Visualisasi permintaan hidayah menuju Jalan yang Lurus.
Surat Al-Fatihah, yang berarti ‘Pembukaan’, bukan sekadar rangkaian ayat yang dibaca dalam salat. Ia adalah ringkasan seluruh ajaran Al-Qur’an, fondasi bagi komunikasi hamba dengan Sang Pencipta. Setelah memuji Allah (Ayat 1-4) dan menegaskan komitmen ubudiyah (Ayat 5), sampailah kita pada intisari permohonan, sebuah doa yang wajib diulang minimal 17 kali dalam sehari semalam. Ayat keenam inilah yang menjadi fokus utama dalam kerangka hubungan spiritual ini.
(Ihdinaṣ-Ṣirāṭal-Mustaqīm)
Artinya: "Tunjukilah kami jalan yang lurus."
Ayat ini adalah puncak dari pengakuan dan pujian sebelumnya. Setelah seorang hamba menyatakan bahwa hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan (Ayat 5), maka permintaan yang paling mendasar dan krusial yang ia panjatkan adalah petunjuk untuk tetap berada di jalan yang benar. Permintaan ini, meskipun singkat, sarat akan makna teologis, linguistik, dan praktis yang mendalam, menunjukkan betapa rentan dan membutuhkan pertolongan kita sebagai manusia.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ayat keenam, kita perlu membedah tiga komponen utamanya: Ihdina, Aṣ-Ṣirāṭ, dan Al-Mustaqīm. Kombinasi ketiga kata ini menciptakan sebuah konsep yang sangat spesifik dan esensial dalam pandangan hidup Islam.
Kata Ihdina berasal dari akar kata Hada-Yahdi (هَدَى - يَهْدِي), yang secara harfiah berarti menunjuki, membimbing, atau mengarahkan. Namun, dalam konteks doa, kata ini membawa nuansa yang jauh lebih kaya. Kata ini adalah perintah dalam bentuk doa (fi’il amr li al-du’a), yang menunjukkan kerendahan hati hamba di hadapan Tuhannya. Permintaan hidayah ini tidak sekadar meminta informasi tentang jalan, tetapi meminta tiga jenis bantuan utama:
Penggunaan kata ganti 'na' (kami) menunjukkan bahwa doa ini bersifat kolektif. Seorang Muslim tidak hanya berdoa untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh jamaah umat Muslim, menekankan pentingnya persatuan di atas kebenaran.
Aṣ-Ṣirāṭ adalah kata benda yang berarti jalan, jalur, atau lintasan. Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa kata untuk jalan (seperti ṭarīq atau sabīl), tetapi ṣirāṭ memiliki konotasi yang unik. Menurut ahli bahasa, ṣirāṭ merujuk pada jalan yang:
Penggunaan huruf alif lam (ال) menunjukkan bahwa jalan yang dimaksud adalah spesifik dan tunggal (ma'rifah), bukan sembarang jalan. Ini menegaskan bahwa hanya ada satu jalan yang benar menuju Allah, bukan banyak jalan yang sama benarnya (pluralisme agama). Jalan ini unik dan mutlak kebenarannya.
Kata Al-Mustaqīm adalah bentuk partisip aktif (isim fa’il) dari akar kata Qāma-Yaqūmu (berdiri/tegak). Mustaqīm berarti tegak, lurus, tidak bengkok, dan tidak menyimpang. Ia melengkapi makna Aṣ-Ṣirāṭ, menekankan kualitas yang diperlukan dari jalan tersebut. Jalan lurus ini adalah jalan yang tidak memiliki kontradiksi, keraguan, atau fluktuasi. Ia adalah jalan yang konsisten dari awal hingga akhir, baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalat.
Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi yang sangat kaya mengenai apa sebenarnya Shiratal Mustaqim itu. Meskipun redaksi ayatnya sama, penekanan pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan menunjukkan universalitas dan kedalaman maknanya.
Mayoritas ulama klasik, termasuk Mujahid, Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib, menafsirkan Shiratal Mustaqim sebagai Islam itu sendiri. Islam adalah jalan yang mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai dari keyakinan hingga praktik sehari-hari. Jalan ini lurus karena ia membawa pada tujuan yang benar tanpa penyimpangan. Jalan ini adalah Tauhid (mengesakan Allah), yang merupakan poros dari segala ajaran.
Imam At-Tabari, dalam tafsirnya, menyimpulkan bahwa Shiratal Mustaqim adalah jalan yang disepakati oleh seluruh umat, yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan ini terwujud dalam memeluk ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Penafsiran lain yang kuat menyatakan bahwa jalan lurus adalah Al-Qur’an. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menggambar sebuah garis lurus dan bersabda, "Ini adalah jalan Allah," kemudian beliau menggambar garis-garis lain di sampingnya dan bersabda, "Ini adalah jalan-jalan (sesat), di setiap jalan terdapat setan yang mengajak kepadanya." Kemudian beliau membaca ayat: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)..." (QS. Al-An'am: 153). Al-Qur'an adalah peta, panduan, dan cahaya yang menerangi jalan tersebut.
Mengikuti Al-Qur’an berarti menjadikan hukum-hukumnya sebagai dasar dalam setiap keputusan, menjauhi larangannya, dan mengimani setiap kisahnya. Tanpa Al-Qur’an, manusia akan tersesat dalam kegelapan hawa nafsu dan kesesatan ideologi yang diciptakan oleh manusia.
Para ulama salaf juga menekankan bahwa Shiratal Mustaqim adalah mengikuti jejak (Sunnah) Rasulullah ﷺ. Mengapa? Karena Nabi Muhammad ﷺ adalah penerjemah hidup dari Al-Qur’an. Beliau adalah teladan sempurna (uswatun hasanah) dalam bagaimana menerapkan ajaran Islam secara praktis. Tidak mungkin seseorang berpegang pada Al-Qur’an tanpa merujuk pada cara hidup Nabi. Oleh karena itu, menempuh jalan yang lurus berarti mencontoh cara Nabi beribadah, berinteraksi sosial, dan berperilaku etis.
Sebagian mufassir melihat makna ayat ini mencakup dimensi akhirat. Permintaan hidayah ini juga merupakan permohonan agar Allah membimbing kita di dunia ini, sehingga kita layak meniti jembatan Shirāṭ di akhirat, yaitu jembatan yang terbentang di atas neraka menuju Surga. Hanya orang-orang yang menempuh Shiratal Mustaqim di dunia yang akan dimudahkan meniti Shirāṭ akhirat.
Mengapa kita yang sudah beriman dan sudah shalat masih perlu memohon petunjuk di setiap rakaat? Ini adalah inti filosofis dan teologis dari Ayat 6. Permintaan ini menegaskan bahwa hidayah bukanlah properti statis yang sekali didapat lalu selamanya dimiliki. Hidayah adalah karunia yang harus terus dipertahankan dan diperbarui.
Manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan rentan terhadap godaan (Syaitan dan hawa nafsu). Bahkan ulama yang paling saleh pun tidak imun terhadap penyimpangan. Permintaan "Ihdina" (Tunjukilah kami) adalah pengakuan akan kelemahan dan ketergantungan mutlak kita kepada Allah. Jika Allah mencabut petunjuk-Nya sesaat saja, kita pasti akan tersesat.
Dalam perspektif ilmu akidah, hidayah terbagi dua, dan keduanya harus terus kita minta:
Seorang Muslim yang sudah beriman meminta agar Hidayatul Taufiq ini terus mengalir, menjaganya dari godaan setan yang selalu berusaha menyeretnya keluar dari jalur lurus tersebut.
Dunia ini penuh dengan "jalan-jalan lain" yang mengklaim sebagai kebenaran. Terdapat berbagai macam syubhat (kerancuan pemikiran) dan syahawat (godaan hawa nafsu) yang dapat membengkokkan jalan seseorang. Shiratal Mustaqim adalah penangkal terhadap keduanya:
Permintaan hidayah ini adalah upaya proaktif untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sepanjang hari adalah langkah yang disukai oleh Allah SWT.
Bahkan ketika seseorang sudah berada di atas jalan lurus, ada tingkatan-tingkatan di dalamnya. Orang yang beriman hari ini bisa jadi memiliki derajat keimanan yang lebih tinggi besok, asalkan dia terus berusaha. Doa ini juga merupakan permohonan agar Allah meningkatkan kualitas amalan dan pemahaman kita, mengarahkan kita menuju derajat kesempurnaan (ihsan) dalam menempuh jalan tersebut.
Oleh karena itu, permintaan "Ihdinaṣ-Ṣirāṭal-Mustaqīm" adalah doa yang universal, relevan bagi pemula (yang membutuhkan petunjuk awal), dan bagi ulama besar (yang membutuhkan keteguhan dan peningkatan kualitas spiritual). Semua lapisan manusia berada di bawah payung kebutuhan akan petunjuk abadi dari Allah SWT.
Jalan lurus tidak hanya eksis dalam ranah teologi dan spiritual. Ia harus termanifestasi dalam setiap detail kehidupan seorang Muslim, membagi penerapannya menjadi dua pilar utama: Fikih (Hukum) dan Akhlak (Moralitas).
Dalam ranah fikih, Shiratal Mustaqim terwujud dalam pelaksanaan ibadah yang murni dan benar, sesuai dengan yang disyariatkan dan diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Ini berarti menjauhi bid’ah (inovasi dalam agama) dan memastikan bahwa semua amalan dilakukan dengan ikhlas (murni karena Allah).
Jalan lurus menuntut kita untuk melaksanakan shalat sesuai tata cara Nabi, menunaikan zakat dengan penuh kesadaran sosial, berpuasa dengan menjaga diri dari hal-hal yang mengurangi pahala puasa, dan berhaji dengan niat yang benar. Setiap detail tata cara (kaifiyat) ibadah adalah bagian dari kelurusan jalan ini. Penyimpangan dalam pelaksanaan ibadah, meskipun niatnya baik, dapat menjauhkan seseorang dari kelurusan jalan yang dia minta.
Jalan lurus jauh melampaui masjid dan ritual. Ia harus mendominasi interaksi sosial (muamalat) dan moralitas (akhlak). Lurusnya jalan menuntut keadilan, kejujuran, dan integritas. Sebagai contoh:
Jika seseorang lurus dalam ibadah ritual tetapi bengkok dalam muamalat (misalnya, korupsi, zalim, atau menipu), maka ia belum sepenuhnya menapaki Shiratal Mustaqim. Doa ini adalah permintaan untuk kelurusan total, baik vertikal (hubungan dengan Allah) maupun horizontal (hubungan dengan sesama manusia).
Ayat keenam dari Al-Fatihah tidak dapat dipisahkan dari ayat ketujuh, yang berfungsi sebagai penjelas dan batasan dari Shiratal Mustaqim. Ketika kita meminta "Tunjukilah kami jalan yang lurus," pertanyaan alami yang muncul adalah: Jalan siapa? Ayat 7 menjawabnya:
Artinya: "(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
Penyebutan jalan lurus diikuti dengan tiga kategori manusia yang membantu kita mendefinisikan kelurusan jalan itu secara negatif dan positif.
Ini adalah definisi positif dari Shiratal Mustaqim. Siapakah mereka? Al-Qur'an menjelaskan dalam Surah An-Nisa (4:69) bahwa mereka adalah:
Memohon jalan mereka berarti memohon agar Allah menjadikan kita memiliki keyakinan (iman) seperti mereka dan amalan (akhlak) seperti mereka. Kelurusan jalan adalah mengikuti jejak para teladan kebaikan ini.
Ini adalah jalan yang harus dihindari. Menurut mayoritas tafsir, kelompok ini adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran (ilmu) tetapi menolak untuk mengamalkannya karena kesombongan, kedengkian, atau hawa nafsu. Secara historis, kelompok ini sering dikaitkan dengan Yahudi, karena mereka diberikan kitab suci dan banyak pengetahuan, namun mereka menyimpang dari perintah Allah.
Kelompok yang dimurkai gagal dalam aspek amal. Mereka memiliki petunjuk (dalalah), tetapi tidak memiliki taufiq (kemampuan mengamalkan), karena mereka sendiri yang menolaknya.
Kelompok ini adalah orang-orang yang beribadah atau beramal tanpa didasari ilmu yang benar. Mereka bersemangat dalam melakukan sesuatu yang mereka yakini baik, tetapi ternyata mereka berada di jalur yang keliru karena kebodohan atau penafsiran yang salah terhadap agama. Secara historis, kelompok ini sering dikaitkan dengan Nasrani.
Kelompok yang sesat gagal dalam aspek ilmu. Mereka memiliki niat (amal), tetapi tidak memiliki hidayah (dalalah). Mereka tersesat tanpa menyadarinya.
Dengan demikian, Shiratal Mustaqim (Ayat 6) adalah jalan yang menggabungkan ilmu yang benar (melindungi dari kesesatan/Nasrani) dan amal yang benar (melindungi dari kemurkaan/Yahudi). Inilah keseimbangan sempurna yang hanya dimiliki oleh Islam, jalan yang memadukan akal (ilmu) dan spiritualitas (amal).
Bagaimana seorang Muslim memastikan bahwa ia benar-benar berjalan di atas Shiratal Mustaqim setiap harinya? Ayat ini adalah sebuah pengukur yang konstan, menuntut refleksi diri yang mendalam dan berkelanjutan.
Kelurusan akidah adalah pilar utama. Ini berarti meyakini Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, meyakini kenabian Muhammad ﷺ, meyakini Hari Akhir, Qadar (ketentuan), dan semua rukun iman tanpa keraguan atau penambahan. Akidah yang lurus adalah akidah yang murni dari syirik (menyekutukan Allah) dalam bentuk apa pun, baik syirik besar maupun syirik kecil.
Setiap rakaat shalat mengingatkan kita untuk memeriksa hati: Apakah keyakinan kita masih lurus? Apakah ada unsur duniawi yang telah menyusup ke dalam ibadah kita (riya’)? Akidah yang lurus adalah benteng yang menjaga dari segala bentuk kesesatan pemikiran.
Kelurusan jalan juga mencakup manhaj, atau metodologi, dalam memahami dan menerapkan agama. Ini berarti berpegang pada pemahaman salafus saleh (generasi terbaik umat) dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah. Manhaj yang lurus menghindari ekstremitas, baik sikap berlebihan (ghuluw) yang membuat agama terasa memberatkan, maupun sikap meremehkan (tasahul) yang melonggarkan batasan syariat.
Manhaj yang lurus menjamin bahwa meskipun terdapat perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam detail fikih, namun dasar-dasar agama dan tujuan utamanya tetap terjaga kelurusannya. Ini menuntut ilmu yang sahih dan ketekunan dalam belajar.
Niat adalah kompas internal bagi seorang Muslim. Jalan yang lurus hanya bisa dilalui dengan niat yang lurus. Ikhlas berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dari semua amal perbuatan. Seberapa pun lurusnya sebuah perbuatan secara lahiriah (sesuai syariat), jika niatnya bengkok (misalnya, mencari pujian manusia), maka perbuatan tersebut menyimpang dari Shiratal Mustaqim.
Doa "Ihdinaṣ-Ṣirāṭal-Mustaqīm" adalah permintaan kepada Allah agar Dia meluruskan niat kita, membersihkan hati kita dari penyakit riya’ dan sum’ah, sehingga seluruh kehidupan kita — makan, tidur, bekerja, belajar — dapat terhitung sebagai ibadah yang lurus dan diterima di sisi-Nya.
Sifat Ayat 6 sebagai doa yang diulang secara wajib dalam setiap shalat menunjukkan bahwa kebutuhan kita akan hidayah bersifat dinamis dan abadi. Kita tidak pernah lulus dari kebutuhan ini selama kita masih bernapas.
Pengulangan ini adalah pengingat konstan akan kelemahan manusia. Ulama tafsir menekankan beberapa alasan penting:
Jika seorang Muslim melalaikan makna dari doa ini, ia berisiko terjatuh ke dalam salah satu dari dua penyimpangan yang disebutkan di Ayat 7: kesombongan ilmu (seperti Al-Maghdubi 'Alaihim) atau kebodohan dalam amal (seperti Ad-Dhallin).
Konsep Shiratal Mustaqim juga bersifat progresif. Jalan lurus tidak hanya menunjuk pada satu titik, tetapi menunjuk pada seluruh spektrum kebaikan. Doa ini adalah permintaan untuk terus bergerak maju dalam kebaikan, meninggalkan kemaksiatan yang mungkin kita lakukan, dan menggantinya dengan ketaatan yang lebih baik.
Dalam tafsir modern, seringkali ditekankan bahwa hidayah juga mencakup bimbingan Allah dalam urusan duniawi: dalam mencari nafkah yang halal, dalam mendidik anak, dalam memilih pasangan hidup, dan dalam menggunakan waktu luang. Setiap keputusan yang membawa kita lebih dekat kepada ketaatan adalah buah dari hidayah yang kita minta dalam Al-Fatihah.
Jalan lurus adalah jalan yang sempit dalam definisinya (karena menolak ekstremitas kiri dan kanan), tetapi ia lebar dalam aplikasinya (karena mencakup seluruh detail kehidupan). Ia adalah janji Allah bagi mereka yang mencari kesempurnaan dan istiqamah dalam menjalani kehidupan fana ini menuju keabadian.
Ayat keenam dari Surat Al-Fatihah, "Tunjukilah kami jalan yang lurus," adalah inti dari segala doa dan kebutuhan seorang hamba. Ia adalah pengakuan akan kelemahan diri dan keagungan Allah sebagai satu-satunya sumber petunjuk.
Shiratal Mustaqim didefinisikan secara komprehensif sebagai Islam itu sendiri, Al-Qur’an dan Sunnah, serta jalan para Nabi dan orang-orang saleh. Kelurusan jalan ini menuntut integritas menyeluruh—kelurusan dalam akidah, kejujuran dalam niat, ketepatan dalam ibadah (fikih), dan kebaikan dalam interaksi sosial (akhlak).
Dengan mengulang permohonan ini puluhan kali sehari, seorang Muslim secara sadar mengikat dirinya kembali pada janji Tauhid, memohon penjagaan dari penyimpangan mereka yang dimurkai (orang yang tahu tetapi tidak mengamalkan) dan mereka yang sesat (orang yang beramal tanpa ilmu).
Pada akhirnya, Shiratal Mustaqim adalah jalan tunggal yang menghubungkan titik keberadaan kita di dunia dengan tujuan akhir kita di Surga. Doa ini adalah navigasi spiritual yang memastikan bahwa terlepas dari badai dan godaan dunia, kita akan senantiasa diarahkan kembali ke pelabuhan ketaatan yang aman, di bawah naungan rahmat dan petunjuk Allah SWT.
***
Dalam pembahasan teologi (Kalam), konsep Shiratal Mustaqim memainkan peran sentral dalam membedakan antara kehendak manusia (al-iradah al-juz'iyah) dan kehendak Allah (al-iradah al-kulliyah). Jika Allah telah menentukan segala sesuatu, termasuk petunjuk, mengapa kita harus memintanya? Hal ini membawa kita pada pembahasan mendalam mengenai Qada dan Qadar (ketentuan dan takdir).
Meminta hidayah bukan berarti meragukan kekuasaan Allah, melainkan melaksanakan perintah-Nya untuk berdoa. Permintaan dalam Ayat 6 adalah sebuah manifestasi dari kebebasan memilih yang diberikan kepada manusia. Meskipun Allah mengetahui takdir kita, tindakan kita memohon adalah bagian dari ikhtiar (usaha) kita. Doa itu sendiri adalah ibadah, dan ibadah adalah bagian dari jalan lurus.
Para filosof Islam menegaskan bahwa hidayah yang kita minta adalah taufiq—yaitu persetujuan Ilahi terhadap usaha kita. Kita berusaha mencari ilmu, mendekati kebaikan, dan menjauhi keburukan, dan kemudian kita meminta Allah untuk mempermudah (tawfiq) langkah kita. Tanpa permintaan ini, seolah-olah kita mengklaim mampu menempuh jalan itu dengan kekuatan sendiri, yang bertentangan dengan Ayat 5 ('Hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan').
Dalam sejarah pemikiran Islam, ada perdebatan mengenai apa yang sesungguhnya membedakan Shiratal Mustaqim dari jalan-jalan lainnya. Jawaban sederhananya adalah: otentisitas dan kejelasan. Jalan lurus ditandai oleh tidak adanya kontradiksi, baik secara internal (dalam ajarannya) maupun eksternal (dengan kebenaran universal). Jalan ini konsisten dengan fitrah manusia, akal sehat yang murni, dan wahyu yang dijaga keasliannya.
Ketika berbagai ideologi atau sekte menawarkan "jalan" mereka, seorang Muslim yang memahami Ayat 6 akan bertanya: Apakah ini sesuai dengan Al-Qur’an? Apakah ini sesuai dengan Sunnah? Apakah ini sejalan dengan amalan generasi pertama umat Islam? Shiratal Mustaqim adalah filter yang efektif terhadap semua bentuk bid’ah dan penyimpangan yang muncul seiring berjalannya waktu.
Permintaan hidayah ini secara langsung berkaitan dengan beberapa Asmaul Husna (Nama-Nama Allah):
Dengan demikian, Al-Fatihah Ayat 6 adalah sebuah pengakuan teologis akan kedaulatan Allah atas petunjuk dan kebutuhan mutlak manusia terhadap bimbingan-Nya.
Dalam dimensi tasawuf (sufisme), Shiratal Mustaqim diterjemahkan sebagai perjalanan spiritual yang intens menuju makrifatullah (mengenal Allah). Para sufi melihat jalan lurus ini bukan hanya sebagai pelaksanaan syariat secara lahiriah, tetapi juga sebagai pemurnian batin (tazkiyatun nufus).
Bagi para ahli tasawuf, kelurusan jalan dimulai dari kelurusan hati. Jika hati (qalb) bengkok, seluruh amal akan ikut bengkok. Kelurusan batin dicapai melalui mujahadah (perjuangan keras melawan hawa nafsu) dan riyadhah (latihan spiritual). Ini mencakup meninggalkan akhlak tercela (seperti iri, dengki, ujub) dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji (seperti sabar, syukur, tawakal).
Mereka menafsirkan Ṣirāṭ sebagai jalur yang menghubungkan ruh dengan hakikat ilahiah. Seseorang yang berjalan di Shiratal Mustaqim harus terus menerus melakukan muhasabah (introspeksi) untuk memastikan bahwa hatinya tidak menyimpang sedikit pun dari tujuan utamanya, yaitu keridhaan Allah.
Para sufi sering membagi Istiqamah (keteguhan) yang diminta dalam Ayat 6 menjadi beberapa tingkatan, menunjukkan progresivitas jalan tersebut:
Permintaan Shiratal Mustaqim, dalam pandangan tasawuf, adalah doa agar Allah menyempurnakan perjalanan spiritual hamba, dari syariat yang terwujud hingga hakikat yang tersembunyi, sehingga ia mencapai derajat insan kamil (manusia sempurna) yang hatinya sepenuhnya tunduk kepada kehendak Ilahi.
Dalam konteks sosiologi Islam, Shiratal Mustaqim memiliki peran penting dalam menjaga kohesi dan identitas umat (ummah). Ayat 6, dengan penggunaan kata ganti "kami" (Ihdina), menekankan bahwa jalan lurus adalah tanggung jawab kolektif.
Umat Islam dipersatukan bukan oleh ras, bahasa, atau batas geografis, tetapi oleh komitmen bersama pada Shiratal Mustaqim. Ketika umat menyimpang dari jalan ini, kohesi mereka akan runtuh, dan mereka akan terpecah belah menjadi berbagai sekte dan kelompok yang saling bertentangan. Doa ini adalah seruan untuk bersatu di atas kebenaran tunggal yang tidak memiliki ruang untuk perpecahan yang destruktif.
Historisnya, setiap kali umat Islam mengalami kemunduran, hal itu dapat ditelusuri kembali pada penyimpangan dari kelurusan jalan ini, baik karena terjerumus pada gaya hidup yang dimurkai (mengabaikan hukum, mementingkan kekayaan duniawi) maupun terjerumus pada kesesatan pemikiran (berlebihan dalam bid’ah atau taklid buta).
Secara sosial, Shiratal Mustaqim adalah jalan tengah (wasatiyyah). Jalan ini mencegah umat dari jatuh ke dalam dua ekstrem: liberalisme yang melampaui batas syariat dan rigiditas (kekakuan) yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan ruh kemudahan agama. Nabi Muhammad ﷺ selalu menganjurkan jalan yang moderat, yang tidak mempersulit diri secara tidak perlu, tetapi juga tidak meremehkan kewajiban.
Jalan lurus adalah jalan yang adil, memberikan hak kepada Allah (dengan ibadah), hak kepada diri sendiri (dengan istirahat dan pemenuhan kebutuhan), dan hak kepada sesama makhluk (dengan kebaikan dan keadilan). Keseimbangan ini adalah ciri khas dari Shiratal Mustaqim yang membuat Islam relevan dan berkelanjutan di setiap zaman dan tempat.
Konsep yang paling erat kaitannya dengan Shiratal Mustaqim adalah Istiqamah (keteguhan atau konsistensi). Jika jalan lurus adalah jalur, maka Istiqamah adalah cara berjalan di jalur tersebut. Tanpa Istiqamah, hidayah yang didapatkan akan mudah hilang.
Dalam sebuah hadis yang terkenal, Rasulullah ﷺ bersabda: "Telah membuatku beruban surah Hud dan saudara-saudaranya," (seperti Al-Waqi’ah, Al-Mursalat, An-Naba, At-Takwir). Salah satu sebabnya adalah karena Surah Hud (ayat 112) memerintahkan Istiqamah: "Maka tetaplah engkau (di jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu."
Perintah untuk Istiqamah ini jauh lebih berat daripada perintah untuk beramal saleh sesekali. Istiqamah menuntut daya tahan mental, spiritual, dan fisik yang berkelanjutan. Ia menuntut seorang Muslim untuk menjadi lurus, bukan hanya pada saat dia merasa termotivasi, tetapi juga pada saat dia merasa lesu atau menghadapi kesulitan.
Inilah mengapa doa "Ihdinaṣ-Ṣirāṭal-Mustaqīm" adalah permintaan harian untuk Istiqamah. Kita memohon agar Allah tidak hanya menempatkan kita di jalur yang benar, tetapi juga memberikan kita kekuatan, motivasi, dan kejelasan batin untuk tetap berjalan di jalur tersebut tanpa henti.
Istiqamah adalah hasil dari hubungan yang kokoh dengan Allah. Mereka yang benar-benar lurus di jalannya adalah mereka yang memiliki tawakal (bergantung penuh) kepada Allah dan khauf (rasa takut) akan siksa-Nya. Istiqamah adalah bukti bahwa seorang hamba telah mencapai tingkat kematangan spiritual di mana ia lebih mementingkan keridhaan Allah daripada kepuasan diri atau pandangan manusia.
Allah menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang beristiqamah. Dalam Surah Fussilat (41:30), disebutkan bahwa malaikat akan turun kepada mereka yang mengatakan, "Tuhan kami adalah Allah," kemudian mereka beristiqamah, dengan membawa kabar gembira dan menghilangkan rasa takut dan sedih.
Dengan demikian, Shiratal Mustaqim adalah panggilan untuk hidup yang teratur, konsisten, dan terarah. Ia adalah jaminan kesuksesan di dunia dan keselamatan di akhirat, asalkan kita konsisten memohonnya dan berusaha mengamalkannya dalam setiap detik kehidupan.
Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput dari tuntutan kelurusan ini. Dari cara kita mengatur keuangan, hingga cara kita berinteraksi dengan lingkungan, semuanya harus selaras dengan prinsip-prinsip Shiratal Mustaqim. Kegagalan untuk memohon kelurusan adalah kesombongan; sementara memohonnya adalah manifestasi tertinggi dari kerendahan hati dan kepasrahan kepada Dzat Yang Maha Memberi Petunjuk.