Kajian Komprehensif Mengenai Konteks Historis, Makna Linguistik, dan Tafsir Mendalam
Simbolisasi Lahab (Nyala Api) yang menjadi inti nama Surah.
Surah Al-Lahab adalah surah ke-111 dalam Al-Qur'an, dan merupakan salah satu surah Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrah. Surah ini dikenal juga dengan nama Surah Al-Masad (Tali dari Serabut Palma). Keunikan utama surah ini terletak pada sifatnya yang sangat spesifik, karena secara langsung menyebut dan mengutuk salah satu musuh terbesar Nabi Muhammad ﷺ, yaitu Abu Lahab, paman Nabi sendiri.
Penyebutan nama pribadi dalam Al-Qur'an adalah hal yang sangat langka. Fakta bahwa Al-Qur'an memilih untuk mengabadikan Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, sebagai contoh kehancuran total bagi para penentang kebenaran, menunjukkan betapa seriusnya kejahatan dan penentangan yang mereka lakukan terhadap risalah kenabian.
Surah ini tidak hanya merupakan sebuah kutukan historis; ia adalah sebuah nubuat kenabian yang tergenapi, yang menjadi bukti konkret atas kebenaran wahyu yang dibawa oleh Rasulullah. Lima ayat pendek ini memuat pelajaran mendalam tentang konsekuensi kedengkian, harta yang tidak bermanfaat, dan akhir yang pasti bagi mereka yang menentang kebenaran secara terang-terangan.
Kisah turunnya Surah Al-Lahab berakar pada momen ketika Nabi Muhammad ﷺ pertama kali diperintahkan untuk menyampaikan dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Menurut riwayat yang sahih, Rasulullah naik ke bukit Safa dan memanggil seluruh kabilah Quraisy. Ketika mereka berkumpul, Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa di belakang lembah ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Tentu saja, kami tidak pernah mendengar engkau berbohong."
Kemudian Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan azab yang pedih."
Pada saat itulah, Abu Lahab—yang nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib—berdiri dan melontarkan kalimat penghinaan yang keji. Dengan nada marah dan sarkasme, ia berkata, "Celakalah engkau (Muhammad)! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Abu Lahab kemudian mengambil batu dan hendak melemparkannya kepada Nabi ﷺ.
Respon instan dari langit atas penghinaan dan penolakan keras ini adalah turunnya Surah Al-Lahab. Surah ini adalah jawaban langsung, sebuah deklarasi ilahi yang memastikan kehancuran total bagi Abu Lahab, baik di dunia maupun di akhirat. Kejadian ini menegaskan bahwa penentangan terhadap Nabi adalah penentangan terhadap Allah, dan konsekuensinya adalah kebinasaan mutlak.
Surah Al-Lahab terdiri dari lima ayat. Berikut adalah penyajian teks Arab dan terjemahan literalnya:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
"Tidaklah berguna baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan."
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Al-Lahab)."
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)."
"Di lehernya ada tali dari sabut (serabut) kurma."
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah setiap frasa, memahami makna linguistiknya yang kaya, dan meninjau penafsiran para ulama tafsir klasik.
Kata kunci dalam ayat ini adalah تَبَّتْ (Tabbat). Secara harfiah, tabbat berarti celaka, rugi, atau hancur. Ini adalah bentuk doa atau pernyataan kehancuran total. Para ahli bahasa menjelaskan bahwa tabb merujuk pada kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi, kegagalan mutlak yang mengarah pada kebinasaan abadi.
Frasa يَدَا (Yadā) adalah bentuk dual (dua tangan). Dalam tradisi Arab, penyebutan "tangan" sering kali mewakili kekuatan, upaya, usaha, dan kekuasaan seseorang. Jadi, "Binasalah kedua tangan Abu Lahab" dapat diartikan sebagai kehancuran total atas segala daya upaya, kekuasaan, harta, dan rencana jahatnya yang ia gunakan untuk menentang Nabi ﷺ.
Pengulangan وَتَبَّ (Wa Tabb), yang berarti "dan sungguh dia telah binasa," memberikan penekanan yang luar biasa. Pengulangan ini mengubah kutukan dari bentuk doa menjadi pernyataan fakta yang pasti. Para mufasir seperti Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa Tabbat Yadā adalah kutukan atas usaha dunianya, sementara Wa Tabb adalah kepastian kehancuran dirinya di akhirat. Ini adalah kehancuran dua dimensi: fisik dan spiritual, temporal dan abadi.
Penolakan Abu Lahab terjadi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena kesombongan. Sebagai paman dan tetangga terdekat, ia tahu betul kejujuran keponakannya. Penentangannya adalah karena iri hati dan khawatir kehilangan kedudukannya di antara kaum Quraisy. Kehancuran yang diumumkan dalam ayat ini adalah konsekuensi langsung dari kesombongan yang membawanya melontarkan penghinaan tersebut di Bukit Safa.
Banyak ulama menyoroti bahwa ayat pertama ini telah memecahkan tantangan terbesar bagi para penentang Qur'an. Karena ayat ini merupakan nubuat yang menyatakan bahwa Abu Lahab akan mati dalam keadaan kafir dan pasti masuk neraka, Abu Lahab hanya perlu berpura-pura masuk Islam sekali saja untuk membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah kebohongan. Namun, hingga akhir hayatnya, dia tetap teguh dalam kekafirannya, menjamin kebenaran nubuat ilahi ini. Ini adalah bukti nyata I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur'an.
Ayat kedua menargetkan pilar kekuatan Abu Lahab yang paling diandalkan: harta dan kedudukannya. Kata مَا أَغْنَىٰ (Mā Aghnā) berarti "tidak memberi manfaat" atau "tidak mencukupi." Ayat ini dengan tegas meniadakan manfaat dari segala yang ia miliki.
مَالُهُ (Māluhu) merujuk pada kekayaan materialnya yang melimpah. Abu Lahab dikenal sebagai orang kaya di Makkah. Keyakinan pagan pada masa itu sering kali menganggap harta adalah tanda restu dewa dan dapat digunakan untuk membeli keselamatan atau pengaruh.
وَمَا كَسَبَ (Wa Mā Kasab) memiliki dua penafsiran utama yang memperdalam maknanya:
Pesan sentral dari ayat ini adalah bahwa kekayaan dan kekuasaan duniawi tidak memiliki nilai sama sekali ketika berhadapan dengan murka Ilahi dan kebenaran spiritual. Dalam konteks dakwah di Makkah, di mana status sosial dan kekayaan adalah segalanya, ayat ini menjadi pukulan telak yang meruntuhkan fondasi arogansi kaum elit Quraisy.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa kerugian yang dimaksud bukanlah kerugian materi, melainkan kerugian spiritual. Abu Lahab telah menginvestasikan hidupnya dalam kekayaan, tetapi investasi tersebut terbukti nol dalam timbangan Hari Pembalasan. Ini adalah pelajaran abadi bagi setiap generasi yang terlalu mengandalkan kekuatan materi daripada kebenaran iman.
Ini adalah ayat nubuat utama. سَيَصْلَىٰ (Sayaslā) menggunakan partikel sa yang menunjukkan kepastian di masa depan—dia PASTI akan memasukinya. Kata kerja ini berarti "dipanggang" atau "dibakar."
نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Nāran Dzāta Lahab), artinya api yang memiliki nyala api. Ini adalah permainan kata yang indah (pun) dalam bahasa Arab. Nama panggilannya adalah Abu Lahab (Ayah Api/Nyala Api) karena wajahnya yang rupawan dan kemerahan. Al-Qur'an mengaitkan takdirnya dengan namanya: ia dipanggil Ayah Api di dunia, dan ia akan memasuki Api yang sebenarnya di akhirat. Nyala api neraka adalah takdir yang sesuai dengan identitas dan perbuatannya.
Penyebutan lahab (nyala api) menekankan intensitas siksaan. Ini bukan sekadar api yang membara, tetapi api yang bergejolak dan menyala-nyala. Penempatan ayat ini segera setelah penolakan manfaat harta menggarisbawahi bahwa kekuatan materi tidak dapat menjadi benteng terhadap api yang telah ditakdirkan baginya.
Konteks historis mencatat bahwa Abu Lahab meninggal dunia dalam keadaan yang menyedihkan setelah Perang Badar, menderita penyakit menular yang menjijikkan (disebut 'adasah), sehingga tidak ada yang berani mendekatinya. Ia mati sendirian, dan jasadnya hanya didorong ke liang lahat dari jarak jauh menggunakan kayu. Kematiannya yang hina ini dipandang oleh para ulama sebagai permulaan kehancuran yang telah dinubuatkan oleh ayat ini.
Ayat ini mencakup Ummu Jamil, istri Abu Lahab, yang nama aslinya adalah Arwā binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan. Ia adalah figur wanita Quraisy yang sangat berkuasa dan aktif dalam menentang Nabi ﷺ.
Dia dijuluki حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammālatal-Ḥaṭab), yang secara harfiah berarti "pembawa kayu bakar." Frasa ini ditafsirkan dalam dua cara yang saling melengkapi:
Kehadiran istri dalam kutukan ini menunjukkan bahwa penentangan terhadap kebenaran sering kali merupakan upaya yang terorganisir dan didukung secara penuh oleh keluarga. Keduanya, suami dan istri, berbagi visi kekafiran dan oleh karena itu berbagi takdir di neraka.
Ummu Jamil dikenal sebagai wanita yang sangat licik. Dikisahkan bahwa ia sering mengambil duri dan menaburkannya di jalan yang dilewati Rasulullah ﷺ pada malam hari, sebuah tindakan yang menunjukkan kebencian yang mendalam dan upaya fisik untuk menyakiti Nabi. Inilah sebabnya ia layak dijuluki 'pembawa kayu bakar', simbol penderitaan dan penyiap api.
Ayat terakhir Surah ini memberikan detail yang paling spesifik tentang siksaan Ummu Jamil. جِيدِهَا (Jīdihā) adalah lehernya. حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Ḥablun min Masad) adalah tali dari masad, yaitu serabut kasar dari pohon kurma atau palma.
Masad adalah tali yang kasar, berat, dan biasanya digunakan oleh orang miskin untuk mengikat kayu bakar. Ironi yang terkandung di sini sangat mendalam. Ummu Jamil adalah seorang bangsawan kaya, yang biasanya mengenakan kalung mutiara yang mahal. Al-Qur'an secara profetik menjanjikan bahwa kalung kebanggaannya di dunia akan digantikan di akhirat dengan tali kasar, kotor, dan berat yang terbuat dari serabut palma, yang akan melilit lehernya.
Penafsiran dari Masad ini sering dihubungkan dengan penghinaan dan kehinaan. Siksaan ini bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga penghinaan sosial yang sempurna. Bagi seorang wanita kaya Makkah, dipaksa membawa kayu bakar dengan tali kasar di lehernya adalah puncak dari aib dan kerendahan.
Lebih jauh, para ulama seperti Ibn Abbas menafsirkan bahwa tali tersebut adalah rantai neraka yang akan menyeretnya masuk ke dalam api, atau melambangkan beban dosanya yang berat seperti kayu bakar yang ia pikul di lehernya.
Surah Al-Lahab sebagai bagian dari Wahyu Ilahi yang memuat kepastian takdir.
Untuk memahami beratnya Surah Al-Lahab, penting untuk memahami posisi Abu Lahab dalam struktur keluarga Nabi ﷺ. Abu Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ, anak dari Abdul Muthalib. Hubungan keluarga ini seharusnya menjadi sumber dukungan, namun sebaliknya, Abu Lahab justru menjadi musuh paling bebuyutan dan penentang utama dari dalam keluarga.
Abu Lahab memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi. Dia adalah pemimpin klan yang dihormati di antara Quraisy, dan kekayaannya menjamin pengaruhnya. Dalam masyarakat Arab pra-Islam, ikatan keluarga sangat kuat. Meskipun pamannya yang lain, Abu Thalib, tidak pernah memeluk Islam, ia tetap memberikan perlindungan fisik yang tak tergoyahkan kepada Nabi ﷺ karena ikatan kekerabatan.
Abu Lahab, sebaliknya, memilih untuk secara terbuka mencela dan menghina Nabi, bahkan setelah wafatnya Abu Thalib. Penentangannya melampaui batas politik; ia mencapai tingkat permusuhan pribadi dan psikologis yang intens. Ia tidak hanya menolak ajaran Islam, tetapi secara aktif berusaha mencegah orang lain mendengarkannya.
Dikisahkan bahwa ketika Nabi ﷺ berdiri di pasar atau di perkumpulan untuk menyampaikan wahyu, Abu Lahab akan membuntuti beliau. Setelah Nabi selesai berbicara, Abu Lahab akan maju ke depan dan berteriwa, "Jangan percaya kepadanya! Dia adalah pendusta dan ahli sihir." Kehadiran dan statusnya yang tinggi membuat banyak orang ragu untuk menerima pesan Nabi. Tindakan ini merupakan pengkhianatan ganda: pengkhianatan terhadap kebenaran dan pengkhianatan terhadap ikatan keluarga.
Peran Ummu Jamil sangat penting dalam kampanye penentangan ini. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam), yang berarti ia berasal dari garis keluarga elit Quraisy yang paling berkuasa. Kekuatan politik dan sosial pasangan ini menjadi ancaman nyata bagi dakwah Nabi di masa-masa awal yang rapuh.
Ummu Jamil menggunakan kekayaan dan pengaruhnya untuk menyebarkan kebencian. Para ulama tafsir menyatakan bahwa julukan Hammālatal-Ḥaṭab (pembawa kayu bakar) merujuk pada dua bentuk penghinaan: (a) dia menyebarkan gosip dan kebohongan yang membakar hati (fitnah), dan (b) dia juga secara nyata berusaha menyakiti Nabi dengan menaruh duri dan kotoran di jalan yang dilalui beliau.
Surah Al-Lahab mengabadikan bukan hanya kehancuran seorang individu (Abu Lahab), tetapi kehancuran sebuah unit keluarga yang secara kolektif bersekutu melawan kebenaran. Ini menunjukkan bahwa ikatan darah tidak dapat menyelamatkan seseorang dari keadilan Ilahi jika keimanan telah ditolak sepenuhnya.
Salah satu aspek yang paling menakjubkan dari Surah Al-Lahab adalah fungsinya sebagai mukjizat (I'jaz) yang definitif. Surah ini diturunkan pada periode awal Makkah, jauh sebelum kemenangan Islam di Badar atau penaklukan Makkah.
Surah ini secara eksplisit meramalkan bahwa Abu Lahab akan binasa dan pasti masuk Neraka (Ayat 3). Ini berarti Abu Lahab dijamin akan mati dalam keadaan kafir. Secara manusiawi, ramalan semacam ini adalah risiko besar, karena Abu Lahab hanya perlu mengucapkan syahadat (bahkan jika munafik) untuk membuktikan bahwa wahyu tersebut salah dan merusak kredibilitas Nabi ﷺ selamanya.
Namun, dalam rentang waktu bertahun-tahun setelah wahyu ini turun—dan bahkan setelah Perang Badar yang menghancurkan moral kaum Quraisy—Abu Lahab tidak pernah menerima Islam atau berpura-pura menerimanya. Dia meninggal sebagai seorang musyrik, mengkonfirmasi kebenaran setiap kata dalam Surah tersebut.
Para ulama ushuluddin sering menggunakan Surah Al-Lahab sebagai bukti kuat kemahabenaran Al-Qur'an dan keaslian kenabian Muhammad ﷺ. Tidak ada manusia yang berakal sehat akan membuat ramalan yang dapat dengan mudah digagalkan oleh musuh bebuyutannya, kecuali ia yakin sepenuhnya bahwa ramalan tersebut datang dari kekuatan yang Maha Mengetahui dan Maha Mengatur takdir.
Kematian Abu Lahab juga merupakan pemenuhan kehancuran duniawi (Tabbat Yadā). Setelah kekalahan Quraisy di Badar, ia meninggal karena penyakit menular yang membuat orang-orang menjauhinya. Kematiannya yang terisolasi dan penguburannya yang memalukan (didorong dengan kayu) kontras tajam dengan status sosialnya yang tinggi. Ini adalah gambaran kehancuran total: kehancuran upaya, kehancuran kekuasaan, dan kehinaan di hadapan publik.
Kehinaan Ummu Jamil juga tergenapi. Dikisahkan bahwa setelah Surah ini turun, ia menjadi sangat marah. Ia pergi mencari Rasulullah sambil membawa segenggam batu, bersumpah untuk menghancurkan Nabi. Namun, Allah membutakan pandangannya sehingga ia hanya melihat Abu Bakar yang duduk di samping Nabi. Ia kemudian mengancam Abu Bakar, menunjukkan betapa Surah ini telah merendahkan martabatnya. Fakta bahwa ia tidak dapat melihat Nabi menunjukkan perlindungan ilahi dan pemenuhan penghinaan yang dijanjikan Surah tersebut.
Surah Al-Lahab, meskipun pendek, adalah mahakarya retoris (balaghah) dalam bahasa Arab, menunjukkan kekuatan bahasa Al-Qur'an dalam menyampaikan ancaman dan kepastian.
Kata Tabbat (binasalah) dalam ayat pertama memiliki resonansi yang kuat. Ini bukan sekadar permintaan; ini adalah pernyataan. Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendoakan keburukan (kutukan) dan menyatakan kepastian (nubuat). Dengan pengulangan Wa Tabb, Surah ini melampaui kutukan menjadi deklarasi takdir yang telah dituliskan.
Ahli linguistik Arab klasik, seperti Zamakhshari, mencatat bahwa penggunaan bentuk kata kerja masa lampau (Tabbat) dan masa depan yang ditegaskan (Sayaslā) menunjukkan bahwa meskipun kehancuran fisik adalah masa depan, kehancuran spiritual dan takdirnya di neraka sudah merupakan fakta yang ditetapkan sejak saat wahyu ini turun.
Permainan kata pada nama Abu Lahab dan api neraka (Nāran Dzāta Lahab) adalah contoh luar biasa dari kesesuaian semantik dan fonetik dalam Al-Qur'an. Ini bukan hanya sebuah hukuman, tetapi sebuah kesesuaian sempurna antara nama (identitas di dunia) dan nasib (siksaan di akhirat). Nama panggilannya menjadi sinonim dengan hukuman terakhirnya.
Hal ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang dilakukan Abu Lahab—bahkan wajahnya yang cerah seperti api yang memberinya nama panggilan—hanyalah persiapan ironis untuk takdir terbesarnya. Nyala api duniawinya hanya akan digantikan oleh nyala api neraka yang jauh lebih pedih.
Pemilihan kata Masad (tali dari serabut palma) di ayat terakhir sangat spesifik dan penting. Mengapa bukan rantai besi seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat neraka lainnya? Karena Masad adalah simbol barang yang kasar, murah, dan digunakan untuk pekerjaan rendahan. Dalam budaya yang menghargai emas dan sutra, menggunakan Masad adalah penghinaan tertinggi.
Hal ini menyimpulkan tema Surah: segala yang dihargai dan dibanggakan oleh pasangan ini (kekayaan, perhiasan, status sosial) akan digantikan dengan simbol kerendahan dan penderitaan. Kekayaan mereka tidak akan membeli kalung yang lebih baik di akhirat, melainkan akan diganti dengan tali kasar yang berat, seberat dosa yang mereka pikul.
Meskipun Surah Al-Lahab ditujukan kepada individu spesifik, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman.
Pelajaran terpenting dari Ayat 2 (Mā Aghnā 'Anhu Māluhu Wa Mā Kasab) adalah bahwa harta benda, kedudukan sosial, dan upaya manusia (termasuk anak-anak dan koneksi) tidak akan pernah menjadi penjamin keselamatan di hadapan Allah. Ketika seseorang menolak kebenaran dan memilih jalan permusuhan, seluruh modal dunianya akan menjadi nihil.
Hal ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat Islam agar tidak terperosok dalam materialisme atau percaya bahwa kekayaan dapat membeli kekuasaan spiritual. Nilai sejati terletak pada iman dan amal saleh, bukan pada aset yang terakumulasi.
Surah ini menunjukkan betapa seriusnya tindakan menentang atau menyakiti para nabi dan utusan Allah. Abu Lahab tidak hanya menolak Islam; ia secara aktif mengganggu dan menghina Nabi ﷺ. Balasan yang ia terima adalah kutukan langsung dari Allah yang diabadikan dalam Kitab Suci hingga Hari Kiamat. Ini adalah pengingat bahwa Allah akan membela hamba-hamba-Nya yang terpilih.
Pelajaran ini mendorong umat Muslim untuk memiliki rasa hormat dan cinta yang mendalam terhadap Nabi ﷺ, dan menjauhi segala bentuk penghinaan atau penolakan terhadap ajaran beliau.
Kisah Ummu Jamil (pembawa kayu bakar) memberikan pelajaran tentang bahaya fitnah, gosip, dan hasutan. Tindakan Ummu Jamil menyebar kebohongan dan memicu permusuhan (api) dianggap sebagai dosa besar yang setara dengan penolakan suaminya. Islam sangat melarang namimah (adu domba) dan fitnah, karena keduanya merusak tatanan sosial dan memicu kebencian. Takdir Ummu Jamil menunjukkan bahwa penyebar api fitnah di dunia akan dibalas dengan api neraka di akhirat.
Fakta bahwa Abu Lahab adalah paman Nabi ﷺ, dan istrinya adalah bibi ipar Nabi, menunjukkan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari hukuman Allah. Keselamatan sepenuhnya bergantung pada tauhid dan ketaatan. Dalam Islam, pertanggungjawaban adalah individu; setiap jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Bahkan hubungan paling intim pun tidak akan menjadi perantara bagi orang yang menolak kebenaran dengan kesombongan.
Surah Al-Lahab adalah pelajaran teologis yang kuat tentang kepastian janji Allah. Baik itu janji surga bagi yang beriman maupun ancaman neraka bagi yang ingkar, semua adalah mutlak. Nubuat tentang takdir Abu Lahab yang tergenapi menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan sedikit pun.
Untuk melengkapi kajian Surah Al-Lahab, sangat penting untuk meninjau bagaimana para ulama tafsir terkemuka menafsirkan setiap frasa, memberikan lapisan makna yang lebih kaya dan detail linguistik yang luas.
Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya yang masyhur, sangat fokus pada konteks historis. Beliau menegaskan bahwa frasa Tabbat Yadā merujuk langsung pada peristiwa di Bukit Safa, di mana Abu Lahab menggunakan tangannya untuk mengambil batu dan mengancam Nabi ﷺ. Jadi, kutukan ini adalah hukuman yang sesuai: tangan yang digunakan untuk menentang kebenaran harus binasa dan celaka.
Ibn Katsir juga menekankan bahwa Surah ini diturunkan sebelum Perang Badar. Banyak kerabat Quraisy lainnya yang akhirnya masuk Islam (seperti Abu Sufyan). Namun, Abu Lahab dikecualikan secara eksplisit oleh wahyu, menegaskan bahwa penentangannya adalah yang paling keras dan tiada harapan. Ini adalah pernyataan tentang kerasnya hati yang tidak dapat lagi dibimbing, bahkan dengan mukjizat atau bukti.
Imam Al-Qurtubi memberikan penafsiran yang mendalam tentang Mā Kasab (apa yang ia usahakan/peroleh). Beliau mengumpulkan pendapat para sahabat, termasuk Ibnu Abbas, yang mengatakan bahwa Mā Kasab merujuk kepada anak-anaknya, khususnya Uthbah dan Utaybah, yang pada awalnya sangat mendukung ayahnya dalam menentang Nabi ﷺ. Ayat ini menunjukkan bahwa bahkan dukungan keluarga pun tidak dapat menyelamatkan Abu Lahab. Ironisnya, setelah ayat ini turun, beberapa putranya akhirnya masuk Islam setelah Fathu Makkah, namun Abu Lahab tetap dalam kekafirannya, semakin mengisolasi dirinya dari keselamatan.
Al-Qurtubi juga memperingatkan bahwa kepercayaan bahwa kekayaan dapat membeli kemuliaan atau menunda azab adalah kesalahan fatal yang dilakukan oleh banyak peradaban sebelum Islam. Surah Al-Lahab adalah penolakan mutlak terhadap mentalitas ini.
Diskusi para mufasir mengenai Ḥablun min Masad (tali dari serabut palma) sangat menarik. Selain penafsiran yang menyatakan bahwa itu adalah tali yang menghina di neraka, beberapa ulama lain memberikan makna yang lebih simbolis, termasuk Mujahid, seorang tabi'in terkemuka.
Mujahid menafsirkan bahwa Masad adalah kalung yang sangat mahal yang pernah dimiliki Ummu Jamil. Ia pernah bersumpah bahwa ia akan menjual kalung emas dan mutiaranya untuk membiayai upaya menentang Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karena itu, di akhirat, perhiasan duniawinya akan digantikan dengan tali api yang paling kasar, sebagai balasan atas sumpah jahatnya tersebut.
Tafsir ini menegaskan hukum jaza’ min jinsil ‘amal (balasan sesuai jenis perbuatan). Ummu Jamil menggunakan kekayaannya untuk mengobarkan permusuhan; oleh karena itu, kekayaan tersebut akan berubah menjadi alat siksa baginya.
Walaupun Surah Al-Lahab adalah surah kutukan, fungsinya dalam etika Islam sangat penting. Ia menetapkan batas yang jelas antara keimanan dan penentangan, antara kejujuran dan fitnah. Surah ini mengajarkan bahwa oposisi terhadap kebenaran yang didasarkan pada kesombongan, kedengkian, dan materialisme akan selalu berakhir dengan kerugian total, meskipun pelakunya memiliki kekuasaan atau kekerabatan yang dekat dengan tokoh sentral keimanan.
Kisah Abu Lahab menekankan pentingnya integritas spiritual melampaui ikatan keluarga. Keimanan harus menjadi landasan utama. Seorang Mukmin harus berhati-hati agar tidak terjerat dalam permusuhan hanya karena loyalitas keluarga yang keliru, terutama jika permusuhan tersebut diarahkan kepada kebenaran ilahi.
Surah ini juga menjadi sumber penghiburan dan penguatan bagi para da’i (penyeru kebenaran) di sepanjang masa. Ketika seseorang menghadapi penentangan, penghinaan, atau fitnah dalam menyampaikan risalah, ia diingatkan bahwa Allah Maha Melindungi. Sebagaimana Allah menjamin kehancuran Abu Lahab yang mengganggu Nabi ﷺ, demikian pula Allah akan melindungi dan membalaskan bagi mereka yang tulus berjuang di jalan-Nya.
Pada akhirnya, Surah Al-Lahab adalah sebuah monumen Al-Qur'an yang abadi. Ia berfungsi sebagai saksi bisu atas pertarungan awal antara cahaya dan kegelapan, antara tauhid dan kesombongan paganisme, yang hasilnya telah ditetapkan dan diumumkan secara terbuka oleh Langit, jauh sebelum pertarungan itu berakhir di bumi. Kehancuran Abu Lahab bukanlah kebetulan historis, melainkan realisasi sempurna dari takdir yang diwahyukan, memberikan bukti tak terbantahkan atas kebenaran risalah Islam dan kepastian hukuman bagi mereka yang memilih jalan penentangan yang keras kepala.
Analisis yang mendalam terhadap setiap kata, dari Tabbat hingga Masad, mengungkapkan lapisan makna spiritual dan historis yang membuat Surah Al-Lahab menjadi salah satu bagian paling kuat dan spesifik dalam keseluruhan wahyu. Surah ini adalah peringatan tentang bahaya kedengkian yang mematikan, dan penegasan bahwa tidak ada harta atau koneksi yang dapat membeli keselamatan dari api yang telah dijanjikan bagi para penentang kebenaran yang arogan. Surah ini mengajarkan bahwa api yang akan menyala di akhirat adalah api yang sama yang mereka kobarkan sendiri melalui fitnah dan permusuhan di dunia. Dengan demikian, Surah Al-Lahab tetap menjadi pedoman kebenaran yang universal dan tak lekang oleh waktu, mengarahkan hati dan pikiran umat manusia menuju keadilan dan kepastian Ilahi.
Setiap umat Islam yang merenungkan Surah Al-Lahab akan merasakan urgensi untuk menjauhkan diri dari sifat-sifat yang dimiliki oleh Abu Lahab dan istrinya: kesombongan, penolakan terhadap nasihat kebenaran, dan penggunaan kekayaan untuk menyebarkan permusuhan. Pelajaran etisnya sangat jelas: harta benda hanyalah sarana, dan ikatan darah tidak lebih kuat daripada ikatan iman. Hanya ketaatan tulus dan upaya bersih yang dapat menyelamatkan seseorang dari kehancuran total yang menanti di akhirat. Surah ini adalah cermin yang memantulkan takdir akhir bagi setiap individu yang memilih untuk berdiri di sisi penentangan dan kegelapan, terlepas dari kemewahan dan pengaruh duniawi yang ia miliki.
Kajian tentang surah ini harus terus diperdalam, mengingat relevansinya dalam menghadapi penentangan modern. Meskipun Abu Lahab telah tiada, semangat 'Lahab'—yaitu semangat arogansi yang menolak kebenaran karena kekayaan, status, atau iri hati—masih hidup di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Surah Al-Lahab berfungsi sebagai barometer moral, menguji hati setiap individu tentang di mana loyalitas mereka sebenarnya berada: pada kebenaran yang datang dari Allah, atau pada kesenangan dan kebanggaan duniawi yang pasti akan binasa.
Pengulangan janji kehancuran di ayat pertama dan ketiga memperkuat prinsip teologis bahwa hukuman bagi penentangan yang disengaja dan arogan adalah pasti. Hal ini harus menjadi pengingat konstan bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh agar menggunakannya untuk mendukung kebenaran, bukan untuk merendahkan para penyampai risalah. Ketegasan bahasa Al-Qur'an di sini adalah manifestasi dari kasih sayang Ilahi, memberikan peringatan yang jelas dan terdengar, sehingga tidak ada yang dapat berdalih bahwa mereka tidak diberitahu tentang konsekuensi dari pilihan hidup mereka. Abu Lahab dan istrinya adalah contoh abadi dari apa yang terjadi ketika hati mengeras dan kekayaan menjadi berhala.
Dan dengan kepastian yang luar biasa, Al-Qur'an menutup Surah ini dengan gambaran yang sangat spesifik tentang kehinaan Ummu Jamil: lehernya yang mulia akan diikat oleh tali sabut yang kasar, sebuah simbol sempurna dari keruntuhan status sosialnya di mata Allah. Detail ini melayani tujuan ganda: sebagai bukti nubuat yang jelas dan sebagai peringatan visual tentang sifat siksaan neraka—ia akan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Demikianlah Surah Al-Lahab, sebuah surah yang ringkas namun sarat makna, terus mengajarkan umat manusia tentang keadilan ilahi yang tidak terhindarkan.