Surat Al-Qadr (Kemuliaan) merupakan surah ke-97 dalam Al-Qur'an, terdiri dari lima ayat yang singkat namun padat makna. Surah ini diklasifikasikan sebagai Makkiyah oleh mayoritas ulama, meskipun sebagian kecil berpendapat Madaniyah. Namun, terlepas dari perbedaan tempat turunnya, pesan inti surah ini sangat jelas: ia secara eksklusif membahas tentang Laylatul Qadr, malam yang paling agung dan mulia dalam kalender Islam, sekaligus menegaskan permulaan penurunan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW.
Laylatul Qadr adalah puncak spiritualitas bulan Ramadan. Tanpa surah ini, umat Islam mungkin tidak akan menyadari keutamaan malam tersebut secara eksplisit dan mendalam. Nama surah ini sendiri, “Al-Qadr”, membawa dua makna utama yang saling terkait erat: pertama, ‘Kemuliaan’ atau ‘Kehormatan’ (yang merujuk pada keagungan malam itu), dan kedua, ‘Penentuan’ atau ‘Ketentuan’ (merujuk pada penetapan takdir tahunan yang terjadi pada malam tersebut).
Para ulama tafsir menyebutkan beberapa riwayat mengenai sebab turunnya Surah Al-Qadr. Salah satu riwayat yang paling terkenal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Malik dan lainnya, adalah kisah tentang kekaguman Nabi Muhammad SAW terhadap umur panjang umat-umat terdahulu. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa umat-umat terdahulu memiliki umur yang sangat panjang—seperti yang dihidupkan oleh Nabi Nuh atau umat Bani Israil yang beribadah dalam waktu yang sangat lama—beliau merasa khawatir bahwa umatnya yang berumur lebih pendek tidak akan mampu mencapai pahala yang sama.
Sebagai respons dan penghiburan bagi Nabi SAW serta hadiah besar bagi umatnya, Allah SWT menurunkan Surah Al-Qadr. Surah ini menjelaskan bahwa satu malam ibadah yang tulus dapat melampaui pahala ibadah yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu selama ribuan bulan atau puluhan tahun. Ini adalah manifestasi nyata dari rahmat Allah SWT yang Maha Luas, memberikan kesempatan bagi umat Muhammad SAW untuk mengejar ketertinggalan amal meskipun dengan rentang usia yang terbatas.
Konteks historis ini menetapkan Laylatul Qadr bukan hanya sebagai malam bersejarah (penurunan Al-Qur'an), tetapi juga sebagai mekanisme ilahi untuk memastikan keadilan pahala bagi umat akhir zaman. Ini adalah inti dari makna ‘khayrum min alfi shahr’ (lebih baik dari seribu bulan).
Kata kunci dalam ayat ini adalah أَنزَلْنَاهُ (Anzalnahu), yang berarti "Kami telah menurunkannya." Kata ganti ‘hu’ (nya) secara mutlak merujuk pada Al-Qur'an, yang telah disinggung dalam konteks keimanan umat Islam.
Penggunaan kata أَنزَلْنَا (Anzalna) yang berasal dari akar kata Nuzul memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan kata نَزَّلْنَا (Nazzalna). Anzalna (bentuk If'al) biasanya menunjukkan penurunan secara sekaligus atau total, sementara Nazzalna (bentuk Taf'il) menunjukkan penurunan secara bertahap. Para ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini menegaskan dua fase penurunan Al-Qur'an:
Ayat pertama ini merayakan dan mengesahkan peristiwa Fase Pertama. Ini adalah penobatan Laylatul Qadr sebagai malam permulaan wahyu ilahi, menjadikannya malam paling penting dalam sejarah kemanusiaan, karena pada malam itulah panduan abadi untuk umat manusia diletakkan di langit terdekat.
Penegasan ini diperkuat oleh Surah Ad-Dukhan (44): ayat 3, yang berbunyi: "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi (Laylatun Mubarakah)." Para mufassir menyimpulkan bahwa “Malam yang Diberkahi” dan “Laylatul Qadr” adalah malam yang sama, yaitu malam di mana semua urusan penting ditetapkan.
Ayat kedua ini menggunakan gaya bahasa retoris yang sangat kuat. Frasa وَمَا أَدْرَاكَ (Wa mā adrāka) memiliki fungsi sastra yang khas dalam Al-Qur'an. Ini adalah cara Allah SWT untuk menarik perhatian pendengar sekaligus menunjukkan betapa agungnya dan tidak terjangkaunya hakikat sesuatu tersebut oleh akal dan pengetahuan manusia biasa.
Ketika Al-Qur'an menggunakan frasa "Wa mā adrāka," biasanya Allah SWT akan memberikan jawabannya di ayat-ayat berikutnya (seperti yang terjadi di sini). Namun, penggunaan frasa ini sudah cukup untuk menanamkan dalam hati bahwa objek yang dibicarakan—Laylatul Qadr—adalah sesuatu yang memiliki kedudukan yang tak terukur dan tak terbayangkan keutamaannya. Pertanyaan ini mempersiapkan jiwa pembaca untuk menerima deskripsi luar biasa yang akan menyusul.
Pada ayat ini, penting untuk kembali memahami makna ganda dari Al-Qadr:
Oleh karena itu, mengetahui hakikat Laylatul Qadr tidak hanya berarti mengakui kemuliaannya, tetapi juga memahami peran sentralnya dalam administrasi alam semesta selama satu tahun penuh. Ini adalah malam di mana Langit dan Bumi bertemu melalui penetapan ilahi.
Ini adalah ayat yang menjadi jantung Surah Al-Qadr, menjelaskan jawaban atas pertanyaan retoris sebelumnya. Frasa خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ (Khayrum min alfi shahr – Lebih baik dari seribu bulan) adalah deskripsi yang melampaui logika numerik biasa.
Secara harfiah, seribu bulan adalah sekitar 83 tahun 4 bulan. Ini adalah rentang usia rata-rata manusia yang sangat panjang. Ayat ini berarti bahwa ibadah, zikir, doa, dan segala amal saleh yang dilakukan dengan ikhlas pada satu malam itu (Laylatul Qadr) memiliki bobot pahala dan keberkahan yang melebihi pahala ibadah yang dilakukan secara terus-menerus selama lebih dari 83 tahun.
Para ulama tafsir menekankan bahwa frasa "lebih baik dari" (خَيْرٌ مِّنْ) tidak berarti "sama dengan," tetapi "melampaui" atau "melebihi." Artinya, pahala Laylatul Qadr tidak berhenti pada batas 1000 bulan, tetapi bisa jadi berkali-kali lipat di atas itu, sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Ini adalah rahmat ilahi yang memungkinkan umat Muhammad SAW untuk mengkompensasi singkatnya umur mereka. Mereka yang berusia 60 tahun, jika berhasil meraih Laylatul Qadr beberapa kali dalam hidupnya dengan kualitas ibadah terbaik, secara spiritual telah mengungguli umur panjang umat-umat terdahulu yang beribadah seumur hidup.
Keutamaan ini mendorong umat Islam untuk berinvestasi maksimal pada sepuluh malam terakhir Ramadan, mencari malam yang tersembunyi ini, karena hasil dari investasi spiritual ini bersifat eksponensial dan melipatgandakan nilai amal.
Pemilihan angka 1000 (أَلْفِ) seringkali dalam bahasa Arab melambangkan jumlah yang sangat besar, sulit dihitung, atau tak terbatas, bukan sekadar nilai numerik yang pasti. Sebagian mufassir berpendapat bahwa 1000 bulan adalah rentang waktu ketika Bani Israil berjuang melawan musuh-musuhnya dan melakukan amal keras. Namun, alasan yang paling diterima adalah bahwa angka tersebut melambangkan durasi yang sangat panjang sehingga mustahil dicapai dalam rentang usia normal.
Ayat ini mengajarkan tentang nilai kualitas ibadah (pada Laylatul Qadr) dibandingkan kuantitas (rentang waktu yang panjang). Allah SWT memberikan kesempatan emas untuk mencapai tingkat spiritualitas tertinggi dalam waktu yang sangat singkat, menunjukkan kemurahan-Nya yang luar biasa.
Kajian mendalam tentang ayat ketiga juga membawa kita kembali kepada makna Qadar (Penetapan). Ketika seorang hamba beribadah pada malam ini, ia berada dalam keadaan kedekatan spiritual maksimal dengan Tuhannya. Doa-doa yang dipanjatkan, tobat yang dilakukan, dan harapan yang disematkan memiliki potensi terbesar untuk memengaruhi catatan takdir tahunannya (Qadar Mu'allaq – Takdir yang dapat diubah oleh doa dan amal).
Oleh karena itu, beribadah di malam ini bukan hanya akumulasi pahala, tetapi juga upaya spiritual untuk “mengukir” takdir baik untuk setahun ke depan, meminta keselamatan dari segala musibah yang mungkin telah tertulis.
Kata kerja تَنَزَّلُ (Tanazzalu) menggunakan bentuk yang menunjukkan proses yang berulang, intensif, dan berlanjut. Ini berarti para malaikat dan Ruh (Jibril) turun bukan hanya sekali, tetapi berbondong-bondong, membanjiri bumi pada malam itu sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, jumlah malaikat yang turun pada malam itu jauh melebihi jumlah bebatuan di bumi. Kehadiran fisik para malaikat membuat bumi terasa lebih sempit. Ini menciptakan suasana spiritual yang unik, di mana bumi diselimuti oleh aura kesucian, ketenangan, dan berkah ilahi yang tak terperikan.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan Malaikat Jibril (Ar-Ruh) secara terpisah dari "malaikat-malaikat" (Al-Mala'ikah). Pemisahan ini merupakan bentuk pengagungan ('athf al-'am ala al-khashsh), di mana disebutkan yang umum (semua malaikat) kemudian disebutkan yang khusus (Jibril) untuk menunjukkan kedudukan dan kemuliaannya yang luar biasa di antara para malaikat lainnya.
Jibril adalah malaikat yang bertanggung jawab atas wahyu dan urusan penting ilahi. Kehadirannya memimpin rombongan besar malaikat lainnya menegaskan bahwa malam ini adalah malam penentuan dan penyaluran perintah-perintah Allah SWT kepada alam semesta.
Para malaikat dan Jibril turun بِإِذْنِ رَبِّهِم (bi idzni Rabbihim – dengan izin Tuhan mereka). Ini menekankan bahwa seluruh peristiwa di Laylatul Qadr terjadi di bawah kendali dan wewenang mutlak Allah SWT. Mereka tidak turun sembarangan, tetapi membawa misi suci:
مِّن كُلِّ أَمْرٍ (Min kulli amrin – untuk mengatur segala urusan). Tugas mereka adalah mencatat, melaksanakan, dan mendistribusikan semua ketentuan yang telah diputuskan oleh Allah SWT untuk tahun yang akan datang. Mereka menyebarkan rahmat, berkah, petunjuk, dan mengumpulkan doa-doa tulus dari hamba yang beribadah.
Kajian kontemporer sering melihat ayat ini sebagai penegasan bahwa pada malam ini, tirai antara alam gaib (malaikat) dan alam nyata (bumi) menjadi sangat tipis. Ini memberikan peluang bagi manusia untuk merasakan kedekatan Ilahi yang jauh lebih besar daripada malam-malam lainnya.
Ayat penutup ini merangkum suasana Laylatul Qadr: ia adalah malam سَلَامٌ (Salam – damai, selamat, sejahtera). Tafsir mengenai ‘Salam’ memiliki beberapa dimensi:
Oleh karena itu, Laylatul Qadr bukanlah malam kebisingan atau keramaian duniawi, melainkan malam keheningan spiritual yang mendalam, dipenuhi oleh interaksi antara langit dan bumi.
Frasa حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ (Hattā matla‘il Fajr – sampai terbit fajar) menentukan batas waktu Laylatul Qadr. Keagungan, keberkahan, penurunan malaikat, dan keadaan penuh kedamaian ini berlangsung terus-menerus sejak matahari terbenam (awal malam) hingga munculnya fajar sadiq (fajar sejati) yang menandai masuknya waktu Subuh.
Ini memotivasi umat Islam untuk beribadah sepanjang malam (Qiyamul Layl) dan tidak hanya membatasinya pada waktu Isya saja, karena setiap detik malam tersebut membawa potensi pahala yang luar biasa dan keselamatan yang dijamin.
Surah Al-Qadr mengajarkan bahwa dalam Islam, waktu tidak selalu linier. Ada momen-momen tertentu yang memiliki nilai kualitatif yang jauh melampaui nilai kuantitatifnya. Satu malam dapat menandingi 83 tahun. Ini menekankan bahwa rahmat Allah SWT tidak dibatasi oleh perhitungan manusia, dan hamba yang cerdas adalah mereka yang mencari dan memanfaatkan momen-momen emas tersebut (seperti waktu sepertiga malam terakhir, hari Jumat, atau Laylatul Qadr).
Malam ini menjadi pengingat bagi umat manusia bahwa hidup yang singkat dapat diisi dengan amal yang nilainya setara dengan umur panjang, asalkan dilakukan pada waktu yang tepat, dengan niat yang tulus, dan kualitas ibadah yang maksimal.
Fakta bahwa malam ini disebut malam kemuliaan (Al-Qadr) karena Al-Qur'an diturunkan pada malam itu, menunjukkan betapa sentralnya kedudukan Al-Qur'an dalam kehidupan seorang mukmin. Tanpa Al-Qur'an, malam itu hanyalah malam biasa. Keagungan Laylatul Qadr terkait langsung dengan Firman Allah SWT.
Implikasinya, ibadah yang paling utama pada malam itu adalah yang terkait dengan Al-Qur'an: membacanya, merenungkannya (tadabbur), dan menghafalnya. Malam tersebut harus menjadi momentum untuk memperbaharui komitmen kita terhadap kitab suci tersebut.
Allah SWT menyembunyikan Laylatul Qadr di antara sepuluh malam terakhir bulan Ramadan (terutama malam-malam ganjil, 21, 23, 25, 27, 29). Hikmah dari penyembunyian ini sangatlah besar:
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, jika ia mengetahui bahwa suatu malam adalah Laylatul Qadr, apa yang harus ia ucapkan? Rasulullah SAW mengajarkan doa yang ringkas namun mendalam:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni.”
Artinya: “Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.”
Fokus doa ini pada ‘Al-'Afu’ (Pemaafan) menunjukkan bahwa tujuan tertinggi Laylatul Qadr bukanlah hanya akumulasi pahala, melainkan pembersihan dosa total, yang merupakan kunci utama menuju keselamatan (Salam) di dunia dan akhirat.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Qadr, penting untuk menelaah setiap detail linguistik dalam bahasa Arab klasik:
Ayat pertama dimulai dengan إِنَّا (Inna), partikel penekanan yang berarti "Sesungguhnya Kami." Penggunaan kata ganti orang pertama jamak (Kami) di sini merujuk pada Allah SWT dengan makna pengagungan (Ta’zhim). Ini menekankan bahwa penurunan Al-Qur'an adalah keputusan dan tindakan besar yang dilakukan oleh otoritas Ilahi yang Maha Kuasa, bukan sekadar peristiwa biasa.
Frasa ini adalah gabungan dari Laylah (malam) dan Al-Qadr (Kemuliaan/Penetapan). Dalam bahasa Arab, penamaan seperti ini (Idhafah – Genitive structure) menunjukkan kaitan yang erat antara kedua kata tersebut. Malam itu bukan hanya ‘memiliki’ kemuliaan, tetapi ia adalah ‘esensi’ kemuliaan itu sendiri.
Meskipun kita telah membahas makna numerik dan spiritualnya, dari segi linguistik, ‘Alfi’ (seribu) dalam konteks ini berfungsi sebagai hiperbola (Mubalaghah). Ini adalah cara bahasa Arab untuk menyampaikan keunggulan yang jauh melampaui batas perbandingan yang wajar. Jika Allah ingin pahalanya hanya setara 83 tahun, Dia bisa saja menyebutkan angka tersebut secara eksplisit. Namun, Dia menggunakan ‘seribu’ untuk menetapkan standar superioritas yang tidak terbatas.
Seperti yang telah disebutkan, Tanazzal (sedang turun, turun secara berulang) adalah bentuk *Tafa'ul*. Bentuk ini dalam tata bahasa Arab menunjukkan:
Penggunaan kata sifat سَلَامٌ (Salam – dalam bentuk nomina tak tentu) diikuti dengan kata ganti هِيَ (Hiya – dia/malam itu) menunjukkan penegasan yang kuat. Seolah-olah malam itu sendiri adalah personifikasi dari kedamaian dan keselamatan. Malam itu BUKAN HANYA mengandung salam, tetapi IA ADALAH SALAM. Ini adalah puncak deskripsi keutamaan malam tersebut.
Surah Al-Qadr adalah pintu gerbang menuju pemahaman teologis tentang takdir (Qadar) dan kehendak bebas manusia (Ikhtiyar) dalam Islam. Laylatul Qadr bukan hanya malam bersejarah, tetapi malam di mana takdir tahunan (Al-Qadar al-Sanawi) diumumkan dan diatur.
Para filosof Islam membagi takdir menjadi beberapa tingkatan. Laylatul Qadr sangat erat kaitannya dengan dua tingkatan:
Pada malam ini, buku tahunan dibuka. Manusia, melalui ibadah dan doa tulusnya, berupaya memengaruhi Al-Qadar al-Sanawi yang bersifat mu’allaq (bergantung) pada sebab-sebab yang dikerjakan hamba.
Malam ini menekankan bahwa meskipun takdir adalah mutlak (Qada), detail manifestasi takdir (Qadar) membuka ruang bagi intervensi spiritual. Doa dan ibadah pada Laylatul Qadr adalah salah satu “sebab” terkuat yang dapat mengubah detail takdir yang kurang menyenangkan menjadi lebih baik, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Tidak ada yang dapat menolak ketetapan (Qadar) kecuali doa.”
Dengan demikian, Laylatul Qadr adalah malam harapan dan penentuan ulang arah hidup. Seorang mukmin yang menganggap malam ini sebagai malam penentuan takdir akan beribadah dengan kesungguhan yang jauh melebihi ibadah di malam-malam lainnya.
Meskipun Laylatul Qadr dan Isra Mi'raj adalah dua peristiwa yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan mendasar: keduanya adalah momen di mana batas-batas ruang dan waktu duniawi ditiadakan, memungkinkan komunikasi atau penurunan dari alam Ilahi ke alam manusia. Laylatul Qadr adalah penurunan wahyu (Al-Qur'an) secara vertikal ke bumi, sementara Isra Mi'raj adalah perjalanan vertikal Nabi SAW ke langit. Keduanya menandai momen puncak kedekatan antara hamba dan Penciptanya.
Sunnah terkuat yang terkait dengan Surah Al-Qadr adalah I'tikaf. Rasulullah SAW melakukan I'tikaf secara rutin di sepuluh malam terakhir Ramadan. Tujuan utama I'tikaf adalah melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi dan sepenuhnya mengisolasi diri untuk beribadah, memaksimalkan peluang meraih Laylatul Qadr. I'tikaf adalah respons praktis terhadap perintah untuk mencari malam yang lebih baik dari seribu bulan tersebut.
Menghidupkan Laylatul Qadr berarti mengisi malam tersebut dengan berbagai bentuk ibadah: salat, zikir, membaca Al-Qur'an, dan merenung (Tafakkur). Kualitas harus diutamakan daripada kuantitas. Salat malam harus dilakukan dengan khusyu' (fokus) dan tadabbur (perenungan makna).
Karena doa yang paling dianjurkan adalah memohon pemaafan (Al-'Afu), seorang mukmin harus memastikan bahwa ia juga memaafkan orang lain sebelum malam itu tiba. Bagaimana mungkin kita mengharapkan pemaafan total dari Allah sementara hati kita masih menyimpan dendam terhadap sesama manusia? Pemaafan horizontal (antar sesama) adalah prasyarat untuk menerima pemaafan vertikal (dari Allah SWT).
Para ulama juga mengajarkan bahwa amal saleh, termasuk sedekah, pada malam ini akan dilipatgandakan nilainya. Oleh karena itu, banyak umat Islam meningkatkan sedekah mereka di sepuluh malam terakhir Ramadan. Sedekah pada Laylatul Qadr merupakan investasi pahala yang akan menghasilkan buah keselamatan di akhirat.
Surah Al-Qadr, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, membawa janji terbesar dari Allah SWT kepada umat Muhammad SAW. Ia adalah bukti kasih sayang Ilahi yang tak terbatas, memberikan kesempatan kepada umat yang berumur pendek untuk mencapai prestasi spiritual yang melampaui batas waktu. Memahami surah ini bukan hanya masalah menghafal terjemahan, tetapi menginternalisasi panggilan untuk mencari keagungan, keselamatan, dan penetapan takdir baik pada malam yang penuh berkah tersebut.
Surah Al-Qadr berdiri sebagai mercusuar spiritual yang menerangi akhir perjalanan Ramadan. Kehadirannya dalam Al-Qur'an adalah pengingat abadi bahwa Allah SWT menghargai kualitas ketulusan lebih dari sekadar kuantitas waktu. Lima ayat ini mendefinisikan Laylatul Qadr sebagai malam yang unik, di mana langit terbuka, malaikat memenuhi bumi, dan setiap amal kebaikan dilipatgandakan dalam skala yang melampaui perhitungan manusiawi.
Dalam pencarian Laylatul Qadr, seorang mukmin tidak hanya mencari pahala, tetapi mencari transformasi total—pembersihan dosa (Al-'Afu), penentuan takdir yang lebih baik, dan kedamaian (Salam) yang menjangkau hingga fajar. Keagungan surah ini memastikan bahwa setiap Ramadan akan selalu menjadi musim perburuan spiritual yang paling intensif dan penuh harapan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Wallahu a'lam bish-shawab.