Studi Mendalam tentang Diversifikasi Bukti Ilahi dan Sifat Manusia yang Suka Berbantah
Surah Al-Kahfi menempati posisi istimewa dalam khazanah Al-Qur'an. Ia dikenal sebagai surah yang merangkum empat ujian fundamental dalam kehidupan: ujian agama (Kisah Ashabul Kahfi), ujian harta (Kisah pemilik dua kebun), ujian ilmu (Kisah Musa dan Khidr), dan ujian kekuasaan (Kisah Dzul Qarnain). Di tengah rangkaian kisah-kisah penuh hikmah ini, terletaklah sebuah ayat yang berfungsi sebagai penutup filosofis dan sintesis teologis, yang mengungkap hakikat metode dakwah Ilahi dan tabiat abadi manusia. Ayat tersebut adalah ayat ke-54.
Terjemahannya, secara umum, menyatakan: "Dan sesungguhnya telah Kami ulang-ulangi (jelaskan) dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan bagi manusia. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." Ayat ini adalah deklarasi kuat yang membagi realitas menjadi dua kutub: kesempurnaan metodologi petunjuk Ilahi di satu sisi, dan kelemahan inheren psikologis manusia di sisi yang lain. Analisis mendalam terhadap ayat ini memerlukan pembedahan setiap komponen utamanya, yaitu konsep Tashrif (diversifikasi), Kullu Mathalin (setiap perumpamaan), dan Al-Insan Aktsara Syai'in Jadala (manusia yang paling banyak membantah).
Bagian pertama ayat ini, "وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِن كُلِّ مَثَلٍ" (Dan sesungguhnya telah Kami ulang-ulangi dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan bagi manusia), adalah sebuah pernyataan tentang komitmen mutlak Allah SWT dalam menyediakan petunjuk yang jelas, beragam, dan mudah diakses oleh akal manusia. Kata kunci di sini adalah "Sharrafna" (صَرَّفْنَا).
Secara bahasa, tashrif berarti membalikkan, mengubah, atau mendiversifikasi. Dalam konteks Al-Qur'an, ia merujuk pada upaya penyajian kebenaran tunggal (tauhid, kenabian, hari akhir) melalui berbagai sudut pandang, gaya, dan media. Ini bukan berarti kebenaran itu sendiri berubah, melainkan cara penyampaiannya yang disesuaikan agar cocok dengan berbagai tingkat pemahaman, latar belakang budaya, dan kecenderungan psikologis audiens.
Keberagaman dalam tashrif ini meliputi:
Pengulangan dan diversifikasi ini menegaskan bahwa kebenaran telah disampaikan sedemikian rupa sehingga tidak ada alasan valid bagi siapa pun untuk mengatakan, 'Kami tidak tahu,' atau 'Pesan ini terlalu rumit.' Ini adalah bukti dari kasih sayang dan keadilan Ilahi. Allah tidak meninggalkan manusia tanpa panduan; Dia memberikan panduan dalam format yang paling mudah dicerna oleh berbagai lapisan masyarakat. Seluruh Al-Qur'an adalah manifestasi dari metode tashrif ini, di mana tema sentral dibahas dalam berbagai bab dan konteks, memastikan bahwa pesan inti akan tertanam kuat dalam hati dan pikiran.
Ilustrasi Tashrif: Kebenaran tunggal yang disampaikan melalui berbagai perumpamaan dan metode.
Frase "min kulli mathalin" (bermacam-macam perumpamaan) menekankan sifat universal dari ajaran Al-Qur'an. Perumpamaan (mathal) berfungsi untuk mengubah ide-ide abstrak dan metafisik menjadi sesuatu yang dapat dipahami melalui pengalaman sehari-hari. Dengan menggunakan perumpamaan, Al-Qur'an memastikan bahwa ajaran tidak terbatas pada kaum intelektual atau filosof, tetapi relevan bagi penggembala, pedagang, raja, dan rakyat jelata.
Dalam konteks Al-Kahfi, kita melihat mathal yang sangat kontras:
Setiap kisah, setiap perumpamaan, adalah bukti yang berdiri sendiri, disusun secara rapi, jelas, dan berulang. Setelah menyaksikan kesempurnaan dan keindahan metode Ilahi ini, ayat 54 kemudian beralih ke analisis kritis terhadap respons penerima pesan—manusia.
Ayat 54 mencapai puncaknya pada kontradiksi yang menyakitkan: walaupun kebenaran telah dihidangkan dengan kejelasan dan keragaman yang tak tertandingi, manusia menunjukkan respons yang paling mengecewakan. "وَكَانَ الْإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا" (Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah).
Kata Jadal (جَدَلًا) dalam bahasa Arab merujuk pada pertengkaran, debat, atau pertentangan. Meskipun debat (mujadalah) secara umum bisa bersifat positif—seperti ketika dilakukan untuk mencari kebenaran dengan cara yang baik (sebagaimana diperintahkan dalam Surah An-Nahl: 125)—penggunaan kata jadal dalam Al-Kahfi 54 membawa konotasi negatif: debat yang tidak produktif, argumentasi yang lahir dari kekeraskepalaan, atau bantahan yang didorong oleh keangkuhan untuk menolak bukti yang jelas.
Manusia disebut "أَكْثَرَ شَيْءٍ" (yang paling banyak) membantah. Ini menunjukkan bahwa kecenderungan berdebat bukanlah sekadar sifat sampingan, tetapi merupakan aspek dominan dalam interaksi manusia dengan kebenaran yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Kenapa manusia, yang dianugerahi akal, justru menggunakan akalnya untuk melawan bukti yang paling jelas?
Para ulama tafsir kontemporer dan klasik menyoroti beberapa akar psikologis mengapa manusia begitu rentan terhadap jadal negatif:
Ketika bukti logis, historis, dan empiris telah disediakan (melalui tashrif), orang yang berdebat pada dasarnya berdebat melawan diri mereka sendiri. Mereka tidak mencari kebenaran; mereka mencari celah, retakan, atau pembenaran untuk tetap berada dalam posisi ingkar atau ragu.
Ilustrasi Jadal: Sifat manusia yang keras kepala dalam membantah kebenaran, meskipun bukti sudah jelas.
Keindahan ayat 54 terletak pada kontras tajam antara kesempurnaan pengirim pesan (Allah) dan kekurangan penerima pesan (manusia). Ayat ini secara implisit mengajarkan sebuah kaidah fundamental dalam dakwah dan spiritualitas: Kegagalan manusia menerima kebenaran bukanlah karena cacat pada kebenaran itu sendiri, tetapi karena penghalang internal dalam diri manusia.
Setelah kisah-kisah penuh ujian dalam Al-Kahfi, ayat 54 berfungsi sebagai rangkuman: Lihatlah, wahai manusia, bagaimana Kami telah menunjukkan kepada kalian kisah Dzul Qarnain yang adil namun tidak sombong, kisah Khidr yang berilmu namun misterius, dan kisah Ashabul Kahfi yang sabar. Semua itu adalah perumpamaan yang beragam, disajikan untuk membuka mata dan hati.
"وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِن كُلِّ مَثَلٍ..." (Dan sesungguhnya telah Kami ulang-ulangi dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan bagi manusia...)
Pernyataan ini adalah penekanan pada usaha keras dan metodologi yang sempurna. Kemudian datanglah pengecualian yang pahit:
"...وَكَانَ الْإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا" (...Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.)
Tafsir atas ayat ini sering menekankan bahwa sifat jadal ini adalah universal, melampaui batas suku atau waktu. Ini adalah ciri psikologis yang ditanamkan (atau setidaknya diizinkan) oleh Allah pada manusia, yang berfungsi sebagai ujian: apakah manusia akan menggunakan anugerah akalnya untuk tunduk pada kebenaran, atau untuk mencari alasan logis yang rapuh guna menolaknya.
Sifat jadal yang disoroti dalam ayat 54 sebenarnya telah diilustrasikan dalam narasi-narasi sebelumnya:
Dengan demikian, ayat 54 bukan sekadar komentar acak, melainkan kesimpulan teologis yang menggarisbawahi mengapa, meskipun dengan bukti yang begitu banyak, masih ada keingkaran. Intinya, tashrif adalah bukti kesempurnaan Allah, sedangkan jadal adalah bukti kegagalan manusia untuk memanfaatkan petunjuk tersebut secara benar.
Untuk memahami kedalaman kritik Al-Qur'an terhadap sifat jadal, kita perlu membedakan antara perdebatan yang sehat dan perbantahan yang tercela. Perdebatan yang sehat (mujadalah hasanah) adalah alat untuk klarifikasi dan pencarian kebenaran. Jadal yang dimaksud dalam ayat 54 adalah upaya untuk menggoyahkan kebenaran yang sudah kokoh dengan argumen-argumen yang lemah, emosional, atau didorong oleh agenda tersembunyi.
Jadal yang berlebihan dan destruktif bertindak sebagai penghalang kognitif dan spiritual. Ketika seseorang fokus pada bagaimana membantah, energi mentalnya tidak lagi digunakan untuk memahami atau merenungkan pesan, melainkan untuk membangun benteng pertahanan argumentatif.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh para nabi dan rasul selalu berupa jadal. Kaum mereka tidak mengatakan bahwa mukjizat itu jelek, melainkan mereka mencari celah logis (walau dangkal) untuk menolak validitasnya. Mereka berdebat tentang apakah Nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa, mengapa Al-Qur'an diturunkan secara bertahap, dan mengapa mereka harus meninggalkan tradisi lama. Setiap bantahan ini adalah penolakan terhadap kebenaran yang telah disampaikan dengan seribu macam cara (kullu mathalin).
Perbantahan ini seringkali menghasilkan syubhat (keraguan), yang walaupun mudah dipatahkan bagi orang yang beriman, menjadi alasan yang cukup bagi mereka yang memang sudah cenderung ingkar untuk menutup diri sepenuhnya dari cahaya petunjuk. Al-Qur'an telah menyediakan semua contoh; yang dibutuhkan adalah hati yang terbuka, tetapi jadal menutup hati tersebut.
Di era informasi dan media sosial, sifat jadal manusia yang disorot dalam Al-Kahfi 54 menjadi lebih nyata dan merusak. Manusia modern memiliki akses ke segala macam perumpamaan (video dakwah, artikel ilmiah, kisah-kisah sejarah, bukti arkeologi) yang semuanya berfungsi sebagai tashrif Ilahi yang diperluas.
Ayat 54 berfungsi sebagai peringatan abadi: jika manusia tidak mengendalikan sifat jadalnya, ia akan menjadi benteng pertahanan yang mengisolasi dirinya dari kebenaran, terlepas dari seberapa jelas kebenaran itu disajikan.
Jika sifat bawaan manusia adalah cenderung membantah, maka upaya spiritual terbesar adalah melawan kecenderungan tersebut. Al-Kahfi 54, dengan mengidentifikasi penyakitnya, sekaligus memberikan resep penyembuhannya: introspeksi dan kerendahan hati (tawadhu’).
Ayat ini mendorong kita untuk merenungkan keindahan tashrif. Sebelum kita membantah atau meragukan suatu ajaran, kita harus bertanya: Apakah kebenaran ini benar-benar tidak jelas, ataukah saya yang tidak ingin melihatnya? Kita harus menyadari bahwa jika Allah telah bersusah payah mendiversifikasi (sharrafna) perumpamaan, maka kekurangan ada pada diri kita, bukan pada pesan itu.
Langkah pertama dalam mengendalikan jadal adalah mengakui bahwa keragaman perumpamaan Al-Qur'an adalah rahmat. Setiap perumpamaan adalah pintu masuk yang berbeda menuju kebenaran yang sama. Ketika satu pintu tidak cocok dengan akal kita, pintu yang lain mungkin lebih sesuai. Ketiadaan kemauan untuk mencari pintu lain inilah yang menjadi inti jadal yang tercela.
Menghadapi sifat bawaan argumentatif ini membutuhkan disiplin spiritual:
Pengendalian diri ini sangat vital karena jadal yang berlebihan tidak hanya menghalangi hidayah bagi diri sendiri, tetapi juga meracuni lingkungan spiritual di sekitar kita. Ayat 54 memperingatkan bahwa manusia memiliki potensi tak terbatas untuk menjadi agen keraguan dan perselisihan, jika sifat bawaan ini tidak diarahkan atau dikendalikan oleh akal dan wahyu.
Penting untuk diakui bahwa ayat 54 tidak hanya merujuk pada orang-orang kafir atau musyrik pada masa kenabian, tetapi merujuk pada "Al-Insan" (Manusia) secara umum. Ini adalah karakteristik universal yang melintasi waktu dan keyakinan. Bahkan dalam komunitas orang beriman, kecenderungan untuk jadal bisa muncul dalam bentuk fanatisme mazhab, perselisihan kecil, atau perdebatan tentang masalah-masalah furu' (cabang) yang mengalihkan perhatian dari usul (pokok) agama.
Fenomena yang sering terjadi adalah ketika umat terlalu fokus pada detail dan metodologi yang berbeda, sehingga lupa pada inti dari pesan Ilahi. Mereka berdebat tentang tata cara pelaksanaan yang kecil, meskipun Al-Qur'an telah mendiversifikasi (sharrafna) pelajaran utamanya dengan sangat jelas. Energi yang seharusnya digunakan untuk amal saleh dan kontemplasi dihabiskan untuk perbantahan yang sia-sia, membuktikan kebenaran ayat 54 bahwa manusia adalah yang paling banyak membantah.
Sifat jadal ini, ketika dihadapkan pada kebenaran yang jelas, menunjukkan betapa berbahayanya penolakan terhadap kepastian. Manusia sering merasa lebih nyaman dalam zona abu-abu perdebatan daripada dalam hitam-putihnya kepastian Ilahi, karena kepastian menuntut tindakan, sedangkan perdebatan hanya menuntut kata-kata.
Beberapa penafsir melihat sifat jadal sebagai bagian dari ujian kebebasan memilih (ikhtiyar) yang diberikan kepada manusia. Karena manusia memiliki kebebasan berpikir, ia juga memiliki kemampuan untuk menggunakan kebebasan itu untuk menantang Penciptanya. Ketika Al-Qur'an menunjukkan bukti (tashrif) yang begitu komprehensif, kemampuan manusia untuk tetap membantah adalah bukti dari tingkat kebebasan yang diberikan kepadanya—kebebasan yang jika disalahgunakan, akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Ayat 54 adalah panggilan keras untuk refleksi: Jika semua bukti sudah di depan mata, jika petunjuk telah dihias sedemikian rupa, namun kita masih sibuk membantah, maka kita telah gagal dalam ujian terbesar: ujian kerendahan hati di hadapan Kebenaran Mutlak.
Untuk mengapresiasi sepenuhnya metodologi Ilahi yang disorot dalam paruh pertama ayat 54, kita harus terus-menerus membandingkannya dengan kelemahan manusiawi yang disorot di paruh kedua. Tujuan dari Tashrif adalah menghilangkan segala alasan dan keraguan. Tujuan Allah adalah menyediakan jalan yang paling mulus menuju hidayah. Ironisnya, manusia kemudian menciptakan rintangan sendiri melalui Jadal.
Sifat diversifikasi Al-Qur'an (tashrif) adalah salah satu bukti keilahiannya (i'jaz). Jika Al-Qur'an adalah karya manusia, ia pasti akan memiliki satu gaya tunggal atau satu sudut pandang yang konsisten dengan psikologi penulisnya. Tetapi karena ia datang dari Allah, ia mampu menyajikan kebenaran yang sama dalam berbagai bentuk yang sempurna: dari prosa puitis yang indah, hukum yang ketat, hingga narasi sejarah yang mendalam.
Ketika seseorang berdebat melawan Al-Qur'an, mereka berdebat melawan sebuah keindahan struktural dan logis yang jauh melampaui kemampuan manusia. Perbantahan (jadal) adalah upaya untuk meruntuhkan kesempurnaan ini, seringkali dengan argumen yang lemah atau tidak relevan, yang justru menegaskan betapa superiornya pesan yang mereka coba bantah.
Jadal tidak hanya terbatas pada teks wahyu, tetapi meluas hingga penolakan terhadap tanda-tanda (ayat) Allah di alam semesta. Al-Qur'an menggunakan fenomena alam (siklus hujan, pergantian malam dan siang, penciptaan makhluk hidup) sebagai mathal (perumpamaan/bukti) yang paling jelas. Namun, manusia yang argumentatif menggunakan akalnya untuk mencari penjelasan materialistik yang menolak adanya campur tangan Ilahi.
Sifat manusia ini diungkapkan dalam ayat 54 sebagai "yang paling banyak membantah" bahkan terhadap bukti yang dapat dirasakan oleh indra. Contoh paling ekstrem dari jadal adalah menolak untuk mengakui keajaiban penciptaan, meskipun semua data empiris menunjukkan adanya desain dan keteraturan yang luar biasa.
Oleh karena itu, hikmah dari Al-Kahfi 54 adalah pelajaran ganda: kenali kesempurnaan petunjuk Ilahi yang serba melingkupi, dan waspadai kelemahan internal kita sendiri—kecenderungan untuk menolak kebenaran yang menuntut perubahan diri.
Dampak dari jadal yang tercela melampaui kerugian pribadi; ia memiliki konsekuensi moral dan etis yang merusak tatanan sosial dan spiritual.
Ketika perdebatan dilakukan semata-mata untuk kemenangan atau penolakan, ia mengikis fondasi kepercayaan. Orang yang terbiasa mencari celah dalam setiap kebenaran akan kesulitan membangun kepercayaan sejati, baik kepada Tuhan, kepada sesama, maupun kepada ilmu pengetahuan itu sendiri. Sikap sinis dan argumentatif yang berlebihan menjadi penghalang spiritual yang tebal.
Kebenaran Ilahi selalu membawa tanggung jawab (taklif). Ketika seseorang dihadapkan pada perintah untuk shalat, puasa, atau berbuat adil, ada tuntutan untuk bertindak. Jadal seringkali berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri untuk menghindari tanggung jawab ini. Dengan menciptakan keraguan (melalui perdebatan), seseorang merasa dibenarkan untuk menunda atau mengabaikan kewajiban. Ayat 54 memperingatkan kita bahwa meskipun alasan-alasan bantahan kita terdengar logis di telinga kita sendiri, di hadapan Allah, semua alasan tersebut telah diantisipasi dan dipatahkan melalui tashrif yang beragam.
Sifat jadal menjadi semacam penyakit hati yang membuat penderitanya selalu mencari kontradiksi, bukan harmoni. Ia mencari pengecualian, bukan kaidah umum. Ia menuntut bukti yang mustahil (seperti melihat Allah secara fisik), meskipun bukti yang mungkin (wahyu, alam) telah disediakan dalam jumlah yang melimpah.
Keseluruhan pesan Surah Al-Kahfi 54 adalah penegasan bahwa Allah telah menjalankan bagian-Nya (penyediaan petunjuk yang sempurna), dan kini manusia harus menjalankan bagiannya (menerima petunjuk tersebut dengan hati yang lapang dan akal yang rendah hati). Ayat ini adalah semacam diagnosa universal tentang kondisi spiritual manusia.
Perbedaan mendasar antara mereka yang berhasil meraih hidayah dan mereka yang tenggelam dalam kesesatan seringkali bukan terletak pada tingkat kecerdasan mereka, tetapi pada kemampuan mereka mengendalikan sifat jadal. Orang yang cerdas, tetapi angkuh dalam berdebat, menggunakan kecerdasannya untuk memperkuat penolakan. Sebaliknya, orang yang tulus, menggunakan akalnya untuk memahami keragaman tashrif dan tunduk pada keindahan kebenaran.
Pelajaran terpenting yang harus diambil adalah bahwa setelah menyaksikan betapa berlimpah dan beragamnya perumpamaan yang disajikan oleh Al-Qur'an, tidak ada seorang pun yang dapat berdiri di hadapan Allah dan mengklaim ketidaktahuan atau kebingungan. Klaim kebingungan hanyalah topeng bagi keengganan untuk menerima komitmen yang dituntut oleh kebenaran.
Kisah-kisah dalam Al-Kahfi, yang mendahului ayat ini, telah memberikan pelajaran tentang bahaya kesombongan intelektual (Musa belajar dari Khidr), bahaya keterikatan material (Pemilik Kebun), dan perlunya kesabaran menghadapi tirani (Ashabul Kahfi). Semua kisah itu adalah perumpamaan. Dan kesimpulannya adalah: Meskipun semua perumpamaan ini telah disampaikan, manusia tetaplah makhluk yang paling sering membantah.
Ayat ini tidak melarang dialog atau pencarian ilmu, tetapi melarang perbantahan yang sia-sia. Para ulama mengajarkan bahwa jalan keluar dari jadal yang tercela adalah beralih menuju mujadalah hasanah (perdebatan yang baik). Perdebatan yang baik berfokus pada isi, bukan pada kemenangan. Ia berlandaskan pada keadilan, bukan emosi. Tujuan akhirnya adalah mencapai kesepakatan pada kebenaran, bahkan jika itu berarti mengakui kesalahan diri sendiri.
Ayat Al-Kahfi 54 menjadi cerminan abadi tentang perjuangan spiritual. Perjuangan ini bukan melawan setan atau dunia luar semata, melainkan perjuangan melawan diri kita sendiri, melawan kecenderungan inheren untuk mencari pembenaran atas kesalahan kita melalui perdebatan yang tak berujung. Hanya dengan merenungkan kesempurnaan tashrif dan mengendalikan jadal, manusia dapat menunaikan amanah akal yang telah diberikan kepadanya.
Dalam setiap lembaran Al-Qur'an, di setiap ayat, di setiap perumpamaan, terdapat ulangan dan variasi bukti yang dimaksudkan untuk membimbing. Surah Al-Kahfi 54 adalah pengingat keras bahwa bukti telah disajikan secara berlimpah, dan kini bola ada di tangan manusia: menerima dengan rendah hati atau membantah dengan angkuh. Pilihan respons inilah yang menentukan takdir spiritualnya.
Pengulangan tema ini dalam berbagai sudut pandang—filosofis, historis, dan psikologis—menggarisbawahi urgensi ayat 54 sebagai pondasi bagi pemahaman hubungan antara wahyu dan akal. Ayat ini menempatkan tanggung jawab penerimaan petunjuk sepenuhnya di pundak manusia. Allah telah membersihkan jalan; manusia lah yang membangun barikade argumentatif. Dengan kesadaran ini, setiap pembaca Al-Qur'an diharapkan untuk mendekati wahyu bukan sebagai teks yang harus dibantah, melainkan sebagai petunjuk yang harus direnungkan dan dijalani. Ini adalah inti dari hikmah yang terkandung dalam firman: وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِن كُلِّ مَثَلٍ ۚ وَكَانَ الْإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا. Kesempurnaan pesan versus kerasnya hati manusia, sebuah kontradiksi abadi yang menjadi ujian terbesar bagi Bani Adam.
Refleksi lebih lanjut atas ayat ini membawa kita kepada pemahaman yang lebih mendalam mengenai fungsi edukatif Al-Qur'an. Jika Al-Qur'an hanya berisi perintah dan larangan tanpa tashrif (diversifikasi perumpamaan), mungkin manusia memiliki alasan untuk mengklaim bahwa petunjuk itu kering atau tidak relevan. Namun, karena Allah memilih jalur naratif, alegoris, hukum, dan kosmik, klaim tersebut gugur. Setiap orang, dari masa lalu hingga masa kini, dari latar belakang ilmiah hingga spiritual, dapat menemukan cermin bagi kehidupannya dalam kullu mathalin yang disajikan.
Sejatinya, sifat jadal yang melekat pada manusia adalah manifestasi dari keengganan untuk beranjak dari pandangan yang sudah mapan. Perubahan, baik itu perubahan keyakinan atau perubahan perilaku, seringkali terasa menyakitkan. Jadal menawarkan jalan keluar yang nyaman: alih-alih harus berubah, saya cukup membantah validitas tuntutan perubahan tersebut. Dengan demikian, ayat 54 adalah peringatan terhadap inersia spiritual, peringatan bahwa kenyamanan argumentatif adalah musuh dari pertumbuhan sejati.
Fenomena jadal semakin kompleks ketika ia bercampur dengan rasa superioritas intelektual. Orang-orang yang memiliki kapasitas berpikir tinggi, bukannya lebih mudah menerima kebenaran karena kemampuan analisis mereka, malah cenderung lebih keras kepala dalam berdebat. Mereka menggunakan kemampuan logis mereka untuk mencari lubang kecil dalam bukti yang besar, melupakan gambaran utuh yang telah diuraikan oleh tashrif Ilahi. Ayat ini tidak mengecam kecerdasan, melainkan mengecam penggunaan kecerdasan sebagai senjata penolakan. Kecerdasan sejati, seharusnya, membawa seseorang lebih cepat kepada ketundukan (Islam), bukan kepada perbantahan (Jadal).
Dalam konteks akhir zaman, di mana informasi palsu dan perdebatan tak berujung mendominasi ruang publik, ayat Al-Kahfi 54 menjadi semakin relevan. Ujian iman di masa kini seringkali bukan datang dari kekurangan bukti, melainkan dari kelebihan informasi yang digunakan untuk memicu jadal. Manusia modern berdebat bukan untuk mencari kebenaran yang hilang, tetapi untuk mempertahankan sudut pandang yang paling nyaman secara sosial atau politik. Kecenderungan ini mengkonfirmasi secara dramatis bahwa manusia memang aktsara syai'in jadala.
Maka, hikmah tertinggi dari merenungkan ayat 54 adalah panggilan untuk melakukan muhasabah (introspeksi) yang radikal. Setiap kali kita merasa terdorong untuk membantah, kita harus berhenti dan bertanya: Apakah dorongan ini berasal dari semangat mencari ilmu atau dari penyakit jadal yang diperingatkan oleh Al-Qur'an? Jika kita menyadari bahwa debat kita adalah upaya untuk mempertahankan ego di hadapan kebenaran yang jelas, maka kita harus memohon perlindungan dari Allah dari sifat yang paling dicela dalam ayat ini.
Penghargaan terhadap tashrif Ilahi memerlukan kerangka berpikir yang menghargai keragaman metode dan kesatuan tujuan. Ini berarti menerima bahwa jalan menuju pemahaman tidak selalu linear. Kisah Ashabul Kahfi mengajarkan tentang waktu, kisah Khidr mengajarkan tentang takdir, kisah Dzul Qarnain mengajarkan tentang kekuasaan. Semuanya adalah bagian dari jalinan kullu mathalin yang saling melengkapi. Ketika manusia berfokus pada perbedaan naratif dan menggunakannya sebagai alasan untuk membantah, ia telah gagal melihat kesatuan pesan di balik keragaman gaya.
Ayat 54, yang terletak di tengah Surah Al-Kahfi, bertindak sebagai jangkar teologis yang mengingatkan kita bahwa meskipun dunia penuh dengan ujian, petunjuk telah diberikan secara lengkap dan beragam. Kegagalan untuk lulus dari ujian-ujian tersebut tidak dapat disalahkan pada kurangnya kejelasan, melainkan pada kelebihan argumentasi. Inilah inti dari kontradiksi abadi antara upaya sempurna Allah dalam memberikan panduan dan kecenderungan keras kepala manusia dalam menolaknya. Ayat ini bukan sekadar observasi, melainkan sebuah teguran keras bagi setiap jiwa yang memilih perdebatan di atas penerimaan yang tulus.
Pentingnya mengendalikan jadal juga dapat dilihat dari dampak sosialnya. Komunitas yang didominasi oleh perbantahan akan kehilangan fokus dan persatuan. Energi yang seharusnya diarahkan untuk membangun dan beramal saleh terkuras habis dalam polemik yang tidak berkesudahan. Al-Qur'an ingin menciptakan komunitas yang bersatu di atas kebenaran yang jelas, tetapi sifat jadal manusia secara inheren mengancam persatuan ini dengan memaksakan perpecahan atas masalah-masalah sekunder.
Sebagai penutup dari analisis mendalam ini, kita kembali pada keindahan bahasa Al-Qur'an. Pemilihan kata "sharrafna"—Kami telah mengulang-ulangi/mendiversifikasi—memiliki makna aktif yang kuat, menekankan upaya Ilahi. Sementara itu, "aktsara syai'in jadala"—yang paling banyak membantah—adalah predikat pasif yang menyedihkan tentang kondisi manusia. Kontras antara usaha aktif Allah dan kelemahan pasif manusia adalah pelajaran moral yang paling kuat dari Surah Al-Kahfi ayat 54.
Dengan demikian, Al-Kahfi 54 adalah mercusuar yang memandu kita melalui badai keraguan dan perdebatan. Ia menuntut kita untuk bersikap jujur pada diri sendiri: apakah saya pembantah atau pencari kebenaran? Jawaban atas pertanyaan ini adalah kunci untuk membuka hikmah dari setiap perumpamaan (kullu mathalin) yang telah Allah turunkan.
Ayat ini mengajak pembaca untuk tidak hanya membaca Al-Qur'an, tetapi untuk merasakannya, merenungkannya, dan membiarkannya menembus lapisan-lapisan kekeraskepalaan argumentatif yang sering kita bangun di sekitar diri kita. Hanya dengan melepaskan kecintaan pada jadal, kita dapat sepenuhnya menerima keragaman dan kekayaan petunjuk yang ditawarkan oleh Al-Qur'an. Ini adalah panggilan untuk transisi dari perdebatan yang menghancurkan kepada refleksi yang membangun, sebuah transformasi yang diperlukan untuk mencapai ketenangan spiritual.
Keseluruhan Surah Al-Kahfi, dengan empat pilarnya, diakhiri dengan peringatan ini untuk memastikan bahwa pembaca memahami konteks penerimaan wahyu. Al-Qur'an telah menyediakan peta; ia tidak bertanggung jawab jika sang musafir sibuk membantah validitas peta tersebut daripada menggunakannya untuk mencapai tujuan. Keberagaman perumpamaan adalah rahmat; kerelaan untuk tidak membantah adalah kebijaksanaan. Inilah warisan abadi dari وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِن كُلِّ مَثَلٍ ۚ وَكَانَ الْإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا.