Jawaban fundamental dari pertanyaan mengenai al kahfi surah ke berapa adalah: Surah Al-Kahfi adalah surah yang menempati urutan ke-18 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, terletak di antara Surah Al-Isra (sebelumnya) dan Surah Maryam (sesudahnya). Surah Makkiyah ini terdiri dari 110 ayat dan merupakan salah satu pilar utama yang membahas perlindungan spiritual dari fitnah besar dunia.
Posisi Al-Kahfi yang strategis, tepat di titik tengah antara Surah Al-Isra dan Surah Maryam, menandakan transisi penting dalam pesan kenabian dan sejarah umat manusia. Bagi umat Islam, surah ini bukan sekadar kumpulan kisah sejarah; ia adalah peta jalan spiritual yang merinci empat jenis ujian (fitnah) terbesar yang akan dihadapi manusia, khususnya menjelang akhir zaman. Memahami Al-Kahfi adalah memahami persiapan diri menghadapi tantangan materialisme, arogansi kekuasaan, kesombongan ilmu, dan godaan ideologi yang menyimpang.
Al-Kahfi, yang secara harfiah berarti "Gua", memiliki identitas yang sangat jelas dalam struktur kitab suci. Sebagai surah ke-18, ia memiliki karakteristik yang unik karena panjangnya (termasuk surah mi'in, surah yang memiliki sekitar seratus ayat) dan karena statusnya sebagai surah Makkiyah. Ini berarti ayat-ayatnya diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah, fokus pada pondasi tauhid, kebangkitan, dan hari perhitungan.
Surah Al-Kahfi menjangkau dua bagian juz dalam Al-Qur'an. Ia dimulai pada pertengahan Juz 15 (setelah Surah Al-Isra) dan berlanjut hingga awal Juz 16, di mana ia berakhir sebelum Surah Maryam dimulai. Penempatan ini memastikan bahwa ia dibaca di hari-hari yang sama ketika Surah Taha dan Al-Anbiya juga sering dibaca, surah-surah yang juga kaya akan kisah para nabi dan penekanan pada keesaan Tuhan.
Salah satu aspek paling terkenal dari Al-Kahfi adalah keutamaan membacanya pada malam atau hari Jumat. Hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa pembacaan surah ini dapat memberikan cahaya (nur) bagi pembacanya antara dua Jumat, dan yang lebih penting, ia berfungsi sebagai pelindung dari fitnah Dajjal (ujian Anti-Kristus) yang merupakan ujian terbesar bagi umat manusia. Keterkaitan antara surah ini dan perlindungan dari Dajjal sangat mendalam, karena keempat kisah utama di dalamnya secara simbolis melawan empat jenis fitnah yang digunakan Dajjal.
“Barangsiapa membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, niscaya ia akan disinari cahaya antara dua Jumat.” (HR. Al-Hakim)
Pesan inti Al-Kahfi disajikan melalui empat narasi besar yang, ketika dianalisis, mengungkapkan solusi ilahi terhadap empat godaan (fitnah) utama yang merusak iman dan moral manusia. Analisis mendalam terhadap kisah-kisah ini penting untuk mencapai pemahaman yang lebih dari sekadar cerita tidur.
Kisah pertama ini adalah sumber penamaan surah ini. Ashab al-Kahf adalah sekelompok pemuda beriman yang hidup di tengah masyarakat kafir. Ketika mereka dihadapkan pada pilihan antara mempertahankan iman atau menyelamatkan nyawa mereka, mereka memilih melarikan diri ke gua. Ini adalah perlawanan terhadap Fitnah ad-Din (Ujian Agama).
Para pemuda ini meninggalkan kemewahan duniawi dan perlindungan sosial demi menjaga tauhid mereka. Mereka berdoa kepada Allah, memohon rahmat dan petunjuk, dan sebagai respons, Allah menidurkan mereka di dalam gua selama 309 tahun. Fenomena tidur yang panjang ini bukanlah sekadar istirahat, melainkan sebuah mukjizat: tubuh mereka dipelihara, dan matahari menyinari gua dengan cara yang mencegah kerusakan (Ayat 17).
Kisah ini secara dramatis membuktikan dua prinsip inti Islam: keesaan Allah dan Hari Kebangkitan (resurrection). Ketika mereka bangun dan menyadari perubahan dunia, mereka menjadi bukti hidup bahwa Allah memiliki kekuasaan penuh atas waktu dan kehidupan setelah kematian. Pertanyaan tentang berapa jumlah mereka (tiga, lima, atau tujuh) dikesampingkan oleh Al-Qur'an (Ayat 22), menekankan bahwa esensi kisah jauh lebih penting daripada detail historis.
Inti dari kisah ini adalah: Ketika agama Anda terancam, jauhilah sumber ancaman tersebut. Jangan kompromi dengan prinsip tauhid. Allah akan melindungi mereka yang berpegang teguh pada-Nya, bahkan dengan cara-cara yang melampaui logika duniawi. Ini adalah perlindungan utama dari fitnah Dajjal, yang akan memaksa manusia untuk meninggalkan tauhid.
Setelah membahas perlindungan iman, surah ini beralih ke ujian duniawi, khususnya Fitnah al-Mal (Ujian Kekayaan). Kisah ini menampilkan dua orang, salah satunya diberi kekayaan luar biasa berupa dua kebun anggur dan kurma yang subur, sementara yang lainnya adalah seorang yang fakir namun beriman.
Pemilik kebun yang kaya menjadi sombong. Ia tidak hanya bangga pada hartanya, tetapi ia juga mulai meragukan Hari Kiamat. Dalam monolognya, ia berkata: "Aku tidak yakin kebun ini akan binasa selamanya. Dan aku tidak yakin Hari Kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini." (Ayat 35-36). Kekayaan telah membutakannya dari realitas kematian dan pertanggungjawaban.
Teman yang saleh menasihatinya, mengingatkannya bahwa semua kekayaan berasal dari Allah dan dapat diambil kapan saja. Namun, nasihat itu diabaikan. Akibatnya, kebun itu dihancurkan oleh badai ilahi, meninggalkan pemiliknya dalam penyesalan yang mendalam. Pelajaran yang ditawarkan adalah bahwa kekayaan hanyalah hiasan fana, dan penekanan harus selalu diletakkan pada amalan baik yang kekal.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Kisah ini mengajarkan pengendalian diri dalam menghadapi kemakmuran. Kekayaan dapat menjadi fitnah terbesar jika tidak disyukuri dan tidak dihubungkan dengan kekuasaan Allah. Ini adalah pertahanan terhadap Dajjal yang akan memikat manusia dengan harta benda dan kemewahan sesaat.
Kisah ini mungkin merupakan bagian yang paling kompleks dan mendalam, berfokus pada Fitnah al-Ilm (Ujian Pengetahuan). Nabi Musa, salah satu nabi Ulul Azmi, merasa bahwa ia adalah orang yang paling berilmu di muka bumi. Allah kemudian mengutusnya untuk mencari seorang hamba-Nya yang telah diberi ilmu khusus (Ilmu Ladunni), yang dikenal sebagai Khidr.
Khidr setuju untuk mengajar Musa, tetapi dengan syarat Musa tidak boleh mempertanyakan tindakan Khidr sampai saatnya Khidr memberikan penjelasan. Tiga peristiwa misterius terjadi:
Setiap tindakan yang tampak buruk atau tidak adil dari perspektif Musa yang terbatas, ternyata memiliki hikmah ilahi yang jauh lebih besar:
Pelajaran terbesar di sini adalah mengenai batas pengetahuan manusia. Bahkan seorang nabi sebesar Musa harus belajar bahwa ada dimensi takdir dan kebijaksanaan ilahi yang melampaui akal dan hukum syariat yang terlihat. Ini adalah pertahanan melawan fitnah kesombongan intelektual. Dajjal akan menggunakan ilmu pengetahuan dan sihir untuk menipu, tetapi orang yang memahami kisah Musa dan Khidr akan tahu bahwa ilmu sejati datang dari Allah, dan apa yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari kebenaran.
Kisah penutup berfokus pada Fitnah al-Sultah (Ujian Kekuasaan dan Otoritas), melalui narasi tentang Dzulqarnain, seorang raja atau pemimpin saleh yang diberikan kekuasaan dan cara untuk mencapai segala sesuatu di bumi. Kisah ini mengajarkan bagaimana kekuasaan harus digunakan: dengan keadilan, keimanan, dan kerendahan hati.
Dzulqarnain melakukan tiga perjalanan besar yang melambangkan jangkauan kekuasaan universal:
Dzulqarnain tidak meminta imbalan finansial, melainkan meminta bantuan tenaga. Dengan kekuatan dan ilmu yang Allah berikan, ia membangun tembok besar dari lempengan besi dan tembaga cair, sebuah benteng yang tidak dapat ditembus oleh Ya'juj dan Ma'juj, yang dikenal karena kerusakan yang mereka timbulkan.
Pelajaran dari Dzulqarnain adalah esensi pemimpin yang adil. Dia tidak menjadi sombong; ia selalu mengaitkan keberhasilannya dengan rahmat Allah. Setelah menyelesaikan tembok tersebut, ia berkata: "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." (Ayat 98). Kekuasaan harus digunakan untuk melayani dan melindungi, bukan untuk menindas atau mencari kemuliaan pribadi. Ini adalah pertahanan terhadap Dajjal, yang akan muncul sebagai penguasa global yang tiran dan mengaku sebagai tuhan.
Keempat kisah ini ditempatkan dalam Surah Al-Kahfi sebagai kurikulum lengkap untuk menghadapi Dajjal (Anti-Christ), figur yang akan muncul dengan empat ujian utama yang persis berkorelasi dengan narasi surah ke-18 ini.
Kisah Ashab al-Kahf (Penghuni Gua) memiliki resonansi sejarah yang kuat. Meskipun Al-Qur'an tidak menyebutkan lokasi atau tanggal spesifik, kisah ini diyakini merujuk pada peristiwa penganiayaan umat Kristen monoteistik di era Kekaisaran Romawi, mungkin pada masa Kaisar Decius atau Theodosius II, sebelum Islam. Penting untuk memahami detail teologis yang disoroti oleh surah ke-18 ini.
Ayat yang menjelaskan posisi tidur mereka (Ayat 17) sangat rinci. Matahari condong saat terbit dan condong saat terbenam, memastikan bahwa panas ekstrem tidak mengenai mereka, sekaligus menjamin sirkulasi udara di dalam gua. Ini menunjukkan perlindungan fisik yang diatur secara presisi oleh Allah, yang melampaui hukum alam biasa. Mereka dibolak-balikkan dalam tidurnya, menjaga agar tubuh mereka tidak rusak.
Durasi tidur 309 tahun (Ayat 25) secara implisit menegaskan kekuasaan Allah atas takdir. Ketika mereka bangun, mereka hanya merasa tidur sebentar (sehari atau setengah hari). Kesalahpahaman mereka mengenai durasi tidur menegaskan betapa cepatnya waktu berlalu di bawah kehendak ilahi, sebuah pelajaran tentang relativitas waktu yang penting bagi pemahaman Hari Kiamat.
Kehadiran anjing, Qithmir, yang menjulurkan kedua kakinya di ambang pintu gua (Ayat 18), sering dijadikan titik diskusi. Dalam banyak budaya, anjing dianggap najis atau tidak berharga. Namun, Al-Qur'an menempatkan anjing ini sebagai penjaga yang saleh, menyiratkan bahwa status keimanan tidak didasarkan pada bentuk fisik atau kedudukan sosial, tetapi pada fungsi dan ketaatan. Ia berbagi nasib para pemuda tersebut dan menjadi bagian dari mukjizat ilahi.
Kisah Nabi Musa dan Khidr adalah studi kasus tentang kerendahan hati intelektual (tawadhu' al-ilm). Musa, meskipun seorang Rasul yang dihormati dan diberikan Taurat, harus belajar bahwa hikmah ilahi tidak terbatas pada wahyu yang diterima manusia.
Perjalanan Musa dimulai dari titik pertemuan dua laut (Ayat 60). Lokasi ini secara simbolis mewakili pertemuan antara pengetahuan eksoteris (ilmu syariat yang dibawa Musa) dan pengetahuan esoteris (ilmu ladunni yang dimiliki Khidr). Hilangnya ikan yang mereka bawa menjadi penanda untuk menemukan Khidr, menunjukkan bahwa petunjuk ilahi sering kali datang melalui tanda-tanda kecil yang harus diperhatikan dengan cermat.
Musa gagal menahan diri untuk tidak bertanya sebanyak tiga kali. Kegagalan ini bukan karena kekurangan iman, melainkan karena naluri kenabiannya untuk menolak ketidakadilan (seperti melubangi perahu atau membunuh jiwa). Khidr, meskipun tindakannya tampak melanggar syariat, bertindak atas perintah langsung dari Allah.
Inti dari pelajaran ini adalah penyerahan diri (Islam) terhadap ketetapan Allah, bahkan ketika ketetapan tersebut tampak merugikan secara lahiriah. Ilmu manusia selalu terbatas, dan hanya Allah yang mengetahui keseluruhan gambaran. Konsep ini vital untuk menghadapi fitnah di mana manusia modern mengklaim otonomi intelektual penuh, menolak kebutuhan akan wahyu.
Kisah Dzulqarnain adalah cetak biru untuk kepemimpinan global yang berlandaskan tauhid dan keadilan. Nama Dzulqarnain berarti "Pemilik Dua Tanduk" atau "Pemilik Dua Masa/Generasi," sering diartikan sebagai penguasa yang mencapai ujung timur dan barat dunia yang dikenal saat itu.
Para sejarawan dan mufasir memiliki perbedaan pendapat mengenai identitas Dzulqarnain. Beberapa kandidat terkenal adalah:
Pembangunan tembok yang kokoh dari besi dan tembaga adalah simbol dari upaya manusia untuk mengendalikan kejahatan dan kekacauan. Ya'juj dan Ma'juj melambangkan kekuatan destruktif dan anarkis yang akan dilepaskan ke dunia menjelang Hari Kiamat.
Ayat 98 menyatakan bahwa tembok itu dibangun berkat rahmat Allah, namun Dzulqarnain juga memperingatkan bahwa tembok itu hanya bersifat sementara. "Apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh," merujuk pada Hari Kiamat. Hal ini mengajarkan bahwa semua benteng buatan manusia, bahkan yang paling kuat, akan runtuh ketika waktu yang ditentukan Allah tiba.
Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, tidak hanya menyajikan kisah-kisah indah; ia menawarkan serangkaian pelajaran tentang bagaimana menavigasi kehidupan yang penuh godaan. Empat kisah tersebut secara kolektif merangkum strategi untuk hidup dalam dunia yang berorientasi materialis dan sekuler:
Setiap kisah menyentuh aspek kesombongan yang berbeda. Ashab al-Kahf menolak kesombongan status sosial demi iman. Pemilik kebun mencontoh kesombongan harta benda. Musa menunjukkan bahaya kesombongan intelektual, dan Dzulqarnain menunjukkan bahwa bahkan di puncak kekuasaan, kesombongan harus dihindari dengan atribusi segala kesuksesan kepada Allah.
Dalam kisah Dua Kebun, nasihat yang tulus diabaikan. Dalam kisah Musa dan Khidr, kesabaran Musa diuji habis-habisan. Surah ini menekankan perlunya menerima nasihat (terutama dari orang-orang saleh yang mungkin dianggap lebih rendah statusnya) dan mempraktikkan kesabaran (sabr) dalam memahami proses ilahi.
Surah Al-Kahfi berulang kali mengarahkan pandangan pembaca melampaui kehidupan saat ini. Kisah Ashab al-Kahf adalah studi tentang kebangkitan. Kisah Dua Kebun menegaskan bahwa amalan saleh adalah harta yang kekal. Bahkan kesimpulan dari surah ini (Ayat 109-110) berfokus pada akhirat:
“Katakanlah: ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’” (Al-Kahfi: 109)
Ayat ini menandai kebesaran ilmu Allah, yang tak terbatas, dan merupakan transisi sempurna menuju ayat terakhir yang menekankan bahwa tujuan hidup adalah beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Meskipun Al-Kahfi adalah surah Makkiyah, relevansinya melintasi zaman. Dalam konteks modern, fitnah-fitnah yang disebutkan dalam surah ke-18 ini menjelma dalam bentuk yang lebih canggih dan merusak.
Ashab al-Kahf meninggalkan kota mereka untuk melindungi iman. Hari ini, fitnah agama datang dalam bentuk ideologi yang merusak, ateisme yang menyebar melalui media sosial, dan tekanan untuk mengompromikan nilai-nilai Islam demi penerimaan sosial. "Gua" modern mungkin adalah batas-batas pribadi yang kita bangun di sekitar keluarga dan identitas kita untuk melindungi diri dari paparan narasi yang merusak.
Kisah Dua Kebun sangat relevan di era kapitalisme global, di mana nilai seseorang sering diukur dari kekayaan materialnya. Surah ini memberikan kritik tajam terhadap mentalitas yang menganggap keberhasilan material sebagai indikasi restu ilahi absolut, mengingatkan kita bahwa kekayaan dapat ditarik kembali dalam sekejap.
Di tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan (AI, bioteknologi), banyak yang mulai menyembah sains sebagai dewa baru. Kisah Musa dan Khidr berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa di atas setiap ilmuwan pasti ada ilmuwan lain, dan di atas semua itu, ada Ilmu Allah yang maha meliputi. Ketika sains tampaknya bertentangan dengan etika atau wahyu, surah ini mengajarkan kita untuk mencari hikmah yang lebih dalam.
Dzulqarnain mengajarkan tentang penggunaan kekuatan lunak dan keras secara etis. Dalam dunia politik yang didominasi oleh kekuasaan otoriter atau kepentingan pribadi, ia adalah teladan pemimpin yang bertindak bukan demi kekayaan pribadi atau pujian, tetapi demi keadilan dan perlindungan kaum tertindas, selalu mengingat pertanggungjawaban kepada Pencipta.
Surah Al-Kahfi ditutup dengan dua ayat yang sangat kuat (Ayat 109 dan 110), yang merangkum keseluruhan pesan surah dan menjadi semacam kesimpulan bagi semua hikmah yang terbentang dari Ashab al-Kahfi hingga Dzulqarnain.
Ayat 109 tentang lautan yang tidak cukup untuk menulis kalimat-kalimat Allah menegaskan kembali pelajaran dari Khidr: pengetahuan Allah tidak terbatas. Hal ini menanamkan kerendahan hati dalam diri seorang mukmin dan mencegah fitnah al-ilm. Ini adalah penutup yang sempurna setelah membahas perjalanan ilmu Musa.
Ayat terakhir adalah perintah yang lugas dan universal: "Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya."
Ini adalah penutup agung yang menyatukan semua benang merah dalam surah ke-18 ini. Baik Anda adalah penguasa seperti Dzulqarnain, orang kaya seperti pemilik kebun, ilmuwan seperti Musa, atau pemuda yang dianiaya seperti Ashab al-Kahf—tujuan akhirnya adalah amal saleh dan penegasan tauhid (tidak menyekutukan Allah). Ini adalah perisai paling ampuh melawan fitnah apa pun, termasuk fitnah terbesar, Dajjal.
Oleh karena itu, Surah Al-Kahfi, yang terletak pada urutan ke-18 dalam Al-Qur'an, adalah sebuah mercusuar yang menerangi jalan menuju keselamatan. Ia adalah Surah yang harus direnungkan, bukan hanya dibaca, untuk mempersiapkan diri menghadapi realitas ujian yang tak terhindarkan di dunia fana ini.
Analisis terhadap Surah Al-Kahfi juga harus mencakup keunikan struktur dan gaya bahasanya yang menawan. Surah ke-18 ini sering dipuji karena struktur simetrisnya yang luar biasa, dikenal sebagai struktur cincin (ring structure) atau struktur kembar.
Struktur cincin dalam Al-Qur'an adalah pola di mana bagian awal surah (A) memiliki tema yang serasi dengan bagian akhir surah (A'), dan bagian kedua (B) serasi dengan bagian kedua terakhir (B'), dan seterusnya, dengan sebuah titik puncak (Center Point) yang menjadi inti pesan.
Keselarasan ini menunjukkan bahwa Surah Al-Kahfi bukanlah koleksi cerita yang diceritakan secara acak, melainkan sebuah desain yang cermat, memastikan bahwa setiap pelajaran saling memperkuat pelajaran lainnya dan semua mengarah pada inti: perlunya rendah hati di hadapan ilmu dan kekuasaan Allah.
Di luar kisah-kisah utamanya, Surah Al-Kahfi juga menyentuh beberapa prinsip hukum dan filosofis yang mendalam, memberikan arahan praktis bagi umat Islam.
Ayat penutup (110) secara spesifik menekankan larangan syirik. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini tidak hanya merujuk pada penyembahan berhala (syirik besar), tetapi juga pada Riya' (pamer amal) dan mencari pujian manusia (syirik kecil).
Kisah Dzulqarnain yang selalu mengaitkan kesuksesan dengan rahmat Tuhannya (Ayat 98) dan penyesalan pemilik kebun yang lupa bersyukur, keduanya menyoroti bahaya syirik kecil, yang dapat merusak amal saleh meskipun seseorang secara formal tidak menyembah selain Allah. Dalam konteks modern, ini adalah peringatan terhadap obsesi validasi di mata manusia (media sosial, status).
Salah satu ajaran hukum yang paling langsung dari Al-Kahfi adalah perintah untuk selalu mengatakan Insha'Allah ("Jika Allah Menghendaki") ketika berbicara tentang rencana masa depan (Ayat 23-24).
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakannya besok pagi, kecuali (dengan menyebut): ‘Insya Allah’.”
Ayat ini diturunkan setelah Nabi Muhammad ﷺ ditanya tentang Ashab al-Kahf dan ia lupa menambahkan Insha'Allah, yang mengakibatkan tertundanya wahyu. Ini bukan sekadar etiket lisan; ini adalah pengakuan teologis bahwa manusia tidak memiliki kontrol absolut atas waktu dan takdir, sebuah pelajaran yang diperkuat oleh kisah Ashab al-Kahf dan Khidr.
Dalam kisah Khidr yang mendirikan tembok (Ayat 77), penduduk desa menolak memberi mereka makanan. Namun, Khidr tetap menyelesaikan pekerjaan itu karena tujuan yang lebih besar (harta anak yatim). Sementara Khidr bertindak atas perintah ilahi, peristiwa ini memicu diskusi fiqh mengenai keharusan upah untuk pekerjaan yang dilakukan, dan etika kemanusiaan dalam memberi makan musafir. Ini mengajarkan keseimbangan antara kewajiban hukum (upah) dan kewajiban etika (kebaikan).
Karena Surah Al-Kahfi (surah ke-18) diturunkan sebagai respons terhadap pertanyaan yang diajukan oleh kaum Quraisy atas saran pendeta Yahudi, tiga dari empat kisahnya memiliki padanan dalam tradisi Yahudi dan Kristen, tetapi Al-Qur'an menyajikan versi yang direvisi dan disempurnakan.
Kisah Ashab al-Kahf sangat mirip dengan legenda Kristen tentang Tujuh Tidur di Efesus (Seven Sleepers). Perbedaan utama terletak pada fokus teologis: sementara versi Kristen sering berfokus pada mukjizat kebangkitan kembali tubuh, versi Al-Qur'an (Surah 18) fokus pada pemuda yang melindungi tauhid murni, menekankan bahwa Allah-lah yang Mahatahu tentang detail waktu dan jumlah mereka.
Beberapa ulama dan sejarawan membandingkan Khidr dengan Nabi Elia atau figur spiritual lain dalam tradisi Yahudi, seringkali dikaitkan dengan sumber air kehidupan. Namun, Al-Qur'an memperkenalkan Khidr sebagai hamba yang diberi ilmu spesifik (Ilmu Ladunni), menegaskan bahwa ilmunya bukan didasarkan pada kenabian formal, melainkan anugerah istimewa dari Allah. Ini menunjukkan kekayaan sumber ilmu yang tidak hanya terbatas pada jalur kenabian yang sudah diketahui (seperti Musa).
Kisah Dzulqarnain adalah koreksi mendalam terhadap legenda Alexander Agung yang populer pada masa itu. Legenda Yunani menggambarkan Alexander sebagai figur semi-dewa yang ambisius. Al-Qur'an mengambil kerangka geografis yang luas tetapi mentransformasikannya menjadi narasi teologis. Dzulqarnain dalam Islam adalah seorang hamba yang saleh (mukmin), bukan dewa, yang tindakannya didorong oleh keadilan ilahi, bukan hasrat penaklukan pribadi.
Mengingat peran Surah Al-Kahfi (surah ke-18) sebagai perisai dari fitnah Dajjal, penting untuk memahami bagaimana dan kapan surah ini sebaiknya dibaca sesuai dengan Sunnah.
Para ulama sepakat bahwa waktu membaca Al-Kahfi adalah dimulai sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis sore (memasuki malam Jumat) hingga terbenamnya matahari pada hari Jumat sore. Meskipun membacanya di sepanjang hari Jumat adalah yang paling utama, membaca di malamnya (Kamis malam) juga termasuk dalam fadhilah yang dijanjikan.
Keutamaan "cahaya antara dua Jumat" (nur) sering diartikan secara harfiah sebagai penerangan spiritual. Cahaya ini membantu seorang mukmin melewati kegelapan keraguan, kebodohan, dan godaan materi yang dihadapi sepanjang pekan.
Pembacaan Al-Kahfi setiap Jumat berfungsi sebagai ‘refreshment’ mingguan, menyuntikkan kembali kesadaran akan empat fitnah besar yang selalu mengintai, memastikan bahwa umat Islam selalu waspada terhadap jebakan duniawi yang telah meruntuhkan karakter pemilik kebun dan menantang ilmu Nabi Musa.
Pada akhirnya, Surah Al-Kahfi, surah ke-18 yang teramat panjang dan kaya ini, berfungsi sebagai persiapan mental dan spiritual yang komprehensif untuk menghadapi kenyataan bahwa kehidupan ini akan berakhir, dan setiap pilihan yang dibuat di tengah fitnah memiliki konsekuensi abadi.
Pelajaran tentang keputusasaan yang dialami oleh pemilik kebun, atau kekecewaan Musa karena tidak dapat memahami kebenaran Khidr, semuanya merujuk pada pentingnya memegang teguh iman, keadilan, dan kerendahan hati. Ketika manusia menyadari bahwa segala pengetahuan dan kekuasaan hanyalah pinjaman dari Allah, maka fitnah apapun tidak akan mampu menggoyahkan pondasi tauhidnya.
Maka dari itu, bagi setiap mukmin yang mencari perlindungan dari godaan dunia—yang kekayaannya, pengetahuannya, kekuasaannya, dan ideologinya mencoba menyesatkan—jawaban dan solusinya terdapat dalam Surah Al-Kahfi, surah yang berharga di urutan ke-18 dalam kitab suci. Ia adalah benteng yang menanti untuk direnungi setiap minggu, membawa kita kembali ke inti ajaran Islam: amal saleh yang murni hanya untuk Allah.