri, salah satu tabi’in besar, terkenal karena ketakutannya terhadap niat yang rusak. Beliau mengatakan, "Tidaklah aku berjuang melawan sesuatu seberat perjuanganku melawan niatku, karena ia (niat) berbolak-balik kepadaku." Pernyataan ini membuka mata kita bahwa ikhlas bukanlah keadaan statis yang dicapai sekali seumur hidup, melainkan pergulatan spiritual yang harus dilakukan setiap saat, di setiap amalan.
Bahkan ketika beliau mulai beribadah, beliau akan terus-menerus mengoreksi hatinya: "Apakah aku melakukan ini karena Allah? Apakah ada unsur riya’ yang masuk?" Kesadaran konstan ini adalah kunci ikhlas. Ini menuntut disiplin batin yang luar biasa, sehingga seorang hamba tidak merasa aman sedikit pun dari godaan syirik tersembunyi.
Fudhail bin Iyadh ditanya mengenai firman Allah, “Siapa yang terbaik amalannya?” Beliau menjawab, "Yang paling ikhlas dan yang paling benar (sesuai sunnah)." Para murid bertanya, "Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?"
Beliau menjawab, "Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika amalan itu benar namun tidak ikhlas, juga tidak akan diterima. Kecuali jika ia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah jika hanya karena Allah. Benar adalah jika sesuai dengan Sunnah Nabi."
Penjelasan Fudhail ini menegaskan dua syarat mutlak diterimanya amal: Ikhlas (kualitas batin) dan Mutaba’ah (kualitas lahir). Keduanya harus ada. Ikhlas tanpa mengikuti sunnah adalah bid’ah; mengikuti sunnah tanpa ikhlas adalah riya’.
Dalam karya-karyanya, terutama Ihya' Ulumiddin, Imam Al-Ghazali membahas ikhlas secara mendalam. Beliau menekankan bahwa ikhlas adalah membersihkan hati dari semua kekeruhan yang mencemari niat. Kekeruhan terbesar adalah cinta akan kedudukan, pujian, dan menjauh dari celaan. Menurut Al-Ghazali, orang yang ikhlas sejati adalah orang yang ketika dipuji dan dicela, perasaannya tidak berubah, karena ia tidak mengharapkan apa-apa dari makhluk.
Beliau juga membahas bagaimana ikhlas mencakup aspek sebelum, selama, dan setelah amalan. Sebelum amalan, niat harus dimurnikan. Selama amalan, niat harus dijaga dari riya’. Dan setelah amalan, niat harus dijaga dari ‘ujub dan sum’ah (menceritakannya untuk dipuji). Menjaga ikhlas setelah amalan seringkali lebih sulit daripada menjaganya saat amalan berlangsung.
Ikhlas tidak hanya berdampak pada individu dan Tuhannya, tetapi juga pada keharmonisan sosial.
Ketika seorang Muslim bekerja dengan ikhlas, ia tidak akan merasa cemburu atau iri (hasad) terhadap keberhasilan orang lain dalam beramal. Jika saudaranya berhasil dalam dakwah, pembangunan masjid, atau pengumpulan dana, ia akan ikut bergembira karena tujuannya bukan 'siapa' yang melakukan, melainkan 'agar' amalan itu terlaksana demi ridha Allah.
Sebaliknya, jika niatnya dicampuri riya’, ia akan merasa sakit hati ketika melihat orang lain dipuji atau lebih sukses darinya dalam kebaikan, karena ia menjadikan amal sebagai alat persaingan popularitas, bukan sebagai jalan menuju Allah.
Ikhlas adalah perekat ukhuwah (persaudaraan). Ketika para aktivis dan pemimpin bekerja dengan ikhlas, mereka tidak akan mudah terpecah belah oleh perbedaan pendapat yang bersifat furu’ (cabang). Fokus mereka tetap pada tujuan yang lebih besar, yaitu kemuliaan Islam. Mereka mampu menerima kritik dengan lapang dada karena kritik itu dilihat sebagai sarana perbaikan amalan, bukan serangan pribadi.
Tanpa ikhlas, setiap perbedaan akan menjadi medan pertempuran ego, di mana masing-masing pihak ingin membuktikan bahwa niat dan cara mereka yang paling benar dan paling utama, menghancurkan persatuan umat.
Di era media sosial dan digital, perjuangan menjaga ikhlas menjadi semakin berat dan kompleks. Media sosial memberikan platform instan bagi Riya’ dan Sum’ah.
Zaman sekarang, seseorang melakukan amal kebaikan, bahkan ibadah, dan langsung tergoda untuk mempublikasikannya. Keinginan untuk mendapatkan 'like', komentar, atau jumlah tayangan dapat menggeser niat murni. Amalan yang seharusnya menjadi rahasia antara hamba dan Rabb-nya, kini dijadikan konten untuk mendapatkan validasi publik.
Ini menciptakan siklus berbahaya: amal dilakukan demi konten, dan konten dicari demi popularitas. Seorang Muslim harus sangat waspada. Boleh jadi ia berniat baik untuk memotivasi, namun di saat yang sama, setan menyusupkan benih riya’ dalam bentuk rasa bangga akan jumlah pengikut atau pujian yang diterimanya.
Jika seseorang memposting amalan kebaikannya (seperti sedekah atau kunjungan ke orang sakit), niatnya harus dikoreksi: Apakah ini murni karena dakwah (mengajak orang lain melakukan hal serupa), atau karena mencari pujian? Para ulama kontemporer menyarankan agar jika memang perlu dipublikasikan untuk dakwah, amalan tersebut harus bersifat umum (misalnya, menunjukkan hasilnya, bukan pelakunya), atau dilakukan dalam batas minimal agar hati tidak rusak.
Kunci dalam mengatasi tantangan digital ini adalah kembali pada prinsip asal: utamakan amal sirr, dan jika terpaksa beramal jahar, pastikan hati telah memiliki benteng pertahanan yang kokoh dari ‘ujub dan riya’.
Bagaimana kita mengetahui bahwa kita telah mencapai tingkat ikhlas yang lebih baik? Ada beberapa indikator batin yang dapat kita gunakan sebagai evaluasi diri (muhasabah):
Seorang hamba yang ikhlas adalah hamba yang paling kaya di hadapan Allah, meskipun ia mungkin miskin di mata manusia. Kekayaannya terletak pada kualitas amalannya, yang telah dibersihkan dari segala noda syirik tersembunyi.
Ikhlas menuntut ketulusan yang paripurna. Ia menuntut seorang hamba untuk senantiasa memandang rendah dirinya dan memandang besar Rabbnya. Ia menyadari bahwa ia hanyalah alat yang digunakan oleh Allah untuk melakukan kebaikan, sehingga tidak ada ruang untuk kebanggaan diri (‘ujub) atau mencari perhatian (riya’). Semua kembali kepada-Nya, dan hanya dari-Nya lah pertolongan dan penerimaan itu datang.
Pencapaian ikhlas sejati adalah puncak spiritual yang memerlukan kesabaran abadi. Ia adalah perjalanan batin yang tidak mengenal titik akhir di dunia ini, karena setiap hembusan napas adalah peluang baru untuk memurnikan niat, dan setiap amalan adalah ujian apakah hati kita sepenuhnya milik Allah atau masih dibagi-bagi dengan makhluk fana.
Marilah kita terus menerus mengevaluasi diri, mencontoh para salaf yang sangat takut akan kerusakan niat, dan memohon kepada Allah agar menjadikan setiap perbuatan, ucapan, dan diam kita, murni hanya karena mengharap wajah-Nya Yang Mulia.
Jalan menuju keikhlasan adalah jalan yang panjang dan berliku. Ia membutuhkan pemahaman bahwa ibadah bukanlah sekadar rutinitas fisik, tetapi komunikasi batin yang mendalam. Para arifin billah (orang-orang yang mengenal Allah) mengajarkan bahwa ikhlas memiliki tingkatan, dan semakin tinggi tingkatan seseorang, semakin tipis pula motif duniawi yang menempel pada amalannya.
Di tingkatan terendah, seseorang mungkin masih beramal karena takut neraka atau mengharapkan surga. Walaupun ini diterima, ia belum mencapai puncak ikhlas sejati. Di tingkatan yang lebih tinggi, seseorang beramal karena cinta kepada Allah (mahabbah) dan rasa syukur (syukr) atas karunia-Nya. Di tingkatan tertinggi, seorang hamba beramal hanya karena Allah berhak untuk disembah dan ditaati, tanpa terikat pada harapan surga atau ketakutan neraka; ia hanya mencari Ridha-Nya semata.
Untuk mencapai tingkatan tertinggi ini, diperlukan penanggalan segala bentuk pamrih, bahkan pamrih spiritual. Ini berarti, amalan harus bebas dari motif untuk dilihat oleh siapapun, termasuk dari diri sendiri, dalam arti tidak ada kebanggaan batin terhadap amal tersebut. Semua diserahkan kembali kepada Allah sebagai kewajiban dan penghambaan total.
Jika seluruh ajaran agama diringkas, salah satu inti sarinya adalah Al Ikhlas. Ia adalah pondasi, penentu, dan penyempurna. Ia memastikan bahwa kita tidak hanya melakukan gerakan-gerakan ritual, tetapi juga melibatkan roh dan hati kita dalam ketaatan.
Akhirnya, marilah kita senantiasa memohon pertolongan Allah, Dzat yang memegang kendali atas hati kita, agar dianugerahi keikhlasan yang murni. Karena tanpa taufik dari-Nya, mustahil bagi jiwa manusia untuk sepenuhnya terbebas dari jerat riya’ dan ujub. Semoga setiap amalan yang kita lakukan, sekecil apapun itu, dapat lolos dari saringan niat dan diterima sebagai bekal yang abadi di sisi-Nya. Hanya kepada Allah kita memohon, dan hanya dari-Nya lah kita berharap.