Surah Al-Kahfi, yang berarti ‘Gua’, adalah surah ke-18 dalam Al-Qur’an dan merupakan salah satu surah yang memiliki keutamaan istimewa. Ditempatkan di bagian tengah mushaf, surah ini menjadi poros yang menghubungkan pelajaran masa lalu dengan persiapan menghadapi masa depan. Ia dikenal luas karena anjuran Rasulullah ﷺ untuk dibaca setiap malam Jumat atau hari Jumat, sebuah praktik yang menjanjikan perlindungan spiritual yang mendalam, terutama dari fitnah terbesar yang akan dihadapi umat manusia: fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.
Secara struktural, Al-Kahfi menyajikan empat kisah utama yang saling berjalinan, namun masing-masing fokus pada satu jenis godaan atau ujian (fitnah) mendasar yang mengancam keimanan manusia. Dengan memahami keempat pilar ini, seorang mukmin diperkuat untuk menghadapi tipu daya dunia yang fana. Empat Fitnah tersebut adalah: Fitnah Keimanan (Ashabul Kahf), Fitnah Harta (Kisah Dua Kebun), Fitnah Ilmu (Musa dan Khidir), dan Fitnah Kekuasaan (Dzulqarnain).
Surah Al-Kahfi dibuka dengan pujian kepada Allah SWT yang telah menurunkan kitab suci tanpa kebengkokan sedikit pun. Ia langsung menekankan dua aspek sentral: peringatan keras bagi orang-orang kafir dan kabar gembira bagi orang-orang beriman yang mengerjakan kebajikan. Ini adalah tema abadi yang menjadi latar belakang bagi semua kisah di dalamnya.
Hadis-hadis sahih menguatkan bahwa penghafal dan pembaca sepuluh ayat pertama (atau sepuluh ayat terakhir) dari Surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal. Mengapa surah ini secara spesifik? Karena Dajjal, sebagai ujian terbesar, akan memanfaatkan keempat jenis fitnah yang diuraikan dalam surah ini untuk menyesatkan manusia. Dengan menghayati pelajaran Al-Kahfi, seorang mukmin memiliki peta jalan untuk mengenali dan menolak tipu daya Dajjal.
Penting untuk dipahami bahwa perlindungan yang dijanjikan bukanlah sekadar pembacaan lisan tanpa pemahaman. Keutamaan membaca surah ini terletak pada internalisasi makna dan pengamalan petunjuknya. Setiap hari Jumat, umat Islam diingatkan kembali tentang sifat sementara dunia ini, pentingnya kesabaran, dan bahaya kesombongan dalam segala bentuknya. Membaca Al-Kahfi ibarat menambatkan hati pada tali tauhid yang kokoh sebelum memasuki pekan baru yang penuh dengan godaan duniawi.
Ayat-ayat awal menetapkan premis: Allah-lah yang Mahabenar, dan semua kisah yang akan diungkapkan adalah demonstrasi nyata dari kekuasaan-Nya atas waktu, kehidupan, dan kematian. Ini mempersiapkan pikiran pembaca untuk menerima narasi yang mungkin tampak luar biasa atau di luar jangkauan logika biasa.
Gambar: Perlindungan di dalam Gua (Ashabul Kahf)
Kisah Ashabul Kahf, para pemuda yang bersembunyi di dalam gua, adalah kisah pertama yang disajikan (ayat 9-26). Ini adalah potret sempurna mengenai Fitnah Keimanan (Fikr Ad-Dīn). Para pemuda ini hidup dalam masyarakat musyrik yang menindas, memaksa mereka untuk memilih antara agama mereka dan keselamatan fisik mereka. Pilihan mereka adalah melarikan diri demi menjaga tauhid.
Mereka tidak memiliki kekuatan militer atau pengaruh sosial. Senjata mereka hanyalah doa yang tulus, memohon rahmat dan petunjuk lurus dari sisi Allah:
Tiga aspek penting dari kisah ini yang relevan dengan fitnah besar Dajjal:
Ketika mereka terbangun, mereka mengira hanya tertidur sebentar. Perbedaan pendapat mereka mengenai lamanya waktu tidur, dan penemuan bahwa mata uang mereka sudah menjadi barang kuno, menjadi pelajaran yang mendalam mengenai kebangkitan (ba'ath). Allah menunjukkan sebuah mukjizat kecil yang menyerupai gambaran Hari Kiamat: manusia dihidupkan kembali setelah lama mati, dan dunia tempat mereka kembali telah berubah total.
Kisah ini menegaskan bahwa Allah adalah Al-Hafez (Penjaga) dan Al-Wakil (Pelindung). Jika seseorang menanggalkan semua kepentingan duniawi demi agama-Nya, Allah akan menjamin perlindungan yang melampaui batas-batas hukum alam. Ini memberikan kekuatan spiritual bagi seorang mukmin yang merasa lemah dan terisolasi di tengah gelombang fitnah modern.
Setelah membahas fitnah keimanan yang bersifat eksternal (penganiayaan), surah beralih ke fitnah yang bersifat internal dan merusak jiwa: Fitnah Harta (Fitnah Al-Māl), yang diceritakan melalui perumpamaan Dua Kebun (ayat 32-44).
Kisah ini melibatkan dua orang laki-laki. Salah satunya, karena limpahan kekayaan—kebun anggur yang dikelilingi pohon kurma dan di tengahnya mengalir sungai—menjadi sombong dan kufur nikmat. Ia melupakan sumber kekayaannya dan menganggapnya abadi:
Sikap ini adalah inti dari fitnah harta. Ketika harta menjadi tujuan, bukan sarana, ia melahirkan tiga penyakit spiritual:
Sahabatnya, yang miskin tetapi beriman, mengingatkannya dengan lembut dan logis tentang penciptaan dirinya dari tanah dan air, dan pentingnya mengakui kehendak Allah (Masya Allah Laa Quwwata Illa Billah). Namun, si kaya menolak nasihat tersebut.
Akhirnya, malapetaka menimpa kebunnya. Dalam sekejap, kekayaannya lenyap, dan ia hanya bisa menyesali kesombongannya. Penyesalan datang terlambat:
Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah sifat sementara (fana) kehidupan dunia. Harta, pangkat, dan kekuasaan hanyalah hiasan yang mudah layu. Dajjal akan datang dengan membawa kekayaan dunia yang melimpah, menjanjikan kemakmuran bagi pengikutnya dan kelaparan bagi penentangnya. Pemahaman mendalam tentang kisah Dua Kebun mempersiapkan seorang mukmin untuk tidak silau oleh kekayaan palsu Dajjal.
Setelah perumpamaan ini, Al-Kahfi menyajikan perumpamaan yang lebih luas tentang kehidupan dunia, membandingkannya dengan air hujan yang menumbuhkan tanaman, kemudian tanaman itu mengering dan diterbangkan angin. Ini adalah transisi yang kuat, menekankan bahwa harta dan anak-anak hanyalah perhiasan sementara, sedangkan amal saleh yang kekal adalah yang terbaik di sisi Tuhan (QS. Al-Kahfi: 45-46).
Ayat-ayat ini juga menyentuh Hari Kebangkitan, di mana catatan amal akan disajikan. Ini mengaitkan Fitnah Harta dengan pertanggungjawaban di Akhirat, memperkuat motivasi untuk menggunakan kekayaan secara benar, bukan menyembahnya.
Gambar: Pencarian Ilmu dan Hikmah (Musa dan Khidir)
Kisah terpanjang dan mungkin paling kompleks adalah pertemuan Nabi Musa AS dengan seorang hamba Allah yang dianugerahi ilmu khusus, yang umumnya diyakini sebagai Nabi Khidir (ayat 60-82). Kisah ini berfokus pada Fitnah Ilmu (Fitnah Al-'Ilm), khususnya tantangan antara pengetahuan zahir (terlihat) dan pengetahuan batin (hikmah Ilahi).
Narasi dimulai ketika Musa, seorang Nabi dan Rasul yang memiliki ilmu tertinggi di antara Bani Israil pada masanya, diingatkan bahwa ada seseorang yang memiliki ilmu yang tidak ia miliki. Musa pun memulai perjalanan untuk menemui hamba tersebut. Ini mengajarkan bahwa setinggi apapun ilmu seseorang, selalu ada yang lebih tahu, dan bahwa kesombongan ilmu adalah pintu menuju kebodohan.
Khidir membuat perjanjian dengan Musa bahwa Musa harus bersabar dan tidak mengajukan pertanyaan sampai Khidir sendiri yang menjelaskannya. Tiga peristiwa pun terjadi, masing-masing melanggar prinsip keadilan dan logika Musa sebagai seorang Nabi:
Di tengah lautan, Khidir merusak kapal milik orang-orang miskin. Musa marah karena perbuatan itu tampak seperti kezaliman terhadap mereka yang lemah. Khidir menjelaskan bahwa di depan mereka ada raja yang zalim yang akan merampas setiap kapal yang bagus. Perusakan itu, meskipun tampak buruk, adalah tindakan preventif untuk menyelamatkan kapal tersebut dari perampasan total di masa depan. Pelajaran: Kezaliman sementara untuk mencegah kerugian besar.
Khidir membunuh seorang anak muda yang tidak berdosa. Musa tidak tahan dan mempertanyakan perbuatan yang jauh lebih kejam dari yang pertama. Khidir menjelaskan bahwa anak muda itu kelak akan tumbuh menjadi seorang yang durhaka (kafir) dan akan menjerumuskan kedua orang tuanya yang saleh ke dalam kesesatan. Dengan membunuhnya, Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih baik dan saleh bagi orang tua itu. Pelajaran: Rencana Ilahi mencakup masa depan yang tidak kita lihat. Kebaikan yang datang dari takdir yang menyakitkan.
Di sebuah perkampungan yang menolak memberi mereka makan, Khidir bersusah payah memperbaiki dinding yang hampir roboh. Musa bertanya mengapa ia mau bersusah payah tanpa upah. Khidir menjelaskan bahwa dinding itu milik dua anak yatim, dan di bawah dinding itu tersembunyi harta mereka. Ayah mereka adalah orang saleh, dan Allah berkehendak agar harta itu tetap aman sampai mereka dewasa. Pelajaran: Berkah dari amal saleh leluhur, dan Allah menjaga anak yatim karena kesalehan orang tua mereka.
Fitnah Ilmu yang diwakili Khidir adalah ujian terberat bagi para intelektual dan ulama. Dajjal akan datang dengan tipu daya yang sangat meyakinkan secara ilmiah dan logika materialistik, mengklaim dirinya sebagai tuhan karena kemampuannya melakukan hal-hal yang tidak masuk akal (seperti menghidupkan orang mati atau memerintahkan hujan).
Kisah Musa dan Khidir mengajarkan: jangan menilai kebenaran hanya berdasarkan apa yang terlihat oleh mata kita atau apa yang dapat dijangkau oleh logika kita yang terbatas. Ada hikmah yang lebih besar di balik setiap ketetapan Allah. Kesabaran (sabr) dan penyerahan diri (tawakkul) harus mendominasi di atas kebanggaan intelektual.
Musa belajar bahwa bahkan Nabi sekalipun harus mengakui keterbatasan pengetahuannya di hadapan ilmu Allah SWT. Ini adalah antidote terhadap kesombongan Dajjal yang mengklaim kekuasaan Ilahi di bumi.
Dalam konteks modern, fitnah ilmu sering termanifestasi sebagai godaan untuk mempercayai sains atau teknologi sebagai dewa baru, menolak wahyu yang tidak dapat dibuktikan di laboratorium. Kisah ini menegaskan bahwa wahyu (ilmu Khidir) melampaui logika empiris Musa.
Bagian terakhir dari Al-Kahfi memperkenalkan seorang raja saleh yang dianugerahi kekuasaan dan sarana di seluruh bumi, Dzulqarnain (artinya ‘Pemilik Dua Tanduk’, mungkin merujuk pada kekuasaannya yang membentang dari Timur ke Barat) (ayat 83-98). Kisah ini adalah tentang Fitnah Kekuasaan (Fitnah As-Sulṭān) dan bagaimana kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan keadilan Ilahi.
Kisah Dzulqarnain berfungsi sebagai cermin bagi para penguasa dan juga peringatan akan kekuasaan Dajjal yang akan datang. Jika Dajjal menyalahgunakan kekuasaannya untuk menindas, Dzulqarnain menggunakannya untuk menolong yang lemah dan menyebar keadilan.
Allah memberinya kekuasaan dan pengetahuan untuk mencapai tempat terbit dan terbenamnya matahari. Di Barat, ia menemukan suatu kaum dan ia diizinkan oleh Allah untuk menghukum atau berbuat baik kepada mereka. Ia memilih jalan keadilan:
Ia menetapkan standar bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk memisahkan antara yang zalim dan yang berbuat baik, serta memastikan kemudahan bagi orang-orang yang beriman.
Perjalanan ketiga membawanya ke antara dua gunung, di mana ia bertemu dengan kaum yang tidak memahami bahasa (atau sulit berkomunikasi). Kaum ini memohon bantuan Dzulqarnain untuk membangun penghalang (sadd) yang kokoh terhadap Ya’juj dan Ma’juj, suku perusak yang sering membuat kerusakan di bumi.
Gambar: Dinding Besi (Dzulqarnain)
Dzulqarnain tidak meminta upah, melainkan hanya meminta bantuan fisik: besi dan tembaga. Ia menggunakan teknik metalurgi yang canggih (peleburan besi dengan api dan penuangan tembaga) untuk membangun dinding yang begitu kokoh sehingga Ya’juj dan Ma’juj tidak mampu menembus atau memanjatnya.
Puncaknya adalah ucapan Dzulqarnain setelah menyelesaikan proyek monumental itu:
Dzulqarnain menunjukkan empat sifat ideal seorang penguasa sejati:
Kisah ini secara langsung berlawanan dengan Dajjal, yang akan menggunakan kekuasaan dan sumber daya alam untuk menindas dan mengklaim keilahian. Dzulqarnain mengingatkan bahwa semua kekuasaan adalah pinjaman, dan semua benteng akan runtuh ketika janji Allah (Kiamat) tiba.
Keempat kisah dalam Al-Kahfi tidak hanya berdiri sendiri, tetapi berfungsi sebagai panduan komprehensif melawan empat bentuk fitnah utama yang akan disempurnakan oleh Dajjal di akhir zaman:
1. Fitnah Agama (Ashabul Kahf): Dajjal akan memaksa manusia untuk kafir dan beribadah kepadanya. Al-Kahf mengajarkan: Jika imanmu terancam, jauhi peradaban yang rusak dan cari perlindungan dalam tauhid, sekalipun harus terasing (isolasi iman).
2. Fitnah Harta (Dua Kebun): Dajjal akan mengendalikan kekayaan dan sumber daya alam, menawarkan surga materialistik palsu. Al-Kahf mengajarkan: Harta adalah fana; jangan biarkan kesombongan harta merusak keimananmu.
3. Fitnah Ilmu/Sihir (Musa dan Khidir): Dajjal akan menunjukkan mukjizat palsu dan ilmu supranatural untuk membingungkan orang beriman. Al-Kahf mengajarkan: Ilmu Allah itu luas; jangan biarkan keterbatasan logika dan keraguan merusak kepercayaan pada Hikmah Ilahi.
4. Fitnah Kekuasaan/Teknologi (Dzulqarnain): Dajjal akan mengklaim kekuasaan universal dan membangun sistem penindasan yang totaliter. Al-Kahf mengajarkan: Gunakan kekuasaan dan kemampuan dengan rendah hati, untuk keadilan, dan selalu kaitkan kekuatanmu pada Rahmat Allah.
Surah ini, dari awal hingga akhir, adalah pelajaran tentang perlunya berlindung kepada Allah, mengakui keterbatasan diri, dan bersabar dalam menghadapi ujian. Dengan kata lain, Al-Kahfi adalah manual pelatihan spiritual untuk menghadapi kondisi ekstrem di akhir zaman.
Surah Al-Kahfi ditutup dengan ayat-ayat yang sangat kuat, menyimpulkan semua pelajaran yang telah disajikan dan mendefinisikan apa artinya menjadi hamba yang sukses di sisi Allah. Ayat-ayat terakhir ini adalah penangkal terhadap kebodohan spiritual yang ditimbulkan oleh keempat fitnah tersebut.
Ayat ini adalah peringatan terhadap *ghurūr* (kesia-siaan) dan *’ujb* (kekaguman diri). Orang yang paling merugi adalah mereka yang bekerja keras di dunia, melakukan kebaikan menurut pandangan mereka sendiri, tetapi amal mereka tidak diterima karena mereka tidak beriman atau berbuat syirik.
Hal ini secara langsung merujuk pada si kaya dalam kisah Dua Kebun, yang mengira kebunnya kekal, dan Dajjal yang akan mengklaim dirinya adalah sumber kekuasaan dan kemakmuran. Mereka semua merasa telah "berbuat sebaik-baiknya" padahal mereka merugi karena melupakan Allah.
Surah Al-Kahfi mencapai klimaksnya dengan ayat penutup yang memberikan resep abadi untuk keselamatan. Ayat ini adalah kesimpulan teologis yang mengikat seluruh surah menjadi satu kesatuan:
Ayat ini menetapkan dua syarat mutlak bagi diterimanya amal perbuatan:
Ketidakikhlasan, atau riya', adalah Syirik Kecil yang dapat membatalkan amal. Ini adalah ujian terakhir yang mengatasi semua fitnah: fitnah harta, ilmu, dan kekuasaan dapat membuat seseorang beramal hanya demi pujian manusia atau keuntungan duniawi. Surah Al-Kahfi mengajarkan bahwa nilai sejati terletak pada niat yang murni dan kepatuhan yang konsisten.
Untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif, kita perlu membedah lebih dalam bagaimana setiap kisah saling terkait dan bagaimana konsep waktu, materi, dan pengetahuan dipertanyakan dalam surah ini. Al-Kahfi bukan hanya kumpulan cerita; ia adalah matriks spiritual yang dirancang untuk membongkar ilusi eksistensi fana.
Waktu adalah elemen kunci yang digunakan Allah untuk menguji manusia dalam Al-Kahfi. Dalam kisah Ashabul Kahf, waktu dihentikan—309 tahun berlalu tanpa penuaan atau kesadaran. Ini menunjukkan bahwa waktu, yang kita anggap linier dan mutlak, sepenuhnya berada di bawah kendali Ilahi. Ketidakmampuan para pemuda itu untuk mengukur waktu menunjukkan keterbatasan persepsi manusia.
Dalam kisah Dua Kebun, si kaya merasa waktunya di bumi akan abadi, mengingkari Hari Kiamat. Waktu baginya adalah jaminan kekayaan. Kehancuran kebunnya mengajarkan bahwa kekekalan hanya milik Allah.
Bahkan dalam kisah Dzulqarnain, benteng yang ia bangun, meskipun kokoh melawan Ya’juj dan Ma’juj, diikat dengan janji waktu: "Apabila janji Tuhanku datang, Dia akan menghancurkannya." Semua ciptaan terikat pada janji waktu yang ditetapkan Allah.
Intinya, Al-Kahfi mengajarkan agar seorang mukmin harus hidup di dunia tetapi tidak terikat oleh waktu duniawi. Pandangan harus selalu tertuju pada Akhirat, dimensi di mana waktu dunia tidak lagi relevan.
Prinsip kehati-hatian spiritual (al-wara’) diwujudkan dengan jelas oleh Ashabul Kahf. Mereka tidak menunggu sampai masyarakat mereka menjadi benar-benar rusak; mereka segera melarikan diri ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi melaksanakan agama mereka dengan aman. Tindakan mereka mengajarkan bahwa menjaga keimanan lebih penting daripada kenyamanan sosial atau materi.
Prinsip ini sangat relevan dalam menghadapi Dajjal, yang akan menciptakan lingkungan di mana beriman terasa sangat sulit dan menyakitkan. Kehati-hatian menuntut pengorbanan dan keberanian untuk menjauhi pusat-pusat fitnah, sebagaimana para pemuda itu menjauhi kota mereka.
Surah ini juga menekankan pentingnya keseimbangan antara aspek materi dan spiritual. Kisah Dua Kebun adalah tentang hilangnya keseimbangan; fokus berlebihan pada materi (kebun, sungai, kemakmuran) menggerus spiritualitas (tauhid dan rasa syukur). Si kaya melihat kebunnya sebagai bukti keunggulannya, bukan sebagai pinjaman dari Allah.
Sebaliknya, Dzulqarnain menggunakan materi (besi dan tembaga) untuk tujuan spiritual: menegakkan keamanan dan keadilan. Dinding yang ia bangun adalah hasil dari pengetahuan materi dan energi, namun tujuan utamanya adalah melaksanakan Rahmat Allah. Keseimbangan ini mengajarkan bahwa materi dapat menjadi sarana kebajikan jika diarahkan oleh niat yang murni.
Kisah Musa dan Khidir harus dipahami sebagai dialog antara Syariat dan Hakikat. Musa mewakili Syariat: keadilan harus ditegakkan, nyawa harus dihargai, harta harus dilindungi. Khidir mewakili Hakikat: di balik peraturan yang kita pahami, ada kehendak Ilahi yang lebih tinggi yang mungkin tampak melanggar keadilan di tingkat permukaan, tetapi pada akhirnya bertujuan untuk kebaikan yang lebih besar.
Ini adalah ujian terbesar terhadap kesombongan intelektual. Ketika kita dihadapkan pada penderitaan atau peristiwa buruk, Al-Kahfi menasihati kita untuk bersabar dan mencari hikmah, bukan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa Allah tidak adil. Sikap ini sangat krusial ketika Dajjal datang, karena ia akan mengeksploitasi penderitaan dan ketidakadilan untuk merekrut pengikut yang putus asa terhadap rahmat Ilahi.
Tiga tindakan Khidir (merusak kapal, membunuh pemuda, memperbaiki dinding) memiliki kesamaan mendasar: mereka adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi yang tidak berdaya (orang miskin pemilik kapal, orang tua saleh, anak yatim). Ini adalah esensi dari Rahmat Ilahi yang tersembunyi, dan kemampuan untuk melihat rahmat ini di tengah kesulitan adalah kunci untuk bertahan dari Fitnah Ilmu Dajjal.
Dzulqarnain, sebagai antitesis dari penguasa yang zalim dan Dajjal, memberikan model kepemimpinan yang berlandaskan tauhid. Ia tidak menggunakan kekuasaan untuk menaklukkan atau menjarah, melainkan untuk melayani. Setiap langkahnya disertai dengan penyerahan diri dan pengakuan bahwa kekuatannya berasal dari Allah. Frasa "Ini adalah rahmat dari Tuhanku" harus diucapkan oleh setiap pemimpin yang sukses.
Kisah ini juga mengingatkan umat Islam tentang tugas kolektif: amr ma'ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dzulqarnain memenuhi permohonan rakyat yang teraniaya untuk membangun benteng. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab pemimpin adalah melindungi masyarakatnya dari ancaman eksternal (Ya’juj dan Ma’juj) dan internal (kezaliman yang ia hukumi di Barat).
Pemahaman ini memberikan ketahanan terhadap godaan untuk mencari pemimpin yang hanya menjanjikan kemakmuran materi atau kekuatan fisik, tetapi mengabaikan moral dan tauhid. Di akhir zaman, memilih pemimpin yang benar adalah bagian dari menjaga keimanan.
Surah Al-Kahfi adalah bekal spiritual yang mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah serangkaian ujian yang dirancang untuk menguji komitmen kita kepada tauhid. Setiap Jumat, ketika seorang Muslim membaca surah ini, ia memperbarui sumpahnya untuk melawan godaan terbesar dalam empat kategori: takut kehilangan agama, terikat pada harta, sombong karena ilmu, dan menyalahgunakan kekuasaan.
Manifestasi hikmah Al-Kahfi dalam kehidupan sehari-hari meliputi:
Dengan menginternalisasi keempat pilar ini, seorang mukmin membangun benteng spiritual yang jauh lebih kokoh daripada dinding besi Dzulqarnain, sebuah benteng yang akan melindungi hati dan pikirannya dari fitnah terbesar dan paling halus yang dihadirkan oleh Dajjal di akhir masa. Perlindungan dari Dajjal sesungguhnya adalah perlindungan dari kecenderungan diri kita sendiri untuk tunduk pada godaan duniawi yang diwakilinya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik untuk merenungkan makna Al-Kahfi dan mengamalkan tuntunan-Nya, sehingga kita termasuk golongan yang beramal saleh dan tidak mempersekutukan-Nya sedikit pun.