Mukadimah: Pentingnya Surah Al-Kahfi dalam Pencarian Ilmu
Surah Al-Kahfi (Gua) memegang posisi istimewa dalam khazanah keilmuan Islam. Ia berisi empat kisah utama yang menjadi fondasi bagi pemahaman mengenai fitnah (cobaan) dunia: kisah Ashabul Kahfi (cobaan agama), kisah dua pemilik kebun (cobaan harta), kisah Musa dan Khidr (cobaan ilmu), dan kisah Dzulqarnain (cobaan kekuasaan). Di antara keempatnya, kisah perjalanan Nabi Musa alaihis salam dalam mencari ilmu dari seorang hamba Allah yang saleh, yang dikenal sebagai Khidr, merupakan narasi paling kaya akan pelajaran metafisik dan epistemologi.
Pusat dari pertemuan monumental ini tercantum dalam Surah Al-Kahfi ayat 66, sebuah permintaan sederhana namun sarat makna yang diucapkan oleh seorang Nabi besar kepada seorang guru yang misterius. Permintaan ini bukan sekadar ajakan untuk berteman, melainkan manifestasi kerendahan hati tertinggi dari seorang pemimpin spiritual umat, yang menyadari bahwa puncak pengetahuannya masih memiliki lapisan-lapisan di atasnya yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Visualisasi Kitab dan Cahaya Pengetahuan (Simbol Ilmu Ladunni).
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman narasi ini, kita perlu merenungkan setiap diksi yang digunakan dalam ayat 66, menelusuri konteks dialog, serta menggali penafsiran para ulama klasik dan kontemporer mengenai jenis ilmu yang Khidr miliki—ilmu yang disebut Ilmu Ladunni.
Teks dan Terjemahan Surah Al-Kahfi Ayat 66
Ayat 66 menjadi titik balik dalam kisah Musa dan Khidr, menandai persetujuan Musa untuk menjadi murid. Allah berfirman:
Musa berkata kepadanya: “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) yang benar dari apa yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)
Tahlil Lughawi (Analisis Kebahasaan) Ayat 66
Ayat ini, meskipun singkat, kaya akan nuansa tata bahasa dan pilihan kata yang mencerminkan kerendahan hati Musa sekaligus ketulusan niatnya dalam menuntut ilmu. Analisis ini sangat krusial untuk menggali makna hakiki yang melampaui terjemahan literal.
1. قَالَ لَهُ مُوسَىٰ (Musa berkata kepadanya)
Pernyataan ini muncul setelah Khidr pada ayat 65 dikenal sebagai hamba yang dianugerahi rahmat dari sisi Allah dan ilmu dari sisi-Nya (‘allamnahu min ladunna ilman). Musa, meskipun seorang Rasul yang menerima wahyu, menunjukkan inisiatif dan pengakuan akan superioritas ilmu yang dimiliki Khidr dalam bidang tertentu.
2. هَلْ أَتَّبِعُكَ (Bolehkah aku mengikutimu?)
Penggunaan kata tanya ‘Hal’ (apakah/bolehkah) dalam konteks ini mengandung makna permintaan yang sangat halus, menunjukkan adab seorang murid kepada guru. Ini bukan perintah dari seorang Nabi, melainkan permohonan tulus dari seorang pencari kebenaran. Implikasi ‘attabi’uka’ (mengikutimu) adalah kesediaan untuk menempuh perjalanan, berkhidmat, dan tunduk pada arahan guru, meskipun guru tersebut secara hirarki kenabian berada di bawahnya.
3. عَلَىٰ أَن تُعَلِّمَنِ (Agar engkau mengajarkan kepadaku)
Kata ‘tu’allimani’ berasal dari akar kata ‘alima’ (mengetahui), dengan format ta’lim (pengajaran), yang menekankan proses transfer pengetahuan yang sistematis dan terarah, bukan sekadar informasi sepintas. Permintaan Musa secara eksplisit adalah untuk diajari. Dalam konteks ini, Musa menyadari bahwa ilmu yang Khidr miliki membutuhkan proses pengajaran dan bimbingan, bukan sekadar penyerapan pasif.
4. مِمَّا عُلِّمْتَ (Dari apa yang telah diajarkan kepadamu)
Penggunaan preposisi ‘min’ (dari) memiliki makna pembagian (tab’idh), yang berarti Musa hanya meminta sebagian dari ilmu Khidr yang luas dan spesifik, bukan seluruhnya. Ini menunjukkan kesadaran Musa akan keterbatasannya sebagai manusia dan pengakuan bahwa ilmu Khidr adalah ilmu pemberian langsung dari Allah, yang telah diajarkan (‘ullimta) secara khusus kepadanya.
5. رُشْدًا (Petunjuk/Ilmu yang Benar)
Inilah inti permintaan Musa. Kata ‘Rushdan’ (petunjuk yang benar, kedewasaan spiritual, bimbingan yang tepat). Khidr tidak hanya mengajarkan informasi faktual, tetapi mengajarkan hikmah yang mengarah pada kebenaran dan pemahaman yang lurus. Musa ingin diajarkan kebenaran yang akan membimbingnya menuju pemahaman yang lebih mendalam mengenai hukum kausalitas Ilahi. Ilmu yang Khidr miliki adalah ilmu yang membuka mata batin terhadap dimensi batin (hakikat) dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia, bukan sekadar dimensi lahir (syariat).
Konteks Historis dan Asbabun Nuzul
Untuk memahami mengapa Musa, seorang Nabi Ulul Azmi, sampai pada titik merendahkan diri dan meminta ilmu, kita harus melihat konteks ayat-ayat sebelumnya (Al-Kahfi 60-65). Peristiwa ini berakar pada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Musa kepada kaumnya—atau, menurut riwayat yang masyhur, atas arahan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika Musa ditanya, "Siapakah orang yang paling berilmu di bumi?" Musa menjawab, "Saya." Allah kemudian menegurnya, memberitahu Musa bahwa ada seorang hamba Allah di pertemuan dua lautan (Majma'ul Bahrain) yang lebih berilmu darinya.
Pelajaran Kerendahan Hati Nabi Musa
Kisah ini diawali dengan ujian kerendahan hati. Meskipun Musa adalah Nabi yang dianugerahi Taurat dan mukjizat luar biasa, ia diajari bahwa ilmu Allah tidak terbatas pada satu orang atau satu jenis. Perjalanan mencari Khidr adalah sebuah rihlah (perjalanan spiritual) yang didorong oleh hasrat yang membara untuk menyempurnakan pengetahuannya.
Musa menunjukkan tekad luar biasa dengan menyatakan, "Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan bertahun-tahun lamanya" (QS. Al-Kahfi: 60). Tekad ini menunjukkan bahwa nilai ilmu yang dicari sangat tinggi, layak untuk pengorbanan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Ketika Khidr (yang menurut sebagian besar ulama adalah manusia biasa yang diberikan ilmu khusus, bukan Nabi) ditemukan, Musa segera mengutarakan permintaannya di ayat 66 dengan penuh adab, mengakui Khidr sebagai sumber ilmu yang dicari.
Tafsir Ekstensif Ayat 66: Kerendahan Hati dan Hakikat Ilmu
Para mufassir (ahli tafsir) memberikan perhatian khusus pada dialog pembuka ini, karena ia menetapkan nada untuk seluruh interaksi antara Musa dan Khidr, yaitu hubungan antara pengetahuan eksternal (syariat/kenabian) dan pengetahuan internal (hakikat/ladunni).
Pandangan Tafsir Klasik (Ibn Katsir, At-Tabari, Al-Qurtubi)
1. Imam Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menekankan adab Musa dalam meminta ilmu. Menurut beliau, permintaan Musa dengan menggunakan kata ‘Hal attabi’uka’ menunjukkan bahwa Musa meminta izin, bukan menuntut. Ini adalah penghormatan kepada guru, yang merupakan syarat mutlak dalam mencari ilmu. Ibnu Katsir menafsirkan ‘Rushdan’ sebagai ilmu yang membawa pada kebenaran dan kebaikan, yang mana ilmu Khidr memungkinkan Khidr melihat dimensi batin dari setiap takdir Allah, sesuatu yang tidak diungkapkan kepada Musa melalui syariat.
2. Imam At-Tabari
At-Tabari fokus pada aspek ‘An tu’allimani’ (agar engkau mengajarkan kepadaku). Beliau menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu takwil (penafsiran) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi secara lahiriah buruk, tetapi memiliki hikmah yang baik di baliknya. Musa ingin diajarkan cara pandang Khidr yang melampaui logika sebab-akibat manusia. Penafsiran At-Tabari menggarisbawahi bahwa Khidr mengajarkan ‘ilm al-ghayb al-muqayyad’ (pengetahuan tentang hal gaib yang terbatas pada kasus tertentu) yang diizinkan Allah untuknya, sebagai bagian dari bimbingan (rushd) Ilahi.
3. Imam Al-Qurtubi
Al-Qurtubi menggunakan ayat ini untuk menetapkan kaidah Fiqh (hukum) tentang etika menuntut ilmu. Beliau menyatakan bahwa kewajiban seorang murid adalah bersabar dan mengikuti guru, bahkan jika ia merasa superior. Al-Qurtubi menggarisbawahi pentingnya ‘ittiba’ (mengikuti secara total) yang diminta Musa. Ilmu yang dicari adalah ‘ma ullimta rushdan’—ilmu yang membawa pada kedewasaan dan kesempurnaan pemahaman spiritual.
Dimensi Ilmu Ladunni
Ayat 66 adalah pintu gerbang menuju pembahasan tentang Ilmu Ladunni (Ilmu dari sisi Allah). Ini adalah ilmu yang diperoleh bukan melalui proses belajar konvensional (sekolah, membaca, berdiskusi), melainkan melalui ilham, rahmat, dan karunia langsung dari Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Khidr memiliki pemahaman langsung tentang kehendak Allah dalam konteks tiga peristiwa (melubangi perahu, membunuh anak muda, memperbaiki tembok).
Musa, sebagai Nabi, memiliki ilmu syariat (hukum, perintah, larangan), yang bersifat universal dan wajib disampaikan kepada umat. Khidr memiliki ilmu hakikat, yang bersifat kasuistik dan rahasia. Permintaan Musa di ayat 66 menunjukkan keinginan untuk menyatukan kedua dimensi ilmu ini: memadukan keadilan syariat dengan kebijaksanaan takdir. Musa menyadari bahwa rushd (petunjuk sempurna) terletak pada integrasi pemahaman lahir dan batin.
Prinsip Etika Menuntut Ilmu Berdasarkan Ayat 66
Ayat 66 menyajikan sebuah model ideal bagi setiap penuntut ilmu, terlepas dari tingkatan sosial atau spiritual mereka. Adab Musa kepada Khidr mengajarkan kita beberapa prinsip fundamental:
1. Pengakuan Keterbatasan Diri (Tawadhu)
Seorang nabi besar bersedia menempatkan dirinya sebagai murid di hadapan seorang hamba yang saleh. Ini adalah teladan tertinggi dari kerendahan hati. Jika Musa yang memiliki ilmu kenabian masih merasa perlu mencari tambahan ilmu, maka manusia biasa wajib menyadari bahwa ilmu yang dimilikinya hanyalah setetes air di lautan pengetahuan Ilahi. Tawadhu adalah kunci pembuka pintu hikmah.
2. Penggunaan Bahasa yang Santun (Husnul Khuluq)
Musa menggunakan pertanyaan yang lembut dan sopan (‘Hal attabi’uka’), menunjukkan penghormatan dan pengakuan akan otoritas guru. Ia tidak menuntut, melainkan memohon. Etika ini mengajarkan bahwa ilmu tidak akan masuk ke dalam hati yang sombong, tetapi hanya kepada hati yang lapang dan tunduk.
3. Ketulusan Niat dan Tujuan (Ikhlasul Qasd)
Musa tidak meminta kekayaan, kekuasaan, atau kemuliaan duniawi. Ia hanya meminta ‘rushdan’ (petunjuk yang benar). Tujuan utamanya adalah memperoleh bimbingan yang akan menyempurnakan pemahaman spiritualnya. Niat yang ikhlas adalah fondasi agar ilmu yang didapatkan menjadi berkah dan bermanfaat.
4. Kesediaan Mengikuti dan Berkhidmat
Permintaan ‘attabi’uka’ menyiratkan janji untuk mengikuti. Ilmu sejati sering kali tidak dapat dipelajari dari buku saja, tetapi harus melalui interaksi langsung, pengamatan, dan pengamalan. Kesediaan untuk berkhidmat dan mengikuti arahan guru (meskipun arahan itu mungkin sulit dipahami) adalah harga yang harus dibayar untuk ilmu hakikat.
Implikasi Filosofis dan Teologis dari Permintaan Musa
Permintaan Musa di ayat 66 bukan sekadar transaksi pedagogis; ia memiliki implikasi besar dalam teologi Islam, khususnya mengenai takdir (Qadar) dan konsep keadilan Ilahi.
1. Batasan Ilmu Manusia
Kisah ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan kenabian, memiliki batasnya. Ada wilayah ilmu yang hanya diperuntukkan bagi Allah, atau bagi hamba-hamba tertentu yang Ia pilih (seperti Khidr) sebagai rahmat dan bukti kekuasaan-Nya. Musa mewakili puncak ilmu syariat yang dapat diakses manusia melalui wahyu dan akal; Khidr mewakili puncak ilmu takdir (ladunni) yang di luar jangkauan sebab-akibat normal.
2. Keadilan Lahir dan Keadilan Batin
Ayat 66 menuntut Musa untuk melihat melampaui keadilan lahir (syariat). Dalam syariat Musa, melubangi perahu atau membunuh anak adalah kezaliman yang harus dicegah. Namun, dalam hakikat Khidr, tindakan-tindakan tersebut adalah keadilan yang lebih tinggi untuk mencegah kezaliman yang lebih besar (perampasan, kekafiran orang tua). Musa meminta ‘rushdan’ untuk memahami keadilan di balik takdir yang tampaknya kontradiktif dengan hukum yang ia pegang.
3. Hubungan antara Syariat dan Hakikat
Beberapa ulama sufi melihat hubungan Musa dan Khidr sebagai simbol dari dua aspek spiritualitas: Syariat (diwakili Musa) yang jelas dan terstruktur, dan Hakikat (diwakili Khidr) yang tersembunyi dan memerlukan mata batin. Ayat 66 menjadi upaya untuk menyelaraskan keduanya. Meskipun ilmu Khidr terpisah dari syariat dalam implementasinya, tujuannya tetap satu: menegakkan kehendak Allah. Syariat adalah cara untuk mencapai kebenaran, dan hakikat adalah kebenaran itu sendiri.
Dalam konteks teologis, Khidr mengajarkan Musa bahwa tidak semua keburukan yang terlihat di permukaan adalah keburukan sejati. Di balik setiap kejadian, tersembunyi hikmah yang hanya dapat diakses melalui izin dan pengajaran khusus dari Yang Maha Mengetahui. Inilah hakikat dari ilmu yang benar (rushdan) yang dicari Musa.
Perjalanan Ilmu Pasca Ayat 66: Kesabaran dan Ujian Kepatuhan
Permintaan Musa di ayat 66 dijawab oleh Khidr dengan syarat yang sangat berat di ayat 67: kesabaran. Khidr berkata, “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” Syarat ini menunjukkan bahwa ilmu yang dicari Musa membutuhkan bukan hanya kerendahan hati, tetapi juga kekuatan mental dan spiritual untuk menerima realitas yang berada di luar kerangka pemahaman normatifnya.
Ujian Kesabaran
Ayat-ayat berikutnya (68-82) adalah realisasi dari permintaan Musa. Setiap tindakan Khidr adalah ujian langsung terhadap janji Musa untuk mengikuti dan bersabar. Jika Musa berhasil sepenuhnya menahan diri untuk tidak bertanya atau berkeberatan, ia akan menerima ilmu rushdan secara utuh. Namun, sebagai Nabi yang memiliki kewajiban amar ma'ruf nahi munkar, Musa gagal dalam ujian verbal tersebut sebanyak tiga kali, yang mana kegagalannya tersebut justru memberikan penjelasan rinci mengenai takwil dari setiap peristiwa.
Oleh karena itu, ayat 66 adalah komitmen lisan, sementara ayat 67 dan seterusnya adalah implementasi praktis dari komitmen tersebut. Pelajaran utama di sini adalah bahwa untuk mendapatkan ilmu hakikat, kemauan saja tidak cukup; dibutuhkan kesabaran mutlak dalam menghadapi hal-hal yang tidak dipahami.
Mengapa Musa Bertanya?
Musa adalah simbol dari ilmu yang aktif, yang menuntut kejelasan dan bertindak sesuai hukum yang tampak. Tindakan Khidr melanggar syariat yang Musa junjung. Konflik batin ini—antara kerendahan hati untuk mengikuti (ayat 66) dan kewajiban syariat untuk mencegah kezaliman—adalah inti dari drama spiritual ini. Ketika Musa melanggar janjinya, ia tidak bermaksud tidak sopan; ia bereaksi sesuai kodrat kenabiannya yang menuntut keadilan segera.
Kegagalan Musa (dalam perspektif kepatuhan kepada Khidr) justru memberikan kita pelajaran yang paling berharga, yaitu tafsir atas tiga peristiwa tersebut (perahu, anak, tembok). Jika Musa tidak bertanya, kisah itu mungkin akan berakhir tanpa kita mengetahui takwil Ilahi, dan ilmu rushdan Khidr akan tetap tersembunyi bagi umat manusia. Dengan demikian, "kegagalan" Musa adalah rahmat bagi kita semua yang mencari pemahaman tentang Takdir.
Penerapan Ayat 66 dalam Kehidupan Kontemporer
Meskipun kisah ini berusia ribuan tahun, pelajaran dari Al-Kahfi ayat 66 sangat relevan bagi muslim modern, terutama dalam konteks perdebatan ideologi, politik, dan ilmu pengetahuan.
1. Adab dalam Pendidikan Modern
Ayat ini mengajarkan bahwa gelar akademik tertinggi atau posisi sosial tertinggi tidak membebaskan seseorang dari kewajiban untuk mencari ilmu dari sumber yang lebih berilmu, bahkan jika sumber itu tampak sederhana atau tidak terduga. Kita harus selalu mempertahankan semangat Musa: mencari dengan adab dan kerendahan hati, mengakui bahwa setiap orang mungkin memiliki bagian ilmu yang tidak kita miliki.
2. Menghadapi Takdir yang Menyakitkan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada "kezaliman" atau kejadian buruk (kehilangan pekerjaan, musibah, penyakit). Ayat 66, dan kelanjutannya, menuntut kita untuk mencari ‘rushdan’ (petunjuk yang benar) di balik kejadian tersebut. Alih-alih hanya melihat permukaan penderitaan, kita diajarkan untuk merenungkan kemungkinan adanya hikmah yang lebih besar atau pencegahan terhadap keburukan yang lebih dahsyat, sebagaimana Khidr mencegah perahu dirampas dan anak tumbuh menjadi kafir.
3. Dialog Antar-Disiplin Ilmu
Kisah Musa dan Khidr dapat dipandang sebagai metafora untuk interaksi antara disiplin ilmu yang berbeda. Ilmu Fiqh (Musa) harus terbuka terhadap wawasan Ilmu Tasawwuf atau Hakikat (Khidr), dan sebaliknya. Perpecahan muncul ketika kita merasa ilmu kita paling lengkap. Ayat 66 menyerukan integrasi dan dialog yang santun (Hal attabi’uka) antara ilmu agama, ilmu alam, dan ilmu sosial, mengakui bahwa kebenaran (rushdan) sering kali terletak di persimpangan pengetahuan.
4. Kesabaran dalam Proses Belajar Jangka Panjang
Pencarian rushdan adalah perjalanan seumur hidup. Musa harus menempuh perjalanan jauh dan menghadapi ujian kesabaran. Ini menepis ilusi bahwa ilmu dapat diperoleh secara instan (instant knowledge). Ilmu yang benar dan mendalam membutuhkan pengorbanan, komitmen, dan kesabaran untuk menahan diri dari menyimpulkan sesuatu sebelum waktunya.
Kontemplasi Mendalam Mengenai Konsep 'Rushdan'
Pilihan kata ‘Rushdan’, yang berarti petunjuk atau bimbingan yang benar, adalah titik fokus utama dalam ayat 66. Ini bukanlah sekadar fakta, melainkan kebijaksanaan. Bagaimana kita bisa membedakan ilmu biasa dari ilmu yang mengandung rushdan?
Rushdan sebagai Bimbingan Ilahi
Ilmu yang sejati (rushdan) adalah ilmu yang membimbing pemiliknya menuju pengenalan yang lebih baik terhadap Allah (Ma’rifatullah) dan pemahaman yang lebih lurus terhadap takdir-Nya. Ilmu yang Khidr miliki memungkinkannya bertindak sesuai dengan kehendak Allah secara langsung, bahkan jika tindakan itu tampaknya melanggar norma manusia. Ini adalah ilmu yang menghilangkan keraguan dan membawa kedamaian batin.
Perbedaan antara Ilmu dan Hikmah
Dalam banyak penafsiran, ilmu yang Khidr ajarkan adalah hikmah. Ilmu adalah mengetahui fakta (apa yang terjadi), sementara hikmah (rushdan) adalah mengetahui alasan dan tujuan (mengapa itu terjadi dan bagaimana menyikapinya). Musa telah memiliki ilmu syariat, tetapi ia kekurangan hikmah dari dimensi batiniah takdir. Ayat 66 adalah pengakuan akan kebutuhan mendalam Nabi Musa terhadap hikmah ini.
Rushdan dan Dampaknya pada Jiwa
Pencarian rushdan adalah pencarian kedewasaan spiritual. Seseorang yang mencapai rushd tidak lagi terombang-ambing oleh keburukan lahiriah, karena ia memahami bahwa Allah adalah sebaik-baik Perencana. Ilmu jenis ini membebaskan jiwa dari ketergantungan pada sebab-akibat duniawi semata, dan menuntunnya pada kepasrahan total kepada kehendak Ilahi (Tawakkal). Jika ilmu yang kita pelajari tidak menumbuhkan tawadhu dan tawakkal, maka ia belum mencapai taraf rushdan.
Oleh karena itu, permintaan Musa, “Hal attabi’uka ‘ala an tu’allimani mimma ‘ullimta rushdan,” adalah manifesto agung tentang kerinduan seorang hamba Allah yang paling mulia untuk mencapai puncak pemahaman, sebuah pemahaman yang menggabungkan keindahan syariat dengan kedalaman hakikat takdir.
Analisis Lanjutan terhadap Diksi Pengajaran
Mengapa Khidr harus mengajarkan (tu’allimani)? Jika ilmu itu adalah ilham, bukankah ia seharusnya hanya "diberikan" atau "diwahyukan"? Para ahli tafsir menunjukkan bahwa proses pengajaran di sini bukan berarti Khidr memberikan serangkaian kuliah, melainkan ia memberikan konteks dan kondisi yang memungkinkan Musa menyerap ilmu tersebut melalui pengalaman. Khidr memposisikan Musa dalam tiga situasi nyata, dan di akhir setiap peristiwa, Khidr memberikan takwilnya. Pengajaran (ta’lim) di sini adalah pembelajaran kontekstual yang mendalam, di mana Musa harus mengalami dan melihat implementasi ilmu rushdan secara langsung untuk memahaminya.
Proses ini menegaskan bahwa beberapa jenis kebijaksanaan (rushd) hanya dapat dipelajari melalui pengamatan langsung terhadap implementasi hukum-hukum Allah di alam semesta, di bawah bimbingan seseorang yang telah diberi izin khusus untuk melihat dimensi tersembunyi tersebut.
Perbandingan Dua Jenis Ilmu: Wahyu dan Ladunni
Kisah ini sering disalahpahami sebagai superioritas ilmu Khidr atas ilmu kenabian Musa. Padahal, para ulama menekankan bahwa kedua jenis ilmu tersebut memiliki fungsi yang berbeda dan sama-sama penting dalam skema Ilahi.
Ilmu Nabi Musa (Ilmu Wahyu dan Syariat)
- Sifat: Universal, transparan, wajib disebarkan.
- Fungsi: Menegakkan hukum Allah di antara manusia, memberikan pedoman etika, dan memastikan keadilan sosial yang tampak.
- Sumber: Jibril dan wahyu yang diterima secara sadar.
Ilmu Khidr (Ilmu Ladunni dan Hakikat)
- Sifat: Khusus, rahasia, kasuistik (terbatas pada kasus tertentu).
- Fungsi: Mengelola takdir tersembunyi, mencegah keburukan besar yang tidak terlihat manusia, dan menegakkan keadilan Ilahi yang tidak terjangkau oleh syariat lahir.
- Sumber: Rahmat langsung (min ladunna) dari Allah, di luar mekanisme wahyu reguler.
Permintaan Musa di ayat 66 adalah upaya untuk menjembatani jurang ini, untuk melengkapi keadilan syariat dengan pemahaman hikmah takdir. Musa ingin memahami bagaimana keadilan Ilahi bekerja di tingkat mikro dan tersembunyi, yang mana pemahaman ini sangat penting untuk menyempurnakan kepemimpinannya.
Ketentuan Khidr (Ayat 67 dan Seterusnya)
Jawaban Khidr menunjukkan kesulitan ilmu ini: "Bagaimana engkau dapat sabar terhadap sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan itu?" Khidr menegaskan bahwa rushdan hanya dapat diperoleh melalui penangguhan penilaian dan kesabaran total, sebuah tantangan besar bagi Musa yang terbiasa bertindak berdasarkan kejelasan hukum (syariat).
Kesimpulan dari fase ini adalah bahwa ilmu rushdan adalah ilmu yang hanya dapat ditanggung oleh hati yang sepenuhnya pasrah terhadap takdir, bahkan ketika takdir itu tampak melanggar norma etika yang kita pegang.
Penutup: Mewarisi Semangat Pencarian Rushdan
Surah Al-Kahfi ayat 66 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam tradisi ilmu Islam, bukan karena ia memperkenalkan metode baru dalam menuntut ilmu, melainkan karena ia menegaskan kembali adab abadi: kerendahan hati adalah prasyarat bagi masuknya hikmah. Ketika seorang Nabi besar, yang memiliki otoritas spiritual tertinggi, bersedia merendahkan dirinya dan memohon, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku...", maka tidak ada alasan bagi kita untuk bersikap sombong terhadap ilmu.
Pencarian kita hari ini haruslah selalu berorientasi pada rushdan (petunjuk yang benar). Ilmu yang tidak menghasilkan kedewasaan spiritual, tidak menumbuhkan tawadhu, dan tidak membawa kepada pengakuan kekuasaan Allah yang lebih luas, adalah ilmu yang kering. Kita didorong untuk terus mencari bimbingan, bersabar dalam proses, dan selalu mengakui bahwa pengetahuan Allah jauh melampaui batas-batas akal dan pengalaman kita.
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa meneladani kerendahan hati Nabi Musa alaihis salam dalam mencari rushdan, ilmu yang membimbing jiwa menuju kebenaran hakiki, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di balik tabir takdir.
***
Kajian mendalam ini adalah hasil perenungan atas berbagai tafsir klasik dan kontemporer, yang mengupas setiap detail linguistik dan teologis dari Surah Al-Kahfi ayat 66, menjadikannya sumber inspirasi tak terbatas bagi setiap pencari hikmah.