Alt Text: Ilustrasi Kekeringan dan Tanah Retak yang Melambangkan Kefanaan Dunia (*Ṣaʿīdan Juruzā*).
Surah Al-Kahf (Gua) adalah salah satu surah yang memiliki keutamaan luar biasa, sering dibaca pada hari Jumat. Surah ini bertindak sebagai benteng spiritual melawan empat fitnah besar dalam kehidupan: fitnah agama (Kisah Ashabul Kahf), fitnah harta (Kisah pemilik dua kebun), fitnah ilmu (Kisah Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain).
Di tengah rangkaian cerita dan pelajaran tersebut, terdapat ayat-ayat yang berfungsi sebagai kerangka kosmik, mengingatkan manusia akan realitas penciptaan dan kehancuran. Ayat 8, khususnya, menjadi penutup logis atas Ayat 7, mengubah perspektif dari kekaguman terhadap dunia menjadi kesadaran akan kefanaannya yang mutlak. Ayat ini bukanlah sekadar deskripsi geologis, melainkan pernyataan eskatologis yang mendalam mengenai siklus eksistensi dunia.
Untuk memahami sepenuhnya makna ayat ini, kita harus merujuk pada teks aslinya:
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan apa yang di atasnya (di bumi) rata lagi kering tandus (tanpa pepohonan)."
Pernyataan ini, yang disampaikan dengan penekanan (`inna` dan `lāmu al-taukīd` - penegasan yang kuat), menyiratkan kepastian mutlak. Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan bahwa meskipun bumi dihiasi sedemikian rupa untuk menguji manusia (sebagaimana disebutkan dalam Ayat 7), nasib akhirnya telah ditetapkan: ia akan kembali menjadi hamparan yang kosong dan tidak bernilai.
Kekuatan ayat ini terletak pada pemilihan diksi yang sangat spesifik. Terdapat tiga elemen kunci yang perlu dianalisis secara linguistik untuk mencapai kedalaman tafsir yang memadai: `Jā'ilūna`, `Mā 'alayhā`, dan `Ṣaʿīdan Juruzā`.
Kata ini adalah Ism Fā'il (kata benda pelaku) dalam bentuk jamak yang berfungsi sebagai predikat penegasan. Penggunaannya menunjukkan dua hal penting:
Frasa ini merujuk kepada segala sesuatu yang menghiasi bumi, yang sebelumnya disebut dalam Ayat 7 sebagai `zīnatan lahā` (perhiasan baginya). Ini mencakup gunung, sungai, lautan, vegetasi, bangunan, dan bahkan kehidupan itu sendiri. Ayat 8 secara eksplisit mencakup semua hal materi yang menjadi fokus dan ambisi manusia selama hidup di dunia. Ketika Allah berfirman bahwa Dia akan menjadikan *semua* yang ada di atasnya menjadi tandus, tidak ada pengecualian bagi kekayaan, teknologi, atau kekuasaan yang dibangun manusia.
Ini adalah inti dari deskripsi eskatologis Ayat 8, dan memerlukan elaborasi yang sangat panjang untuk memahami nuansanya.
Dalam bahasa Arab, `Ṣaʿīd` secara harfiah berarti permukaan tanah atau bumi yang datar dan tinggi. Ini juga merupakan istilah yang digunakan dalam fiqh untuk 'debu suci' yang digunakan untuk tayamum (bersuci dengan debu). Konotasi utama adalah permukaan yang bersih, terbuka, dan lapang. Ketika bumi diubah menjadi `ṣaʿīd`, ia kehilangan dimensi vertikalnya (gunung-gunung runtuh, bangunan rata) dan menjadi hamparan yang luas.
Kata `Juruz` berasal dari kata kerja yang berarti memotong, mencukur, atau melenyapkan. Oleh karena itu, tanah `Juruz` adalah tanah yang gundul, mandul, dan tidak memiliki vegetasi atau tanaman apa pun. Para ahli bahasa Arab menjelaskan bahwa tanah `Juruz` adalah tanah yang telah habis kekuatannya untuk menumbuhkan sesuatu, atau yang telah "dicukur" oleh kekeringan atau azab. Kombinasi `Ṣaʿīdan Juruzā` menghasilkan gambaran yang jauh lebih kuat: permukaan bumi akan diratakan (ṣaʿīd) dan seluruh kekayaan serta kehidupan biologis di atasnya akan lenyap total (juruzā).
Pemilihan kata `Juruzā` memberikan kontras yang menyakitkan terhadap Ayat 7, di mana bumi dihiasi dengan indahnya pepohonan dan sungai. Seolah-olah Al-Qur'an menarik tirai keindahan dunia secara tiba-tiba, memperlihatkan panggung kosong di baliknya. Semua upaya manusia untuk menanam, membangun, dan memperindah akan berakhir pada kondisi ketiadaan ini.
Para mufassir (ahli tafsir) berbeda pendapat mengenai kapan tepatnya peristiwa yang dijelaskan dalam Ayat 8 ini akan terjadi. Namun, secara umum, mereka sepakat bahwa ini merujuk pada peristiwa Kiamat (Yaumul Qiyamah) atau periode persiapannya.
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Tabari menafsirkan bahwa ayat ini adalah sumpah dari Allah bahwa Dia akan menghancurkan bumi setelah menciptakan semua perhiasan di atasnya. Tabari cenderung melihat ayat ini sebagai deskripsi dari penghancuran total yang terjadi menjelang Hari Kebangkitan. Bumi, setelah selesai menjalani peranannya sebagai medan ujian, akan dicabut semua keindahan dan fungsinya, menjadi gundul seperti padang pasir yang tandus, tidak menghasilkan manfaat apa pun.
Imam Ibn Kathir menghubungkan Ayat 8 secara langsung dengan firman Allah dalam Surah Al-Anbiya’ (21:104) dan Surah Taha (20:105-107). Ia menafsirkan bahwa kehancuran ini adalah peristiwa 'An-Nafkhah Al-Ūlā' (Tiupan Sangkakala yang pertama) yang mengakhiri kehidupan dunia. Ia menekankan bahwa semua makhluk hidup akan binasa, dan semua permukaan bumi, termasuk pegunungan yang kokoh, akan dihancurkan hingga menjadi rata dan bersih dari segala bentuk kehidupan. Bagi Ibn Kathir, Ayat 8 adalah peringatan keras bagi mereka yang terlalu melekat pada perhiasan dunia.
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, memperluas makna `Ṣaʿīdan Juruzā` dengan mengutip pendapat para ahli linguistik. Ia menegaskan bahwa tanah `Juruz` adalah tanah yang tidak ada rumput, tidak ada air, dan benar-benar tidak berguna. Qurtubi menekankan bahwa kontras antara Ayat 7 dan 8 adalah puncak dari pedagogi ilahi: manusia melihat dunia yang indah (Ayat 7) dan kemudian diperingatkan bahwa keindahan itu hanya sementara dan akan segera dihilangkan (Ayat 8). Pesan moralnya sangat jelas: jangan tertipu oleh dekorasi panggung, karena panggung itu sendiri akan segera dibongkar.
Ayat 8 berfungsi sebagai jembatan filosofis yang menghubungkan dua realitas: realitas ujian di dunia dan realitas pembalasan di akhirat. Untuk memahami kekuatan ayat ini, kita harus melihat konteks hubungannya dengan Ayat 7 dan Ayat 9.
Ayat 7 berbunyi: "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya."
Ayat 7 menetapkan bahwa tujuan dari keindahan dunia adalah ujian (`linabluwahum`). Segala sesuatu yang menarik—harta, kekuasaan, kebun yang subur—adalah alat tes. Ayat 8 kemudian segera menyusul, memberikan jawaban atas hasil akhir dari ujian tersebut: Semua yang digunakan sebagai alat ujian akan dihapus. Perhiasan akan dilepas. Keindahan dunia (Ayat 7) akan digantikan oleh kehancuran (Ayat 8). Kontras ini memaksa pembaca untuk terus-menerus membandingkan nilai temporer (dunia) dengan nilai abadi (akhirat).
Setelah menyatakan kepastian kehancuran, Surah Al-Kahf langsung melanjutkan dengan kisah pertama: Ashabul Kahf (Ayat 9 dan seterusnya). Kisah ini adalah contoh konkret bagaimana sekelompok pemuda meninggalkan segala kemegahan dan ujian duniawi (harta, kekuasaan, kenyamanan) demi mempertahankan iman. Mereka secara spiritual telah mencapai kondisi 'Juruzā' (penanggalan total dari dunia) bahkan ketika mereka masih hidup.
Ayat 8, dengan demikian, bukan hanya nubuat masa depan, tetapi juga prinsip panduan: siapapun yang berhasil melewati ujian dunia adalah mereka yang mampu melepaskan diri dari perhiasan dunia sebelum Allah menghapusnya secara paksa pada Hari Kiamat.
Eskatologi adalah studi tentang hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Al Kahfi Ayat 8 adalah salah satu dalil Al-Qur'an yang paling gamblang mengenai sifat kehancuran total yang akan dialami planet ini.
Konsep `Ṣaʿīdan Juruzā` sangat sejalan dengan ayat-ayat lain yang menggambarkan bagaimana gunung-gunung akan diratakan. Allah berfirman dalam Surah Taha (20:105-107): "Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: 'Tuhanku akan menghancurkannya (gunung-gunung) sehancur-hancurnya, kemudian Dia akan menjadikannya tanah yang rata lagi licin, tidak ada sedikit pun kamu lihat di sana tempat yang rendah dan tidak (pula) yang tinggi.'"
Ayat ini memperjelas makna `Ṣaʿīdan`: bumi akan menjadi dataran yang seragam, tanpa lekukan atau tonjolan. Ini adalah persiapan panggung untuk mahsyar, di mana semua manusia akan dikumpulkan di dataran yang sama, tanpa tempat untuk bersembunyi atau berlindung, memastikan bahwa setiap individu menghadap Allah dalam kondisi yang sama, setara, dan terbuka.
Kondisi `Juruzā` menekankan hilangnya fungsi vital bumi. Selama di dunia, manusia berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan dari hasil bumi (pertanian, pertambangan, minyak). Ketika bumi menjadi Juruzā, semua sumber daya dan hasil panen menjadi sia-sia. Ini adalah peringatan bagi mereka yang mengidentifikasi nilai diri mereka dengan aset material yang mereka miliki.
Kisah tentang pemilik dua kebun dalam surah ini (ayat 32-44) sangat relevan. Orang kaya tersebut disombongkan oleh kebunnya yang subur, namun Allah menghancurkan kebun itu dalam sekejap. Penghancuran kebun individu itu adalah mikrokosmos dari penghancuran total seluruh bumi yang dijanjikan dalam Ayat 8. Setiap kebun, setiap gedung pencakar langit, setiap kota besar, pada akhirnya akan menjadi Juruzā.
Untuk mencapai bobot pembahasan yang diharapkan, kita perlu merenungkan hikmah di balik janji kehancuran ini. Mengapa Allah menciptakan keindahan hanya untuk menghancurkannya? Proses ini memiliki fungsi teologis dan pedagogis yang mendalam bagi keimanan manusia.
Al-Qur'an mengajarkan bahwa hanya Allah (Al-Baqi’) yang kekal. Ayat 8 adalah manifestasi fisik dari konsep kefanaan (*fana'*). Jika manusia cenderung melupakan hal ini saat dikelilingi oleh kemakmuran, janji kehancuran total berfungsi sebagai koreksi spiritual. Kehancuran ini membuktikan bahwa segala sesuatu yang kita pegang erat—entah itu kemewahan, jabatan, atau bahkan orang yang dicintai—adalah pinjaman semata.
Imam Al-Ghazali sering membahas mengenai pentingnya merenungkan kefanaan ini. Ia menyatakan bahwa hati yang terikat pada sesuatu yang fana akan merasakan sakit yang tak terhindarkan ketika hal tersebut lenyap. Ayat 8 mengajarkan umat Islam untuk mengarahkan keterikatan mereka pada sesuatu yang abadi, yaitu pahala dan keridaan Allah di akhirat.
Ketika manusia melihat gunung-gunung kokoh dan samudera luas, mereka mungkin merasa bahwa alam itu abadi. Ayat 8 mengungkapkan kekuasaan Allah (Al-Qahhar) yang melampaui segala kekuatan alam. Jika benda-benda paling stabil di bumi (gunung) bisa diratakan, maka tidak ada satu pun ciptaan yang mampu menentang kehendak-Nya. Pengenalan terhadap keagungan ini seharusnya menumbuhkan rasa takut dan takwa yang otentik di hati orang-orang beriman.
Ayat 7 menanyakan, "siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya (`ahsan 'amalan`)?" Perhatikan bahwa bukan 'yang paling banyak hartanya' atau 'yang paling lama umurnya'. Pengujian ini berpusat pada kualitas spiritual. Karena hasil akhir bumi adalah `Juruzā` (tidak bernilai), maka setiap nilai yang dicari di dunia, kecuali amal saleh, akan ikut menjadi `Juruzā`. Hanya amal yang dilakukan ikhlas (lillahita'ala) yang akan melintasi batas kehancuran fisik ini dan menjadi bekal abadi.
Para sufi sering merujuk ayat ini sebagai motivasi untuk melakukan *zuhud* (asketisme spiritual). Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan melepaskan keterikatan hati dari dunia, karena mereka tahu bahwa nilai sejati terletak pada apa yang mereka kirimkan ke depan, bukan apa yang mereka tinggalkan di belakang, yang mana semua akan menjadi kering tandus.
Untuk memperkuat pemahaman tentang `Ṣaʿīdan Juruzā`, penting untuk melihat bagaimana Al-Qur'an menggunakan diksi serupa di tempat lain yang menggambarkan kehancuran atau perubahan kosmik.
Ayat 8 sangat identik dengan deskripsi Padang Mahsyar. Dalam Surah Al-Waqi'ah (56:5), Allah berfirman, "Dan gunung-gunung dihancurkan sehancur-hancurnya." Demikian pula dalam Surah An-Naba' (78:20), "Dan gunung-gunung berjalan, sehingga menjadi fatamorgana." Semua deskripsi ini menunjuk pada hasil akhir yang sama: lanskap dunia yang kita kenal—dengan lembah, bukit, dan gunung—akan dihapus dan diganti dengan dataran Mahsyar yang datar dan terbuka, sesuai dengan kondisi `Ṣaʿīdan`.
Peristiwa ini, yang menafsirkan bagaimana bumi berubah dari panggung ujian yang indah menjadi arena penghakiman yang tandus, adalah inti dari peringatan Kiamat. Ini menegaskan bahwa waktu yang dihabiskan untuk memikirkan perhiasan (Ayat 7) adalah sia-sia, dan hanya waktu yang digunakan untuk beramal saleh yang akan dihitung. Perenungan terhadap Ayat 8 ini wajib menjadi rem spiritual bagi setiap individu yang mulai terbuai oleh gemerlap kehidupan duniawi.
Dalam Surah Al-Kahf itu sendiri, Allah memberikan analogi yang sempurna untuk menjelaskan kefanaan ini, yang menguatkan Ayat 8. Ayat 45 menjelaskan perumpamaan kehidupan duniawi: "Dan berikanlah kepada mereka perumpamaan kehidupan dunia adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin."
Tumbuh-tumbuhan yang subur (Ayat 7) menjadi kering yang diterbangkan angin (sebelum mencapai `Juruzā`). Analogi ini memberikan gambaran visual dari proses yang dijelaskan dalam Ayat 8. Dunia, seindah apa pun ia saat ini, memiliki batas waktu kedaluwarsa yang sangat pendek, seperti kesuburan yang cepat layu di bawah terik matahari.
Ayat Al-Kahfi 8 bukanlah sekadar informasi tentang masa depan, tetapi merupakan panggilan untuk tindakan di masa kini. Respons seorang Muslim yang benar terhadap janji kehancuran ini harus termanifestasi dalam gaya hidup dan prioritas spiritualnya.
Jika semua yang ada di atas bumi akan menjadi `Ṣaʿīdan Juruzā`, maka hati tidak boleh melekat pada hal-hal tersebut. Keterikatan yang berlebihan pada kekayaan, status sosial, atau bahkan kesehatan fisik, akan menyebabkan penderitaan spiritual ketika semuanya diambil. Ayat 8 mengajarkan *tazkiyatun nafs* (pembersihan jiwa) melalui detasemen yang sehat. Harta seharusnya berada di tangan, bukan di hati.
Para ulama salaf sering menasihati, "Jadilah di dunia seolah-olah kamu adalah orang asing atau pengembara," yang merupakan refleksi langsung dari pemahaman bahwa tempat tinggal kita saat ini (dunia) adalah tanah yang ditakdirkan untuk menjadi tandus.
Satu-satunya hal yang tidak akan menjadi `Juruzā` adalah amal saleh yang tulus. Ayat 46 dari Surah yang sama menekankan hal ini: "Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang kekal (`al-bāqiyāt al-ṣāliḥāt`) adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan."
Dengan mengetahui kepastian Ayat 8, seorang Muslim didorong untuk fokus pada: ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan anak saleh yang mendoakannya. Ini adalah bentuk investasi yang melampaui batas kehancuran kosmik. Ketika dunia menjadi tandus, catatan amal tetap subur.
Pemahaman akan kefanaan ini harus meningkatkan kualitas salat, puasa, dan ibadah lainnya. Jika seseorang benar-benar yakin bahwa di bawah kaki mereka saat ini kelak akan menjadi hamparan tandus untuk pertanggungjawaban, ibadahnya akan dipenuhi dengan *khushu'* (kekhusyukan) dan kesadaran diri. Setiap sujud menjadi pengakuan bahwa kekuasaan manusia adalah nol di hadapan Dzat yang mampu mengubah dunia subur menjadi gurun dalam sekejap mata.
Al Kahfi Ayat 8 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang menjelaskan eskatologi dan filosofi kehidupan. Ayat ini melengkapi konteks Surah Al-Kahf sebagai peringatan terhadap empat fitnah, sebab semua fitnah itu berakar pada kecintaan terhadap perhiasan dunia. Ketika fitnah harta, ilmu, kekuasaan, dan agama menyerang, Ayat 8 menjadi pengingat utama:
Apakah Anda terpesona oleh harta? Ingatlah, semua itu akan menjadi `Juruzā`. Apakah Anda bangga dengan bangunan yang Anda dirikan? Ingatlah, semua akan menjadi `Ṣaʿīdan` yang rata. Keseimbangan spiritual hanya dapat dicapai ketika manusia menerima janji kehancuran ini sebagai kebenaran mutlak.
Ayat 8 berdiri sebagai penegasan universal: dunia adalah panggung yang akan dibongkar. Orang yang bijak adalah mereka yang tidak sibuk dengan dekorasi panggung, melainkan fokus pada pertunjukan yang akan diperhitungkan di hadapan sutradara agung, Allah subhanahu wa ta'ala. Kefanaan yang dijanjikan dalam Al Kahfi Ayat 8 adalah kunci untuk memahami nilai keabadian yang tersembunyi dalam setiap amal kebajikan.
Umat Islam diperintahkan untuk membaca surah ini setiap pekan agar peringatan tentang kehancuran dunia tidak pernah padam dari ingatan. Kesadaran akan `Ṣaʿīdan Juruzā` adalah fondasi untuk membangun kehidupan yang berorientasi pada akhirat, di mana harta dan keindahan sejati menanti, jauh dari kehancuran dan kefanaan.
Kembali pada analisis mendalam terhadap kata `Jā'ilūna` (لَجَاعِلُونَ), kita harus mempertimbangkan aspek gramatikalnya yang unik dalam bahasa Arab Al-Qur'an. Ini bukan sekadar kata kerja, tetapi Ism Fā'il yang bertindak seperti kata kerja (فاعل يعمل عمل الفعل). Penggunaan bentuk Ism Fā'il yang diikuti oleh partikel penegas `lāmu al-taukīd` (`la-`) menunjukkan intensitas dan kepastian yang jauh melampaui klausa sederhana. Dalam ilmu balaghah (retorika Al-Qur'an), struktur ini berfungsi untuk meniadakan keraguan apa pun mengenai janji Allah.
Jika Allah menggunakan bentuk kata kerja lampau, itu akan menceritakan suatu peristiwa yang telah selesai. Jika Dia menggunakan kata kerja masa depan yang sederhana, mungkin menyiratkan kemungkinan. Namun, dengan menggunakan Ism Fā'il dalam konteks masa depan dengan penekanan ganda, Al-Qur'an menyampaikan bahwa tindakan penghancuran bumi ini sudah merupakan sifat inheren dan ketetapan abadi dari rencana kosmik-Nya. Ini berarti, secara ontologis, dunia sudah ditakdirkan untuk menjadi `Juruzā`, dan keindahan yang kita saksikan hanyalah interlude singkat yang disediakan secara sengaja untuk tujuan pengujian.
Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, sering menekankan bagaimana susunan kalimat yang dipilih Al-Qur'an selalu paling tepat untuk menyampaikan makna ilahi. Di sini, pemilihan `Jā'ilūna` menggarisbawahi keabadian kehendak Allah. Kehancuran ini bukan sebuah ide yang baru muncul; itu adalah takdir yang telah tertulis. Manusia, yang melihat perhiasan dunia sebagai hal yang kekal, dihantam oleh realitas bahwa bahkan keberadaan fisik tempat mereka berpijak, berada di bawah kontrol Sang Pengubah Mutlak.
Untuk memahami sepenuhnya dampak kehancuran `Juruzā`, kita perlu membandingkannya dengan deskripsi penghancuran gunung. Dalam Surah Taha, deskripsi kehancuran itu sangat visual, di mana gunung-gunung diubah menjadi dataran yang rata dan licin (`Qā'an Ṣafṣafan`). Meskipun kedua frasa (`Ṣaʿīdan Juruzā` dan `Qā'an Ṣafṣafan`) memiliki makna kerataan, terdapat perbedaan nuansa yang memperkaya eskatologi.
Kedua kondisi ini, meskipun berbeda fokus, adalah fase yang saling melengkapi dari peristiwa Kiamat. `Juruzā` menjelaskan proses dihilangkannya kehidupan duniawi, sedangkan `Ṣafṣafan` menjelaskan kondisi geografis yang dihasilkan untuk pengadilan. Al-Kahfi 18:8 berfungsi sebagai peringatan universal kepada semua yang mengagungkan keindahan dunia, menyatakan bahwa keindahan itu akan lenyap sama sekali, menjadi tandus tanpa sisa.
Ayat 8 tidak hanya berbicara tentang akhir zaman, tetapi juga tentang sifat siklus keberadaan yang ditetapkan oleh Allah. Segala sesuatu yang diciptakan untuk tujuan tertentu (perhiasan untuk ujian) harus diakhiri ketika tujuannya tercapai.
Para filosof Islam sering merenungkan hukum alam ini. Kebutuhan akan kehancuran (Kiamat) adalah keniscayaan logis untuk menegakkan keadilan. Jika dunia tidak dihancurkan, maka tidak akan ada tempat untuk pertanggungjawaban yang mutlak. Dengan mengubah bumi menjadi `Juruzā`, Allah menghapus semua distraksi dan perhiasan yang menyebabkan ketidakadilan dan kesombongan selama masa ujian. Semua nilai yang terikat pada `Juruzā` akan ikut lenyap, menyisakan hanya nilai dari amal yang dilakukan demi *Al-Baqi* (Yang Kekal).
Ini adalah pelajaran fundamental tentang keterbatasan materi. Meskipun ilmu pengetahuan modern terus mencoba mencari cara untuk memperpanjang usia bumi atau mengatasi krisis ekologi, Ayat 8 menegaskan bahwa batas waktu planet ini telah ditetapkan oleh Penciptanya, melampaui kemampuan mitigasi manusia. Ini menempatkan manusia pada posisi kerendahan hati yang absolut di hadapan keagungan Ilahi.
Di era kontemporer, di mana konsumsi dan materialisme mendominasi, pesan Al Kahfi Ayat 8 menjadi semakin tajam. Ayat 7 dan 8 secara efektif mendefinisikan krisis spiritual modern: manusia menghabiskan seluruh energi mereka untuk menciptakan dan mengumpulkan perhiasan (`zīnatan lahā`), namun lupa akan kepastian `Ṣaʿīdan Juruzā` yang menanti di akhir.
Materialisme mengajarkan bahwa nilai terletak pada akumulasi dan kepemilikan. Al-Kahf 18:8 mengajarkan bahwa semua akumulasi tersebut adalah investasi yang buruk karena aset tersebut memiliki nilai akhir nol. Apabila seseorang menghabiskan seluruh hidupnya untuk membangun 'dua kebun' (kisah dalam surah ini), dan kebun tersebut pada akhirnya menjadi tandus, maka ia telah gagal dalam ujian. Sebaliknya, orang yang fokus pada kualitas iman dan amal (bahkan jika ia hidup dalam gua), ia adalah pemenang abadi.
Oleh karena itu, Ayat 8 adalah seruan untuk reorientasi ekonomi dan sosial. Ia menyerukan umat untuk membangun institusi, amal, dan karakter yang bernilai di akhirat, bukan yang sekadar megah dan menarik perhatian dunia.
Secara spiritual, konsep `Juruzā` tidak hanya berlaku pada tanah fisik. Ia juga dapat diinterpretasikan sebagai kondisi hati yang tidak melekat pada ilusi duniawi.
Hati yang telah mencapai kondisi 'Juruzā' spiritual adalah hati yang telah mencabut akar-akar kecintaan pada dunia, sehingga ia tidak terpengaruh ketika perhiasan itu hilang. Para arif billah (orang yang mengenal Allah) berupaya mencapai kondisi ini selagi hidup. Mereka tidak menunggu Kiamat datang untuk melihat dunia menjadi tandus; mereka menjadikan hati mereka tandus dari kecintaan pada selain Allah, sehingga ketika Kiamat tiba, transisi mereka mulus dan penuh ketenangan.
Kondisi `Juruzā` hati ini adalah manifestasi dari tawakal (ketergantungan total) dan zuhud sejati, di mana keterikatan digantikan oleh kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Ini adalah puncak keberhasilan dalam ujian yang disebutkan dalam Ayat 7.
Dengan demikian, Surah Al-Kahf Ayat 8 adalah salah satu peringatan paling komprehensif dalam Al-Qur'an. Ia bukan hanya mengajarkan tentang akhir dunia, tetapi ia juga memberikan cetak biru untuk menjalani kehidupan yang bermakna, di mana setiap napas, setiap tindakan, dan setiap keterikatan diuji oleh bayangan kehancuran yang pasti (`Ṣaʿīdan Juruzā`). Hanya dengan menerima realitas kehancuran total inilah, manusia dapat menghargai dan mengejar realitas keabadian yang ditawarkan di Surga.
Kisah terakhir dalam Surah Al-Kahf adalah kisah Dzulqarnain, seorang raja yang diberi kekuasaan besar untuk menjelajahi timur dan barat bumi. Ia diberi kekayaan, ilmu, dan kemampuan untuk membangun. Namun, yang paling menonjol dari kisahnya adalah kesadarannya yang tinggi akan kekuasaan ilahi. Setiap kali ia mencapai kemenangan atau menyelesaikan proyek besar (seperti pembangunan tembok Yakjuj dan Makjuj), ia selalu berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku."
Ayat 8 memberikan konteks yang sempurna untuk memahami kebesaran Dzulqarnain. Meskipun ia memiliki kekuasaan atas perhiasan dunia (dapat menguasai sumber daya, emas, dan besi), ia tidak pernah membiarkan kekuasaannya menjadi perhiasannya. Ia selalu menanggalkan dirinya dari kesombongan, karena ia tahu bahwa semua kekuasaan fisik ini akan berakhir. Kekaisaran Dzulqarnain, betapapun besarnya, pada akhirnya akan menjadi `Ṣaʿīdan Juruzā`. Kesadaran ini membedakannya dari tiran dan raja-raja sombong lainnya yang menganggap kekuasaan mereka abadi.
Oleh karena itu, kisah Dzulqarnain adalah ilustrasi bagaimana seorang mukmin seharusnya berinteraksi dengan dunia yang ditakdirkan untuk menjadi tandus: memanfaatkannya untuk kebaikan, tetapi tidak pernah terikat padanya. Ia menggunakan perhiasan dunia (kekuatan material) sebagai alat amal, bukan sebagai tujuan akhir.
Dampak `Ṣaʿīdan Juruzā` juga memiliki implikasi sosiologis yang mendalam. Selama kehidupan di dunia (Ayat 7), masyarakat diatur oleh hierarki yang sering didasarkan pada kekayaan, status, dan kekuasaan. Orang kaya tinggal di rumah mewah, sementara orang miskin hidup di tempat yang sederhana. Perbedaan geografis dan arsitektur ini menciptakan ketidaksetaraan visual dan sosial.
Ketika Ayat 8 dilaksanakan, bumi menjadi rata (`Ṣaʿīdan`). Semua bangunan pencakar langit, kuil, istana, dan gubuk dihancurkan menjadi debu yang sama. Hierarki visual dan material yang menjadi dasar kesombongan dan diskriminasi di dunia akan sepenuhnya dihapus. Di Padang Mahsyar, tidak ada lagi perbedaan status berdasarkan kekayaan yang pernah dimiliki di atas bumi yang telah menjadi `Juruzā`.
Ini adalah pesan yang sangat kuat bagi masyarakat yang terfragmentasi oleh kelas dan status. Nilai sejati tidak terletak pada di mana atau bagaimana kita hidup di dunia, melainkan pada bagaimana kita memanfaatkan hidup tersebut. Ayat 8 mengajarkan egalitarianisme eskatologis: di hadapan Allah, semua manusia sama, dan semua kebanggaan duniawi yang pernah mereka bangun telah berubah menjadi hamparan tandus yang sia-sia.
Ayat 7 dan Ayat 8 adalah sepasang ayat yang menggambarkan pergulatan abadi manusia. Ayat 7 (`inna ja'alnā mā 'ala-al-arḍi zīnatan lahā...`) menarik perhatian manusia ke arah kecantikan dan daya tarik. Ayat 8 (`wa innā lajā'ilūna mā 'alayhā ṣa'īdan juruzā...`) secara paksa menarik perhatian kembali ke realitas. Pergulatan ini—antara daya tarik dan realitas—menentukan nasib spiritual seseorang.
Perhiasan (`zīnatan`) dapat berupa apa saja yang membuat hidup terasa stabil dan menyenangkan: pasangan hidup, pekerjaan yang mapan, kesehatan yang prima, atau bahkan sekadar gadget terbaru. Semuanya adalah fana. Jika seorang mukmin lupa bahwa perhiasan itu hanyalah alat ujian, maka ia akan gagal ketika perhiasan itu mulai lenyap, baik melalui kematian pribadi atau melalui kehancuran kosmik yang dijanjikan. Kesadaran `Juruzā` adalah benteng pertahanan paling ampuh melawan godaan perhiasan.
Bagi mereka yang berhasil, perhiasan dunia digunakan sebagai alat untuk mencari keridaan Allah (seperti harta Dzulqarnain atau ketaatan Ashabul Kahf). Bagi mereka yang gagal, perhiasan itu menjadi beban yang menenggelamkan, seperti pemilik dua kebun yang sombong dan kafir.
Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an sering mengulang konsep kefanaan ini dalam berbagai surah, tetapi selalu dengan diksi yang unik dan spesifik untuk konteks surahnya. Dalam Al-Kahf, penggunaan `Juruzā` sangat cocok karena surah ini berbicara tentang harta benda dan vegetasi (kebun yang subur). Kata `Juruzā` yang berarti gundul/tandus, secara retoris menyerang tepat pada jantung fitnah harta dalam surah tersebut.
Seorang pembaca yang merenungkan Ayat 8 setelah membaca kisah kebun yang subur akan menyadari bahwa keindahan kebun (lambang keberhasilan dunia) itu ditakdirkan untuk menjadi ketiadaan yang kering. Pengulangan tema ini di seluruh Al-Qur'an, dari Surah Ar-Rahman (kefanaan segala sesuatu) hingga Surah Al-Waqi’ah (goncangan bumi), menunjukkan bahwa kesadaran akan kefanaan adalah prasyarat spiritual bagi keimanan yang kokoh.
Inti dari Al Kahfi Ayat 8 adalah panggilan menuju kedewasaan spiritual: untuk tidak menjadi anak-anak yang terpikat pada mainan sementara, melainkan menjadi orang dewasa yang berinvestasi pada kekekalan. Realitas `Ṣaʿīdan Juruzā` adalah janji yang menghapus segala ilusi dan mengarahkan pandangan manusia ke satu tujuan abadi: pertemuan dengan Sang Pencipta dalam keadaan terbaik amalnya.