Ilustrasi Kaligrafi Konsep Tauhid dan Tempat Bersandar
Di antara ayat-ayat suci Al-Qur'an yang memiliki bobot makna tertinggi, Surah Al-Ikhlas menempati posisi yang sangat istimewa. Surah pendek ini, yang diriwayatkan setara dengan sepertiga Al-Qur'an, berfungsi sebagai deklarasi murni (ikhlas) tentang keesaan dan sifat-sifat fundamental Allah SWT. Fokus utama dari deklarasi ini terletak pada ayat kedua: "Allahus Somad." Frasa ini bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pernyataan teologis mendalam yang membentuk inti dari seluruh keyakinan monoteistik.
Memahami makna Allahus Somad adalah memahami kemahakuasaan dan kemandirian mutlak Sang Pencipta. Ini adalah kunci untuk menemukan ketenangan sejati dalam hidup, karena pengakuan atas sifat ini membebaskan hati manusia dari ketergantungan pada makhluk fana, mengarahkannya sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Kekal dan Sempurna. Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi linguistik, tafsir, dan implikasi praktis dari sifat agung As-Somad, memperluas pemahaman kita tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi keterbatasan diri kita di hadapan Kebesaran-Nya.
Surah Al-Ikhlas (Keesaan Murni) diturunkan sebagai jawaban definitif terhadap pertanyaan mendasar yang diajukan oleh kaum musyrikin di Mekkah mengenai hakikat Tuhan, khususnya tentang garis keturunan atau substansi-Nya. Surah ini menetapkan empat pilar utama Tauhid:
Ayat kedua, Allahus Somad, berfungsi sebagai penjelas dan penguat dari keesaan yang dinyatakan dalam ayat pertama. Jika Allah Maha Esa (Ahad), maka konsekuensi logisnya adalah Dia haruslah Yang Maha Sempurna dan Tidak Membutuhkan Apa pun (Somad). Sifat ini membedakan secara tajam antara Sang Pencipta dan ciptaan. Makhluk, bagaimanapun kuat atau kayanya, selalu memiliki kebutuhan dan keterbatasan; sementara Allah adalah yang benar-benar independen dan tempat rujukan universal.
Kata Arab As-Somad (الصمد) berasal dari akar kata sa-ma-da (ص م د). Para ahli bahasa dan mufasir memberikan beragam makna yang semuanya mengarah pada kesempurnaan mutlak dan otonomi Ilahi. Makna-makna linguistik utama meliputi:
Gabungan dari makna-makna ini menghasilkan pemahaman bahwa Allahus Somad berarti Allah adalah Tuan Agung yang Sempurna, Yang Dituju oleh segala makhluk untuk dipenuhi segala hajatnya, sementara Dia sendiri tidak membutuhkan apa-apa dari ciptaan-Nya. Pengertian ini adalah inti dari teologi Islam mengenai kemandirian Ilahi.
Para ulama tafsir telah menghabiskan banyak tinta untuk menjelaskan kedalaman makna Allahus Somad. Penjelasan mereka tidak hanya bersifat definisi, tetapi juga melibatkan implikasi kosmik dan eksistensial.
Ibnu Abbas, seorang sahabat dan ahli tafsir terkemuka, menafsirkan As-Somad sebagai: "Dzat yang memiliki kesempurnaan dalam ilmu, kekuasaan, kebijaksanaan, kelembutan, dan semua sifat mulia." Ini menekankan bahwa kemandirian-Nya tidak hanya berarti 'tidak butuh makan', tetapi mencakup kesempurnaan holistik dalam semua aspek keilahian.
Imam Al-Tabari, dalam Jami' al-Bayan, mengumpulkan berbagai riwayat dan menyimpulkan bahwa makna yang paling sahih adalah: "Allah adalah Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu dalam hal pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan, sementara Dia sendiri bebas dari segala kebutuhan makhluk." Dalam pandangan Al-Tabari, sifat Somad adalah penegasan terhadap keunikan Allah sebagai satu-satunya Penyedia dan Penopang.
Salah satu aspek penting dari As-Somad adalah penafian terhadap kebutuhan fisik. Ayat ketiga dan keempat Surah Al-Ikhlas (Lam Yalid wa Lam Yulad, Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad) adalah konsekuensi logis dari As-Somad. Jika Allah adalah As-Somad, Dia tidak mungkin memiliki anak, karena memiliki anak berarti memerlukan pasangan, membutuhkan penerus, atau mengalami kelemahan yang membutuhkan bantuan. Allah terbebas dari siklus kelahiran dan kematian, yang merupakan ciri khas kefanaan.
Kemandirian fisik ini mencakup segalanya:
Untuk benar-benar memahami keagungan Allahus Somad, kita harus secara jujur merenungkan kelemahan dan ketergantungan kita sendiri sebagai manusia dan makhluk. Kehidupan kita adalah rangkaian tak berujung dari kebutuhan, baik yang besar maupun yang kecil, yang menunjukkan bahwa kita adalah kebalikan mutlak dari As-Somad.
Manusia bergantung dalam tiga dimensi utama, yang semuanya lenyap di hadapan sifat As-Somad:
Ketika kita menyadari bahwa semua ketergantungan ini, yang menjangkau seluruh alam semesta—dari galaksi yang bergerak hingga bakteri terkecil—semuanya harus merujuk pada satu Dzat yang tidak bergantung pada apa pun, barulah kita dapat mengapresiasi keunikan As-Somad. Tidak ada satu pun momen dalam waktu, dan tidak ada satu pun inci dalam ruang, di mana ciptaan tidak memerlukan Allah. Jika Allah berhenti memelihara, memegang, dan menyediakan, seluruh alam semesta akan runtuh seketika.
Sifat As-Somad memastikan keseimbangan sempurna. Karena Dia tidak bergantung pada kita, Dia tidak terpengaruh oleh ketaatan atau kemaksiatan kita. Ketaatan miliaran manusia tidak menambah sedikitpun keagungan-Nya, dan kemaksiatan seluruh manusia tidak mengurangi sedikitpun kekayaan-Nya. Ini adalah jaminan keadilan dan objektivitas ilahi. Allah membantu kita bukan karena Dia membutuhkan dukungan kita, tetapi karena rahmat dan kehendak-Nya.
Jika seluruh manusia, sejak awal hingga akhir, menjadi yang paling saleh di antara mereka, hal itu tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Dan jika seluruh manusia, sejak awal hingga akhir, menjadi yang paling jahat di antara mereka, hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun. (Hadits Qudsi)
Pernyataan ini adalah manifestasi langsung dari sifat As-Somad. Kemandirian-Nya adalah sumber keadilan-Nya yang tak tercela. Dia adalah tujuan yang tetap dan abadi, terpisah dari fluktuasi kehidupan dan perubahan dalam kondisi makhluk ciptaan-Nya. Inilah fondasi keyakinan yang membebaskan.
Keyakinan pada Allahus Somad bukanlah sekadar pengakuan teologis pasif, melainkan merupakan kekuatan transformatif yang seharusnya mengubah cara seorang mukmin berinteraksi dengan dunia, dengan dirinya sendiri, dan dengan Tuhannya.
Pilar utama dari memahami As-Somad adalah realisasi bahwa hanya Allah yang benar-benar layak dijadikan tempat bersandar (Tawakkul). Ketika seorang mukmin menghadapi kesulitan, kekecewaan, atau kegagalan, hatinya tidak hancur lebur, karena ia tahu bahwa makhluk lain, sekuat apa pun, adalah fana dan terbatas. Hati yang telah menginternalisasi Allahus Somad akan secara otomatis kembali kepada Sumber Kekuatan yang abadi.
Hal ini memberikan kekuatan luar biasa dalam menghadapi krisis ekonomi, penyakit, atau tekanan sosial. Mengapa harus takut kehilangan pekerjaan, jika Yang Maha Pemberi Rezeki adalah Dzat yang tidak pernah berkurang kekayaan-Nya? Mengapa harus risau terhadap ejekan manusia, jika Yang Maha Mulia adalah Dzat yang tidak memerlukan pujian dari siapa pun?
Ketergantungan yang diarahkan kepada makhluk (misalnya, bergantung sepenuhnya pada kekayaan, jabatan, atau koneksi manusia) adalah bentuk kelemahan. Ketergantungan kepada As-Somad adalah sumber kekuatan, karena itu menghubungkan kita dengan Dzat yang tak pernah gagal, tak pernah lelah, dan tak pernah mati.
Surah ini dinamakan Al-Ikhlas (Kemurnian), dan sifat As-Somad adalah inti dari ikhlas. Ikhlas berarti memurnikan ibadah hanya untuk Allah. Ketika kita tahu bahwa Allah adalah As-Somad—Dia yang Maha Sempurna dan tidak butuh kita—maka kita beribadah semata-mata karena pengakuan atas hak-Nya untuk disembah, bukan karena kita dapat 'memberi' sesuatu kepada-Nya.
Ibadah yang didasarkan pada As-Somad:
Keputusasaan total hanya terjadi ketika seseorang merasa bahwa tidak ada lagi yang bisa membantunya. Bagi seorang mukmin, pemahaman Allahus Somad adalah benteng terakhir melawan keputusasaan. Meskipun seluruh pintu pertolongan manusia tertutup, Pintu As-Somad selalu terbuka. Kekayaan, kekuasaan, dan bantuan-Nya tidak terbatas. Ini menjamin bahwa dalam setiap kesulitan, selalu ada jalan keluar, karena mustahil bagi Dzat yang Maha Sempurna untuk gagal memberikan pertolongan kepada hamba-Nya yang bersandar dengan tulus.
Oleh karena itu, setiap doa, setiap sujud, dan setiap munajat adalah pengakuan praktis bahwa "Ya Allah, Engkaulah As-Somad. Segala sesuatu yang aku butuhkan berada di sisi-Mu, karena Engkau adalah satu-satunya Dzat yang tidak bergantung pada apa pun selain diri-Mu sendiri."
Sifat As-Somad tidak berdiri sendiri; ia terintegrasi secara fundamental dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah lainnya, memperjelas keesaan dan kesempurnaan-Nya dalam kerangka teologi Islam.
Al-Ahad (Esa) merujuk pada keesaan numerik dan substansial Allah (tidak ada tandingan, tidak terbagi). As-Somad (Tempat Bergantung) adalah deskripsi fungsional dari keesaan tersebut. Karena Dia Ahad, Dia harus Somad. Jika Dia tidak Somad (yakni, jika Dia membutuhkan sesuatu), maka Dia tidak sepenuhnya Ahad, karena akan ada sesuatu di luar diri-Nya yang melengkapi-Nya. Kedua sifat ini saling menguatkan: keesaan mutlak mengharuskan kemandirian mutlak.
Nama Allah Al-Qayyum, yang sering muncul berdampingan dengan Al-Hayyu (Yang Maha Hidup), berarti Dzat yang menopang dan memelihara semua ciptaan tanpa perlu ditopang oleh siapa pun. As-Somad sangat dekat dengan Al-Qayyum. Al-Qayyum menekankan peran aktif Allah dalam memelihara alam semesta, sementara As-Somad menekankan independensi hakiki Allah yang memungkinkan peran pemeliharaan itu.
Segala sesuatu dalam kosmos ini berada dalam keadaan yang disebut faqr ilallah (kebutuhan mendesak kepada Allah). Kehidupan kita, gravitasi yang menahan planet, cahaya matahari—semua adalah manifestasi dari Al-Qayyum yang bertindak atas dasar kemandirian As-Somad. Jika As-Somad memerlukan jeda, Al-Qayyum akan berhenti bekerja, dan kosmos akan lenyap.
Pemahaman As-Somad memberikan perspektif yang benar tentang takdir. Ketika seorang mukmin meyakini bahwa segala sesuatu bergantung pada kehendak As-Somad, ia menerima bahwa tidak ada kekuatan lain yang mampu menahan apa yang Allah berikan, dan tidak ada yang mampu memberikan apa yang Allah tahan. Ini memunculkan sikap:
Agar pemahaman kita terhadap Allahus Somad semakin mengakar, kita perlu terus-menerus merenungkan sifat kefanaan dan keterbatasan makhluk dalam spektrum yang sangat luas—melebihi hanya sekadar kebutuhan makan dan minum.
Ketergantungan pada As-Somad tidak terbatas pada manusia atau bumi. Seluruh ciptaan, termasuk yang tidak terlihat oleh mata kita, berada dalam keadaan ketergantungan yang konstan:
Setiap partikel, setiap momen, berseru akan kebutuhan akan As-Somad. Realitas ini harus mendominasi kesadaran seorang mukmin, membuatnya tidak pernah merasa sendirian dalam menghadapi masalah, karena seluruh eksistensi tunduk kepada Dzat yang ia jadikan sandaran.
Ketika seseorang terlalu fokus pada sebab (sarana) daripada pada Sumber (Allah), ia jatuh ke dalam perangkap yang disebut syirk khafi (syirik tersembunyi) atau ketergantungan hati yang tidak sehat. Contohnya:
Penyebab utama kekhawatiran dan stres kronis di dunia modern adalah ketergantungan pada objek-objek yang secara inheren tidak mampu menopang beban harapan manusia. Harta, kedudukan, popularitas—semua ini adalah lubang hitam yang menyerap energi harapan kita tanpa pernah benar-benar memuaskannya. Hanya hati yang mengisi dirinya dengan keyakinan pada As-Somad yang dapat mencapai kepuasan abadi dan ketenangan sejati.
Doa adalah manifestasi paling jelas dari pengakuan kita terhadap As-Somad. Ketika kita mengangkat tangan, kita secara fisik dan spiritual menyatakan kebutuhan mutlak kita kepada Dzat yang tidak memiliki kebutuhan.
Shalat, sebagai rukun Islam kedua, secara struktural mencerminkan pengakuan terhadap As-Somad. Gerakan ruku' dan sujud adalah simbol ketundukan total. Ketika kita meletakkan kepala (bagian tertinggi tubuh) di tanah, kita menyatakan: "Ya Allah, aku adalah hamba yang paling membutuhkan. Engkau adalah Yang Maha Sempurna."
Setiap permintaan yang diucapkan dalam shalat, mulai dari Ihdinas Shiratal Mustaqim (tunjukkan kami jalan yang lurus) hingga doa-doa spesifik, adalah permohonan kepada As-Somad untuk memberikan apa yang tidak dapat kita peroleh dengan kekuatan kita sendiri. Shalat adalah latihan harian untuk menggeser ketergantungan dari diri sendiri ke Dzat yang paling kuat.
Seorang mukmin yang meyakini As-Somad akan mencapai apa yang disebut ghina nafs (kekayaan jiwa), atau kepuasan batin. Kekayaan sejati bukanlah memiliki banyak harta, tetapi memiliki hati yang kaya karena ia bersandar pada Sumber Kekayaan yang tak terbatas. Jika Allah adalah tempat bergantung kita, maka secara efektif, kita memiliki akses ke segala sesuatu.
Keyakinan ini menghasilkan kemuliaan diri (izzah) yang Islami. Ia tidak merendahkan diri di hadapan manusia demi keuntungan duniawi, karena ia tahu bahwa kemuliaan dan rezeki ada di tangan Dzat Yang Maha Mandiri. Sikap ini adalah bentuk konkret dari penghormatan terhadap As-Somad—kita menghargai diri kita sebagai hamba yang terhubung dengan Dzat yang paling mulia, dan oleh karena itu, kita tidak seharusnya tunduk kepada yang kurang mulia.
Pribadi yang memahami Allahus Somad akan memiliki ciri-ciri spiritual berikut:
Di era modern, di mana manusia seringkali menyembah teknologi, data, atau stabilitas ekonomi, konsep Allahus Somad menjadi lebih relevan dan berfungsi sebagai kritik tajam terhadap materialisme dan sekularisme.
Meskipun teknologi adalah nikmat, menyandarkan keselamatan atau kelangsungan hidup pada sistem buatan manusia adalah ilusi. Ketika sistem mati (listrik padam, internet terputus), ketergantungan kita terlihat jelas. As-Somad mengingatkan kita bahwa di balik setiap infrastruktur, setiap koneksi, dan setiap chip, ada pemeliharaan Ilahi yang lebih mendasar. Hanya Allah yang memiliki ketersediaan 24/7, tanpa perlu pemeliharaan, tanpa perlu diisi ulang, dan tanpa kegagalan sistem.
Ketika penguasa atau pemimpin dunia berusaha memproyeksikan citra kemahakuasaan atau kemandirian, sifat As-Somad berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa setiap makhluk adalah lemah. Sejarah dipenuhi dengan kisah-kisah tiran yang mengklaim diri mereka sebagai sandaran masyarakat, namun kekuasaan mereka runtuh dalam sekejap. Hanya As-Somad yang memiliki kekuasaan mutlak yang tidak pernah dapat dicabut, diwariskan, atau ditantang.
Oleh karena itu, kewajiban seorang mukmin adalah bersandar hanya kepada As-Somad, dan menuntut keadilan hanya dari-Nya, karena Dia adalah Satu-satunya yang tidak akan pernah dikecewakan dan tidak pernah dapat di korupsi oleh kelemahan manusia.
Penghayatan terhadap sifat Allahus Somad adalah puncak dari kesadaran Tauhid (keesaan Allah). Ini melengkapi pengakuan bahwa Allah adalah unik dalam Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Kita menutup eksplorasi ini dengan penegasan bahwa setiap bagian dari eksistensi kita adalah bukti nyata akan sifat As-Somad. Kebutuhan kita akan makanan, akan cinta, akan pengampunan, akan petunjuk, dan akan ketenangan adalah tanda-tanda yang menunjuk kembali kepada Sumber Tunggal pemenuhan. Segala sesuatu yang kita cari di dunia—kekuatan, ketenangan, kekayaan, kebahagiaan—adalah atribut yang ada secara sempurna dan tanpa batas hanya pada Dzat yang layak disebut As-Somad.
Pengulangan dan perenungan terhadap Surah Al-Ikhlas, khususnya ayat yang agung ini, harus menjadi rutinitas spiritual bagi setiap mukmin, mengingatkan hati pada sandaran sejati: Allah, yang dituju oleh segala sesuatu dalam keadaan membutuhkan, sementara Dia sendiri tetap berdiri tegak, mandiri, dan sempurna, jauh di atas segala keterbatasan makhluk-Nya. Inilah janji pembebasan dan ketenangan yang dijanjikan oleh keyakinan pada Allahus Somad.
Penghayatan yang mendalam tentang kemandirian dan kesempurnaan As-Somad mengharuskan kita untuk menguji ulang setiap ikatan emosional dan praktis yang kita miliki di dunia ini. Setiap kali kita merasa cemas karena kehilangan, itu adalah tanda bahwa kita telah memberikan porsi ketergantungan yang terlalu besar kepada yang fana. Setiap kali kita merasa sombong karena pencapaian, itu adalah tanda bahwa kita telah melupakan siapa sesungguhnya As-Somad yang menganugerahkan kemampuan tersebut.
Dalam ilmu tauhid, sifat ini sering disebut sebagai al-ghina al-mutlaq (kekayaan yang mutlak) bagi Allah, dan al-faqr al-mutlaq (kemiskinan/kebutuhan mutlak) bagi makhluk. Hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya adalah hubungan antara Pemberi Tak Terbatas dan Penerima yang Selalu Membutuhkan. Kesadaran akan posisi ini adalah inti dari kehambaan yang murni.
Marilah kita renungkan lebih jauh mengenai implikasi sifat As-Somad pada struktur sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat yang berlandaskan Tauhid, di mana As-Somad diyakini sebagai satu-satunya Penyedia, tidak akan ada penumpukan kekayaan yang berlebihan dan penindasan yang sistematis. Kedermawanan (zakat, infaq, sedekah) menjadi wajib karena ia adalah pengakuan praktis bahwa rezeki bukanlah milik kita sepenuhnya, melainkan amanah dari As-Somad yang harus didistribusikan kepada hamba-Nya yang membutuhkan.
Jika seorang kaya percaya bahwa kekayaan dan statusnya adalah sandaran sejati, ia akan menjadi kikir. Namun, jika ia percaya pada Allahus Somad, ia tahu bahwa menginfakkan hartanya tidak akan mengurangi simpanan di sisi Allah, yang kekayaan-Nya tidak pernah habis. Jadi, sifat As-Somad adalah fondasi bagi etika sosial yang adil dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, sifat As-Somad mengajarkan kita tentang kesabaran yang tidak terbatas. Ketika doa kita tidak langsung terkabul, ini bukanlah tanda kelemahan Allah, melainkan manifestasi dari hikmah dan waktu yang ditetapkan oleh Dzat Yang Maha Sempurna. Kita memohon kepada As-Somad, yang tidak terikat oleh waktu dan tidak pernah terburu-buru. Keterlambatan dalam jawaban doa mungkin merupakan kebaikan, sebuah ujian untuk menguatkan sandaran kita, atau cara Allah mengganti permintaan duniawi dengan ganjaran akhirat yang jauh lebih kekal.
Dalam situasi ketidakpastian global, seperti pandemi, konflik, atau perubahan iklim, banyak manusia merasa tak berdaya. Ketidakberdayaan ini adalah kesempatan spiritual. Ketika semua sistem manusia tampaknya goyah, inilah saatnya bagi hati untuk kembali kepada Yang Maha Stabil. As-Somad adalah jangkar yang tak tergoyahkan di tengah badai terbesar sekalipun. Keyakinan ini memberikan ketahanan psikologis dan spiritual yang tak tertandingi.
Kesempurnaan As-Somad juga berarti bahwa Allah tidak membutuhkan pujian kita. Ketika kita memuji-Nya (bertasbih), itu adalah murni untuk keuntungan spiritual kita sendiri. Pujian membersihkan hati kita dan menyesuaikannya dengan realitas kosmik. Memuji As-Somad berarti mengakui keindahan dan kesempurnaan yang tidak tergantung pada pengakuan kita. Ini adalah latihan kerendahan hati dan ketulusan.
Mari kita bayangkan sejenak kebalikan dari As-Somad: Tuhan yang membutuhkan. Jika Tuhan membutuhkan sesuatu—makanan, bantuan, nasihat, atau pengagum—maka Dia tidak akan menjadi Tuhan, karena kebutuhan adalah tanda keterbatasan. Dengan demikian, pengakuan kita atas Allahus Somad adalah afirmasi rasional yang paling mendasar tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, setiap kali kita mengucapkan Allahus Somad, kita tidak hanya melafalkan sebuah ayat; kita sedang mendeklarasikan sebuah sistem kosmik di mana semua energi, semua kekuasaan, dan semua harapan terpusat pada satu titik abadi, Yang tidak pernah lelah memberi dan tidak pernah membutuhkan balasan. Penghayatan ini adalah kunci menuju kebebasan sejati dari perbudakan materi dan psikologis.
Sifat ini memberikan penekanan luar biasa pada pentingnya menjauhkan diri dari perbuatan syirik sekecil apa pun. Syirik, dalam segala bentuknya, adalah pengingkaran terhadap As-Somad. Ketika seseorang percaya bahwa entitas lain (berhala, orang suci, uang) dapat memberikan atau menahan sesuatu secara independen dari kehendak Allah, ia secara esensi menempatkan makhluk fana pada posisi As-Somad, sebuah kesalahan fatal yang merusak inti tauhid.
Melalui perenungan yang terus menerus atas Allahus Somad, kita mencapai tingkat keimanan di mana hati kita tidak lagi terombang-ambing oleh janji-janji palsu dunia. Kita menyadari bahwa sumber daya manusia—apakah itu kekayaan pribadi, dukungan politik, atau bahkan kekuatan ilmu pengetahuan—semuanya rapuh dan sementara. Ketenangan yang abadi hanya dapat dicari di sisi Dzat yang ketersediaan dan kekuasaan-Nya bersifat mutlak dan tak terbatas.
Penting untuk dicatat bahwa para ahli teologi Islam sering menghubungkan As-Somad dengan sifat-sifat keagungan (sifat jalaliyah). Ini adalah sifat-sifat yang menunjukkan superioritas dan kekuasaan Allah yang tak tertandingi, seperti Al-Malik (Maha Raja), Al-Qahhar (Maha Penakluk), dan Al-Aziz (Maha Perkasa). Sifat-sifat ini menegaskan bahwa ketika kita bersandar pada As-Somad, kita bersandar pada Kekuasaan yang tak mungkin dikalahkan atau dilemahkan oleh entitas manapun di alam semesta.
Dalam kerangka pemahaman ini, konsep rizq (rezeki) juga mengambil dimensi baru. Rezeki tidak hanya terbatas pada makanan dan uang, tetapi mencakup kesehatan, waktu, pengetahuan, dan kedamaian hati. Karena As-Somad adalah Dzat yang dituju untuk semua hajat, maka setiap bentuk rezeki, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, pasti berasal dari-Nya. Keyakinan ini membebaskan kita dari iri hati, karena kita menyadari bahwa pembagian rezeki adalah bagian dari kebijakan As-Somad yang adil dan sempurna.
Ketika manusia mencoba untuk mencari pemenuhan total dalam hubungan interpersonal, mereka sering kecewa. Ini karena manusia, sebagai makhluk yang membutuhkan, tidak mampu mengisi kekosongan spiritual manusia lain. Kekosongan itu dirancang oleh Sang Pencipta agar hanya dapat diisi oleh keterhubungan dengan As-Somad. Mencari pemenuhan total dari manusia adalah menempatkan manusia pada posisi Ilahi, yang pasti akan berakhir dengan kegagalan. Allahus Somad mengajarkan kita untuk mencintai makhluk, tetapi menyembah dan bergantung hanya kepada Khaliq.
Pilar utama dalam memahami sifat As-Somad adalah pemahaman bahwa kesempurnaan Allah adalah intrinsik. Dia sempurna bukan karena ciptaan-Nya memuji-Nya, tetapi Dia dipuji karena Dia sempurna. Kesempurnaan-Nya adalah esensi diri-Nya. Ini adalah landasan filosofis yang membedakan Tauhid dari semua konsep ketuhanan lainnya yang mungkin memerlukan ritual pengorbanan, darah, atau intervensi fana untuk mencapai kelengkapan.
Penghayatan terus-menerus terhadap makna Allahus Somad seharusnya menghasilkan kualitas spiritual yang disebut zuhd (asketisme atau menjauhkan diri dari keterikatan dunia). Zuhd bukan berarti meninggalkan dunia secara fisik, melainkan melepaskan hati dari keterikatan yang berlebihan terhadapnya. Hati seorang muwahhid (orang yang bertauhid) berpegang pada Yang Kekal (As-Somad), sementara tangannya mengelola urusan dunia. Ia tidak takut kehilangan harta karena hatinya tidak bergantung pada harta tersebut, melainkan pada Pemilik Harta.
Sikap ini memungkinkan keberanian moral. Ketika seseorang tidak bergantung pada kekayaan atau kedudukan yang diberikan oleh manusia, ia memiliki kebebasan untuk berbicara kebenaran (al-haqq) tanpa takut akan konsekuensi duniawi. Keberanian ini lahir dari keyakinan bahwa jika seluruh dunia menentangnya, As-Somad tetap menjadi sandaran mutlaknya.
Kita dapat menyimpulkan bahwa Allahus Somad adalah sebuah konsep yang menyeluruh. Ia adalah landasan bagi tauhid yang murni, etika sosial yang adil, psikologi yang seimbang, dan spiritualitas yang bebas. Ayat ini adalah kompas bagi hati yang tersesat dan perlindungan bagi jiwa yang sedang berjuang.
Semoga kita semua diberikan kemampuan untuk terus-menerus merenungkan dan mengamalkan makna agung dari Allahus Somad, Dzat Yang Maha Sempurna dan tempat kembali segala urusan, dari awal hingga akhir zaman.