Surat At Tin, yang berarti "Buah Tin", merupakan salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang sarat makna mendalam. Surat ini dibuka dengan sumpah Allah SWT atas dua buah yang mulia, yaitu buah tin dan zaitun, yang memiliki nilai kesehatan dan filosofis tinggi dalam berbagai peradaban. Sumpah ini menjadi penanda akan pentingnya pesan yang akan disampaikan dalam surat ini. Setelah itu, Allah SWT bersumpah pula atas Gunung Sinai dan negeri Mekah yang aman. Puncak dari sumpah-sumpah ini adalah firman Allah dalam ayat kelima yang berbunyi:
Ayat kelima ini seringkali menimbulkan pertanyaan dan menjadi fokus utama dalam kajian makna surat At Tin. Untuk memahami arti dari Surat At Tin ayat ke 5, kita perlu melihat konteks ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya, serta tafsir dari para ulama. Secara harfiah, ayat ini menyampaikan gagasan tentang pengembalian manusia ke derajat yang paling rendah.
Dalam tafsirnya, para ulama memiliki beberapa pandangan mengenai maksud dari "tempat yang serendah-rendahnya" (asfala saafiliin) yang disebutkan dalam ayat kelima ini. Namun, mayoritas tafsir mengerucut pada dua makna utama, yang keduanya saling melengkapi dan memberikan gambaran komprehensif tentang potensi manusia:
Makna pertama yang sering diungkapkan adalah bahwa "tempat yang serendah-rendahnya" merujuk pada kondisi fisik manusia yang melemah seiring bertambahnya usia. Ketika manusia mencapai usia senja, kekuatan fisik dan mentalnya berkurang drastis. Ia menjadi sangat membutuhkan bantuan orang lain, bahkan untuk urusan-urusan yang paling mendasar. Kondisi ini adalah wujud nyata dari kerentanan manusia dan ketidakberdayaannya di akhir hayatnya, yang merupakan titik terendah secara fisik dan fungsional.
Lebih jauh lagi, makna ini juga mencakup proses kematian itu sendiri. Kematian adalah akhir dari kehidupan duniawi, di mana jasad manusia kembali menjadi tanah. Dalam konteks ini, "tempat yang serendah-rendahnya" adalah kembali ke asal mula unsur fisik, yaitu kembali ke bumi, dalam keadaan yang tak berdaya dan telah berakhir segala urusan duniawinya. Ini adalah sebuah pengingat akan fana (ketidakabadian) kehidupan dunia dan segala kekuatan yang dimiliki manusia.
Makna kedua, yang juga sangat ditekankan dalam tafsir klasik maupun kontemporer, adalah penurunan derajat manusia di sisi Allah SWT akibat kekufuran, kedurhakaan, dan perbuatan maksiat. Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dengan potensi akal budi dan kemampuan untuk beribadah serta menjadi khalifah di bumi. Namun, ketika manusia menyalahgunakan anugerah ini dengan mengingkari Allah, melakukan kejahatan, dan berpaling dari jalan kebenaran, maka derajatnya akan jatuh serendah-rendahnya.
Penurunan derajat di sini bersifat spiritual dan moral. Manusia yang dulunya diciptakan dalam kesempurnaan, dapat jatuh lebih hina daripada binatang, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an. Inilah derajat yang paling memalukan dan merugikan, karena akan berujung pada kesengsaraan abadi di akhirat jika tidak segera bertaubat. Potensi kejatuhan ini adalah realitas yang harus disadari oleh setiap insan.
Penting untuk memahami bahwa ayat kelima ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kelanjutan dari pernyataan Allah SWT pada ayat keempat yang berbunyi: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." Penciptaan manusia dalam bentuk yang paling sempurna ini menjadi titik tolak untuk memahami potensi manusia, baik untuk mencapai ketinggian derajat maupun kejatuhan yang paling rendah.
Setelah menyatakan penciptaan manusia dalam sebaik-baik bentuk, kemudian Allah menyatakan dua kemungkinan nasib manusia: menjadi hina karena kekufuran dan maksiat (ayat 5), atau mendapatkan pahala yang tiada putus-putusnya karena keimanan dan amal saleh (ayat 6-8). Pernyataan tentang "tempat yang serendah-rendahnya" ini adalah sebuah peringatan keras agar manusia tidak menyalahgunakan potensi mulia yang telah dianugerahkan kepadanya. Dengan menyadari potensi kejatuhan ini, manusia diharapkan senantiasa waspada dan berusaha menjaga diri agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah.
Arti dari Surat At Tin ayat ke 5 memberikan beberapa pelajaran penting bagi umat Islam. Pertama, ayat ini mengingatkan kita akan kerentanan dan keterbatasan fisik manusia. Penting untuk tidak sombong dengan kekuatan dan kesehatan yang dimiliki, karena semuanya bersifat sementara dan bisa dicabut kapan saja. Kedua, dan yang lebih krusial, ayat ini adalah peringatan yang tegas mengenai konsekuensi dari pilihan hidup kita. Ketaatan kepada Allah akan mengangkat derajat kita, sementara kedurhakaan akan menjerumuskan kita ke jurang kehinaan.
Ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya merenungkan asal usul penciptaan kita. Kita diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, namun juga memiliki potensi untuk jatuh ke derajat yang paling hina. Kesadaran ini seharusnya memotivasi kita untuk senantiasa berjuang di jalan kebaikan, berlomba-lomba dalam beramal saleh, dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Dengan demikian, kita dapat meraih derajat tertinggi di sisi Allah SWT, bukan justru terjerumus ke dalam kehinaan yang diisyaratkan dalam ayat kelima Surat At Tin.