Ilustrasi simbolis kegagalan dan kecelakaan yang diderita oleh penentang kebenaran.
Surah Al-Masad, atau yang juga dikenal dengan sebutan Surah Al-Lahab, merupakan salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, namun membawa muatan pesan yang sangat mendalam, spesifik, dan profetik. Ayat pembukanya, تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (Tabbat yada Abī Lahabin watab), adalah sebuah deklarasi ilahi yang langsung menunjuk kepada satu individu, Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, yang dikenal sebagai salah satu musuh paling kejam dan penghalang utama dakwah Islam pada fase awal di Mekah. Deklarasi ini bukan hanya kecaman moral, tetapi juga sebuah nubuat yang terbukti benar, menegaskan kebenaran kenabian Muhammad ﷺ dan ketepatan janji serta ancaman Allah SWT.
Kajian terhadap ayat ini tidak hanya terbatas pada sejarah personal Abu Lahab semata, melainkan meluas kepada pemahaman tentang keadilan ilahi, konsekuensi keras kepala dalam menolak kebenaran, dan sifat ajaran Islam yang tidak mengenal kompromi terhadap penindasan dan permusuhan terang-terangan. Surah ini menjadi studi kasus penting dalam ilmu tafsir dan sejarah Islam, menyingkap bagaimana Allah SWT berinteraksi dengan orang-orang yang secara aktif berusaha memadamkan cahaya petunjuk-Nya, bahkan jika mereka memiliki hubungan darah yang dekat dengan Nabi-Nya.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Masad, kita harus membedah setiap kata kunci dalam ayat pertamanya, تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ. Kedalaman makna dalam bahasa Arab klasik memberikan dimensi teologis yang kuat terhadap pesan yang disampaikan.
Kata kunci 'Tabbat' (bentuk kata kerja lampau dari *tabba*) memiliki makna dasar 'celaka', 'binasa', 'rugi', atau 'hancur'. Namun, dalam konteks Al-Qur'an dan penggunaan bahasa Arab yang sangat kaya, 'Tabbat' mengandung konotasi yang lebih berat daripada sekadar kegagalan biasa. Ini merujuk pada kehancuran total, baik secara fisik, harta benda, maupun spiritual.
Ketika Allah menggunakan kata 'Tabbat', itu menyiratkan kehancuran yang menyeluruh. Bukan hanya Abu Lahab akan mengalami kerugian di dunia (seperti kehilangan pengaruh atau kekayaan), tetapi yang lebih penting, ia dipastikan akan binasa di akhirat. Para mufassir sepakat bahwa penggunaan bentuk lampau (`Tabbat`) menunjukkan kepastian mutlak atas kejadian tersebut. Meskipun surah ini diturunkan sebelum kematian Abu Lahab, penggunaan bentuk lampau ini adalah gaya bahasa yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut begitu pasti sehingga dianggap seolah-olah sudah terjadi. Ini adalah sebuah mukjizat profetik.
Penggunaan kata *tabb* seringkali juga dikaitkan dengan tangan yang kehilangan kemampuan untuk mendapatkan manfaat, merujuk pada sia-sianya segala usaha dan perolehan. Segala yang telah dikumpulkan, segala yang diperjuangkan—termasuk status, kekayaan, dan anak-anak—semuanya akan lenyap dan tidak akan memberikan manfaat sedikit pun di hadapan siksa Allah SWT. Ini adalah peringatan keras bahwa harta dan kedudukan tidak dapat menyelamatkan seseorang dari murka ilahi jika hati tertutup dari kebenaran.
Ayat pertama ditutup dengan penegasan ulang: وَتَبَّ (watab). Repetisi ini, yang berarti 'dan dia benar-benar telah celaka/binasa', berfungsi sebagai penekanan yang luar biasa (ta'kid). Jika 'Tabbat' pertama adalah doa atau deklarasi kenabian tentang kehancuran, 'watab' kedua adalah penegasan ilahi bahwa kehancuran itu sudah merupakan fakta yang tak terhindarkan dan telah ditetapkan. Repetisi ini menghilangkan keraguan sedikit pun mengenai nasib akhir Abu Lahab. Para ulama bahasa Arab menunjukkan bahwa pengulangan kata kerja dalam pola ini memberikan intensitas dan permanensi pada makna yang dimaksud. Kehancuran ini bukan sementara, melainkan abadi dan final. Dia akan celaka dalam upayanya di dunia, dan dia akan celaka dalam hasilnya di akhirat.
Kata 'Yada' adalah bentuk dual (dua) dari *yad* (tangan). Mengapa Allah hanya menyebut 'dua tangan' Abu Lahab, bukan dirinya secara keseluruhan? Tafsir memberikan beberapa interpretasi penting:
Dalam budaya Arab, tangan seringkali melambangkan kekuasaan, usaha, pekerjaan, dan kekayaan yang diperoleh (*kasab*). Dengan mencelakakan tangannya, Allah mengutuk segala upaya yang dilakukan Abu Lahab untuk melawan Islam. Abu Lahab menggunakan tangannya, dan semua yang didapatnya melalui tangannya—harta, kekuasaan—untuk menyakiti Nabi Muhammad ﷺ dan menghalangi dakwah. Oleh karena itu, kecelakaan spesifik pada tangan menyiratkan bahwa semua usahanya sia-sia, dan semua yang ia genggam akan terlepas dan menghancurkannya.
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad ﷺ pertama kali menyampaikan seruan terbuka di Bukit Safa, Abu Lahab adalah yang pertama menentang, bahkan mengambil batu dan mencoba melemparkannya kepada Nabi sambil berkata, "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau kumpulkan kami?" Ayat *Tabbat yada Abī Lahabin* datang sebagai respons langsung dan sangat tepat terhadap tindakan fisik penolakan tersebut. Ia berharap kecelakaan menimpa Nabi, namun kecelakaan itu justru berbalik menimpa kedua tangannya sendiri.
Penyebutan nama spesifik, Abu Lahab (Bapak Jilatan Api/Lidah Api), adalah hal yang sangat jarang terjadi dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan tingkat kejahatan dan permusuhan yang luar biasa dan tiada bandingnya. Nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Nama panggilannya, Abu Lahab, diberikan karena wajahnya yang cerah dan bersinar (seperti api). Namun, ironisnya, nama panggilan ini sempurna untuk menggambarkan nasibnya di akhirat, di mana ia akan menjadi penghuni api neraka yang menyala-nyala (lahab).
Surah Al-Masad adalah surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah di Mekah, ketika perlawanan terhadap Islam baru mulai menguat. Latar belakang penurunannya sangat krusial untuk memahami mengapa Allah memilih untuk mengabadikan kecaman terhadap Abu Lahab dalam Kitab Suci-Nya.
Setelah tiga tahun dakwah rahasia, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Nabi menaiki Bukit Safa dan memanggil seluruh suku Quraisy. Setelah berhasil mengumpulkan mereka, beliau bertanya, "Jika aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian dari balik bukit ini, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."
Nabi kemudian menyampaikan seruannya, "Sesungguhnya, aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan datangnya siksa yang pedih!" Pada saat kritis ini, yang seharusnya menjadi momen penerimaan atau setidaknya pertimbangan, Abu Lahab, paman Nabi sekaligus tetangga dekatnya, berdiri dan mengucapkan kutukan yang terkenal: "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah untuk ini engkau kumpulkan kami?"
Respons ini bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan publik yang merusak wibawa Nabi di hadapan para pemimpin Quraisy. Surah Al-Masad diturunkan segera setelah peristiwa ini, membalikkan kutukan Abu Lahab kepadanya sendiri, dan menjadikannya abadi di setiap mushaf Al-Qur'an hingga hari Kiamat. Ini menunjukkan betapa seriusnya penentangan dan penghinaan yang dilontarkan oleh Abu Lahab.
Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil (Arwah binti Harb), tidak hanya menentang di depan umum, tetapi mereka juga melakukan permusuhan yang konsisten dan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari Nabi ﷺ. Mereka tinggal bersebelahan, dan permusuhan itu bersifat pribadi dan brutal.
Karena intensitas dan sifat sistematis dari permusuhan ini—yang melampaui permusuhan yang dilakukan oleh musuh-musuh lain seperti Abu Jahal—Allah memilih untuk mengecam Abu Lahab secara khusus dengan nama dan menegaskan nasib buruknya.
Surah Al-Masad tidak hanya berfungsi sebagai celaan, tetapi juga sebagai bukti kenabian Muhammad ﷺ melalui nubuat yang spesifik dan terperinci mengenai nasib akhir Abu Lahab dan istrinya.
Ayat 1, 2, dan 5 secara kolektif meramalkan bahwa Abu Lahab akan masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala (*nār zaata lahab*). Ini berarti, selama sisa hidupnya (yang bisa saja berlangsung bertahun-tahun setelah surah ini diturunkan), ia tidak akan pernah memeluk Islam.
Padahal, bagi seseorang yang mendengar kecaman ilahi sedemikian rupa, godaan untuk berpura-pura masuk Islam demi membuktikan Al-Qur'an salah pastilah sangat kuat. Jika Abu Lahab, setelah mendengar surah ini, memutuskan untuk bersyahadat, maka surah ini akan kehilangan validitasnya sebagai wahyu yang pasti. Namun, Abu Lahab tetap teguh dalam kekafirannya hingga akhir hayatnya, tanpa pernah mengucapkan syahadat, bahkan pura-pura. Ia meninggal dalam kondisi hina karena penyakit menular (disebut *ad-adashah*, sejenis cacar ganas) beberapa saat setelah Perang Badar, dan jenazahnya ditinggalkan oleh keluarganya karena takut tertular.
Nubuat yang terkandung dalam Surah Al-Masad ini—bahwa Abu Lahab pasti akan celaka di akhirat—menjadi salah satu mukjizat terkuat Al-Qur'an, yang menunjukkan bahwa ucapan Nabi Muhammad ﷺ bukanlah karangan pribadinya, melainkan berasal dari pengetahuan absolut dari Allah SWT.
Ayat kedua menyatakan: مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab). Artinya: "Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan."
Abu Lahab adalah orang kaya dan berpengaruh di Mekah. Ia mengandalkan kekayaannya untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh, yang ia gunakan untuk memusuhi Nabi. Ayat ini menegaskan bahwa pada Hari Penghakiman, dan bahkan dalam kesulitan dunianya (seperti penyakit yang menimpanya), kekayaannya tidak akan memberinya manfaat sedikit pun. Kekayaan yang digunakan untuk melawan kebenaran justru menjadi beban, bukan penyelamat. Ini adalah pelajaran universal tentang prioritas nilai-nilai spiritual di atas harta materi.
Frasa *wa mā kasab* (dan apa yang ia usahakan/peroleh) ditafsirkan oleh para ulama dalam dua makna utama:
Intinya, segala bentuk dukungan material dan sosial yang ia harapkan akan melindunginya dari konsekuensi permusuhannya terhadap Nabi, ternyata sia-sia belaka. Ia ditinggalkan sendirian menghadapi takdir ilahi.
Tingkat detail dalam Surah Al-Masad berlanjut pada kecaman terhadap istri Abu Lahab, Ummu Jamil, yang memiliki peran aktif dalam permusuhan terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Ayat keempat menyatakan: وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Wamra'atuhū ḥammālata al-ḥaṭab), "Dan (begitu juga) istrinya, pembawa kayu bakar."
Frasa *ḥammālat al-ḥaṭab* (pembawa kayu bakar) memiliki interpretasi yang kaya, sebagian besar bersifat metaforis, meskipun beberapa ulama juga mengambil makna literal:
Tafsir yang paling umum dan kuat adalah bahwa 'pembawa kayu bakar' merujuk pada Ummu Jamil sebagai penyebar fitnah, gosip, dan hasutan. Dalam tradisi Arab, seseorang yang 'membawa kayu bakar' adalah orang yang menyalakan api konflik, pertengkaran, dan permusuhan di antara orang lain. Ummu Jamil secara aktif menyebarkan kebohongan dan narasi negatif tentang Nabi Muhammad ﷺ dan ajaran barunya di antara suku-suku Quraisy. Ia adalah mitra sempurna bagi suaminya dalam menghambat dakwah, menggunakan lidahnya sebagai senjata yang lebih tajam daripada pedang.
Beberapa tafsir menguatkan makna literalnya, bahwa Ummu Jamil secara harfiah membawa tumpukan ranting berduri dan meletakkannya di jalan yang biasa dilalui Nabi Muhammad ﷺ, terutama di malam hari, untuk menyakiti dan menyusahkan beliau. Tindakan fisik ini adalah simbol dari kekejaman mereka yang tiada batas, merendahkan diri mereka sendiri pada tingkat pelecehan fisik yang rendah, meskipun mereka berasal dari kaum bangsawan Quraisy.
Ayat kelima Surah Al-Masad adalah penutup yang menakutkan, yang menggambarkan nasib Ummu Jamil di neraka: فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Fī jīdihā ḥablum min masad), "Di lehernya ada tali dari sabut."
Tali sabut (*masad*) adalah tali kasar yang terbuat dari serat pohon kurma, sering digunakan oleh orang miskin atau hamba sahaya untuk mengikat kayu bakar. Kontras antara status sosial Ummu Jamil (wanita bangsawan kaya) dan hukuman yang diberikan (tali kasar) sangat tajam. Hukuman ini diinterpretasikan sebagai balasan yang setimpal:
Penyebutan tali sabut ini juga memberikan nama alternatif pada surah ini: Surah Al-Masad. Surah ini mengabadikan detail mengerikan dari hukuman yang menanti para penentang Nabi Muhammad ﷺ dan kebenaran ilahi, menyoroti bahwa hukuman Allah sangat spesifik dan adil, sesuai dengan perbuatan yang dilakukan di dunia.
Meskipun Surah Al-Masad adalah tentang individu spesifik, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi bagi umat Islam.
Pelajaran terpenting dari Surah Al-Masad adalah bahwa akidah (iman) dan kebenaran ilahi harus ditempatkan di atas segala ikatan duniawi, termasuk hubungan darah. Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad ﷺ, anggota klan Hasyim, dan seharusnya menjadi pelindung terdekatnya. Namun, karena permusuhannya terhadap risalah (kenabian), ikatan darah itu menjadi tidak berarti di hadapan Allah.
Surah ini mengajarkan bahwa Islam tidak mengakui nepotisme atau kekebalan berdasarkan garis keturunan. Hubungan dengan Nabi Muhammad ﷺ di dunia tidak menjamin keselamatan di akhirat jika seseorang menolak pesan yang beliau bawa. Keselamatan hanya datang melalui keimanan dan amal saleh. Ini adalah fondasi penting dalam pemahaman tentang keadilan Allah SWT, di mana setiap jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Kisah Abu Lahab menjadi studi kontras dengan kisah Abu Thalib, paman Nabi lainnya. Meskipun Abu Thalib tidak memeluk Islam secara formal, ia memberikan perlindungan fisik yang sangat penting bagi Nabi. Sementara Abu Lahab, yang secara fisik lebih dekat dan mungkin lebih dihormati, memilih jalan permusuhan aktif, sehingga ia mendapatkan kecaman abadi dari Al-Qur'an.
Seperti yang telah dibahas, penggunaan bentuk lampau (*Tabbat*) untuk meramalkan nasib Abu Lahab menunjukkan kepastian yang absolut. Ini menegaskan konsep tauhid Rububiyyah (Kekuasaan Allah), di mana Allah memiliki pengetahuan yang sempurna tentang masa depan dan konsekuensi dari pilihan bebas manusia. Bagi orang beriman, Surah Al-Masad berfungsi sebagai penguat iman bahwa janji dan ancaman Allah adalah mutlak dan tak terhindarkan. Jika Allah menjanjikan kecelakaan, maka kecelakaan itu pasti terjadi, tanpa ada harta atau status yang dapat menghalanginya.
Kepastian ini memberikan penghiburan besar bagi umat Islam yang tertindas pada masa awal Mekah. Meskipun mereka melihat Abu Lahab yang kaya dan kuat menyiksa mereka, surah ini meyakinkan mereka bahwa kekuasaan duniawi itu fana dan nasib Abu Lahab di akhirat sudah pasti buruk.
Meskipun Surah Al-Masad ditujukan kepada Abu Lahab dan Ummu Jamil, maknanya meluas untuk mencakup semua individu yang mengikuti jejak mereka dalam permusuhan terhadap kebenaran dan agama Allah. Siapa pun yang menggunakan harta, kekuasaan, lidah (fitnah), atau status sosial mereka untuk menindas kebenaran, menghalangi jalan dakwah, dan menyakiti pembawa pesan Allah, mereka pada hakikatnya berjalan di jalur "Tabbat Yada".
Surah ini menjadi peringatan keras bahwa permusuhan aktif terhadap Islam, terutama yang disertai dengan penghinaan dan pelecehan, akan menarik murka ilahi yang spesifik dan abadi. Setiap orang yang berjuang melawan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, baik di masa lalu, kini, maupun di masa depan, harus merenungkan nasib tragis yang diabadikan dalam Surah Al-Masad ini.
Surah Al-Masad, meskipun pendek (hanya lima ayat), adalah mahakarya retorika Al-Qur'an. Keindahan dan kekuatan surah ini terletak pada kepadatan makna, penggunaan metafora yang tepat, dan respons yang langsung dan simetris terhadap agresi. Surah ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak hanya berisi ajaran hukum dan kisah masa lalu, tetapi juga respons dinamis dan pribadi terhadap peristiwa kontemporer yang relevan dengan Nabi ﷺ.
Retorika dalam surah ini menggunakan prinsip balasan yang simetris (Qisas atau Jazā').
Simetri balasan ini menekankan kesempurnaan keadilan ilahi. Hukuman yang dijatuhkan pada Abu Lahab dan istrinya secara langsung mencerminkan sifat dan cara kejahatan yang mereka lakukan di dunia.
Penyebutan nama panggilan Abu Lahab daripada nama aslinya (Abdul Uzza) juga membawa bobot retoris. Abu Lahab (Bapak Api) secara sempurna menyelaraskan nasib kekalnya dengan julukannya, yang seharusnya merujuk pada ketampanan duniawi. Pergantian makna dari pujian duniawi menjadi hukuman akhirat adalah salah satu kejeniusan linguistik Surah Al-Masad.
Jika Allah menggunakan nama aslinya, Abdul Uzza (Hamba Uzza), ini akan menjadi celaan yang akurat, tetapi tidak memiliki kekuatan puitis yang sama dengan Abu Lahab, yang secara langsung merujuk pada siksaan yang menantinya: سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala).
Para mufassir terdahulu, seperti Imam At-Tabari, Imam Ar-Razi, dan Ibnu Katsir, memberikan analisis yang sangat rinci terhadap setiap aspek Surah Al-Masad, menegaskan pentingnya surah ini dalam hierarki pelajaran teologis.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya sangat menekankan aspek nubuat surah ini. Ia menjelaskan bahwa pengetahuan Allah tentang nasib Abu Lahab adalah bukti mutlak kebenaran wahyu. Ia mencatat bahwa Surah Al-Masad adalah salah satu surah yang paling menggetarkan, karena ia tidak hanya mengutuk, tetapi juga memprediksi nasib kekal seseorang saat orang tersebut masih hidup. Ini memberikan tantangan terbuka bagi Abu Lahab untuk membuktikan Al-Qur'an salah, sebuah tantangan yang ia gagal penuhi hingga kematiannya.
Ibnu Katsir juga menjelaskan secara rinci kisah-kisah pelecehan yang dilakukan Abu Lahab dan Ummu Jamil, termasuk bagaimana Ummu Jamil akan meletakkan duri dan mengikatnya dengan tali sabut, sehingga hukuman di akhirat memiliki korelasi langsung dengan tindakannya di dunia.
Fakhruddin Ar-Razi, dalam tafsir *Mafatih al-Ghayb*, menggali lebih dalam makna kata *tabb*. Ia menjelaskan bahwa *tabb* adalah kerugian yang bersifat permanen, di mana kerugian itu terjadi di dunia (kegagalan menghalangi dakwah dan kematian hina) dan berlanjut di akhirat (siksa neraka). Ar-Razi menekankan bahwa *tabb* pertama merujuk pada kehancuran usaha dan harapan duniawi, sementara *watab* kedua merujuk pada kepastian hukuman akhirat. Dualitas ini memperkuat pesan bahwa kehancuran Abu Lahab adalah takdir yang tak terhindarkan, sebuah manifestasi dari kehendak Allah.
Imam At-Tabari, ketika menafsirkan *Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab*, memberikan bobot yang signifikan pada makna 'kasab' sebagai anak-anak. Menurut At-Tabari, orang Arab sangat bangga pada anak laki-laki mereka, memandang mereka sebagai kekuatan dan perlindungan masa depan. Dengan menyatakan bahwa anak-anaknya tidak akan berguna baginya, Al-Qur'an menghancurkan sumber kebanggaan dan harapan utama Abu Lahab. Meskipun Abu Lahab adalah paman Nabi, dan ayah dari anak-anak yang menikah dengan putri-putri Nabi, hubungan ini tidak memberikan manfaat sedikit pun ketika kebenaran diabaikan. Kehancuran ini mencakup semua dimensi eksistensinya.
At-Tabari juga menekankan bahwa nasib Abu Lahab adalah pelajaran bagi orang kaya yang berpikir bahwa kekayaan dapat membeli keselamatan atau mengalahkan kebenaran. Kekuatan materi hanyalah ilusi ketika dihadapkan pada ketetapan Allah SWT.
Surah Al-Masad sering dikaji bersama dengan surah-surah pendek Makkiyah lainnya, seperti Al-Kafirun dan Al-Kautsar, karena ketiganya memberikan pandangan yang jelas tentang pemisahan antara kebenaran dan kebatilan, serta balasan yang dijanjikan.
Surah Al-Masad dan Surah Al-Kautsar (Nikmat yang Berlimpah) sering dianggap sebagai pasangan yang simetris dan kontras. Keduanya diturunkan sebagai respons terhadap penderitaan dan pelecehan yang dialami Nabi Muhammad ﷺ dari musuh-musuhnya.
Kontras ini menunjukkan dualitas keadilan ilahi: balasan yang indah dan melimpah bagi orang yang sabar dan balasan yang celaka bagi orang yang menentang. Saat musuh mengejek Nabi dengan menyebutnya *abtar* (terputus), Al-Kautsar menjamin bahwa justru merekalah yang akan terputus. Dan Al-Masad memberikan bukti nyata kehancuran total bagi musuh terdekat.
Surah Al-Kafirun (Orang-Orang Kafir) menetapkan batasan teologis yang jelas: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." Surah ini adalah deklarasi non-kompromi dalam masalah akidah. Surah Al-Masad membawa prinsip non-kompromi ini ke tingkat personal, menegaskan bahwa tidak ada toleransi atau pengecualian bagi individu yang secara aktif dan kejam memusuhi Islam, bahkan jika mereka berasal dari keluarga Nabi. Keduanya menegaskan garis pemisah yang tajam antara keimanan dan kekafiran.
Surah ini memiliki dampak psikologis dan sosial yang luar biasa di Mekah pada masa awal.
Bayangkan para Sahabat yang lemah dan tertindas, seperti Bilal, Ammar, atau Sumayyah (yang menjadi syahid). Mereka melihat kekejaman Abu Lahab yang tidak tersentuh hukum duniawi. Ketika Surah Al-Masad turun dan dibacakan, itu memberikan mereka kekuatan psikologis yang besar. Mereka diyakinkan bahwa kekuasaan duniawi para penindas mereka bersifat sementara, dan bahwa Allah SWT sendiri yang telah mengambil alih tugas membalas mereka dengan hukuman yang kekal. Keyakinan pada keadilan akhirat inilah yang memungkinkan umat Islam awal untuk bertahan dari penganiayaan yang parah.
Bagi kaum Quraisy, Surah Al-Masad adalah tantangan terbuka yang menakutkan. Mengutuk seorang pemimpin klan yang masih hidup, terutama paman dari klan yang sama, adalah tindakan yang sangat berani dan tidak biasa. Ini memperkuat klaim Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau tidak berbicara atas kehendak pribadinya, tetapi atas perintah wahyu ilahi. Jika beliau berbicara atas kehendak pribadi, beliau pasti akan menghindari konflik terbuka semacam ini. Fakta bahwa Nabi terus membacakan surah ini—dan Abu Lahab terus gagal memeluk Islam—menjadi bukti yang sulit dibantah bagi kebenaran risalah beliau, bahkan di mata musuh-musuh yang cerdas dan skeptis.
Meskipun Abu Lahab adalah figur sejarah yang spesifik, Surah Al-Masad tetap relevan bagi umat Islam modern sebagai panduan etika dan spiritualitas.
Kisah Abu Lahab mengajarkan bahaya dari kesombongan yang didorong oleh status dan kekayaan. Abu Lahab menolak Islam bukan karena ia tidak memahami pesannya, tetapi karena keengganannya untuk tunduk dan kehilangan status kekuasaannya di hadapan keponakannya yang dianggap rendah. Bagi Muslim kontemporer, ini adalah peringatan agar kita tidak membiarkan ego, jabatan, atau kekayaan menghalangi kita dari menerima kebenaran yang mungkin datang dari sumber yang tidak terduga atau dari orang yang dianggap 'lebih rendah'. Kehancuran (*Tabbat*) dimulai dari penolakan hati yang sombong.
Kecaman terhadap Ummu Jamil sebagai *Hammālat al-Ḥaṭab* memberikan pelajaran abadi tentang bahaya gosip, fitnah, dan penggunaan lidah untuk menyalakan api permusuhan. Di era digital saat ini, di mana fitnah dan berita palsu (*hoax*) dapat menyebar secara instan, pelajaran dari Ummu Jamil sangat relevan. Orang yang menggunakan kekuatannya (baik melalui media sosial, jurnalisme, atau posisi publik) untuk menyebarkan kebencian dan merusak reputasi orang lain, khususnya dalam konteks permusuhan terhadap ajaran agama, pada dasarnya melakukan peran *Hammālat al-Ḥaṭab* modern. Hukuman yang menantinya di akhirat, tali sabut kehinaan, adalah peringatan universal terhadap kerusakan yang disebabkan oleh lidah yang tidak terkontrol.
Secara keseluruhan, Surah Al-Masad adalah manifestasi dari keadilan Allah yang absolut dan spesifik. Ia mengabadikan kisah seorang musuh tunggal untuk memberikan pelajaran yang meluas kepada semua manusia: bahwa hubungan darah tidak dapat menyelamatkan dari dosa, bahwa harta kekayaan tidak dapat menahan siksa ilahi, dan bahwa setiap perbuatan permusuhan terhadap kebenaran akan dibalas dengan simetri yang sempurna dan kepastian yang abadi. Ayat *Tabbat yada Abī Lahabin watab* akan terus dibacakan oleh miliaran umat Islam, memastikan bahwa Abu Lahab dan istrinya tidak hanya celaka di akhirat, tetapi juga diabadikan sebagai simbol kehancuran dan kekalahan di dalam Kitab Suci Allah.
Analisis yang mendalam ini memperjelas bahwa Surah Al-Masad adalah lebih dari sekadar cerita sejarah; ia adalah pilar teologis yang menegakkan prinsip-prinsip keadilan, nubuat kenabian, dan konsekuensi abadi dari penolakan yang disengaja terhadap cahaya ilahi. Setiap kata dalam surah ini—dari *Tabbat* yang menghancurkan hingga *Masad* yang menghinakan—dirancang untuk meninggalkan kesan yang tak terhapuskan pada hati setiap pembacanya, memperkuat keimanan bahwa Allah adalah Hakim yang Maha Tahu dan Maha Adil, yang tidak pernah lalai terhadap kezaliman sekecil apa pun.
Pelajaran yang terkandung dalam Surah Al-Masad mengenai konsekuensi kekufuran yang disertai dengan permusuhan aktif tidak hanya relevan untuk memahami periode awal Islam, tetapi juga relevan dalam setiap zaman dan tempat di mana kebenaran diperjuangkan melawan kekuatan kegelapan, kesombongan, dan penindasan. Penggunaan bahasa yang tajam dan profetik memastikan bahwa pesan kehancuran total ini akan terus menggema hingga akhir zaman, menjadi pengingat yang menyakitkan bagi semua yang memilih jalan yang sama dengan Abu Lahab dan Ummu Jamil. Keseimbangan antara ancaman yang mengerikan dan janji keadilan ilahi dalam surah ini adalah bukti tak terbantahkan atas sifat komprehensif dari Kitabullah, yang merangkum sejarah, hukum, dan takdir dalam untaian ayat-ayat yang ringkas namun mendalam.
Dengan demikian, kajian terhadap 'ayat tabbat yada' haruslah mencakup pemahaman bahwa kehancuran yang dimaksudkan bukanlah hanya kegagalan duniawi sementara, melainkan vonis kekal yang mencabut semua harapan dan manfaat. Ini adalah manifestasi dari *Qadar* (ketetapan ilahi) yang diungkapkan secara spesifik kepada seorang individu, menegaskan bahwa tidak ada pelarian bagi mereka yang secara sadar menentang dan menganiaya utusan Allah dan ajaran suci-Nya. Kedalaman makna dan implikasi teologis surah ini menjadikannya salah satu permata Al-Qur'an yang paling penting untuk direfleksikan dan dipelajari secara berkelanjutan oleh setiap Muslim.