Ashabul Kahfi artinya secara harfiah adalah ‘Para Penghuni Gua’ atau ‘Pemuda Gua’. Kisah luar biasa ini merupakan salah satu narasi paling mendalam dan menakjubkan yang diabadikan dalam kitab suci Al-Qur’an, khususnya dalam Surah Al-Kahf (Gua), yang merupakan surah ke-18.
Kisah Ashabul Kahfi menceritakan sekelompok pemuda beriman yang hidup di tengah masyarakat pagan atau musyrik yang dipimpin oleh seorang raja yang zalim. Demi mempertahankan tauhid (keesaan Allah) dan menghindari pemaksaan untuk meninggalkan keyakinan mereka, mereka melarikan diri dan berlindung di dalam sebuah gua. Di sanalah, dengan kuasa ilahi, mereka ditidurkan selama lebih dari tiga abad, hanya untuk dibangunkan kembali ke dunia yang telah berubah total.
Pentingnya kisah ini tidak hanya terletak pada keajaibannya, tetapi juga pada pelajaran fundamental yang diberikannya mengenai keteguhan iman, penolakan terhadap tirani, dan konsep kekuasaan mutlak Allah (Qudratullah) atas waktu, kehidupan, dan kematian. Surah Al-Kahf, yang membahas kisah ini secara detail, sering dibaca pada hari Jumat oleh umat Islam, karena surah ini berfungsi sebagai panduan dan perlindungan dari berbagai fitnah (ujian) besar dunia, termasuk fitnah harta, ilmu, kekuasaan, dan yang paling besar, fitnah Dajjal.
Menurut sebagian besar riwayat tafsir, peristiwa ini terjadi di masa kekaisaran Romawi, khususnya pada masa pemerintahan Kaisar Decius (sekitar abad ketiga Masehi), seorang penguasa yang dikenal kejam dan sangat menentang penyebaran monoteisme (Kristen awal). Pemuda-pemuda ini, yang jumlahnya menjadi subjek perdebatan teologis, menolak menyembah berhala dan bersikeras memegang teguh keyakinan mereka pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam beberapa riwayat, nama-nama mereka disebutkan, meskipun Al-Qur’an tidak secara eksplisit membenarkan nama-nama tersebut. Nama-nama yang sering disebut dalam literatur Islam adalah: Maximillianus, Iamblichus, Martinus, Dionisius, Joannes, Exacostodianus, dan Antoninus—nama-nama yang menunjukkan konteks budaya Romawi.
Surah Al-Kahf dimulai dengan pujian kepada Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan kemudian membahas empat kisah utama yang saling terkait, semuanya berfungsi sebagai ujian atau peringatan terhadap godaan dunia. Kisah Ashabul Kahfi adalah yang pertama, mewakili ujian terhadap keyakinan dan agama (Fitnah ad-Din). Pelarian mereka adalah simbol penolakan total terhadap masyarakat yang menindas kebenaran, sebuah tindakan hijrah spiritual dan fisik yang menjadi model bagi setiap mukmin yang menghadapi krisis iman.
Al-Qur’an menyajikan kisah Ashabul Kahfi dengan detail yang memberikan penekanan pada mukjizat dan hikmah, bukan hanya kronologi sejarah. Ayat 9 hingga 26 dari Surah Al-Kahf adalah inti dari narasi ini. Allah SWT berfirman mengenai kisah ini sebagai salah satu dari ‘Ayat-ayat Kami yang menakjubkan’.
Pemuda-pemuda ini, setelah menyadari bahwa mereka tidak dapat lagi hidup secara damai di tengah masyarakat yang memaksa kemusyrikan, berdiskusi dan mengambil keputusan berani. Mereka saling menguatkan, menyatakan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan langit dan bumi. Mereka menolak keras dewa-dewa palsu yang disembah oleh kaum mereka. Keputusan ini direkam dalam firman Allah:
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri, lalu mereka berkata, ‘Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; sekali-kali kami tidak menyeru tuhan selain Dia. Sesungguhnya jika demikian, kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.’” (QS. Al-Kahf: 13-14)
Teks tersebut menunjukkan kualitas utama para pemuda ini: keberanian moral (berdiri di hadapan raja zalim) dan kepastian iman. Mereka tidak hanya lari, tetapi pertama-tama menegakkan argumen teologis yang kuat sebelum mencari perlindungan fisik.
Setelah memutuskan untuk meninggalkan kota, mereka memohon rahmat Allah dan petunjuk. Mereka mencari tempat berlindung, dan Allah mengarahkan mereka ke gua. Dalam perjalanan menuju gua, mereka ditemani oleh seekor anjing, yang dalam tafsir dikenal dengan nama Qithmir. Kehadiran anjing ini adalah detail penting yang menyoroti bahwa bahkan makhluk yang dianggap ‘najis’ oleh beberapa tradisi pun bisa mendapatkan kemuliaan ilahi karena mengiringi orang-orang saleh.
Doa mereka sebelum memasuki gua adalah pelajaran penting: “Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS. Al-Kahf: 10). Mereka tidak meminta kemenangan militer atau kekayaan, melainkan rahmat dan petunjuk, menunjukkan bahwa tujuan utama mereka adalah keselamatan spiritual, bukan duniawi.
Begitu mereka berada di dalam gua, Allah menidurkan mereka dengan tidur yang sangat lelap. Ayat-ayat Al-Qur’an menggambarkan perlindungan fisik yang luar biasa di dalam gua tersebut:
Gambaran ini menekankan bahwa mereka tidak hanya tidur; mereka berada dalam keadaan yang dijaga secara aktif oleh Mukjizat Allah, memastikan kelangsungan hidup mereka tanpa makanan, minuman, atau perubahan posisi alami. Inilah demonstrasi mutlak dari Qudratullah (Kekuasaan Allah) yang melampaui hukum fisika dan biologi.
Al-Qur’an juga secara langsung membahas perdebatan di antara manusia—bahkan di zaman Nabi Muhammad—mengenai jumlah pemuda tersebut. Allah menyebutkan tiga pendapat yang berbeda, dan kemudian memberikan pandangan yang definitif:
“(Sebagian orang) mengatakan, ‘(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya.’ Dan (yang lain) mengatakan, ‘(Jumlah mereka) lima orang, yang keenam adalah anjingnya,’ sebagai terkaan terhadap yang gaib. Dan (yang lain lagi) mengatakan, ‘(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.’ Katakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka.’” (QS. Al-Kahf: 22)
Pesan utama dari ayat ini bukan untuk mengetahui angka pastinya, tetapi untuk mengajarkan bahwa rincian yang tidak penting dalam konteks keimanan adalah sesuatu yang harus diserahkan kepada Allah. Fokus harus tetap pada esensi kisah: keteguhan, perlindungan, dan kekuasaan ilahi. Meskipun demikian, sebagian besar ulama tafsir cenderung menguatkan pendapat ketujuh orang dengan anjingnya sebagai jumlah yang paling mendekati kebenaran, sebagaimana ditunjukkan oleh susunan kalimat dalam ayat tersebut.
Waktu adalah elemen sentral dalam kisah ini. Mereka ditidurkan selama: "Tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun." (QS. Al-Kahf: 25). Durasi 300 tahun mengacu pada tahun matahari (solar calendar), dan penambahan sembilan tahun mengacu pada perbedaan antara tahun matahari dan tahun bulan (lunar calendar). Totalnya adalah 309 tahun Hijriah. Lamanya waktu ini menunjukkan bahwa Allah ingin membangkitkan mereka ke masa di mana iman (monoteisme) telah kembali dominan, sehingga menjadi bukti hidup kebangkitan bagi kaum yang ragu.
Ketika mereka terbangun, mereka mengira hanya tertidur sebentar, mungkin sehari atau setengah hari. Ini adalah indikasi bagaimana waktu terasa bagi mereka, menunjukkan bahwa mereka benar-benar berada dalam kondisi tidur lelap yang melampaui kesadaran normal. Setelah merasa lapar, mereka memutuskan untuk mengirim salah satu dari mereka, biasanya disebut Yamlikha, untuk pergi ke kota dan membeli makanan yang halal, sambil tetap berhati-hati agar tidak dikenali.
Yamlikha membawa mata uang perak kuno yang mereka miliki saat melarikan diri. Ketika ia tiba di kota, ia melihat bangunan, pakaian, dan masyarakat yang sama sekali berbeda. Ia terkejut dengan perubahan zaman, tetapi yang lebih mencengangkan adalah ketika ia memberikan mata uangnya kepada penjual makanan. Penjual itu terkejut karena uang tersebut adalah peninggalan dari masa yang sangat lampau—masa Kaisar Decius, yang kini telah berlalu tiga abad.
Kisah ini menekankan Fitnah al-Mal (Ujian Harta) dalam konteks yang unik. Mata uang mereka, yang seharusnya menjadi alat transaksi, kini menjadi artefak sejarah. Ini menyadarkan mereka dan masyarakat bahwa nilai duniawi, seperti uang, bersifat fana dan hanya memiliki arti dalam konteks waktu tertentu. Kisah ini segera menyebar, dan masyarakat kota menyadari bahwa pemuda yang berdiri di hadapan mereka adalah Ashabul Kahfi yang kisahnya telah menjadi legenda.
Pada saat Ashabul Kahfi terbangun, penduduk kota sedang berselisih mengenai konsep hari kebangkitan (Hari Kiamat). Sebagian percaya pada kebangkitan fisik, sementara yang lain ragu. Kedatangan pemuda-pemuda ini pada momen yang tepat berfungsi sebagai bukti fisik dan nyata (Ayatullah) dari kekuasaan Allah untuk mematikan dan menghidupkan kembali makhluk-Nya, tidak peduli berapa lama waktu telah berlalu. Kisah mereka menyelesaikan perdebatan teologis yang sedang berlangsung di kota.
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri… Dan demikianlah (pula) Kami memperlihatkan (keadaan) mereka, agar mereka mengetahui, bahwa janji Allah adalah benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya.” (QS. Al-Kahf: 19, 21)
Setelah misi mereka selesai—yaitu menjadi bukti kebangkitan—para pemuda tersebut, atas izin Allah, meninggal kembali. Masyarakat yang menyaksikan mukjizat ini kemudian membangun sebuah masjid di sekitar gua mereka, sebagai pengakuan atas keimanan mereka dan sebagai tempat ibadah untuk mengenang pelajaran dari peristiwa tersebut.
Kisah Ashabul Kahfi adalah peta jalan spiritual. Tidak cukup hanya mengetahui ceritanya; setiap mukmin dituntut untuk menggali makna yang lebih dalam. Hikmah yang terkandung di dalamnya sangat luas, mencakup aspek tauhid, kesabaran, rezeki, dan manajemen krisis spiritual.
Pelajaran utama adalah pengutamaan keyakinan di atas segala kenyamanan duniawi. Para pemuda ini meninggalkan kekayaan, status sosial, dan keamanan kota demi menjaga iman mereka. Ini mengajarkan bahwa ketika iman diancam, seorang mukmin harus siap melakukan ‘hijrah’—meninggalkan lingkungan yang merusak spiritualitas, bahkan jika itu berarti isolasi total. Mereka memilih kesendirian yang disertai keimanan daripada kehidupan sosial yang penuh kemusyrikan.
Bagaimana mereka bisa bertahan tanpa makanan selama 309 tahun? Ini menunjukkan bahwa rezeki (pemberian) Allah tidak terbatas pada jalur fisik konvensional. Tidur lelap mereka mengurangi kebutuhan metabolisme hingga hampir nol, dan perlindungan fisik oleh Allah menjaga tubuh mereka. Mereka mengajarkan bahwa, ketika seseorang memilih Allah, Allah akan menjadi penjamin rezeki dan keselamatan mereka dengan cara yang tidak terduga.
Tidur selama tiga abad adalah penegasan bahwa waktu tunduk pada kehendak Allah. Bagi pemuda tersebut, waktu tidak berarti apa-apa. Bagi dunia di luar gua, waktu telah mengubah peradaban. Ini memberikan perspektif kepada manusia tentang betapa relatifnya konsep waktu. Allah menggunakan waktu yang panjang ini untuk menyampaikan dua pesan: Pertama, kekuasaan Allah mutlak, dan kedua, untuk mengingatkan manusia bahwa kehidupan dunia, meskipun terasa lama, hanyalah sekadar jeda singkat sebelum kebangkitan abadi.
Dalam narasi ini, terdapat teguran halus dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW mengenai kebiasaan memastikan masa depan tanpa menghubungkannya dengan kehendak Allah. Ayat 23 dan 24 dari Al-Kahf mengingatkan bahwa kita tidak boleh mengatakan, “Aku akan melakukan ini besok,” tanpa menambahkan “Insya Allah” (Jika Allah menghendaki). Kisah Ashabul Kahfi, yang menunggu 309 tahun, adalah contoh ekstrem tentang bagaimana rencana manusia dapat diinterupsi oleh kehendak Ilahi, menegaskan bahwa kita hanya bisa merencanakan, tetapi kepastian ada di tangan Allah.
Kisah Ashabul Kahfi adalah bagian integral dari struktur Surah Al-Kahf, yang secara keseluruhan memberikan empat tema perlindungan dari fitnah duniawi:
Pemuda-pemuda ini, melalui isolasi total, mengatasi ujian iman. Ini menunjukkan bahwa terkadang, untuk menjaga kebenaran, kita harus memisahkan diri dari arus utama yang merusak.
Meskipun esensi moral kisah ini jelas, para mufasir (ahli tafsir) telah lama mendiskusikan beberapa rincian yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan riwayat tambahan (Israiliyyat). Penting untuk memahami perbedaan antara esensi ajaran dan rincian yang bersifat tambahan.
Al-Qur’an tidak menyebutkan lokasi spesifik gua. Ini adalah disain ilahi agar fokus tidak beralih dari pelajaran menuju tempat wisata atau penyembahan. Namun, secara historis, banyak lokasi di sekitar Mediterania yang diklaim sebagai Gua Ashabul Kahfi (The Seven Sleepers):
Sebagian mufasir berpendapat bahwa upaya keras untuk mengidentifikasi lokasi geografis adalah sia-sia karena makna spiritual jauh lebih penting. Yang penting bukanlah di mana gua itu berada, melainkan apa yang terjadi di dalamnya.
Dalam ayat 9, Allah berfirman: “Apakah kamu mengira bahwa Ashabul Kahfi dan Ar-Raqim itu, termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” Ada perbedaan pandangan mengenai apa itu ‘Ar-Raqim’:
Interpretasi Prasasti (Tablet) memperkuat pesan bahwa Allah mengabadikan kisah keteguhan iman mereka, menjadikannya pelajaran abadi bagi manusia.
Tidur yang berlangsung 309 tahun secara alami harusnya mengakibatkan pembusukan total, namun mereka bangun dalam keadaan fisik yang sama. Tafsir menjelaskan bahwa tidur mereka bukanlah tidur biasa, melainkan keadaan yang menyerupai mati suri (coma) di mana fungsi biologis mereka nyaris berhenti, dan pemeliharaan jasad mereka sepenuhnya di bawah pengawasan ilahi (malaikat atau energi kosmik yang diizinkan Allah).
Konsep pembalikan tubuh mereka (membolak-balikkan ke kanan dan ke kiri) menunjukkan detail perlindungan yang melampaui ilmu kedokteran modern, yang menyadari bahaya tekanan darah statis pada tubuh yang terbaring lama.
Anjing Ashabul Kahfi, Qithmir, mendapatkan tempat unik dalam sejarah Islam. Keberadaannya mencontohkan bahwa niat baik dan kesalehan dapat menaikkan status makhluk apa pun. Qithmir, yang hanya menemani dan menjaga para pemuda ini, diabadikan dalam Al-Qur’an. Ini adalah argumen teologis kuat yang mendukung pentingnya persahabatan yang baik (lingkungan yang saleh) dan bahwa rahmat Allah dapat menyentuh setiap makhluk yang terhubung dengan kebenaran.
Para ulama juga menggunakan kisah Qithmir untuk membahas isu-isu fikih (hukum Islam) tentang kenajisan anjing, namun yang paling penting adalah pesan moral: anjing tersebut, meski tidak berakal, mencapai kehormatan karena cintanya kepada orang-orang yang mencintai Tuhan.
Meskipun terjadi berabad-abad yang lalu, kisah Ashabul Kahfi memiliki resonansi yang kuat dalam kehidupan modern. Ujian yang dihadapi para pemuda ini—tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan ancaman terhadap kebenaran—tetap relevan di tengah-tengah kompleksitas dunia global.
Di era informasi saat ini, ‘Gua’ tidak selalu berarti tempat fisik. Gua spiritual modern bisa jadi adalah tindakan untuk ‘memutuskan sambungan’ (disconnect) dari arus utama media sosial dan budaya yang menekan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sekuler atau materialistik. Pemuda-pemuda Kahfi mengajarkan pentingnya melakukan isolasi atau ‘rehat spiritual’ untuk memperkuat identitas diri dan keimanan, sebelum kembali ke masyarakat dengan fondasi yang lebih kuat.
Tekanan untuk mengkompromikan prinsip-prinsip demi popularitas atau penerimaan sosial adalah Fitnah ad-Din modern. Kisah mereka adalah seruan untuk berani menjadi minoritas yang benar daripada mayoritas yang keliru.
Di era di mana sains sering diadu dengan agama, kisah 309 tahun tidur berfungsi sebagai pengingat bahwa hukum alam adalah ciptaan, bukan pencipta. Kekuasaan Allah melampaui biologi, kimia, dan fisika. Bagi mereka yang skeptis terhadap Hari Kebangkitan (Hari Kiamat), Ashabul Kahfi adalah demonstrasi hidup bahwa Allah mampu menghentikan proses waktu dan mengembalikan kehidupan, betapapun mustahilnya menurut perhitungan manusia.
Peristiwa ini melawan materialisme radikal yang menolak segala sesuatu yang tidak dapat diukur secara empiris. Mereka membuktikan bahwa ada dimensi ‘gaib’ yang mengatur realitas fisik kita.
Salah satu alasan utama mengapa Nabi Muhammad SAW menganjurkan membaca Surah Al-Kahf setiap hari Jumat adalah karena surah ini menawarkan perlindungan dari Fitnah Al-Masih Ad-Dajjal (Antikristus). Dajjal akan menguji manusia melalui empat cara yang sama yang disimbolkan dalam surah ini: Fitnah agama, fitnah harta (kekayaan), fitnah ilmu (klaim mengetahui yang gaib), dan fitnah kekuasaan (kontrol total atas dunia).
Para pemuda gua, dengan menolak tirani Decius, pada dasarnya melakukan penolakan awal terhadap tirani Dajjal di akhir zaman. Isolasi mereka dari peradaban yang rusak adalah strategi kunci untuk menghadapi fitnah terbesar kemanusiaan: ilusi duniawi yang disajikan oleh Dajjal.
Momen di mana mata uang mereka menjadi kuno dan tidak bernilai mengajarkan etika konsumsi dan pandangan terhadap kekayaan. Mereka yang fokus pada kekayaan duniawi akan melihat aset mereka memudar seiring berjalannya waktu atau berubahnya sistem ekonomi. Kekayaan sejati adalah iman (Tauhid) yang tidak lekang dimakan waktu. Uang perak yang mereka bawa menjadi pengingat abadi tentang fana-nya harta benda dan pentingnya fokus pada bekal akhirat.
Kisah ini secara spesifik berfokus pada ‘pemuda’ (fityah). Dalam Islam, pemuda seringkali menjadi pembawa obor perubahan dan idealisme murni. Mereka memiliki keberanian untuk mengambil risiko besar demi keyakinan mereka, sesuatu yang mungkin sulit dilakukan oleh generasi yang lebih tua yang telah terikat pada struktur sosial dan ekonomi. Ashabul Kahfi adalah inspirasi bagi pemuda Muslim di seluruh dunia untuk tidak takut melawan arus dan berdiri tegak demi kebenaran, bahkan ketika mereka merasa sendirian.
Ashabul Kahfi artinya lebih dari sekadar cerita tidur panjang. Ini adalah narasi tentang keteguhan, kemuliaan iman yang teguh, dan bukti kekuasaan Allah yang tak terbatas. Dari kisah ini, umat manusia belajar bahwa ketika kita memilih kebenaran dan mencari perlindungan Allah, Dia akan memberikan solusi dan jalan keluar yang tidak pernah kita bayangkan. Kisah ini mengajarkan bahwa tantangan terbesar manusia bukanlah kekuatan fisik, tetapi bagaimana mempertahankan kebenaran di tengah tekanan sosial dan penyimpangan budaya.
Melalui kebangkitan mereka, Allah memberikan pelajaran dramatis mengenai Kebangkitan Akhir. Mereka adalah Ayatullah (Tanda-Tanda Allah) yang berjalan, menunjukkan kepada kita bahwa janji Allah tentang Hari Kiamat adalah pasti. Kesadaran akan fana-nya waktu dan mutlaknya kekuasaan Allah inilah yang menjadi inti ajaran Surah Al-Kahf.
Setiap detail—mulai dari posisi matahari yang melindungi mereka, pembalikan tubuh mereka, hingga kesetiaan anjing mereka—menyampaikan pesan bahwa perhatian Allah meliputi setiap aspek kehidupan para hamba-Nya yang saleh. Kisah Ashabul Kahfi adalah pilar teologis yang menegaskan bahwa iman adalah harta terbesar yang harus dijaga, bahkan jika harganya adalah meninggalkan seluruh dunia di belakang kita dan masuk ke dalam ‘gua’ perlindungan ilahi selama 309 tahun, atau bahkan lebih lama.
Warisan mereka tetap hidup: ketika dunia menjadi terlalu gelap, carilah gua spiritual Anda, berpegang teguh pada tauhid, dan nantikan rahmat serta petunjuk dari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Pembahasan mendalam mengenai kisah Ashabul Kahfi mencakup ribuan halaman tafsir, bukan sekadar ringkasan kronologis. Setiap ayat yang menceritakan perjalanan mereka menawarkan lapisan makna yang berkaitan dengan takdir (Qadr), pilihan bebas manusia, keajaiban (Mukjizat), dan hubungan intim antara hamba yang ikhlas dengan Penciptanya. Mereka bukan hanya legenda masa lalu; mereka adalah model hidup untuk menghadapi fitnah di setiap era.
Perenungan terhadap kisah ini membawa kita pada kesimpulan bahwa jika Allah mampu menidurkan dan menjaga tujuh (atau delapan) jiwa bersama anjing mereka selama lebih dari tiga abad tanpa kerusakan sedikit pun, maka Dia pasti mampu menciptakan, menghidupkan kembali, dan menghakimi seluruh umat manusia. Inilah makna terdalam dari Ashabul Kahfi: sebuah bukti abadi yang menolak keraguan tentang Hari Perhitungan.