Ilustrasi Kebun dan Pengakuan Kekuatan Allah (Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh).
Surah Al-Kahfi menempati posisi yang sangat istimewa dalam khazanah Islam, dikenal sebagai surah yang mengandung berbagai pelajaran esensial mengenai ujian keimanan, godaan duniawi, kesabaran, dan pengetahuan yang tersembunyi. Di antara kisah-kisah agung yang diceritakannya—kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua), kisah Nabi Musa dan Khidir, serta kisah Dzulqarnain—terdapat satu narasi yang sangat tajam dan relevan bagi kehidupan sehari-hari, yaitu kisah dua orang pemilik kebun yang kaya raya.
Inti dari kisah ini terangkum dalam ayat ke-39, sebuah formula pengakuan total akan kekuasaan Ilahi yang seharusnya diucapkan oleh setiap individu ketika menyaksikan kesuksesan, kekayaan, atau berkah yang luar biasa, baik milik sendiri maupun milik orang lain. Ayat ini bukan hanya sekadar doa pelindung, melainkan sebuah pernyataan teologis fundamental yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini berada dalam genggaman kehendak Allah semata. Tanpa penghayatan terhadap prinsip ini, kenikmatan yang kita miliki rentan menjadi sumber kesombongan dan, pada akhirnya, kehancuran.
وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗاِنْ تَرَنِ اَنَا۠ اَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَّوَلَدًا
“Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu, tidak engkau ucapkan: ‘Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh (Apa yang dikehendaki Allah, maka itulah yang terjadi. Tiada kekuatan (upaya) kecuali dengan (pertolongan) Allah).’ Sekiranya engkau anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS. Al-Kahfi: 39)
Ayat 39 ini merupakan puncak nasihat yang disampaikan oleh seorang sahabat yang beriman kepada temannya yang sangat kaya dan congkak. Kedua orang ini memiliki kontras yang mencolok. Yang satu diberi karunia harta melimpah berupa dua kebun anggur dan kurma yang subur dengan sungai-sungai mengalir di bawahnya. Yang lainnya, meskipun kurang berharta, hatinya dipenuhi keimanan dan keyakinan akan hari akhir.
Pemilik kebun yang kaya raya, ketika melihat keajaiban hasil kerja kerasnya dan kelimpahan yang ia anggap permanen, mulai terperangkap dalam kesesatan psikologis yang sering menimpa manusia: mengaitkan hasil sepenuhnya kepada usahanya sendiri, melupakan sumber sejati dari segala keberhasilan. Ia berkata kepada sahabatnya, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya," dan bahkan meragukan Hari Kiamat. Puncak kesombongannya adalah ketika ia memasuki kebunnya tanpa mengucapkan satu pun kata pengakuan bahwa semua itu hanyalah karunia sementara dari Yang Maha Kuasa. Inilah yang direspon tajam oleh sahabatnya yang beriman.
Sahabat yang beriman itu mengajarkan sebuah prinsip fundamental: bahwa keberkahan, kemakmuran, dan keindahan harus selalu disandingkan dengan kesadaran akan keterbatasan daya upaya manusia. Kekayaan dan hasil kerja keras bukanlah bukti kemandirian total, melainkan manifestasi sementara dari kehendak Ilahi yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali.
Frasa ini, yang sering disingkat sebagai Masya Allah La Quwwata Illa Billah, adalah pilar utama dari ayat ini dan berfungsi sebagai benteng spiritual melawan sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan kibir (sombong). Untuk memenuhi kedalaman pembahasan, kita akan membedah setiap komponen frasa ini, memahami implikasinya dalam akidah (teologi), dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagian pertama dari frasa ini menekankan konsep Iradah atau kehendak mutlak Allah. Kata Mā shāʾa merujuk pada segala sesuatu yang telah terjadi atau sedang terjadi, yang seluruhnya berada di bawah naungan izin dan kehendak-Nya. Tidak ada satu daun pun yang jatuh, tidak ada satu hujan pun yang turun, dan tidak ada satu pun hasil panen yang berhasil tanpa kehendak-Nya yang maha sempurna.
Pengakuan "Mā shāʾa Llāhu" adalah penolakan terhadap pemikiran fatalistik semata, namun lebih merupakan afirmasi bahwa perencanaan manusia, betapa pun matangnya, tidak akan pernah melampaui takdir dan kehendak Ilahi. Ini adalah pengakuan Tunduk kepada Qada' (ketetapan) dan Qadar (ukuran). Ketika pemilik kebun melihat hasil yang melimpah, seharusnya ia tidak berkata, "Ini hasil kerja kerasku," melainkan, "Ini adalah kehendak Allah, yang telah mengizinkan usaha dan faktor-faktor alam bekerja sesuai rancangan-Nya."
Dalam konteks teologi Islam, memahami Iradah (Kehendak Allah) adalah memahami bahwa Allah adalah al-Qadir (Maha Kuasa) dan al-Hakam (Maha Bijaksana). Kehendak-Nya mencakup dua aspek: Iradah Kauniyah (kehendak penciptaan yang pasti terjadi pada seluruh makhluk, baik disukai atau tidak oleh-Nya) dan Iradah Syar’iyyah (kehendak syariat, apa yang Allah cintai dan perintahkan). Ketika seseorang melihat kebunnya makmur, ia menyaksikan manifestasi Iradah Kauniyah, yang menuntut syukur dan pengakuan. Mengabaikan aspek ini berarti menyamakan kekuatan terbatas manusia dengan kekuasaan Pencipta alam semesta.
Bagian kedua ini merupakan penegasan dari konsep Tawakkal (penyerahan diri) dan Tauhid Rububiyah (mengesakan Allah dalam hal penciptaan dan pengaturan). Al-Quwwah (kekuatan) di sini mencakup daya upaya, kemampuan fisik, kecerdasan, modal, teknologi, dan semua faktor penunjang yang dimiliki manusia. Ketika kita berkata, "Tiada kekuatan kecuali dengan Allah," kita mengakui bahwa kekuatan kita untuk bekerja, berpikir, dan mempertahankan apa yang kita miliki, semuanya berasal dari-Nya.
Frasa ini berakar kuat pada kalimat yang lebih umum dan sering diucapkan, yaitu Lā hawla wa lā quwwata illā bi-Llāh (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah). Meskipun sedikit berbeda, maknanya selaras. Ia mengajarkan kerendahan hati mutlak. Kekayaan, kesehatan, atau kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah hasil kekuatannya yang murni, melainkan kekuatan yang dipinjamkan oleh Sang Pencipta. Jika Dia berkehendak, kekuatan itu dapat hilang dalam sekejap—seperti yang terjadi pada pemilik kebun di akhir kisah.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa mengucapkan frasa ini saat melihat kenikmatan adalah perisai spiritual. Itu adalah pengakuan bahwa jika Allah tidak memberikan kekuatan dan pemeliharaan-Nya, kebun tersebut—betapa pun suburnya—dapat hancur oleh hama, bencana alam, atau kekeringan yang tak terduga. Ini adalah pengajaran agar kita tidak merasa aman dari murka atau ujian Allah hanya karena kekayaan yang kita miliki. Keamanan sejati hanya ditemukan dalam ketergantungan total kepada-Nya.
Ayat ini berfungsi sebagai manual etika dan akidah bagi seorang mukmin dalam menghadapi nikmat dan ujian. Implikasinya mencakup beberapa area krusial:
Sifat yang paling dibenci Allah setelah syirik adalah kesombongan. Kesombongan yang ditunjukkan oleh pemilik kebun kaya adalah bahwa ia menganggap hasilnya permanen, tidak terikat pada kekuasaan Ilahi, dan mengklaimnya sebagai hak mutlak pribadinya. Inilah inti dari kesalahan Iblis yang merasa lebih mulia dari Adam. Ayat 39 secara eksplisit mengajarkan obat penawar kesombongan. Ketika kita mengucapkan "Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh," kita segera memotong akar kesombongan, mengingatkan diri bahwa kita hanyalah penerima pinjaman dan pengelola sementara.
Jika seseorang diberi kekayaan luar biasa, kesombongan dapat merusak hatinya, membuatnya merendahkan orang lain yang kurang beruntung—sebagaimana pemilik kebun itu merendahkan sahabatnya yang miskin. Ucapan ini mengembalikan perspektif bahwa kekayaan adalah ujian, bukan kehormatan abadi. Kerendahan hati yang dipupuk oleh ayat ini memastikan bahwa harta menjadi sarana ibadah, bukan tembok penghalang antara hamba dan Tuhannya.
Ayat 39 mengklarifikasi masalah kepemilikan. Meskipun kita memiliki dokumen kepemilikan formal di dunia, kepemilikan sejati (Al-Mālik) adalah milik Allah. Kebun tersebut disebut "kebunmu" (jannataka) dalam konteks kepemilikan duniawi, namun tuntutan agar menyebut nama Allah menunjukkan bahwa penggunaan dan kelangsungan kebun itu sepenuhnya bergantung pada kepemilikan Ilahi. Ini mengubah hubungan manusia dengan hartanya dari pemilik menjadi wali amanat (manajer).
Apabila kita melihat harta atau kesuksesan hanya sebagai milik kita, maka ketika ia hilang, kita akan menderita kehancuran psikologis dan spiritual. Namun, jika kita melihatnya sebagai amanah yang diizinkan oleh "Mā shāʾa Llāhu," maka ketika ia diambil, kita dapat menerimanya dengan lebih lapang dada, menyadari bahwa Pemilik Sejati hanya mengambil kembali apa yang Dia pinjamkan.
Para ahli hadis dan ulama tafsir sepakat bahwa mengucapkan frasa ini tidak hanya berfungsi sebagai pengakuan teologis, tetapi juga sebagai doa perlindungan dan keberkahan. Ketika seseorang mengaitkan nikmat kepada Allah, Allah akan menjaga nikmat tersebut dari kerusakan, baik fisik (seperti bencana) maupun spiritual (seperti iri hati dan kesombongan).
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda mengenai kalimat ini, menekankan bahwa kalimat tersebut adalah salah satu harta karun Surga. Dengan mengucapkannya saat memasuki "kebun" kita, kita seolah-olah meminta kepada Allah untuk melindungi dan melanggengkan karunia tersebut, bukan berdasarkan kekuatan kita, melainkan berdasarkan rahmat dan kehendak-Nya.
Kisah dua kebun adalah salah satu dari empat ujian utama yang ditekankan dalam Surah Al-Kahfi, bersamaan dengan ujian keimanan (Ashabul Kahfi), ujian ilmu (Musa dan Khidir), dan ujian kekuasaan (Dzulqarnain). Kisah ini secara khusus menyoroti Ujian Harta (kekayaan dan godaan dunia).
Ujian harta seringkali menjadi ujian terberat karena ia secara halus menanamkan ilusi kontrol dan kemandirian dalam diri manusia. Pemilik kebun jatuh karena ilusi ini. Ia gagal memahami bahwa harta adalah alat ukur ketaatan, bukan tujuan akhir kehidupan. Sahabatnya yang miskin, meskipun tidak memiliki kebun yang indah, lulus ujian ini karena ia memiliki keimanan yang kokoh bahwa kenikmatan dunia fana, sementara akhirat kekal.
Ayat 39, dengan tuntutannya akan pengakuan total, adalah jembatan yang menyelamatkan seseorang dari kegagalan dalam ujian harta. Ia memastikan bahwa meskipun seseorang menjadi miliarder, hatinya tetap miskin di hadapan Allah, selalu mengakui bahwa kekayaannya hanyalah embusan angin yang dititipkan oleh Kehendak Agung.
Manusia cenderung lupa dan lalai ketika berada dalam keadaan nyaman dan berlimpah. Inilah sebabnya mengapa Islam menetapkan dzikir (pengingat) sebagai praktik harian. Ayat 39 mengajarkan bahwa dzikir tidak hanya dilakukan saat shalat atau saat kesulitan, tetapi juga saat menikmati puncak kesuksesan duniawi. Mengucapkan Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh adalah dzikir yang menggaransi hati tetap terhubung dengan realitas sejati, bukan terjebak dalam ilusi materialistik.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kekuatan manusiawi, jika tidak disandarkan pada kekuatan Ilahi, adalah kelemahan yang rapuh. Semua upaya, perencanaan bisnis, investasi, dan pengelolaan sumber daya, harus diiringi kesadaran bahwa hasilnya tidak mutlak pasti, melainkan terikat pada izin Allah. Kegagalan pemilik kebun adalah kegagalan spiritual sebelum menjadi kegagalan material.
Setelah sahabatnya yang beriman memberikan nasihat keras tersebut, pemilik kebun tetap menolak dan bertahan dalam kesombongannya. Allah kemudian menunjukkan realitas kekuasaan-Nya. Sebagai balasan atas keangkuhan dan penolakan untuk mengakui Sumber Kekuatan sejati, kebun yang ia banggakan itu hancur total, dilanda azab yang membinasakan. Pohon-pohon tumbang, buah-buahan layu, dan seluruh harta bendanya musnah dalam sekejap.
Kisah ini memberikan pelajaran mendalam tentang kausalitas spiritual. Kerusakan fisik kebun itu adalah akibat langsung dari kerusakan spiritual di hati pemiliknya. Kerusakan spiritual tersebut adalah kegagalan untuk mengucapkan frasa kunci di ayat 39. Ketika seseorang gagal mengakui bahwa kekuatannya berasal dari Allah, ia mengambil peran yang bukan miliknya, yaitu peran otonomi absolut. Konsekuensinya adalah Allah mengambil kembali "pinjaman" kekuatan tersebut, menyebabkan kebinasaan.
Ketika kebun itu hancur, sang pemilik baru tersadar dan mulai menyesali perbuatannya, memukul-mukul kedua telapak tangannya karena biaya besar yang telah dikeluarkan untuk kebun itu, dan akhirnya mengucapkan kalimat yang seharusnya ia ucapkan sejak awal: "Duhai, sekiranya aku tidak menyekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun!" Penyesalan ini datang terlambat, setelah nikmat ditarik. Ayat 39 adalah pencegahan terhadap penyesalan ini.
Ayat ini juga menyoroti penggunaan kekayaan. Kekayaan yang menjadi objek kesombongan akan membawa azab. Kekayaan yang diakui sebagai anugerah Allah dan digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya akan membawa keberkahan. Perbedaan antara pemilik kebun yang celaka dan Qarun (yang kisahnya juga tentang kekayaan) adalah pada tingkat pengakuan. Qarun secara terang-terangan mengatakan kekayaannya berasal dari ilmu yang ia miliki, sedangkan pemilik kebun ini melakukannya melalui keengganan untuk bersyukur secara teologis yang benar (yaitu, mengakui kehendak Ilahi sebagai faktor utama).
Bagi seorang mukmin, aset materi harus menjadi sarana untuk bersyukur, beramal shaleh, dan membantu sesama, bukan menjadi lambang pemisahan dari realitas Ketuhanan. Jika kekayaan membuat seseorang lupa pada ayat 39, kekayaan itu telah menjadi bencana, bahkan sebelum ia hancur secara fisik.
Meskipun kisah dua kebun terjadi di masa lalu, pelajaran dari ayat 39 sangat relevan dalam era modern yang didominasi oleh kesuksesan material, startup, dan pengukuran kinerja yang sering kali mengabaikan faktor spiritual.
Seorang profesional atau pengusaha modern harus menerapkan prinsip Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh ketika mencapai puncak kesuksesan. Ketika target tercapai, omzet melambung, atau promosi diraih, seringkali godaan untuk merasa "aku yang paling hebat" muncul. Mengucapkan frasa ini adalah pengakuan bahwa kecerdasan, jaringan, dan kerja keras yang digunakan, semuanya adalah energi yang dipinjamkan oleh Allah. Ini mencegah kegagalan moral ketika kesuksesan diraih.
Penerapan ini memastikan bahwa kesuksesan tersebut diberkahi dan tidak diiringi dengan arogansi yang merugikan hubungan dengan rekan kerja, bawahan, atau bahkan keluarga. Bisnis yang dibangun di atas kesadaran akan kekuasaan Ilahi lebih mungkin memiliki keberlanjutan dan keberkahan spiritual.
Ayat 39 juga relevan dalam memandang anak dan keturunan. Pemilik kebun sombong merujuk pada "harta dan keturunan" (mālan wa waladan). Ketika kita melihat anak-anak kita cerdas, berprestasi, atau rupawan, kita harus segera mengucapkannya. Hal ini bukan hanya untuk menghindari pandangan iri hati (ain), tetapi yang lebih penting, untuk melindungi diri kita sendiri dari menyandarkan kesempurnaan anak kepada genetik atau pengasuhan kita semata.
Anak-anak adalah amanah. Kecerdasan mereka adalah karunia. Kekuatan mereka untuk berhasil adalah kekuatan yang diberikan oleh Allah. Dengan mengucapkan frasa ini, kita mengakui hak Allah atas amanah tersebut dan memohon perlindungan-Nya agar amanah itu tetap dalam kebaikan dan keberkahan.
Meskipun ayat ini secara utama ditujukan saat melihat nikmat, penghayatan terhadap maknanya juga sangat membantu saat menghadapi kegagalan. Jika kita memahami bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah, maka saat kekuatan kita lemah atau gagal, kita tidak akan merasa putus asa secara total.
Kegagalan dalam bisnis, kesehatan yang menurun, atau kehilangan harta, menjadi pelajaran bahwa kendali kita terbatas. Ini mendorong kita untuk mencari kekuatan sejati dari Sumber yang tidak pernah kering, yaitu Allah. Filosofi di balik ayat 39 mengubah perspektif kerugian dari hukuman absolut menjadi kesempatan untuk kembali berserah diri.
Seringkali, frasa yang menekankan kehendak Allah ini disalahpahami sebagai dorongan untuk pasif dan tidak berusaha. Padahal, Islam menekankan keseimbangan antara usaha (ikhtiar) dan tawakkal (penyerahan diri).
Usaha yang dilakukan pemilik kebun (menanam, mengairi, memelihara) adalah bagian dari ikhtiar yang diperintahkan. Namun, kesalahan fatalnya adalah ia menganggap ikhtiar itu mutlak menentukan hasil, sehingga ia mengabaikan tawakkal. Tawakkal sejati dimulai setelah ikhtiar maksimal, dengan hati yang mengucapkan Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh.
Usaha adalah gerak fisik dan mental, sementara tawakkal adalah gerak hati. Gerak fisik dan mental tanpa gerak hati akan menghasilkan keangkuhan jika berhasil, dan keputusasaan jika gagal. Sebaliknya, tawakkal yang benar mengaitkan hasil (terlepas dari apakah ia berhasil atau gagal) kembali kepada Kehendak Ilahi, sebagaimana diajarkan oleh ayat 39 ini. Ini adalah jaminan ketenangan jiwa bagi seorang mukmin sejati.
Dalam tradisi sufi dan irfani, pemahaman atas Lā quwwata illā bi-Llāh mencapai tingkat penyaksian bahwa manusia tidak memiliki daya atau kemampuan independen sedikit pun. Bahkan kemampuan untuk mengangkat jari atau mengingat ayat ini pun adalah karunia yang terus menerus diberikan oleh Allah. Kekuatan yang dimiliki manusia hanyalah pantulan dari Qudrah (Kekuatan) Allah.
Pengakuan ini menghasilkan keadaan spiritual yang disebut Fana' (peleburan), di mana hamba tidak melihat dirinya sebagai pelaku yang independen, melainkan sebagai wadah tempat kehendak Allah beroperasi. Ini adalah level keikhlasan tertinggi yang menjauhkan seseorang dari segala bentuk riya' (pamer) atau ujub, karena ia tidak melihat dirinya sendiri dalam perbuatannya, melainkan hanya melihat Kehendak Allah yang mewujud.
Oleh karena itu, ketika melihat kebun yang subur atau rekening bank yang penuh, seorang yang sadar akan hakikat ini tidak akan memandang kemewahan fisik itu semata, melainkan melihat Rahmat dan Izin Ilahi yang sedang bekerja. Pandangan ini adalah kunci untuk melanggengkan berkah, karena syukur sejati adalah dengan mengaitkan nikmat kepada Pemberi Nikmat sejati.
Ayat 39 dalam Al-Kahfi memiliki resonansi yang kuat dengan kisah-kisah peringatan lainnya dalam Al-Qur'an:
Qarun, yang kisahnya diceritakan dalam Surah Al-Qashash, adalah prototipe kesombongan material. Ketika ia ditanya tentang sumber kekayaannya, ia menjawab: "Sesungguhnya aku diberi harta itu hanyalah karena ilmu yang ada padaku." (QS. Al-Qashash: 78). Pemilik kebun dalam Al-Kahfi tidak mengucapkan kata-kata ini secara eksplisit, tetapi ia mengimplementasikan makna ini dalam hatinya—ia merasa kebun itu adalah miliknya yang abadi, tanpa perlu menyebut nama Allah.
Kesamaan antara keduanya adalah penolakan terhadap kepemilikan Ilahi. Konsekuensinya juga serupa: kehancuran total. Qarun ditenggelamkan bersama hartanya, sementara kebun dalam Al-Kahfi dihancurkan. Ini menegaskan bahwa hukum Allah tentang keangkuhan terhadap harta bersifat universal dan abadi.
Nabi Sulaiman AS diberi kekayaan, kerajaan, dan kekuasaan yang tak tertandingi. Namun, setiap kali ia menyaksikan keajaiban kerajaannya (seperti ketika singgasana Ratu Balqis dipindahkan sekejap mata), ia selalu segera berkata, "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau kufur." (QS. An-Naml: 40). Sulaiman adalah model ideal dari penerapan Ayat 39, bahkan sebelum ayat itu diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Sulaiman tidak pernah membiarkan kekuasaannya menumbuhkan kesombongan; ia selalu mengaitkan prestasinya kembali kepada Allah. Inilah kontras yang sempurna dengan pemilik kebun. Kekuasaan yang sangat besar tidak berbahaya jika diiringi kerendahan hati yang mutlak.
Surah Al-Kahfi ayat 39 menyajikan formula sederhana namun revolusioner untuk memelihara hati dari penyakit-penyakit duniawi. Ia adalah kunci untuk melewati ujian harta dengan sukses. Ketika kita merenungkan kebun yang hancur karena keangkuhan, kita diingatkan bahwa kemakmuran duniawi tidak akan pernah menjadi benteng sejati. Benteng sejati kita adalah hati yang penuh pengakuan, lisan yang selalu mengucapkan Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh, dan jiwa yang tunduk sepenuhnya kepada Kehendak Ilahi.
Ayat ini adalah panggilan untuk introspeksi. Setiap kali kita merasa bangga berlebihan atas pencapaian, atau merasa aman karena kekayaan, kita harus segera memanggil frasa ini. Ini adalah jembatan yang menghubungkan ikhtiar kita yang terbatas dengan Qudrah Ilahi yang tak terbatas. Hanya dengan pengakuan ini, kita dapat berharap bahwa nikmat yang kita terima akan abadi, bukan karena kekuatan kita, melainkan karena izin dan pemeliharaan dari Allah Yang Maha Kuasa.
Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini mengajarkan kita untuk hidup dalam kesadaran spiritual yang konstan. Baik dalam kesuksesan yang gemilang maupun dalam menghadapi tantangan yang menguji, sandaran kita hanyalah Allah. Dialah sumber segala kekuatan, dan segala yang Dia kehendaki pasti akan terjadi, sebuah kebenaran yang harus diikrarkan di setiap waktu dan tempat, di setiap langkah kesuksesan yang kita raih.
Ketika kita secara sadar menginternalisasi ajaran Al-Kahfi 39, kita mencapai tingkat keimanan yang stabil, di mana hati kita tidak pernah terlalu gembira dengan apa yang datang, dan tidak pernah terlalu sedih dengan apa yang hilang, karena kita tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Kehendak Ilahi yang sempurna. Kesadaran ini adalah warisan spiritual yang jauh lebih berharga daripada kebun anggur atau kebun kurma yang paling subur di dunia.
Pelajaran kerendahan hati yang diajarkan oleh sahabat yang beriman kepada temannya yang sombong harus bergema dalam setiap aspek kehidupan kita. Kehidupan yang diberkahi bukanlah kehidupan yang bebas dari kesulitan, tetapi kehidupan yang setiap nikmatnya diiringi dengan pengakuan tulus: "Apa yang dikehendaki Allah, maka itulah yang terjadi. Tiada kekuatan upaya kecuali dengan pertolongan Allah." Ini adalah formula keberkahan, formula perlindungan, dan formula kebahagiaan abadi.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa kekayaan dan kenikmatan adalah fatamorgana jika dipandang terpisah dari Penciptanya. Ketika kita mengklaimnya sebagai milik mutlak kita, kita sedang membangun fondasi kehancuran diri. Sebaliknya, ketika kita segera mengembalikan pujian dan kekuatan kepada Allah, kita membangun benteng yang tidak dapat ditembus oleh bencana atau kesombongan. Inilah keindahan dan kedalaman teologis dari Surah Al-Kahfi ayat 39, sebuah pengajaran abadi bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman, untuk senantiasa menyadari hakikat keterbatasan daya upaya diri di hadapan Keagungan Ilahi.
Dalam konteks modern yang serba cepat dan individualistik, di mana prestasi seringkali diagungkan tanpa melihat faktor di luar kontrol manusia, pesan ini menjadi semakin vital. Kita dituntut untuk menjadi individu yang produktif dan berhasil, namun keberhasilan ini harus disaring melalui filter tauhid. Keberhasilan yang tidak dilandasi oleh pengakuan "Mā shāʾa Llāhu lā quwwata illā bi-Llāh" adalah kesuksesan yang rapuh, menunggu waktu untuk diuji dan mungkin dihancurkan, sebagaimana kebun yang subur itu mendapati kehancurannya dalam sekejap mata.
Maka dari itu, mari kita jadikan frasa agung ini sebagai napas spiritual yang menyertai setiap pencapaian, setiap kegembiraan, dan setiap momen ketika kita menyaksikan keindahan atau kelimpahan, agar kita selalu berada di jalur kerendahan hati, bersyukur, dan tawakkal yang hakiki. Ini adalah inti dari kepasrahan, inti dari keimanan, dan inti dari pelajaran yang disampaikan oleh Al-Kahfi 39.