Cahaya Kemudahan di balik tirai Kesulitan.
Dalam perjalanan hidup manusia, tidak ada satu pun jiwa yang luput dari badai dan ujian. Kesulitan adalah bagian intrinsik dari eksistensi, sebuah realitas yang dihadapi sejak napas pertama hingga hembusan terakhir. Namun, di tengah hiruk pikuk perjuangan, terdapat sebuah pegangan teguh, sebuah janji ilahi yang mengukir harapan abadi di hati setiap hamba. Janji ini bukan sekadar penghiburan sesaat, melainkan sebuah kaidah kosmik yang ditegaskan berkali-kali dalam kitab suci, bahwa bersama setiap kesulitan, niscaya akan hadir kemudahan.
Pegangan utama keyakinan ini bersemayam dalam Surah Al-Insyirah (Pelapangan), ayat 5 dan 6, sebuah penegasan yang diulang dua kali untuk menghilangkan keraguan, untuk menanamkan kepastian mutlak di dalam jiwa yang sedang dilanda keresahan. Ayat ini adalah fondasi bagi ketahanan mental dan spiritual, menjadi mercusuar yang memandu umat manusia melalui lautan penderitaan menuju pantai kedamaian yang dijanjikan.
Dua kalimat pendek ini mengandung kedalaman makna yang melampaui sekadar terjemahan harfiah. Ia adalah sebuah pernyataan prinsip yang mengatur alam semesta spiritual. Memahami konsep ini bukan hanya berarti menunggu hilangnya kesulitan, tetapi juga mengenali kemudahan yang tersembunyi di dalam dan bersamaan dengan kesulitan itu sendiri.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang janji ini, kita harus menyelami tata bahasa dan konteks turunnya surah tersebut. Surah Al-Insyirah diturunkan pada masa-masa awal dakwah Rasulullah Muhammad ﷺ, saat beliau menghadapi tekanan luar biasa, baik secara fisik maupun psikologis, dari kaumnya. Ini adalah momen kelelahan, kesedihan, dan keterasingan. Dalam kondisi terberat itulah, janji ini diturunkan, bukan sebagai teori abstrak, melainkan sebagai penopang nyata bagi jiwa yang hampir menyerah.
Dalam retorika Arab klasik, pengulangan berfungsi sebagai penegasan yang kuat. Pengulangan frasa ini ('inna ma'al 'usri yusra) bukan sekadar redundansi sastra, melainkan penekanan bahwa janji ini adalah sebuah kepastian yang tidak dapat dihindari. Para ulama tafsir sering menekankan bahwa pengulangan ini memberikan rasa aman yang ganda, menegaskan bahwa bahkan jika kemudahan pertama terasa samar, kemudahan kedua pasti akan datang menyusul, atau lebih tepatnya, kemudahan itu menyertai dalam setiap aspek kesulitan.
Aspek paling penting dari tafsir ayat ini terletak pada penggunaan artikel kata sandang (definitive article). Kata Al-'Usr (kesulitan) menggunakan kata sandang 'Al' (alif lam), yang menunjukkan kesulitan yang bersifat spesifik, tunggal, dan terdefinisikan. Sementara itu, kata Yusra (kemudahan) disebutkan tanpa kata sandang ('nakirah'), yang menunjukkan kemudahan yang bersifat umum, tidak terhingga, dan beragam wujudnya.
Para penafsir terkemuka menyimpulkan dari kaidah tata bahasa ini bahwa: Satu kesulitan yang definitif (Al-'Usr) tidak akan pernah mengalahkan atau melampaui dua kemudahan (Yusr) yang tidak terhingga dan beragam. Artinya, meskipun kesulitan yang kita hadapi terasa besar dan tunggal, Allah menjanjikan bahwa kemudahan yang menyertainya jauh lebih banyak, lebih besar, dan lebih berlimpah daripada kesulitan itu sendiri. Kemudahan itu tidak datang setelah kesulitan berlalu, melainkan bersama kesulitan ('ma'a').
Ini mengubah perspektif sepenuhnya. Kesulitan bukanlah jalan buntu, melainkan terowongan yang di dalamnya sudah dipasang lampu-lampu penerang. Kemudahan sudah ada di sana, menunggu untuk ditemukan, di tengah kegelapan yang dirasakan. Ini adalah konsep yang mendalam dan revolusioner bagi setiap jiwa yang sedang menderita.
Jika Allah Maha Penyayang, mengapa Dia menciptakan kesulitan? Pertanyaan ini sering muncul di benak manusia. Jawabannya terletak pada fungsi kesulitan itu sendiri sebagai katalisator, pemurnian, dan penentu nilai. Kesulitan bukanlah hukuman, melainkan ujian yang dirancang dengan presisi ilahi untuk mencapai beberapa tujuan fundamental:
Keimanan yang sejati diuji bukan saat kelapangan, melainkan saat kesempitan. Kesulitan berfungsi sebagai saringan. Ia memisahkan antara keyakinan yang rapuh dengan keyakinan yang kokoh. Seseorang tidak akan tahu seberapa dalam kesabarannya sebelum dihadapkan pada penderitaan yang tak tertahankan. Allah menguji kita untuk menampakkan kualitas terbaik dari diri kita, bukan untuk menghancurkan kita.
Dalam pandangan spiritual, kesulitan dan penderitaan duniawi, sekecil apa pun, berfungsi sebagai pemurnian dosa-dosa masa lalu. Sakit, sedih, kehilangan, atau kegagalan yang dialami seorang hamba yang bersabar akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya, memastikan bahwa ia kembali kepada penciptanya dalam keadaan yang lebih suci. Ini adalah manifestasi pertama dari kemudahan yang menyertai kesulitan: pembersihan spiritual yang tak ternilai harganya.
Ketika seseorang melewati ujian dengan kesabaran, keikhlasan, dan tetap bersyukur, derajatnya di sisi Tuhan ditingkatkan ke tingkatan yang tidak mungkin dicapai hanya melalui amal ibadah biasa. Kesulitan menjadi tangga menuju kedudukan yang lebih tinggi. Nabi Ayyub AS, yang diuji dengan kehilangan segala-galanya, menjadi contoh abadi tentang bagaimana penderitaan yang diterima dengan ridha dapat mengantar seseorang pada maqam (kedudukan) kesabaran tertinggi.
Janji kemudahan bukanlah izin untuk bersikap pasif. Sebaliknya, ia adalah motivasi untuk mengaktifkan mekanisme pertahanan spiritual yang telah diajarkan. Menjemput kemudahan berarti menjalani kesulitan dengan sikap batin yang benar, berpegang pada tiga pilar utama: Sabar, Tawakkal, dan Syukur.
Sabar adalah inti dari menghadapi kesulitan. Namun, sabar tidak hanya berarti menahan diri dari keluhan. Sabar memiliki tiga dimensi yang harus dipraktikkan secara simultan:
Ini adalah kesabaran untuk tetap teguh melakukan perintah Allah, bahkan saat lelah, sibuk, atau dalam kondisi sakit. Kesulitan duniawi tidak boleh menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban spiritual. Kemudahan pertama yang kita raih adalah kekuatan untuk tetap taat di tengah badai, menjamin hubungan kita dengan sumber segala kemudahan.
Ini adalah kesabaran untuk menahan diri dari godaan melakukan dosa, terutama saat tertekan atau putus asa. Kesulitan sering kali mendorong seseorang mencari jalan pintas yang haram. Kesabaran sejati adalah menahan diri dari memburuknya keadaan melalui perbuatan dosa.
Ini adalah dimensi yang paling sering diidentifikasi: kesabaran menerima takdir yang menyakitkan dengan ketenangan hati, tanpa ratapan berlebihan atau keberatan terhadap kehendak Tuhan. Sabar di sini memiliki titik puncaknya, yaitu pada benturan pertama musibah. Ketika hati telah tenang dalam menerima takdir, maka pintu-pintu kemudahan akan mulai terbuka, seringkali dalam bentuk ketenangan batin yang jauh lebih berharga daripada solusi material.
Sabar adalah investasi jangka panjang. Seseorang yang sabar akan mendapati bahwa kesulitan yang sama yang menghancurkan orang lain justru menguatkan dirinya, memberinya hikmah yang tak terhingga. Kemudahan yang dijanjikan melalui sabar adalah kedamaian batin, sebuah anugerah yang tidak dapat dibeli dengan harta apa pun, yang muncul bahkan saat krisis masih berlangsung.
Tawakkal berarti menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah melakukan ikhtiar maksimal. Ini adalah tindakan hati yang mengakui keterbatasan diri manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan. Dalam konteks kesulitan, tawakkal adalah kemudahan itu sendiri. Ketika kita memikul beban kesulitan sendirian, beban itu terasa menghancurkan. Ketika kita bertawakkal, kita secara efektif membagi beban tersebut dengan kekuatan yang tak terbatas.
Konsep tawakkal mengajarkan bahwa terkadang, kemudahan tidak datang dalam bentuk solusi yang kita harapkan, melainkan dalam bentuk penerimaan yang damai terhadap takdir. Hati yang bertawakkal tidak cemas terhadap masa depan, karena ia yakin bahwa apapun yang terjadi, itu adalah yang terbaik dalam pandangan Ilahi.
Bagaimana mungkin bersyukur di tengah kesulitan? Syukur dalam musibah bukanlah berterima kasih atas rasa sakit, tetapi berterima kasih atas apa yang tidak diambil, atas berkah yang masih tersisa, dan atas kesempatan untuk mendapatkan pahala melalui ujian. Syukur menggeser fokus dari kekurangan menjadi kelimpahan.
Kemudahan yang muncul dari rasa syukur di tengah kesulitan adalah peningkatan spiritual. Ketika kita mengakui bahwa ujian ini adalah tanda kasih sayang (karena Allah menguji hamba yang dicintai-Nya), maka kesulitan berubah dari penghalang menjadi jembatan. Orang yang bersyukur akan menemukan bahwa dibandingkan dengan musibah orang lain, musibahnya mungkin terasa ringan, atau bahwa ia masih memiliki kesehatan, akal, atau iman, yang jauh lebih berharga daripada kerugian materi apa pun.
Kemudahan (Yusra) yang dijanjikan oleh Allah tidak selalu berbentuk solusi instan atau kekayaan materi. Seringkali, kemudahan datang dalam bentuk yang halus, tersembunyi, dan lebih transformatif. Kita harus melatih mata spiritual kita untuk mengenali bentuk-bentuk kemudahan ini, yang seringkali sudah hadir bersamaan dengan kesulitan:
Ini adalah bentuk kemudahan tertinggi yang diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebelum turunnya ayat ini—yaitu pelapangan dada (Al-Insyirah). Kemudahan internal adalah kemampuan untuk tetap tenang dan damai meskipun lingkungan luar sedang kacau. Ini adalah kekuatan batin yang membuat seseorang tidak ambruk di bawah tekanan. Ketika hati kita dilapangkan, masalah yang tadinya terasa sebesar gunung akan menyusut menjadi gundukan kecil yang bisa diatasi.
Sering kali, kemudahan datang melalui tangan orang lain. Seorang teman yang tulus, bantuan finansial dari pihak yang tidak dikenal, atau dukungan moral dari keluarga. Ini adalah pertolongan Allah yang disalurkan melalui sebab-sebab duniawi. Kesulitan mendorong kita untuk merendahkan diri dan menerima bantuan, yang pada gilirannya memperkuat ikatan sosial dan kemanusiaan—sebuah kemudahan yang sangat nyata.
Setiap kesulitan membawa pelajaran yang tidak akan pernah bisa didapatkan dalam keadaan lapang. Kemudahan di sini adalah hikmah (kebijaksanaan) yang muncul dari pengalaman pahit. Kita belajar tentang diri kita, tentang batasan kita, dan tentang nilai sejati dari apa yang kita miliki. Keberhasilan yang datang setelah perjuangan selalu terasa lebih manis dan memiliki fondasi yang lebih kokoh.
Bentuk kemudahan paling pasti dan abadi adalah pahala yang disiapkan di akhirat bagi mereka yang bersabar. Ketika seseorang melihat catatan amalnya di hari kiamat dan mendapati tumpukan pahala besar yang berasal dari kesabaran dan penderitaannya di dunia, kesulitan yang pernah dialami akan terasa sangat ringan. Inilah kemudahan yang kekal, yang membuat setiap detik kesulitan duniawi terasa sepadan.
Sejarah penuh dengan kisah para nabi dan orang-orang saleh yang diuji hingga batas maksimal, namun pada akhirnya janji kemudahan selalu terwujud. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai penguat keyakinan bahwa janji dalam Al-Insyirah berlaku universal bagi setiap generasi dan setiap penderitaan.
Nabi Yunus AS melarikan diri dari tugasnya dan berakhir di perut ikan besar. Ini adalah puncak dari kesulitan: gelap, terisolasi, dan di ambang kematian. Namun, di tengah kesulitan fisik yang ekstrem itu, kemudahan muncul dalam bentuk internal—kemampuan untuk bertaubat dan mengakui dosa. Doa beliau, yang sarat penyesalan dan pengakuan keesaan Allah, adalah kunci yang membuka kemudahan. Allah tidak hanya menyelamatkannya dari kematian, tetapi juga mengembalikannya untuk menyelesaikan misinya. Kesulitan (perut ikan) membawa serta kemudahan (taubat yang diterima dan penyelamatan).
Ketika Nabi Musa dan Bani Israel dikejar Firaun hingga tiba di tepi Laut Merah, mereka berada dalam kesulitan mutlak—di depan laut, di belakang musuh. Tidak ada jalan keluar yang logis. Dalam momen keputusasaan itu, Musa tetap yakin pada janji Allah. Kemudahan datang dalam bentuk mukjizat yang melampaui logika manusia: Laut Merah terbelah. Kesulitan terbesar (terjebak di antara dua ancaman) menghasilkan kemudahan yang paling spektakuler (jalan keluar melalui air yang membelah), menghancurkan penindas mereka sekaligus.
Nabi Ibrahim AS menghadapi ujian terberat: dilemparkan ke dalam kobaran api karena menolak menyembah berhala. Ini adalah kesulitan yang mengancam nyawa. Namun, ketika beliau menunjukkan tawakkal yang sempurna, kemudahan turun seketika. Api yang seharusnya membakar menjadi sejuk dan menyelamatkan. Kemudahan di sini adalah intervensi langsung dari kekuatan Ilahi, membuktikan bahwa bagi hamba yang pasrah, hukum alam pun dapat diubah.
Janji ilahi ini tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga sangat selaras dengan prinsip-prinsip ketahanan psikologis modern. Keyakinan bahwa 'setiap kesulitan pasti ada kemudahan' adalah fondasi dari pola pikir positif dan berorientasi solusi (solution-focused mindset).
Salah satu pemicu utama kecemasan adalah ketidakpastian. Ketika seseorang meyakini janji dalam Al-Insyirah, ia menghilangkan ketidakpastian mengenai hasil akhir. Ia tahu bahwa akhir dari kisahnya bukanlah keputusasaan, melainkan pelapangan. Keyakinan ini secara fundamental mengurangi tingkat stres, karena ia memindahkan energi dari kekhawatiran yang sia-sia menuju upaya yang produktif (ikhtiar).
Kesulitan memaksa otak dan jiwa untuk beradaptasi. Otak kita memiliki kemampuan luar biasa (neuroplastisitas) untuk membentuk jalur baru dalam menghadapi trauma atau tantangan. Kesulitan adalah stimulus yang mendorong pertumbuhan ini. Kemudahan dalam konteks ini adalah perkembangan kemampuan yang sebelumnya tidak disadari. Setelah melewati kesulitan, seseorang akan mendapati bahwa ia menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih siap menghadapi tantangan berikutnya.
Misalnya, kehilangan pekerjaan (kesulitan) memaksa seseorang mempelajari keterampilan baru, yang pada akhirnya mengarah pada karier yang jauh lebih memuaskan (kemudahan). Kemudahan di sini bukan penghapusan kesulitan, tetapi hasil transformasi yang dipicu oleh kesulitan itu sendiri.
Saat hidup terasa sulit, kita cenderung hanya fokus pada hal-hal besar yang hilang. Namun, keyakinan pada kemudahan yang menyertai kesulitan melatih kita untuk menghargai detail kecil: secangkir teh hangat, kesehatan yang tersisa, senyum anak, atau bahkan sekadar kemampuan untuk bernapas. Kemudahan seringkali terwujud dalam hal-hal kecil ini, dan jika kita fokus padanya, kesulitan besar pun akan terasa kurang menekan.
Bagaimana janji ilahi ini dapat diterapkan dalam menghadapi masalah modern, seperti krisis ekonomi, penyakit kronis, atau isolasi sosial?
Dalam kesulitan finansial, janji kemudahan mendorong ikhtiar yang disertai doa. Rezeki yang dijanjikan tidak harus datang dari jalur yang biasa. Kemudahan bisa berupa peluang baru, ide bisnis yang brilian, atau bantuan dari sumber yang tak disangka-sangka. Yang paling penting, kemudahan finansial di sini seringkali berarti keberkahan (barakah) atas harta yang sedikit, membuat yang sedikit terasa cukup, suatu bentuk kekayaan batin yang melampaui angka di rekening bank.
Penyakit kronis atau rasa sakit fisik adalah 'al-'usr' yang sangat nyata. Kemudahan yang menyertainya adalah pahala kesabaran yang berlimpah, penghapusan dosa, dan peluang untuk lebih dekat kepada Tuhan melalui doa yang lebih tulus. Bagi sebagian orang, kemudahan itu adalah ditemukannya pengobatan, tetapi bagi yang lain, kemudahan itu adalah penerimaan dan kedamaian hati yang membuat mereka mampu menjalani sisa hidup dengan ridha, suatu bentuk kesembuhan spiritual yang lebih agung daripada kesembuhan fisik.
Di era modern, banyak yang menghadapi kesulitan berupa isolasi dan kesepian, bahkan di tengah keramaian. Janji kemudahan mengarahkan kita untuk mencari hubungan yang paling abadi: hubungan dengan Sang Pencipta. Kesendirian yang diisi dengan refleksi dan ibadah akan berubah menjadi kemudahan dalam bentuk keintiman spiritual. Allah mengisi kekosongan yang tidak dapat diisi oleh makhluk lain. Ini adalah penemuan sumber kekuatan internal yang tidak bergantung pada kehadiran manusia lain.
Keyakinan pada janji Al-Insyirah diperkuat melalui ritual spiritual yang konstan. Doa dan dzikir berfungsi sebagai pengingat terus-menerus akan kehadiran dan kasih sayang Allah, bahkan di saat-saat paling sulit.
Doa adalah bentuk ikhtiar spiritual. Saat kesulitan datang, doa adalah pengakuan bahwa kita lemah, dan hanya Allah yang Maha Kuat. Salah satu doa yang paling relevan saat kesulitan adalah doa Nabi Yunus AS, yang dikenal sebagai ‘dzun-nun’:
"Lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn."
(Tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.)
Doa ini memuat pengakuan tauhid, penyucian Tuhan, dan pengakuan dosa diri. Ini adalah template untuk kemudahan: mengatasi kesulitan dengan mengakui keesaan Allah dan kekurangan diri sendiri. Kemudahan di sini adalah respons instan dari Allah terhadap doa yang tulus.
Dzikir (mengingat Allah) berfungsi untuk menjaga ayat Al-Insyirah tetap hidup di hati. Setiap kali kesulitan menyerang, dzikir berfungsi sebagai tameng yang mengingatkan kita, "Aku berada dalam kesulitan, tetapi janji-Nya pasti. Kemudahan sedang menyertai ini." Dzikir mengubah persepsi kita dari korban menjadi pihak yang sedang diuji dan dipersiapkan untuk hadiah besar. Pengulangan dzikir, seperti *Subhanallah* dan *Alhamdulillah*, pada dasarnya adalah pengakuan syukur dan kemudahan yang berkelanjutan, bahkan dalam kepahitan.
Kepatuhan terhadap janji "setiap kesulitan pasti ada kemudahan" mensyaratkan penolakan total terhadap keputusasaan (*al-ya’s*). Keputusasaan adalah pintu masuk bagi godaan terbesar, karena ia merupakan penolakan terhadap kasih sayang dan kekuasaan tak terbatas Tuhan.
Keputusasaan menunjukkan bahwa seseorang hanya mengandalkan logika dan sumber daya duniawi. Ia gagal melihat dimensi ghaib dari pertolongan Allah. Ketika seseorang jatuh ke dalam keputusasaan, ia secara efektif menutup pintu kemudahan yang telah dijanjikan. Tugas kita bukanlah memprediksi bentuk kemudahan yang akan datang, tetapi hanya untuk mempertahankan keyakinan bahwa kemudahan itu pasti ada, bahkan jika kita belum dapat melihatnya.
Kesabaran yang sempurna tidak hanya menunggu solusi; kesabaran yang sempurna adalah tetap bekerja, tetap beramal, dan tetap berharap meskipun tidak ada tanda-tanda perubahan yang terlihat. Keyakinan bahwa kemudahan ada di balik kesulitan adalah bahan bakar bagi perjuangan itu sendiri.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa kesulitan dan kemudahan adalah dua sisi mata uang yang sama dalam pengalaman hidup. Seseorang yang hanya mengenal kemudahan tidak akan pernah tahu nilai sejati dari nikmat tersebut. Sebaliknya, seseorang yang melewati kesulitan dengan teguh akan menemukan bahwa kesulitan itu sendiri adalah kemudahan—karena ia membersihkan, menguatkan, dan mendekatkan dirinya kepada Pencipta.
Ayat "Fa inna ma’al ‘usri yusra, inna ma’al ‘usri yusra" adalah sebuah ajaran tentang optiisme kosmik. Ini adalah pengetahuan bahwa struktur dasar alam semesta tunduk pada prinsip keseimbangan ilahi. Tidak ada malam yang abadi tanpa fajar, dan tidak ada badai yang tidak akan surut.
Maka, biarkan hati yang sedang diuji ini berpegang teguh pada janji tersebut. Biarkan kesulitan menjadi saksi atas kekuatan iman kita. Setiap air mata yang jatuh, setiap malam tanpa tidur, setiap kerugian yang diderita, adalah langkah pasti menuju pelapangan hati, pembersihan dosa, dan janji kemudahan yang tiada tara. Janji itu tidak pernah gagal. Ia adalah penegasan abadi bahwa kita tidak pernah dibiarkan sendiri dalam perjuangan kita.
Kesulitan datang dan pergi, namun janji ilahi, yang diulang untuk menegaskan kepastiannya, kekal abadi. Keyakinan inilah yang menjadi bekal terbaik bagi setiap jiwa untuk menempuh jalan hidup, menyambut setiap tantangan dengan ketenangan, mengetahui bahwa di setiap sudut kegelapan, cahaya kemudahan sedang menunggu untuk menyinari.
Janji ini mengajarkan bahwa tantangan hidup bukanlah tanda murka, melainkan kurikulum yang dirancang untuk mengukir jiwa menjadi permata yang lebih berharga. Semakin besar kesulitan, semakin besar pula kemudahan yang menyertainya dan pahala yang menantinya. Ini adalah hukum yang tak terpisahkan, sebuah kepastian yang harus kita jadikan nafas dalam menghadapi setiap ujian dunia. Kemudahan itu tidak akan pernah terlambat. Ia sudah ada di sana, menunggu di dalam kesulitan itu sendiri.
Refleksi mendalam pada makna kata 'ma’a' (bersama) daripada 'ba’da' (setelah) memberikan kekuatan spiritual yang tak tertandingi. Ini adalah pengakuan bahwa Allah, dalam kemahakuasaan-Nya, menyalurkan energi kemudahan pada saat yang sama ketika kesulitan itu menimpa. Kita mungkin tidak merasakan kemudahan secara material, tetapi secara spiritual, bantuan dan ketenangan-Nya sudah mengalir. Ini adalah realitas ghaib yang harus diyakini dengan mata hati. Ketika keyakinan ini tertanam kuat, beban terberat pun terasa ringan. Ini adalah cara bagi hamba untuk mengalami sifat-sifat Allah yang Maha Lembut (Al-Latif) dan Maha Mengasihi (Ar-Rahman) secara langsung melalui pengalaman penderitaan.
Sejauh mana pun kesulitan membentang, ia memiliki batas yang telah ditetapkan. Sementara kemudahan yang menyertainya adalah tak terbatas dan beragam. Dalam setiap cobaan, terkandung benih-benih anugerah. Kebijaksanaan ini harus menjadi kompas, menuntun setiap langkah. Ketika kita merangkul kesulitan sebagai utusan kebijaksanaan, kita telah menemukan bentuk kemudahan pertama, yaitu kebebasan dari penolakan terhadap takdir ilahi.
Ayat suci ini, yang begitu ringkas, pada dasarnya adalah manual ketahanan psikologis dan spiritual terbaik yang pernah diberikan kepada umat manusia. Ia merangkum seluruh esensi dari harapan, kesabaran, dan tawakkal. Maka, hadapilah badai dengan senyuman yakin, karena janji Tuan Semesta tidak akan pernah diingkari. Kemudahan itu, sungguh, sudah ada di sana.