Ayat Ketujuh Surat At-Tin: Sebuah Refleksi Mendalam tentang Hakikat Manusia

Perenungan
Simbolisme abstraksi manusia dalam pencarian makna ilahi.

Surat At-Tin, surat ke-95 dalam Al-Qur'an, dikenal karena pembukaannya yang penuh dengan sumpah kepada ciptaan-ciptaan Allah yang indah dan penuh hikmah. Sumpah ini mengawali penjelasan mengenai hakikat penciptaan manusia yang sempurna. Puncaknya, surat ini ditutup dengan sebuah ayat yang sarat makna dan sering menjadi bahan perenungan bagi kaum Muslimin.

"Lalu, bagaimana kamu (masih) mendustakan (hari) Pembalasan?"

Ayat ketujuh surat At-Tin ini, dalam bahasa Arab, berbunyi: "فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ" (Famaa yukazzibuka ba'du biddiin). Pertanyaan retoris ini menggugah kesadaran setiap individu yang mendengarnya. Setelah Allah SWT. menjelaskan tentang kesempurnaan penciptaan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya, serta memberikan anugerah akal dan fitrah untuk mengenal-Nya, maka pertanyaan ini seolah menantang: mengapa masih ada manusia yang mengingkari atau mendustakan adanya Hari Pembalasan?

Hakikat Penciptaan dan Akal Budi

Sebelum sampai pada ayat ketujuh, surat At-Tin diawali dengan sumpah Allah atas buah tin dan zaitun, atas Gunung Sinai, dan atas negeri Makkah yang aman. Sumpah ini menunjukkan betapa pentingnya elemen-elemen tersebut dalam kehidupan dan sejarah manusia. Setelah itu, Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin: 4). Frasa "ahsani taqwim" ini menegaskan keistimewaan penciptaan manusia. Manusia dianugerahi akal budi, kemampuan berpikir, memilih, dan membedakan antara yang baik dan buruk. Dengan akal inilah manusia seharusnya mampu memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dan kebenaran ajaran-Nya.

Selanjutnya, Allah juga menyatakan, "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." (QS. At-Tin: 5). Ayat ini sering ditafsirkan sebagai kondisi manusia yang bisa jatuh ke derajat terendah apabila ia menyalahgunakan akalnya, kufur nikmat, dan berpaling dari jalan kebenaran. Sebaliknya, jika ia menggunakan anugerah akalnya untuk beriman dan beramal shaleh, maka ia akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda.

Pertanyaan Tantangan: Mengapa Mendustakan Pembalasan?

Setelah menguraikan kesempurnaan penciptaan dan potensi manusia untuk meraih derajat tertinggi atau terendah, surat At-Tin kemudian sampai pada ayat yang menjadi inti perbincangan kita. Pertanyaan "Famaa yukazzibuka ba'du biddiin?" adalah sebuah pertanyaan yang sangat tajam dan bersifat menggugah. Ia menuntut introspeksi diri.

"Jika engkau telah diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, dianugerahi akal untuk mengenal kebaikan dan keburukan, dan memiliki potensi untuk menjadi makhluk yang mulia, lalu apa lagi alasanmu untuk mengingkari adanya hari di mana setiap amal perbuatan akan diperhitungkan dan dibalas? Bukankah secara logika, setiap perbuatan pasti memiliki konsekuensi?"

Bagi orang yang berakal sehat, pengingkaran terhadap Hari Pembalasan adalah suatu hal yang tidak logis. Alam semesta ini berjalan dengan hukum sebab-akibat. Jika kita menanam padi, kita akan memanen padi. Jika kita berbuat baik, kita mengharapkan kebaikan. Logika yang sama seharusnya berlaku pula dalam dimensi spiritual. Kehidupan dunia yang sementara ini adalah ladang amal, dan akhirat adalah saat panennya.

Refleksi dan Implikasi

Ayat ketujuh surat At-Tin ini memiliki implikasi yang sangat luas dalam kehidupan seorang Muslim. Ia menjadi pengingat konstan bahwa setiap tindakan memiliki bobot dan akan ada pertanggungjawabannya. Pemahaman ini seharusnya mendorong seseorang untuk senantiasa berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya.

Pada akhirnya, ayat ketujuh surat At-Tin adalah sebuah seruan untuk berpikir kritis terhadap keyakinan diri sendiri. Ia menantang kita untuk merenungkan, apakah kita benar-benar memanfaatkan anugerah akal dan kesempurnaan penciptaan kita dengan sebaik-baiknya, atau justru kita termasuk orang-orang yang mendustakan kebenaran yang paling fundamental, yaitu pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta. Semoga kita senantiasa diberi taufik dan hidayah untuk terus merenungi ayat-ayat-Nya dan menjadikannya pedoman hidup.

🏠 Homepage