Mukadimah: Kedudukan Ayat Keempat dalam Intisari Shalat
Surat Al-Fatihah, yang dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab) atau As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang), merupakan fondasi utama ibadah shalat dan pemahaman akidah Islam. Setiap ayatnya mengandung lautan makna dan prinsip-prinsip ketuhanan yang mendasar. Setelah mengikrarkan pujian mutlak kepada Allah sebagai Rabbul 'Alamin (Tuhan Semesta Alam) dan mengakui sifat-Nya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (Ar-Rahmanir Rahim), sampailah kita pada ayat keempat yang menjadi jembatan krusial antara pengakuan sifat Ilahiyah di dunia (Rahmah) dengan kedaulatan-Nya di akhirat (Qudrah).
Ayat keempat ini berbunyi:
Terjemahan harfiah yang paling umum diterima adalah: "Raja (atau Pemilik) Hari Pembalasan (atau Hari Penghisaban)." Ayat ini, meskipun ringkas, berfungsi sebagai peringatan keras sekaligus harapan agung bagi setiap hamba. Ia menempatkan hakikat kekuasaan Allah pada dimensi waktu yang paling definitif dan mutlak: Hari Kiamat. Kajian terhadap makna, konteks, dan implikasi teologis dari *Māliki Yawmid-Dīn* memerlukan pembedahan linguistik yang mendalam atas setiap komponen katanya.
Pembedahan Linguistik Kata Kunci Ayat 4
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, kita harus mengupas tiga kata utama dalam ayat ini: *Māliki*, *Yawm*, dan *Ad-Dīn*. Masing-masing memiliki cakupan makna yang luas dalam tradisi bahasa Arab klasik dan tafsir Al-Qur'an.
1. Analisis Kata Pertama: Māliki (Pemilik) dan Malik (Raja)
Terdapat dua qira'at (cara baca) utama mengenai kata ini, keduanya diterima dan sahih, dan keduanya menambah kekayaan makna yang luar biasa pada ayat ini:
- Māliki (dengan alif panjang): Ini berarti 'Pemilik' atau 'Pewaris' (*Owner*). Qira'at ini dibaca oleh mayoritas qari, termasuk Imam Ashim.
- Maliki (dengan alif pendek): Ini berarti 'Raja' atau 'Penguasa' (*King*). Qira'at ini dibaca oleh sebagian besar ulama Madinah dan Syam, seperti Imam Nafi’ dan Ibn Katsir.
Makna Teologis Māliki (Pemilik)
Ketika dibaca *Māliki*, penekanan ada pada kepemilikan mutlak. Di Hari Kiamat, kepemilikan manusia atas harta, jabatan, atau kekuasaan duniawi akan lenyap total. Hanya Allah semata yang memiliki segala sesuatu, termasuk waktu itu sendiri dan semua peristiwa yang terjadi di dalamnya. Kepemilikan ini menyiratkan bahwa Dia tidak hanya menguasai, tetapi Dia yang memulai dan mengakhiri segala hal tanpa ada campur tangan dari siapapun. Kepemilikan ini bersifat dzatiyah (esensial) dan abadi. Di dunia, manusia dapat mengklaim kepemilikan sementara; namun, di Hari Pembalasan, kepemilikan itu hanya tunggal, menghapus ilusi kedaulatan selain Allah.
Makna Teologis Malik (Raja)
Ketika dibaca *Maliki*, penekanan adalah pada kekuasaan dan kedaulatan. Seorang raja adalah dia yang memiliki otoritas untuk memerintah, menetapkan hukum, dan melaksanakan hukuman. Di Hari Kiamat, kekuasaan Allah akan tampak jelas dan telanjang. Tidak ada 'raja' atau 'penguasa' lain yang dapat memberikan syafaat (pertolongan) tanpa izin-Nya, atau menolak keputusan-Nya. Kedaulatan-Nya bukan sekadar legalistik, tetapi bersifat absolut dan eksekusional. Ini menunjukkan bahwa Dialah Hakim Agung yang keputusannya tidak dapat diganggu gugat.
Harmoni Kedua Qira'at
Ulama tafsir, seperti Imam Al-Qurtubi dan Imam Ar-Razi, sering berpendapat bahwa kedua makna ini saling melengkapi. Ketika Allah disebut Raja (*Malik*), Dia mengisyaratkan otoritas-Nya. Ketika Dia disebut Pemilik (*Mālik*), Dia mengisyaratkan kepemilikan-Nya atas substansi dan esensi. Di Hari Kiamat, Dia adalah Raja yang memiliki, dan Pemilik yang memerintah. Kombinasi ini menegaskan bahwa tidak ada entitas lain, malaikat, nabi, atau manusia suci, yang berbagi kekuasaan atau kepemilikan sejati pada hari itu.
2. Analisis Kata Kedua: Yawm (Hari)
Kata *Yawm* berarti 'Hari' atau periode waktu. Namun, ketika digunakan dalam konteks Al-Qur'an, terutama yang merujuk pada akhir zaman, ia merujuk pada waktu yang bersifat definitif dan transenden. *Yawm Ad-Dīn* bukanlah sekadar periode 24 jam. Secara teologis, Hari Kiamat adalah sebuah masa yang panjang, penuh dengan peristiwa dahsyat, yang durasinya, menurut beberapa riwayat, bisa setara dengan 50.000 tahun bagi manusia di bumi.
Penyebutan "Hari" menonjolkan momen pengadilan, sebuah batas akhir. Ini adalah hari di mana tirai ilusi dunia dibuka, dan realitas sejati terungkap. Penggunaan kata *Yawm* memberikan dimensi spesifik; ia membedakan kedaulatan Allah di hari itu dari kedaulatan-Nya yang umum, Rabbul ‘Alamin. Meskipun Allah adalah Raja sepanjang masa, kekuasaan-Nya di Hari Pembalasan memiliki manifestasi yang unik dan tak tertandingi, di mana segala bentuk campur tangan telah terhenti dan hanya keadilan-Nya yang berlaku.
Penekanan pada *Yawm* memberikan pelajaran bagi manusia di dunia: semua kekuasaan duniawi memiliki batas waktu, tetapi kekuasaan Allah di Hari itu adalah permulaan dari keabadian yang tidak berbatas. Segala hiruk pikuk politik, ekonomi, dan sosial di dunia adalah sementara, menunggu keputusan di Hari yang definitif ini.
3. Analisis Kata Ketiga: Ad-Dīn (Pembalasan/Penghisaban)
Kata *Ad-Dīn* adalah salah satu kata yang paling kaya makna dalam bahasa Arab dan memiliki empat arti dasar yang saling terkait, yang semuanya relevan dalam konteks ayat ini:
- Recompense/Pembalasan (Jazaa'): Ini adalah makna yang paling umum. Hari Pembalasan adalah hari di mana setiap jiwa dibalas sesuai dengan amal perbuatannya, baik atau buruk.
- Accountability/Penghisaban (Hisab): Hari di mana catatan amal dibuka dan dihitung secara rinci, tanpa ada yang terlewatkan.
- Religion/Kepatuhan (Millah/Thaa’ah): Kata *Ad-Dīn* juga berarti agama atau cara hidup yang dianut. Dalam konteks ini, Hari Pembalasan adalah hari di mana konsekuensi dari pilihan agama dan kepatuhan seseorang di dunia akan diwujudkan.
- Kekuasaan/Otoritas (Sulthan): Dalam beberapa penggunaan linguistik klasik, *Ad-Dīn* dapat merujuk pada otoritas yang mengatur. Oleh karena itu, *Māliki Yawmid-Dīn* berarti Pemilik Otoritas Tertinggi di Hari itu.
Makna inti yang dipilih oleh para mufassir adalah 'Pembalasan' atau 'Penghukuman'. Ketika digabungkan, *Māliki Yawmid-Dīn* berarti Allah adalah Raja Mutlak di Hari di mana Keadilan Mutlak ditegakkan. Ayat ini mengintegrasikan antara kepemilikan yang bersifat fisik (Mālik/Malik) dengan kepemilikan yang bersifat moral dan spiritual (Ad-Dīn). Tidak ada yang dapat menghindar dari hasil perhitungan amal yang dilakukan oleh Sang Pemilik dan Raja Hari Pembalasan itu.
Kontinuitas Makna: Hubungan Ayat 4 dengan Ayat Sebelumnya
Al-Fatihah memiliki alur logis yang luar biasa. Ayat 4 tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan puncak dari pengakuan yang dimulai dari Ayat 1 hingga Ayat 3. Urutan ini sangat penting untuk dipahami secara teologis:
Dari Rahmat ke Kekuasaan
Ayat 1 mengakui Allah sebagai *Rabbul 'Alamin* (Pengatur, Pemelihara, dan Pendidik Semesta Alam). Ayat 2 dan 3 kemudian memperjelas sifat *Rabb* ini dengan menyebutkan *Ar-Rahmanir Rahim* (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Kasih sayang Allah ini melingkupi segala sesuatu, berlaku umum bagi mukmin maupun kafir di dunia.
Namun, jika Al-Fatihah berhenti pada *Ar-Rahmanir Rahim*, maka mungkin saja manusia akan jatuh pada kesalahpahaman bahwa kasih sayang Allah menghapuskan pertanggungjawaban. Di sinilah Ayat 4 masuk untuk menyeimbangkan. Segera setelah menyebutkan kasih sayang yang tak terbatas, Allah menegaskan, *Māliki Yawmid-Dīn*.
Penyebutan sifat Raja di Hari Pembalasan menunjukkan bahwa sifat Rahman dan Rahim yang diterapkan di dunia akan diuji dan ditegakkan di akhirat melalui keadilan. Keadilan ini merupakan manifestasi tertinggi dari rahmat-Nya—karena rahmat Allah mencakup keadilan yang sempurna bagi setiap makhluk-Nya.
Implikasi pada Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah
Ayat 4 memperkuat konsep Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam Kepengurusan) dan Tauhid Uluhiyah (Keesaan Allah dalam Peribadatan). Karena Dia adalah Raja Mutlak Hari Pembalasan, maka konsekuensinya adalah kita hanya boleh beribadah kepada-Nya (*Iyyaka na’budu*—Ayat 5). Jika Dia adalah satu-satunya yang memegang kekuasaan penuh di Hari Pembalasan, mengapa kita harus memohon kepada selain-Nya?
Ayat ini mengajarkan bahwa kekuasaan manusia di dunia—walaupun tampak hebat—hanyalah pinjaman sementara. Firaun, Nimrod, kaisar, dan presiden hanyalah raja-raja sementara. Kekuasaan mereka bersifat ilusi. Hanya Allah yang mempertahankan gelar Raja mutlak ketika semua kekuasaan lain telah runtuh dan bumi digulung.
Tafsir dan Penjelasan Ulama Klasik tentang Kedaulatan Akhirat
1. Fokus pada Kedaulatan Tunggal
Para ulama tafsir klasik menekankan bahwa keunikan kedaulatan Allah di Hari Pembalasan adalah hal yang membedakannya dari kedaulatan dunia. Di dunia, raja harus berbagi otoritas dengan menteri, jenderal, atau hukum yang berlaku. Di akhirat, segala bentuk perantara dan otoritas telah hilang, kecuali apa yang diizinkan oleh Allah.
Imam At-Thabari (w. 310 H) menjelaskan bahwa *Māliki Yawmid-Dīn* berfungsi sebagai penekanan bahwa di Hari itu, hanya Allah yang berhak memberikan keputusan, pahala, atau hukuman, tanpa adanya penentang atau penolong bagi siapapun. Kekuasaan itu menjadi begitu nyata sehingga setiap makhluk menyadari ketiadaan kekuasaan dirinya.
2. Peran Al-Adl (Keadilan)
Aspek utama dari *Yawmid-Dīn* adalah penegakan keadilan yang sempurna (*Al-Adl*). Ini adalah hari di mana orang yang tertindas akan menerima keadilan dari penindasnya, bahkan jika keadilan itu harus diambil dari amal kebaikan sang penindas. Allah disebut *Malik* (Raja) karena Dia adalah pembuat hukum, dan Dia disebut *Mālik* (Pemilik) karena Dia memiliki hak mutlak untuk melaksanakan hukum tersebut.
Hal ini memberikan kedalaman bagi konsep keimanan. Keimanan bukan hanya tentang menjalankan ritual, tetapi tentang percaya sepenuhnya bahwa di penghujung segala sesuatu, keadilan akan ditegakkan tanpa cela sedikit pun, tidak peduli seberapa rumit dan tidak adilnya situasi yang dialami di dunia fana ini. Kepercayaan pada *Māliki Yawmid-Dīn* memberikan kekuatan bagi jiwa yang terzalimi untuk bersabar, karena mereka tahu bahwa Pengadilan Tertinggi pasti akan tiba.
3. Peringatan dan Harapan
Ayat ini memiliki dua fungsi emosional yang berlawanan dan seimbang bagi hati seorang mukmin:
A. Peringatan (Khauf): Ketika seseorang menyadari bahwa ia akan diadili oleh Raja yang Mutlak, yang tidak dapat disuap, dipengaruhi, atau ditipu, timbullah rasa takut yang sehat. Rasa takut ini mendorong seseorang untuk berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan niat, memastikan bahwa mereka memenuhi standar keadilan Ilahi.
B. Harapan (Rajaa'): Bagi hamba yang taat dan berusaha keras, ayat ini adalah sumber harapan terbesar. Mereka tahu bahwa jika mereka dizalimi di dunia, ada Raja yang akan mengembalikan hak mereka sepenuhnya. Jika mereka melakukan kebaikan sekecil atom, Raja Hari Pembalasan akan menghitungnya dan membalasnya dengan berlipat ganda, tanpa ada kekhawatiran bahwa amal mereka akan dicuri atau dilupakan.
Elaborasi Konsep Ad-Dīn dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu menggali lebih dalam konsep *Ad-Dīn* sebagai landasan akuntabilitas. Apabila *Ad-Dīn* dimaknai sebagai 'hukum' atau 'cara hidup', maka Allah, sebagai Raja Hari Pembalasan, adalah penentu keabsahan dari semua hukum dan ideologi yang pernah muncul di muka bumi. Di Hari Kiamat, tidak ada filsafat humanis, undang-undang sekuler, atau sistem ekonomi buatan manusia yang akan diadili. Yang diadili adalah bagaimana manusia merespons dan menjalankan *Ad-Dīn* yang telah ditetapkan oleh Raja tersebut.
1. Ad-Dīn sebagai Ujian Kehidupan
Kehidupan di dunia ini hanyalah ladang ujian. *Yawmid-Dīn* adalah hari hasil panen dari ladang tersebut. Seseorang mungkin menikmati kekuasaan dan kekayaan yang besar di dunia melalui cara-cara yang zalim, tetapi kekuasaan tersebut tidak akan pernah melampaui batas hari itu. Sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an, di Hari Kiamat, Allah akan bertanya, "Milik siapakah kerajaan pada hari ini?" dan Dia sendiri yang menjawab, "Hanya milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan."
Pernyataan *Māliki Yawmid-Dīn* dalam shalat adalah pengakuan abadi bahwa meskipun kita hidup di tengah-tengah sistem dan otoritas duniawi, loyalitas utama dan ketakutan terbesar kita harus diarahkan kepada otoritas mutlak yang akan menentukan nasib abadi kita. Ini menanamkan konsep *Ihsan* (merasa diawasi Allah) dalam setiap tindakan kita, karena kita tahu bahwa Yang Maha Melihat adalah juga Yang Maha Menghitung.
2. Pembalasan dalam Dimensi Kualitas, Bukan Kuantitas
*Ad-Dīn* tidak hanya tentang kuantitas amal, tetapi juga kualitas dan niatnya. Raja Hari Pembalasan adalah Yang Maha Tahu akan niat yang tersembunyi di balik setiap perbuatan. Seseorang mungkin melakukan ibadah dalam jumlah banyak, tetapi jika niatnya adalah riya' (pamer) atau mencari pengakuan manusia, maka Raja Hari Pembalasan akan mengungkap niat tersebut. Di sisi lain, seseorang yang beramal sedikit dengan keikhlasan murni dapat menemukan amalnya diterima dan dilipatgandakan.
Ini adalah prinsip keadilan tertinggi: penilaian tidak didasarkan pada tampilan luar, tetapi pada hakikat batin yang hanya diketahui oleh Allah. Kekuasaan Allah sebagai Raja Hari Pembalasan adalah satu-satunya jaminan bahwa keadilan metafisik dan spiritual akan sepenuhnya terpenuhi, melampaui keterbatasan pengadilan manusiawi.
3. Perbedaan Kedaulatan Dunia dan Akhirat
Kedaulatan duniawi, bahkan yang paling stabil, selalu rentan terhadap perubahan, pemberontakan, atau kematian. Seorang raja hari ini bisa jadi tahanan besok. Kepemilikan materi hari ini bisa hilang dalam semalam. Ayat 4 menghancurkan semua ilusi kedaulatan sementara ini. Di Hari Pembalasan, konsep kedaulatan menjadi tunggal dan tak terpisahkan. Tidak ada negosiasi, tidak ada lobi, dan tidak ada pengadilan banding.
Konsep ini sangat penting bagi kaum Muslim untuk memelihara perspektif hidup yang benar. Ia mengajarkan *zuhud* (tidak terlalu terikat pada dunia) bukan dalam arti meninggalkan dunia, tetapi dalam arti mengetahui nilai sejati dari segala sesuatu. Jika kita tahu bahwa semua kekuasaan akan dikembalikan kepada Pemiliknya di Hari Pembalasan, maka kita akan fokus pada investasi yang bertahan melampaui hari tersebut: amal saleh dan keikhlasan.
Pengaruh Psikologis dan Spiritual Ayat 4
1. Motivasi Diri dan Kontrol Diri
Keimanan yang teguh terhadap *Māliki Yawmid-Dīn* bertindak sebagai mekanisme kontrol diri yang paling efektif. Ketika seseorang menghadapi godaan untuk berbuat curang, berbohong, atau menyakiti orang lain, ingatan tentang Raja Hari Pembalasan menjadi penghalang spiritual. Jika seseorang yakin bahwa perbuatannya, meskipun tersembunyi dari mata manusia, akan dihisab oleh Penguasa yang Mutlak, ia akan memilih untuk meninggalkan kemaksiatan. Ini adalah internalisasi syariat yang paling dalam.
2. Mengatasi Ketidakadilan Dunia
Banyak penderitaan manusia di dunia ini berasal dari rasa ketidakadilan yang mendalam. Kemiskinan, penindasan politik, dan kejahatan yang tidak dihukum seringkali membuat manusia putus asa terhadap makna hidup. *Māliki Yawmid-Dīn* berfungsi sebagai penawar keputusasaan tersebut. Ia menjamin bahwa ketidakadilan di dunia ini memiliki tanggal kadaluwarsa. Di Hari Pembalasan, hak-hak akan dikembalikan dan keadilan akan sempurna.
Keyakinan ini menghasilkan ketenangan batin (*thuma'ninah*). Seorang mukmin yang menghadapi kesulitan dapat bersabar karena ia tahu bahwa Raja Alam Semesta sedang melihat, dan Dia akan menetapkan harga yang adil untuk kesabaran dan penderitaan itu. Pahalanya adalah kekal, sementara kesulitan di dunia adalah fana.
3. Menghormati Hukum Ilahi
Ketika *Ad-Dīn* dipahami sebagai hukum atau cara hidup yang benar, pengakuan bahwa Allah adalah Raja Hari Pembalasan menuntut penghormatan total terhadap syariat-Nya. Jika seseorang menolak hukum Allah di dunia, ia akan menghadapi konsekuensinya di Hari Kiamat di hadapan Raja tersebut. Ini menekankan pentingnya studi, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam sebagai satu-satunya sistem yang dijamin validasi akhirnya oleh Sang Raja.
Pengakuan ini adalah pengingat bahwa tujuan hidup bukanlah kesenangan duniawi semata, tetapi adalah persiapan untuk bertemu dengan Raja yang akan membalas setiap perbuatan. Oleh karena itu, prioritas hidup seorang mukmin harus selalu diarahkan pada hal-hal yang akan meningkatkan posisinya di hadapan Pengadilan Tertinggi tersebut.
Kedalaman Tauhid dalam Pengakuan Malikiyyah
Konsep *Māliki Yawmid-Dīn* adalah salah satu pilar utama Tauhid Asma wa Sifat (Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya). Allah tidak hanya memiliki nama Al-Malik (Raja) dan Al-Malik (Pemilik), tetapi Dia juga menegaskan bahwa kekuasaan-Nya mencapai puncaknya di Hari Pembalasan.
Sifat Al-Mālik dan Al-Malik
Para ulama seperti Imam Al-Ghazali menjelaskan perbedaan antara kedua sifat ini dalam konteks Asmaul Husna. Meskipun keduanya merujuk pada kekuasaan, *Al-Malik* (Raja) mengacu pada Sifat yang mengatur dan memerintah, sedangkan *Al-Mālik* (Pemilik) mengacu pada Sifat yang memiliki, tanpa adanya pemegang saham atau sekutu dalam kepemilikan tersebut.
Di Hari Kiamat, Sifat-sifat ini terwujud dalam bentuk yang paling murni dan sempurna. Semua makhluk, termasuk para malaikat, akan berdiri dengan kepala tertunduk, menunggu keputusan dari Pemilik dan Raja mereka. Pada saat itu, tidak ada satu pun makhluk yang dapat mengklaim keagungan, kekuasaan, atau kepemilikan sekecil apa pun.
Implikasi pada Doa dan Permintaan
Ayat keempat ini adalah landasan spiritual bagi ayat kelima: *Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in* (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan). Mengapa kita hanya menyembah dan memohon kepada Allah? Jawabannya telah diberikan dalam empat ayat pertama, dan puncaknya adalah Ayat 4.
Kita menyembah-Nya karena Dia adalah Tuhan Semesta Alam (Rabbul 'Alamin). Kita mencintai dan berharap pada-Nya karena Dia adalah Maha Pengasih dan Penyayang (Ar-Rahmanir Rahim). Dan yang paling penting, kita tunduk dan takut hanya kepada-Nya karena Dia adalah Raja Mutlak di Hari di mana nasib abadi kita ditentukan (Māliki Yawmid-Dīn).
Pengetahuan ini harus mengubah cara kita berdoa. Ketika kita memohon ampunan, kita memohon kepada Raja yang memiliki otoritas penuh untuk membatalkan hukuman di Hari Pembalasan. Ketika kita memohon rezeki, kita memohon kepada Raja yang kepemilikan-Nya tidak terbatas. Ini menjadikan doa bukan sekadar rutinitas, tetapi komunikasi langsung dengan Otoritas Tertinggi.
Ketundukan Absolut
Konsep ketundukan absolut, atau *‘Ubudiyah*, mencapai definisinya yang paling jelas melalui ayat ini. Jika Allah hanyalah Rabbul 'Alamin, kita mungkin masih berprasangka bahwa ada entitas lain yang berbagi kekuasaan. Jika Dia hanyalah Ar-Rahman, kita mungkin merasa terlalu aman. Tetapi ketika Dia adalah *Māliki Yawmid-Dīn*, pengakuan ini menuntut ketundukan total, sebuah penyerahan diri yang sempurna terhadap kehendak-Nya.
Pengakuan ini adalah pernyataan iman yang menyeluruh: kami mengakui kedaulatan-Mu di masa sekarang, dan kami mengakui kepemilikan-Mu di masa depan. Oleh karena itu, seluruh hidup kami adalah untuk mempersiapkan diri menghadapi Hari yang dikuasai penuh oleh-Mu.
Peran Ayat 4 dalam Membangun Karakter
Jika seorang mukmin menginternalisasi makna *Māliki Yawmid-Dīn*, karakternya akan terbentuk dengan ciri-ciri berikut:
- Kejujuran Mutlak: Karena ia tahu bahwa tidak ada kebohongan yang lolos di hadapan Raja Hari Pembalasan.
- Kerendahan Hati: Karena ia tahu bahwa semua kekuasaan dan harta yang ia miliki hanyalah pinjaman sementara yang akan dihisab.
- Ketegasan Moral: Karena ia tahu bahwa ia harus memilih antara hukum Raja dunia (yang fana) dan hukum Raja Akhirat (yang abadi).
- Kesabaran Total: Karena ia tahu bahwa kesulitan di dunia adalah sementara, dan pahala kesabaran di Hari Pembalasan adalah abadi dan tak terhingga.
Ayat ini adalah peta jalan moral yang mendesak umat manusia untuk hidup dengan kesadaran penuh akan konsekuensi abadi dari setiap pilihan yang dibuat saat ini. Keputusan untuk bertindak baik bukanlah pilihan yang mudah, tetapi janji Pembalasan yang adil dari Raja adalah motivasi yang tertinggi.
Māliki Yawmid-Dīn dan Hari Kiamat
Penjelasan mengenai ayat ini tidak akan lengkap tanpa merenungkan gambaran Hari Kiamat. Hari itu disebut dengan banyak nama dalam Al-Qur'an, seperti *Yaumul Fasl* (Hari Keputusan), *Yaumul Hasrah* (Hari Penyesalan), dan *Al-Qari’ah* (Yang Mengguncang). Semua nama ini menekankan bahwa hari tersebut adalah hari manifestasi kekuasaan Allah yang tak tertandingi.
Kekuasaan Allah pada hari itu meliputi kemampuan-Nya untuk menghidupkan kembali yang telah mati, mengumpulkan semua makhluk dari Adam hingga manusia terakhir, dan menimbang perbuatan mereka dengan timbangan yang sempurna (*Al-Mizan*). Hanya Raja Hari Pembalasan yang memiliki kuasa untuk memerintahkan Jembatan Shirat, membuka pintu Surga, dan menutup pintu Neraka.
Oleh karena itu, ketika seorang hamba membaca *Māliki Yawmid-Dīn* dalam shalatnya, ia seharusnya tidak hanya mengucapkan kata-kata, tetapi membayangkan seluruh skenario Hari Kiamat, berdiri di hadapan Sang Raja, dan merasakan getaran antara ketakutan akan hisab yang adil dan harapan akan ampunan dari Dzat yang Maha Pengasih.
Revolusi Konsep Kekuasaan
Ayat 4 menawarkan revolusi konseptual mengenai kekuasaan. Di dunia, kekuasaan sering diasosiasikan dengan korupsi, kesewenang-wenangan, dan ego. Namun, Allah adalah Raja yang sempurna. Kekuasaan-Nya di Hari Pembalasan ditegakkan oleh keadilan (*Al-Adl*) dan kebijaksanaan (*Al-Hakim*). Dia tidak memerlukan saran atau bantuan, dan keputusan-Nya didasarkan pada pengetahuan absolut. Ini memberikan jaminan bahwa kekuasaan absolut tidak akan pernah mengarah pada tirani, karena Raja tersebut adalah Dzat yang Maha Baik.
Pemahaman ini sangat penting bagi para penguasa di bumi. Jika mereka menyadari bahwa mereka hanyalah pelayan sementara yang akan mempertanggungjawabkan setiap jengkal kekuasaan mereka di hadapan Raja Mutlak, mereka akan memimpin dengan keadilan dan ketakwaan. Jika mereka lalai, ancaman *Māliki Yawmid-Dīn* akan menanti mereka dengan pasti.
Secara keseluruhan, *Māliki Yawmid-Dīn* adalah inti dari akidah yang mengajarkan bahwa kehidupan ini adalah sebuah perjalanan menuju Pengadilan Abadi. Ia adalah pengakuan akan kedaulatan, keadilan, dan kepemilikan mutlak Allah, yang mengatur dimensi spiritual dan material keberadaan kita.