Surah Al-Kahfi merupakan salah satu surah yang memiliki kedalaman makna luar biasa, seringkali disebut sebagai penawar fitnah Dajjal, mencakup kisah-kisah luar biasa yang melampaui batas nalar manusia. Salah satu kisah utamanya, Ashab al-Kahfi (Para Pemuda Penghuni Gua), menyajikan pelajaran mendalam tentang keteguhan iman, kebangkitan, dan yang paling krusial, batas pengetahuan manusiawi. Pada titik klimaks kisah ini, di mana perdebatan mengenai durasi waktu tidur mereka mencapai puncaknya di kalangan kaum Mukmin maupun Ahli Kitab, Allah SWT menurunkan sebuah ayat yang berfungsi sebagai penutup definitif dan deklarasi supremasi ilmu-Nya: Ayat ke-26.
"Katakanlah (Muhammad): Tuhanku lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal; bagi-Nyalah (kekuasaan) ghaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada bagi mereka seorang penolong pun selain Dia; dan Dia tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu dalam menetapkan keputusan." (QS. Al-Kahfi: 26)
Ayat ini bukan sekadar tanggapan atas pertanyaan historis mengenai 309 tahun vs. 300 tahun yang disebutkan pada ayat sebelumnya (Ayat 25). Lebih jauh, ia adalah pilar teologis yang menegakkan prinsip-prinsip tauhid (keesaan Allah) dan memperkenalkan atribut-atribut keagungan-Nya (sifat-sifat *tanzih*). Melalui analisis mendalam terhadap struktur linguistik dan konteks tafsirnya, kita akan membongkar setiap komponen ayat 26, memahami mengapa ia menjadi salah satu ayat paling fundamental dalam penegasan otoritas Ilahi.
Bagian pertama dari ayat ini, "Katakanlah (Muhammad): Tuhanku lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal," adalah penutup mutlak terhadap perdebatan yang terjadi. Setelah ayat 25 menyebutkan bahwa mereka tinggal di gua selama 300 tahun, ditambah sembilan tahun, ayat 26 datang untuk memberikan perspektif yang lebih tinggi: hanya Allah yang memiliki kepastian sempurna mengenai durasi tersebut. Ini adalah pelajaran besar bagi umat manusia tentang batas-batas ilmu yang dianugerahkan kepada mereka.
Dalam sejarah tafsir dan riwayat, terdapat diskusi yang berlarut-larut mengenai durasi persisnya Ashab al-Kahfi tertidur. Ayat 25 menyatakan 300 tahun dan kemudian menambahkan sembilan tahun (309 tahun Hijriah yang setara dengan 300 tahun Masehi, atau hanya penegasan mengenai adanya perbedaan perhitungan). Ketika Rasulullah SAW ditanya mengenai hal ini, jawaban yang datang melalui wahyu adalah penyerahan total kepada Allah SWT. Perintah 'Qul' (Katakanlah) merupakan instruksi langsung kepada Nabi Muhammad SAW untuk tidak melibatkan diri dalam detail yang tidak penting bagi akidah, melainkan mengarahkan umat kepada sumber pengetahuan tertinggi. Hal ini mendidik umat Islam untuk fokus pada hikmah kisah, bukan pada angka statistiknya.
Penyampaian ini bukan berarti meniadakan kebenaran jumlah yang disebut sebelumnya, melainkan meletakkannya dalam bingkai pengetahuan Ilahi yang tidak terbatas. Mengapa Allah perlu menutup perdebatan dengan cara ini? Karena fokus manusia cenderung beralih dari makna spiritual menuju detail sejarah yang kering, padahal tujuan utama kisah ini adalah menunjukkan kekuasaan Allah dalam menghidupkan dan mematikan, serta menegaskan kembali kebangkitan (ma'ad). Ilmu tentang durasi pastinya tidak memberikan nilai tambah bagi keimanan selain potensi untuk menjadi sumber perselisihan yang tidak berujung.
Penggunaan kata 'Rabb' (Tuhanku) dalam konteks ini sangat signifikan. Rabb merujuk pada pemelihara, pengatur, dan pendidik alam semesta. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang waktu, ruang, dan kehidupan para pemuda di gua adalah bagian integral dari manajemen kosmik Allah. Hanya Dzat yang mengendalikan proses tidur, kebangkitan, dan perubahan waktu (matahari, bulan, perputaran tahun) yang berhak mengklaim pengetahuan sempurna atas durasi tersebut. Ini adalah penekanan bahwa perhitungan waktu di dunia manusia, dengan segala keterbatasannya, mungkin tidak relevan di hadapan perhitungan Ilahi.
Dengan demikian, bagian pertama ayat 26 merupakan landasan utama bagi akidah Islam dalam mengakui hierarki pengetahuan: di atas ilmu manusia, ada ilmu nabi/rasul yang didukung wahyu, dan di atas segalanya, adalah Ilmu Allah yang tak terjangkau. Ini adalah pelajaran kerendahan hati ('tawadhu') intelektual yang mutlak diperlukan bagi seorang mukmin.
Setelah menegaskan pengetahuan-Nya tentang durasi spesifik Ashab al-Kahfi, ayat 26 melompat ke cakrawala yang jauh lebih luas dan fundamental: kepemilikan mutlak Allah atas perkara ghaib di langit dan di bumi. Frasa "Bagi-Nyalah (kekuasaan) ghaib di langit dan di bumi" merupakan inti dari pemahaman tauhid rububiyyah (ketuhanan dalam penciptaan dan pengaturan).
Ghaib (الْغَيْبُ) adalah segala sesuatu yang tidak dapat dicapai atau diindra oleh pancaindra dan akal manusia secara mandiri. Ini mencakup masa depan (takdir), rincian hari kiamat, hakikat ruh, dan, dalam konteks ayat ini, rincian detail sejarah yang tidak disaksikan atau dicatat oleh manusia, seperti waktu tidur para pemuda gua. Ketika Allah menyatakan bahwa Ghaib di langit dan bumi adalah milik-Nya, ini mencakup:
Ayat ini berfungsi sebagai pengingat keras bahwa Nabi Muhammad SAW, meskipun menerima wahyu, tidak mengetahui semua hal ghaib kecuali yang diizinkan Allah untuk diungkapkan. Keutamaan ilmu ghaib ini menjadikan Allah satu-satunya sumber otoritas dan kepastian.
Dalam diskursus teologis, kemampuan untuk mengetahui ghaib adalah salah satu sifat yang membedakan Sang Pencipta dari makhluk yang diciptakan. Tidak ada makhluk, betapapun mulianya (bahkan malaikat atau nabi), yang dapat mengetahui ghaib secara independen. Ini menafikan segala bentuk klaim cenayang, peramal, atau bahkan filsuf yang mencoba merangkul takdir. Penyerahan kepada Ghaib adalah inti dari akidah, sebagaimana disebutkan di awal Surah Al-Baqarah: "Mereka yang beriman kepada yang ghaib."
Kisah Ashab al-Kahfi, yang merupakan keajaiban yang melampaui logika alamiah (tidur ratusan tahun tanpa dimakan waktu), adalah manifestasi langsung dari kekuasaan Allah atas dimensi ghaib. Kejadian semacam itu hanya mungkin terjadi di bawah yurisdiksi Dzat yang memiliki kendali total atas semua hukum alam dan dimensi ruang-waktu. Oleh karena itu, keraguan tentang detail durasi mereka adalah keraguan terhadap kekuasaan Allah atas dimensi Ghaib.
Ayat 26 mengajarkan bahwa setiap pertanyaan yang tidak terjawab oleh manusia mengenai dunia atau akhirat harus dikembalikan kepada pemilik Ghaib. Hal ini membentuk karakter seorang mukmin yang tidak terombang-ambing oleh keraguan detail, tetapi teguh pada inti keimanan.
Bagian selanjutnya dari ayat 26 mengandung dua sifat Ilahi yang paling agung dan menakjubkan: penglihatan dan pendengaran yang tak tertandingi. "Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya" (أَبْصِرْ بِهِۦ وَأَسْمِعْ). Konstruksi tata bahasa yang digunakan di sini—yang dikenal sebagai 'sighah ta’ajjub' (ungkapan kekaguman)—bukan sekadar pernyataan sifat, melainkan penegasan akan kesempurnaan mutlak sifat tersebut, yang melampaui kemampuan akal manusia untuk memahaminya.
Frasa "Alangkah terang penglihatan-Nya" menegaskan bahwa penglihatan Allah (Basar) meliputi segala sesuatu, baik yang tampak (syahadah) maupun yang tersembunyi (ghaib), yang dekat maupun yang jauh, di langit maupun di bumi. Jika kita kembali pada konteks Ashab al-Kahfi, ini berarti Allah melihat setiap detik yang mereka habiskan di dalam gua yang gelap dan tersembunyi. Tidak ada detail dari keadaan mereka—gerakan bolak-balik mereka (seperti yang dijelaskan dalam ayat lain), kondisi fisik mereka, atau bahkan bisikan hati mereka—yang luput dari pandangan-Nya.
Sifat Basar ini menafikan kebutuhan Allah akan cahaya, jarak, atau medium fisik. Penglihatan makhluk terbatas oleh ruang, waktu, dan penghalang; sementara penglihatan Allah bersifat mutlak. Penggunaan ungkapan kekaguman ini bertujuan untuk menanamkan rasa hormat dan kesadaran dalam hati mukmin bahwa mereka selalu berada di bawah pengawasan tak terhindarkan, sebuah konsep yang sangat penting dalam membangun ihsan (kesadaran bahwa Allah melihat kita).
Demikian pula, "alangkah tajam pendengaran-Nya" (Sam’u) menegaskan bahwa pendengaran Allah melingkupi seluruh alam semesta tanpa batas. Allah mendengar semua doa, semua bisikan, semua percakapan rahasia, dan semua suara, bahkan yang paling hening sekalipun, secara simultan. Dalam konteks kisah gua, Allah mendengar setiap perkataan yang diucapkan oleh para pemuda, setiap desiran angin yang masuk ke gua, dan bahkan setiap perbedaan pendapat yang kemudian muncul di antara kaum manusia mengenai kisah mereka.
Sam’u Ilahi tidak membutuhkan telinga, udara, atau frekuensi. Ia melampaui batas fisik. Penggabungan Basar dan Sam’u Ilahi dalam satu frasa yang penuh kekaguman ini berfungsi sebagai penekanan bahwa Dzat yang memiliki pengetahuan ghaib adalah Dzat yang secara sempurna menyaksikan dan mendengar segala sesuatu. Oleh karena itu, hanya Dia yang berhak menentukan kebenaran mutlak mengenai waktu tidur para pemuda, karena Dia menyaksikan dan mendengar setiap momennya tanpa kehilangan detail sedikitpun.
Ayat 26 kemudian beralih dari penegasan atribut pengetahuan dan indra menuju penegasan tauhid uluhiyyah (ketuhanan dalam peribadatan) dan tauhid hakimiyyah (ketuhanan dalam penetapan keputusan). Bagian ini adalah klimaks dari pelajaran teologis Surah Al-Kahfi, yang diturunkan untuk melawan godaan syirik dan fitnah kekuasaan (Dajjal).
Frasa, "Tidak ada bagi mereka seorang penolong pun selain Dia" (مَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِىٍّۢ), menegaskan bahwa perlindungan, pertolongan, dan kepemimpinan (walayah) hanya datang dari Allah. Dalam kisah Ashab al-Kahfi, para pemuda meninggalkan masyarakat mereka yang musyrik dan berlindung di gua. Ketika mereka di sana, yang melindungi mereka dari panas matahari, yang membalikkan badan mereka, dan yang menjaga mereka dari penemuan adalah Allah, bukan otoritas manusiawi, bukan patung, dan bukan pula kekuasaan raja lalim.
Istilah 'Waliyy' (penolong/pelindung) di sini memiliki makna yang sangat luas. Ini mencakup:
Penegasan ini memerintahkan mukmin untuk memutuskan segala bentuk ketergantungan spiritual kepada selain Allah, menempatkan ketaatan dan harapan hanya pada Sang Pencipta.
Puncak dari ayat ini adalah penegasan, "dan Dia tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu dalam menetapkan keputusan" (وَلَا يُشْرِكُ فِى حُكْمِهِۦٓ أَحَدًا). Ini adalah penolakan keras terhadap segala bentuk syirik dalam penetapan hukum, takdir, dan kebijakan Ilahi.
Hakimiyyah Allah mencakup:
Dengan kata lain, Allah tidak berkonsultasi, tidak berbagi kekuasaan, dan tidak menerima saran dari siapapun dalam menetapkan takdir atau menjelaskan misteri Ghaib. Keputusan-Nya adalah final dan sempurna. Ayat ini secara efektif mengakhiri perdebatan yang mungkin diciptakan oleh orang-orang yang mencoba mengklaim pengetahuan absolut tanpa dasar wahyu, serta orang-orang yang cenderung menyekutukan Allah dalam kekuasaan-Nya. Ini adalah deklarasi kedaulatan Ilahi yang tak tertandingi.
Surah Al-Kahfi ayat 26, meskipun singkat, memuat serangkaian pelajaran spiritual dan intelektual yang tak ternilai. Ayat ini mengajarkan lebih dari sekadar sejarah durasi tidur; ia mengajarkan prinsip-prinsip metodologi keilmuan Islam (adab menuntut ilmu) dan penyerahan diri (tawakkal).
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah pengakuan atas batas ilmu yang diberikan kepada manusia. Manusia, dengan alat indra dan akal yang terbatas, hanya bisa mengetahui apa yang dapat diukur atau yang telah diwahyukan. Ketika berhadapan dengan misteri Ghaib, sikap yang paling mulia adalah mengembalikan pengetahuan itu kepada Allah ("Allahu A'lam"). Ini adalah bentuk tertinggi dari tawakkal intelektual.
Menyerahkan detail misterius kepada Allah membebaskan energi mental yang seharusnya digunakan untuk merenungkan hikmah yang lebih besar. Perdebatan mengenai detail (misalnya, lokasi persis gua, nama anjing, atau hitungan persis 300 atau 309 tahun) seringkali mengalihkan perhatian dari tujuan utama kisah: kebangkitan, keimanan, dan hijrah demi akidah. Ayat 26 memotong perdebatan ini dan mengarahkan fokus kembali kepada sumber kebenaran.
Penegasan sifat 'Basar' dan 'Sam’u' Allah yang sempurna menjadi basis filosofis bagi konsep Ihsan. Ihsan, sebagaimana didefinisikan dalam hadis Jibril, adalah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu. Kesadaran bahwa Allah melihat setiap pikiran tersembunyi dan mendengar setiap bisikan hati, tanpa memerlukan perantara atau jarak, mendorong seorang mukmin untuk selalu berada dalam keadaan mawas diri (muraqabah) dan kesalehan yang konsisten, baik di hadapan publik maupun saat bersendirian di tempat tersembunyi, seolah-olah berada dalam kegelapan sebuah gua.
Di tengah masyarakat yang seringkali terperangkap dalam takhayul dan klaim paranormal, ayat 26 adalah benteng yang kokoh. Jika bahkan durasi tidur para pemuda yang merupakan peristiwa historis yang disengaja Allah untuk diwahyukan kepada Nabi-Nya ditutup dengan "Hanya Allah yang tahu," maka klaim siapapun yang mengetahui masa depan, membaca nasib, atau meramalkan takdir adalah kebatilan yang nyata. Ayat ini memerangi syirik kontemporer yang lahir dari ketakutan akan ketidakpastian masa depan, mengarahkan hati manusia untuk bergantung pada Yang Maha Mengetahui Ghaib seutuhnya.
Surah Al-Kahfi sering disebut sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal. Dajjal merepresentasikan fitnah terbesar, yang melibatkan empat dimensi godaan utama:
Ayat 26 mengikat semua fitnah ini bersama-sama. Ketika seseorang menghadapi fitnah Dajjal yang mengklaim kekuasaan ilahi dan pengetahuan absolut, mukmin yang memahami ayat 26 akan dengan teguh menjawab: "Hanya Tuhanku yang mengetahui Ghaib di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya, dan alangkah tajam pendengaran-Nya." Pengakuan ini adalah tameng akidah yang tak terpecahkan.
Kisah Ashab al-Kahfi adalah metafora tentang kebangkitan (setelah tidur panjang) dan perlindungan iman. Mereka tidur di gua yang sunyi selama berabad-abad, namun bagi mereka rasanya hanya sehari atau setengah hari. Perbedaan dalam hitungan waktu ini menunjukkan bahwa konsep waktu itu sendiri adalah makhluk yang berada dalam kendali total Allah. Dengan menyajikan misteri ini, lalu menutupnya dengan pernyataan pengetahuan mutlak, Al-Qur'an mendidik kita bahwa yang penting bukanlah berapa lama kita berada di dunia ini, tetapi bagaimana kita menjalani waktu itu di bawah pengawasan Basar dan Sam’u Ilahi.
Dengan demikian, Surah Al-Kahfi ayat 26 adalah lebih dari sekadar jawaban atas sebuah pertanyaan historis; ia adalah deklarasi teologis fundamental. Ia menegakkan superioritas Ilmu Ilahi atas spekulasi manusia, menolak segala bentuk syirik dalam kedaulatan dan penetapan hukum, serta mengarahkan hati mukmin kepada pengawasan Allah yang mutlak. Memahami dan menghayati ayat ini berarti mencapai tingkat tawakkal dan ihsan tertinggi, menjadikannya kunci esensial dalam menghadapi segala bentuk fitnah dan ketidakpastian di dunia fana.
Keindahan ayat 26 juga terletak pada pilihan kata dan struktur gramatikalnya yang padat makna. Kita perlu mendalami beberapa aspek linguistik kunci yang menunjukkan otoritas dan keagungan Allah dalam ayat ini, menegaskan mengapa terjemahan saja tidak cukup menangkap kekuatannya yang menyeluruh.
Kata kerja perintah "Qul" (katakanlah) muncul ratusan kali dalam Al-Qur'an dan selalu menandakan bahwa pernyataan yang mengikuti adalah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat, datang dari otoritas wahyu, bukan dari pikiran atau spekulasi Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini, "Qul" berfungsi ganda: (1) Menutup perdebatan di antara manusia, dan (2) Mengangkat status jawaban dari ranah historis (seperti yang dilakukan ahli sejarah) ke ranah teologis (hanya diketahui oleh Tuhan). Hal ini memperkuat hubungan antara Nabi dan wahyu sebagai satu-satunya sumber kepastian ilahi.
Kata "Labitsuu" merujuk pada durasi mereka menetap, baik saat terjaga maupun tertidur. Fokus Al-Qur'an pada 'tinggal' (labitsuu) daripada 'tidur' (nawm) secara spesifik menunjukkan bahwa yang dipersoalkan adalah keseluruhan periode waktu mereka menghilang dari peradaban. Ini mencerminkan bahwa konsep waktu bagi Allah tidak terbagi antara sadar dan tidak sadar, melainkan sebagai sebuah unit eksistensi yang berada dalam pengaturan-Nya. Pengetahuan tentang durasi ini, yang mencakup dimensi waktu yang hilang bagi sejarah, otomatis masuk ke dalam domain "Ghaib".
Konstruksi "Abshir Bihi wa Asmi’" adalah contoh paling kuat dari gaya bahasa Arab yang digunakan untuk mengungkapkan kekaguman tak terbatas. Secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai, "Betapa menakjubkannya Dia dalam melihat! Dan betapa menakjubkannya Dia dalam mendengar!" Penggunaan konstruksi kekaguman ini, yang biasanya digunakan untuk sifat-sifat manusia yang hebat, di sini diterapkan pada Allah untuk menunjukkan bahwa sifat-sifat-Nya tersebut tidak hanya ada, tetapi berada pada tingkatan kesempurnaan yang tak dapat dibayangkan. Ini adalah penekanan linguistik bahwa tidak ada satupun yang lolos dari pengawasan-Nya, baik bisikan hati yang tersembunyi maupun kejadian kosmik yang masif. Kesempurnaan sifat-sifat ini mendukung klaim-Nya sebagai pemilik mutlak Ilmu Ghaib.
Struktur "Ma Lahum min Duunihi min Waliyyin" (Tidak ada bagi mereka seorang penolong pun selain Dia) menggunakan penguatan negasi ganda (penambahan 'min') yang bertujuan untuk benar-benar meniadakan adanya pelindung lain. Ini bukan hanya sebuah negasi biasa, tetapi sebuah penolakan total dan mutlak. Selanjutnya, frasa "Wa La Yushrik Fi Hukmihi Ahadan" (dan Dia tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu dalam menetapkan keputusan) mengikat penolakan syirik ini tidak hanya pada ibadah, tetapi juga pada manajemen kosmik dan penetapan hukum. Hal ini menutup semua celah bagi manusia untuk mencari otoritas, perlindungan, atau kepastian pada sumber selain Pencipta, sekaligus memastikan keunikan otoritas legislatif dan yudikatif Allah SWT. Struktur linguistik ini memberikan bobot hukum dan teologis yang sangat tinggi pada kesimpulan ayat.
Dengan demikian, Al-Kahfi 26 adalah sebuah mahakarya linguistik dan teologis. Setiap frasa berfungsi untuk mengarahkan kembali fokus dari detail yang memecah belah ke prinsip tauhid yang mempersatukan, menggunakan gaya bahasa yang tidak hanya informatif tetapi juga inspiratif dan penuh kekaguman terhadap Dzat Yang Maha Agung.
Kisah Ashab al-Kahfi, yang memicu Ayat 26, adalah studi kasus yang mendalam tentang hubungan antara ciptaan dan waktu. Durasi 309 tahun yang dilampaui seolah-olah hanya sehari menantang persepsi kita tentang linearitas dan objektivitas waktu. Ayat 26, melalui penegasan Ilmu Ghaib, menawarkan kerangka filosofis Islam tentang waktu.
Ayat ini menunjukkan bahwa waktu (duniawi) adalah entitas yang diciptakan dan tunduk pada perintah Allah, bukan entitas independen. Jika para pemuda dapat tertidur selama tiga abad tanpa mengalami penuaan atau pembusukan, berarti Allah memiliki kemampuan untuk "menunda" atau "memperlambat" efek waktu sesuai kehendak-Nya. Ketika Allah menyatakan, "Tuhanku lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal," itu berarti pengukuran waktu kita adalah relatif, sementara pengetahuan Allah tentang waktu adalah absolut. Konsep ini membebaskan mukmin dari kekhawatiran tentang keterbatasan hidup yang singkat, karena nilai sejati terletak pada kualitas penyerahan diri (ubudiyyah), bukan pada kuantitas tahun yang dijalani.
Karena Allah adalah pemilik Ghaib di langit dan bumi, maka segala ketetapan takdir (Qadar) yang telah dicatat di Lauhul Mahfuzh adalah bagian dari ilmu-Nya yang tersembunyi. Keajaiban kisah gua adalah pelaksanaan Qadar Ilahi yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ayat 26 mengokohkan bahwa semua kejadian—baik yang tampak sebagai keajaiban (seperti tidur panjang) maupun yang tampak sebagai keniscayaan alamiah—adalah keputusan tunggal Allah, yang tidak memiliki sekutu dalam menetapkan keputusan (Hukm-Nya). Ini menuntut agar manusia menerima semua takdir dengan kepasrahan, karena detail sempurna takdir tersebut berada di luar jangkauan penyelidikan manusia.
Kesadaran akan sifat Allah yang memiliki Basar (penglihatan) dan Sam’u (pendengaran) yang sempurna melahirkan prinsip pertanggungjawaban abadi. Manusia mungkin berpikir bahwa tindakan yang dilakukan dalam kegelapan atau dalam keheningan total tidak akan tercatat, namun Ayat 26 menghancurkan ilusi ini. Setiap hembusan napas, setiap niat, setiap gerakan kecil yang dilakukan oleh Ashab al-Kahfi di dalam gua yang terisolasi dicatat dan disaksikan. Penerapan filosofis ini dalam kehidupan sehari-hari berarti bahwa konsep moralitas dalam Islam bersifat internal dan tidak bergantung pada pengawasan sosial, melainkan sepenuhnya bergantung pada pengawasan Ilahi. Ini mendorong tingkat keikhlasan tertinggi dalam beramal (Ikhlas).
Pada akhirnya, Surah Al-Kahfi Ayat 26 adalah jembatan yang menghubungkan misteri sejarah (durasi tidur) dengan kebenaran abadi teologi (Tauhid dan Sifat-sifat Allah). Ia menegaskan bahwa dalam menghadapi misteri alam semesta dan misteri takdir, satu-satunya respon yang benar dari manusia beriman adalah pengakuan tulus akan kekerdilan ilmu kita di hadapan Kebesaran Sang Pencipta. Pengakuan inilah yang mendefinisikan puncak keimanan, membebaskan jiwa dari beban spekulasi yang sia-sia dan mengarahkannya menuju ketenangan abadi.