Surat Al-Lail (Malam) adalah salah satu mutiara dalam Al-Qur'an yang kaya akan pelajaran moral dan spiritual. Terletak pada urutan ke-92, surat Makkiyah ini membahas tema fundamental mengenai dualitas kehidupan, amal perbuatan manusia, dan konsekuensi kekal dari pilihan yang diambil dalam menjalani hidup di dunia.
Melalui rangkaian sumpah yang kuat dan perumpamaan yang kontras, Allah SWT menjelaskan secara eksplisit bahwa meskipun usaha manusia tampak beragam, esensinya hanya terbagi menjadi dua jalur utama: jalan ketakwaan yang berakhir pada kemudahan dan keselamatan, serta jalan kekikiran dan kesombongan yang berujung pada kesulitan dan siksa.
Surat Al-Lail terdiri dari 21 ayat. Berikut adalah bacaan lengkap dalam bahasa Arab, transliterasi Latin, dan terjemahan bahasa Indonesia, disajikan per ayat untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan:
Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa inti Surah Al-Lail, khususnya ayat 5 hingga 10, memiliki kaitan erat dengan perbandingan dua jenis manusia yang bertolak belakang di kalangan Quraisy Makkah, yang mana salah satunya dijadikan teladan agung oleh Allah SWT.
Dalam riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim dari Urwah, ayat-ayat ini diturunkan untuk menggambarkan kontras antara dua individu di Makkah. Salah satunya adalah seorang dermawan besar, dan yang lainnya adalah orang yang sangat kikir.
Oleh karena itu, Surah Al-Lail adalah penekanan ilahi bahwa amal seseorang dinilai dari niat dan keputusannya. Apakah ia memilih jalan memberi dan bertakwa, atau jalan menahan diri dan menyombongkan diri dari kebutuhan kepada Allah.
Struktur Surah Al-Lail sangat ringkas namun padat, dimulai dengan sumpah-sumpah kosmik yang mengarah pada kesimpulan universal: perbedaan nasib amal manusia.
Allah SWT membuka surat ini dengan tiga sumpah agung, yang kesemuanya mencerminkan dualitas fundamental dalam penciptaan dan kehidupan:
1. Demi Malam Apabila Menutupi (*Yaghsya*): Malam adalah waktu penutup, waktu istirahat, dan kegelapan. Ia menutupi siang, mengingatkan manusia akan keterbatasan dan misteri. Ulama tafsir menekankan bahwa sumpah ini adalah penekanan pada salah satu tanda kekuasaan Allah yang paling jelas.
2. Demi Siang Apabila Terang Benderang (*Tajallā*): Siang adalah kebalikan mutlak, waktu aktivitas, mencari rezeki, dan kejelasan. Kontras antara malam dan siang menunjukkan keteraturan sempurna alam semesta, yang hanya dapat diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
3. Demi Penciptaan Laki-laki dan Perempuan: Sumpah ketiga mengalihkan perhatian dari fenomena kosmik ke dualitas dalam kehidupan manusia itu sendiri. Penciptaan berpasangan—laki-laki dan perempuan—adalah bukti kekuasaan Allah, sekaligus dasar bagi kelangsungan hidup dan masyarakat. Sama seperti alam semesta memiliki dualitas (gelap/terang), manusia pun memiliki dualitas dalam pilihan amalnya.
Ayat ini adalah jawaban (*Jawab Al-Qasam*) dari tiga sumpah di atas: "Sungguh, usaha kamu memang beraneka macam (*lasyattā*)."
Kata *lasyattā* berarti 'bertebaran', 'berlainan', atau 'berbeda-beda'. Meskipun semua manusia berusaha, arah dan niat usaha mereka sangat berbeda. Ada yang berusaha mencari keridaan Allah (surga), dan ada yang berusaha mengejar nafsu dan menentang kebenaran (neraka). Ini menetapkan premis bahwa hasil akhir kehidupan sangat bergantung pada jenis usaha yang dipilih.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia berbeda, surat ini kemudian mengklasifikasikan perbedaan tersebut menjadi dua kelompok yang jelas.
Kelompok ini dicirikan oleh tiga sifat utama:
1. Memberi dan Infak (*A‘tā*): Ini bukan sekadar memberi sedekah wajib (zakat), tetapi mencakup infak sukarela, kemurahan hati, dan penggunaan harta di jalan Allah. Ini adalah lawan dari kekikiran.
2. Bertakwa (*Wattaqā*): Ini mencakup menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, yang merupakan fondasi moral dari pemberian. Pemberiannya dilakukan atas dasar kesadaran dan ketaatan kepada syariat.
3. Membenarkan Yang Terbaik (*Shaddaqa Bil-Husnā*): *Al-Husnā* (yang terbaik) di sini ditafsirkan oleh mayoritas mufasir sebagai: (a) Kalimat Tauhid (Laa Ilaaha Illallah), (b) Balasan yang baik dari Allah (surga), atau (c) Janji kebenaran dari Allah. Artinya, mereka tidak hanya berbuat baik secara fisik tetapi juga memiliki keyakinan yang kokoh terhadap janji dan kebenaran ilahi.
Janji: Bagi mereka yang memiliki tiga sifat ini, Allah berjanji, "maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (*Fasanuyassiruhū Lil-Yusrā*)." Kemudahan di sini berarti kemudahan dalam beramal saleh di dunia, kemudahan saat sakaratul maut, kemudahan dalam perhitungan (hisab), dan pada akhirnya, kemudahan memasuki surga. Allah memudahkan jalan mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan sejati.
Kelompok ini adalah antitesis sempurna dari kelompok pertama:
1. Kikir (*Bakhila*): Mereka menahan harta dan enggan berinfak, baik yang wajib maupun sunah, karena kecintaan yang berlebihan terhadap dunia.
2. Merasa Cukup (*Wastaghnā*): Mereka merasa tidak membutuhkan pertolongan dan balasan dari Allah. Kesombongan ini membuat mereka bergantung sepenuhnya pada harta dan kekuasaan duniawi. Mereka merasa kekayaan mereka sudah menjamin kebahagiaan, sehingga tidak perlu mencari keridaan Allah.
3. Mendustakan Yang Terbaik (*Każżaba Bil-Husnā*): Mereka tidak memercayai janji surga atau balasan dari Allah, sehingga mereka tidak melihat nilai atau manfaat dalam beramal baik.
Hukuman: Bagi mereka, Allah berjanji, "maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (*Fasanuyassiruhū Lil-'Usrā*)." Kesulitan di sini mencakup kesulitan dalam beramal (karena hati telah dikeraskan), kesulitan menghadapi kematian, kesulitan hisab, dan akhirnya, jalan menuju neraka. Menariknya, Allah menggunakan kata *fasanuyassiruhū* (Kami akan memudahkannya), menunjukkan bahwa Allah membiarkan mereka "mudah" menuju jalan yang telah mereka pilih, yaitu jalan kesulitan.
Ayat 11 memberikan penegasan yang tajam: "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa." Harta yang ia kumpulkan dengan susah payah, dan yang menjadi sumber kesombongannya, sama sekali tidak berguna saat menghadapi kematian dan perhitungan akhirat.
Setelah membandingkan dua jalur, surat ini menegaskan hak mutlak Allah untuk memberi petunjuk dan memberikan peringatan keras.
"Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk." (Ayat 12) Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menjelaskan jalan yang benar melalui para Nabi dan kitab suci. Petunjuk (*al-Hudā*) telah tersedia, dan pilihan untuk mengikutinya atau tidak diserahkan kepada manusia.
"dan sesungguhnya milik Kami (kekuasaan) akhirat dan dunia." (Ayat 13) Penegasan ini mengingatkan bahwa kikir dan sombong di dunia adalah tindakan bodoh, karena semua kekuasaan, termasuk harta yang mereka banggakan, pada akhirnya adalah milik Allah. Kekuasaan Allah mencakup kehidupan yang singkat (dunia) dan kehidupan yang kekal (akhirat).
Allah memperingatkan dengan api neraka yang disebut *Nāran Talaẓẓā* (api yang menyala-nyala). Salah satu nama neraka yang disebutkan secara khusus dalam konteks ini adalah *Al-Ladzā* (Neraka yang bergejolak hebat).
Ayat 15 dan 16 menegaskan bahwa neraka ini tidak dimasuki kecuali oleh *Al-Asyqā* (orang yang paling celaka). Siapakah orang yang paling celaka itu? Mereka adalah "yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan)." Ini mencakup penggabungan dosa keyakinan (mendustakan) dan dosa perbuatan (berpaling dari perintah Allah dan enggan berinfak).
Ibnu Abbas menafsirkan *Al-Asyqā* sebagai orang yang mendustakan Rasulullah SAW dan berpaling dari syariat yang dibawa oleh beliau. Kekikiran adalah manifestasi dari penolakan kebenaran ini.
Setelah memberikan gambaran mengerikan tentang nasib orang celaka, surat ini kembali menegaskan balasan agung bagi golongan yang bertakwa.
"Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa (*Al-Atqā*)." (Ayat 17) Kontras dengan *Al-Asyqā*, *Al-Atqā* (orang yang paling bertakwa) akan diselamatkan dari api neraka yang menyala-nyala.
Kriteria utama *Al-Atqā* disebutkan pada Ayat 18: "yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya (*Yatazakkā*)." Kata *Yatazakkā* menunjukkan niat suci di balik pemberian harta. Infak itu bertujuan untuk mensucikan jiwa dari sifat kikir, sombong, dan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa amal saleh, terutama infak, adalah alat utama pensucian diri.
Ayat 19 dan 20 adalah puncak dari pelajaran tentang niat. Ayat ini menjelaskan mengapa Abu Bakar (sebagai contoh utama *Al-Atqā*) sangat mulia. Ia tidak memberi kepada seseorang karena orang itu pernah berbuat baik kepadanya di masa lalu dan ia harus membalas budi. Tidak ada nikmat yang harus dibalas (*Ni’matin Tujzā*). Pemberiannya murni karena:
"melainkan (dia memberikan itu semata-mata) untuk mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi (*Ibtighā’a Wajhi Rabbihil-A‘lā*)." (Ayat 20)
Motivasi murni mencari wajah Allah adalah standar tertinggi dalam amal. Infak yang diterima di sisi Allah adalah yang bebas dari pamrih duniawi, pujian manusia, atau balasan setimpal dari penerima.
Kesimpulan dan janji pamungkas: "Dan kelak dia benar-benar akan puas (*Wa Lasaufa Yarḍā*)." (Ayat 21) Kepuasan ini adalah kepuasan abadi di surga, meliputi keridaan Allah, pahala yang berlimpah, dan kedamaian jiwa yang sempurna. Ini adalah hasil akhir yang dijanjikan bagi mereka yang mengutamakan Allah di atas harta benda duniawi.
Surat Al-Lail adalah contoh luar biasa dari *I'jaz Al-Qur'an* (kemukjizatan linguistik) dalam surat-surat pendek (Mufassal). Koherensi tema, diksi yang kuat, dan penggunaan kontras yang tajam membuat pesannya sangat mengena.
Seluruh surat dibangun di atas pasangan kontras (antitesis):
Penggunaan kontras ini, yang disebut *Tibaqa* dalam ilmu Balaghah, bertujuan untuk mengunci pikiran pembaca bahwa di alam semesta ini, segala sesuatu diciptakan berpasangan, dan demikian pula nasib dan amal manusia—hanya ada dua jalur yang jelas.
Surah Al-Lail melanjutkan serangkaian tema yang dimulai dari Surah Ash-Shams (Matahari) dan Surah Al-Balad (Negeri). Surah Ash-Shams berakhir dengan sumpah bahwa jiwa yang suci beruntung dan jiwa yang kotor merugi. Al-Lail kemudian merinci secara praktis bagaimana cara mensucikan jiwa (melalui memberi, takwa, dan niat murni) dan bagaimana cara mengotorinya (melalui kekikiran dan kesombongan).
Al-Lail dan Surah Adh-Dhuha (Duha) juga memiliki hubungan tematik kuat karena keduanya membahas janji Allah kepada hamba-Nya dan menggunakan sumpah tentang waktu (malam/siang/Duha) untuk mengawali pesan moral.
Surat Al-Lail memberikan peta jalan yang jelas bagi setiap Muslim mengenai nilai-nilai yang harus dipegang teguh. Pelajaran-pelajaran ini menyentuh aspek teologi, etika sosial, dan spiritualitas pribadi.
Pelajaran terpenting dari ayat 19-20, yang sering dikaitkan dengan kisah Abu Bakar, adalah bahwa nilai amal tidak terletak pada kuantitasnya, melainkan pada kualitas niatnya. Infak yang dilakukan semata-mata untuk mencari keridaan Allah (*Ibtighā’a Wajhi Rabbihil-A‘lā*) adalah amal yang paling tinggi. Jika seseorang memberi karena ingin dilihat manusia, mengharapkan balasan, atau sekadar ingin menutupi utang budi, amalnya tidak mencapai derajat *Al-Atqā*.
Ini menuntut introspeksi pada setiap amal. Apakah ibadah dan sedekah kita dilakukan untuk Allah, atau untuk memenuhi standar sosial? Surat Al-Lail mengajarkan bahwa keikhlasan adalah kunci utama untuk mendapatkan kemudahan (*al-yusrā*) dari Allah SWT.
Ayat 18 menggunakan istilah *Yatazakkā* (membersihkan diri). Infak bukan hanya transaksi finansial, melainkan proses spiritual. Kekikiran (*al-bukhl*) adalah penyakit hati yang menghalangi manusia dari Allah. Dengan mengeluarkan harta (bahkan dalam kondisi memerlukan), seseorang memerangi penyakit tersebut dan memurnikan jiwanya. Ini menegaskan bahwa infak adalah ibadah yang membersihkan dan meninggikan derajat seseorang.
Surat ini secara eksplisit menggabungkan takwa (*wattaqā*) dengan memberi (*a'ṭā*). Seseorang tidak bisa mengklaim dirinya bertakwa jika ia kikir, dan sebaliknya, kedermawanan sejati hanya lahir dari hati yang bertakwa. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama. Takwa adalah landasan, dan kedermawanan adalah manifestasi nyata dari landasan tersebut.
Surat Al-Lail adalah peringatan yang tajam tentang tanggung jawab. Ayat 4 (*Inna sa'yakum lasyattā*) menegaskan bahwa waktu dan usaha kita di dunia tidak sia-sia, tetapi sedang diklasifikasikan menjadi dua kategori yang abadi. Tidak ada jalan tengah antara *Al-Yusrā* dan *Al-'Usrā*. Pilihan yang kita ambil hari ini, baik dalam mengelola harta, niat, maupun sikap kita terhadap kebenaran, menentukan tempat tinggal kita selamanya.
Bagi orang yang kikir dan sombong, ayat 11 menekankan bahwa harta tidak akan berguna saat mereka menghadapi takdir (kematian). Ini adalah pukulan keras terhadap materialisme, yang menganggap bahwa harta dapat membeli keselamatan atau kebahagiaan abadi.
Meskipun Surah Al-Lail adalah Makkiyah dan fokus pada akidah dan moral, beberapa implikasi fiqh (hukum Islam) dapat ditarik dari pesannya yang kuat mengenai infak dan pertanggungjawaban.
Surat ini mendorong infak secara umum, meliputi sedekah wajib (zakat) dan sedekah sunnah. Ayat 5 yang menyebutkan "memberikan (hartanya)" (*a'ṭā*) mencakup semua bentuk pengeluaran harta di jalan Allah. Para ulama menggunakan ayat ini sebagai dalil tentang keutamaan sedekah sunnah yang dilakukan secara rahasia dan tanpa mengharapkan pujian, sebagaimana dicontohkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq.
Implikasi hukum dari Ayat 20 ("melainkan untuk mencari keridaan Tuhannya") adalah penegasan bahwa niat (*nīyyah*) adalah syarat sah dan diterimanya amal ibadah, termasuk infak. Jika infak diniatkan untuk riya' (pamer) atau mencari keuntungan duniawi semata, maka pahalanya akan gugur.
Ayat 8, yang menyebutkan orang yang kikir dan "merasa dirinya cukup" (*wastaghnā*), mengkritik sikap bergantung sepenuhnya pada materi (harta). Secara fiqih, ini menyangkut konsep *tawakkul*. Seorang Muslim harus bekerja keras, tetapi ia harus mengakui bahwa semua rezeki datang dari Allah, dan oleh karena itu, ia harus menunaikan hak Allah melalui infak. *Wastaghnā* adalah sikap yang bertentangan dengan *tawakkul* yang benar.
Surat Al-Lail, meskipun pendek, memberikan energi spiritual yang besar untuk mengubah cara pandang kita terhadap harta dan amal. Berikut adalah cara praktis mengaplikasikan pelajaran dari surat ini:
Alihkan pemikiran dari "Bagaimana saya mempertahankan harta saya?" menjadi "Bagaimana saya menggunakan harta ini untuk membersihkan diri saya dan mencapai keridaan Allah?" Ingatlah peringatan bahwa harta tidak akan berguna saat kita binasa (Ayat 11). Harta hanyalah alat, bukan tujuan.
Dalam setiap ibadah, berjuanglah untuk mencapai standar *Ibtighā’a Wajhi Rabbihil-A‘lā*. Sebelum melakukan sedekah, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini demi Allah semata, atau ada harapan pujian dari manusia? Lakukanlah amal kebaikan yang hanya diketahui oleh Anda dan Allah, seperti yang dicontohkan oleh Abu Bakar.
Allah menjanjikan kemudahan (*al-yusrā*) bagi orang yang bertakwa dan memberi. Kemudahan ini bukan berarti bebas dari cobaan dunia, tetapi kemudahan dalam menghadapi cobaan tersebut dengan sabar dan iman. Kemudahan dalam beramal saleh adalah rezeki besar yang harus selalu kita minta kepada Allah. Jika kita merasa berat untuk beribadah atau berinfak, itu adalah tanda bahwa kita mungkin mulai berjalan di jalur *al-‘usrā*, dan kita perlu segera kembali kepada Allah.
Kekikiran tidak hanya soal uang, tetapi juga waktu, tenaga, dan ilmu. Seorang yang kikir (*bakhil*) adalah orang yang menahan kebaikan yang seharusnya bisa ia berikan. Berhati-hatilah agar kekikiran tidak merasuk, karena ia adalah ciri khas dari *Al-Asyqā* (orang yang paling celaka).
Dengan memahami secara mendalam kandungan Surat Al-Lail, seorang Muslim diarahkan untuk menjalani kehidupan yang diwarnai oleh kedermawanan yang tulus dan ketakwaan yang murni. Dualitas yang digambarkan dalam surat ini berfungsi sebagai timbangan moral yang permanen, mengingatkan kita bahwa setiap tindakan yang kita lakukan di dunia ini adalah investasi abadi untuk nasib kita di akhirat. Keutamaan sejati terletak pada kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu materi demi meraih keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi, sebuah jalan yang pasti akan membawa pada kepuasan yang tiada batas.
Marilah kita renungkan sumpah-sumpah Allah tentang malam, siang, dan penciptaan, dan jadikanlah janji-Nya tentang *Al-Yusrā* (kemudahan) sebagai motivasi terbesar untuk menjadi golongan *Al-Atqā* (yang paling bertakwa) dalam setiap aspek kehidupan kita.