Jembatan Abadi Menuju Pemahaman Kitab Suci
Bahasa Arab, dalam konteks Al-Qur'an, bukanlah sekadar alat komunikasi biasa. Ia adalah wadah suci, medium abadi yang dipilih secara ilahiah untuk memuat firman terakhir Tuhan kepada umat manusia. Kedudukannya melampaui batas-batas linguistik murni; ia menempati singgasana spiritual dan keilmuan yang tak tertandingi dalam peradaban Islam. Mempelajari dan memahami Bahasa Arab Qur'ani adalah sebuah keniscayaan bagi siapa pun yang mendambakan kedalaman makna dari sumber utama ajaran Islam.
Kajian mendalam terhadap bahasa ini menyingkap lapis-lapis keindahan, ketelitian sintaksis, dan kekayaan leksikal yang luar biasa, dikenal sebagai *I’jaz* (kemukjizatan). Keunikan ini memastikan bahwa terjemahan, meskipun diperlukan, tidak pernah dapat menggantikan teks asli. Setiap huruf, setiap harakat, dan setiap penempatan kata dalam Al-Qur'an memiliki peran krusial yang membangun sistem makna yang kohesif, mendalam, dan universal, menjadikannya standar tertinggi bagi seluruh literatur berbahasa Arab, baik kuno maupun kontemporer.
Artikel ini akan membedah secara komprehensif aspek-aspek kunci yang membentuk keagungan Bahasa Arab Al-Qur'an, mulai dari latar belakang sejarah, struktur morfologi dan sintaksisnya yang kompleks, hingga keindahan retorika (balaghah) yang memastikan bahwa pesan wahyu selalu relevan dan tak tertandingi sepanjang masa.
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih (*Al-Lughatul ‘Arabiyyah Al-Fushah*), spesifiknya dalam dialek suku Quraisy di Mekah. Sebelum Islam, Jazirah Arab adalah mosaik dialek yang beragam, namun dialek Quraisy memiliki keunggulan politik dan ekonomi karena menguasai jalur perdagangan dan Kakbah. Ketika wahyu datang, ia mengkonsolidasikan keunggulan dialek ini, mengangkatnya dari sekadar bahasa kesukuan menjadi bahasa standar agama dan ilmu pengetahuan.
Penyatuan linguistik ini penting. Meskipun para penyair pra-Islam (era Jahiliyah) telah mencapai puncak retorika, bahasa mereka sering kali bersifat lokal dan fragmentaris. Al-Qur'an datang dengan gaya yang melampaui kemampuan para penyair dan ahli bahasa kontemporer, sekaligus menyediakan kerangka kerja linguistik yang stabil dan universal. Al-Qur'an berfungsi sebagai titik referensi abadi yang menghentikan pergeseran bahasa (linguistic drift) dan memastikan kelangsungan bahasa Arab Klasik.
Setelah ekspansi Islam, jutaan non-Arab memeluk agama ini. Kontak antara penutur asli Arab dengan penutur bahasa lain memunculkan risiko erosi dan kesalahan dalam pengucapan serta pemahaman Al-Qur'an. Kesalahan sintaksis atau morfologi dalam pembacaan Al-Qur'an dapat mengubah makna teologis secara drastis.
Kebutuhan untuk menjaga kemurnian teks inilah yang melahirkan ilmu tata bahasa Arab: Nahwu (Sintaksis) dan Sharf (Morfologi). Tokoh-tokoh seperti Abu Al-Aswad Ad-Du'ali dan Sibawaih, dengan karyanya yang monumental, ‘Al-Kitab,’ menetapkan kaidah-kaidah yang merefleksikan struktur bahasa sebagaimana yang digunakan oleh Al-Qur'an. Dengan kata lain, tata bahasa Arab tidak menciptakan aturan; ia mendeskripsikan dan mengkodifikasi pola-pola yang telah ada dan disucikan dalam Kitab Suci.
Nahwu memastikan penempatan dan hubungan antar kata tetap terjaga, terutama melalui sistem I'rab (infleksi), yang merupakan jantung dari ketepatan makna Qur'ani. Tanpa studi Nahwu yang benar, mustahil membedakan pelaku dari objek, atau subjek dari keterangan, dalam kalimat kompleks Al-Qur'an, yang seringkali memiliki urutan kata yang fleksibel demi tujuan retorika.
Ilustrasi menunjukkan sistem akar kata (Jidhr) yang menjadi basis morfologi Bahasa Arab Qur'ani.
Salah satu ciri paling fundamental dari Bahasa Arab adalah sistem akar triliteral (tiga huruf). Hampir semua kata benda (*ism*) dan kata kerja (*fi’il*) diturunkan dari tiga konsonan dasar yang membawa makna inti semantik. Proses penurunan ini diatur oleh ilmu Sharf (morfologi). Sistem ini memungkinkan bahasa untuk menghasilkan ribuan kata dengan nuansa makna yang berbeda hanya dengan memanipulasi vokal dan menambahkan prefiks, infiks, atau sufiks pada akar yang sama.
Ambil contoh akar ك-ت-ب (K-T-B), yang memiliki makna inti 'menulis' atau 'mengumpulkan'. Dari sini, kita mendapatkan: كَتَبَ (kataba - dia telah menulis), كِتَابٌ (kitabun - buku/tulisan), مَكْتَبٌ (maktabun - kantor/tempat menulis), مَكْتَبَةٌ (maktabatun - perpustakaan/toko buku), dan اِسْتَكْتَبَ (istaktaba - dia meminta dituliskan). Kekuatan sistem akar ini memberikan Al-Qur'an kepadatan leksikal yang luar biasa. Sebuah ayat pendek sering kali mengandung makna yang setara dengan paragraf panjang dalam bahasa yang tidak terstruktur secara morfologis.
I'rab adalah mekanisme tata bahasa Arab yang menggunakan harakat (vokal pendek) di akhir kata untuk menunjukkan fungsi sintaksis kata tersebut dalam sebuah kalimat (Subjek, Objek, Genitif, dll.). Ada tiga kasus utama: Rafa' (Nominatif, biasanya ditandai dengan dammah), Nashb (Akusatif, ditandai dengan fathah), dan Jarr (Genitif, ditandai dengan kasrah).
Peran I'rab dalam Al-Qur'an bersifat mutlak. Tanpa I'rab, makna ayat akan ambigu atau bahkan terbalik. Contoh klasik yang sering dikutip untuk menjelaskan pentingnya I'rab adalah: إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Jika kita membaca kata 'Allah' (اللَّهَ) dengan Fathah (nashb), ia berfungsi sebagai Objek (yang ditakuti), dan 'Ulama' (الْعُلَمَاءُ) dengan Dammah (rafa'), ia berfungsi sebagai Subjek (yang menakuti). Maknanya adalah: "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama." Jika I'rab ini terbalik, secara harfiah maknanya akan menjadi kekufuran. Keakuratan tanda baca ini adalah benteng yang menjaga makna teologis. Dalam bahasa-bahasa Eropa yang mengandalkan urutan kata tetap, fleksibilitas semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa ambiguitas.
Al-Qur'an menggunakan kata ganti (dhamir) dengan presisi yang menakjubkan, seringkali beralih dari satu orang (orang pertama, kedua, ketiga) ke orang lain dalam paragraf yang sama (fenomena yang disebut Iltifat). Peralihan ini bukan kesalahan tata bahasa, melainkan teknik retorika yang kuat untuk menyentak perhatian pembaca atau menunjukkan perubahan perspektif, misalnya, dari Tuhan yang berbicara melalui perantara (orang ketiga) menjadi Tuhan yang berbicara secara langsung (orang pertama).
Balaghah adalah ilmu retorika atau eloquensi dalam Bahasa Arab, yaitu seni menyampaikan makna yang mendalam dan indah sesuai dengan konteks dan audiens. Balaghah dibagi menjadi tiga cabang utama: Ilmul Ma'ani (Ilmu Makna, berurusan dengan struktur sintaksis), Ilmul Bayan (Ilmu Ekspresi, berurusan dengan majas dan perumpamaan), dan Ilmul Badi' (Ilmu Keindahan, berurusan dengan ornamen linguistik).
Al-Qur'an adalah puncak tertinggi dari Balaghah dan Fasahah (kefasihan). Kefasihan di sini mencakup kesempurnaan pemilihan kata, keselarasan bunyi (euphony), dan ketiadaan kekakuan dalam struktur kalimat. Al-Qur'an menantang bangsa Arab yang paling fasih sekalipun—mereka yang hidup di zaman keemasan sastra lisan—untuk menghasilkan sesuatu yang serupa, dan tantangan itu tidak pernah dapat dipenuhi.
Dalam Ilmul Ma'ani, fokus diberikan pada mengapa suatu kalimat disusun dengan urutan tertentu. Misalnya, penggunaan kalimat nominatif (jumlah ismiyyah) versus kalimat verbal (jumlah fi'liyyah). Jumlah ismiyyah, yang menekankan kata benda, sering digunakan untuk menunjukkan kemantapan, keabadian, atau sifat yang permanen (misalnya, sifat-sifat Allah). Sementara jumlah fi'liyyah, yang menekankan kata kerja, digunakan untuk menunjukkan peristiwa, aksi, atau perubahan.
Ketika Al-Qur'an mendeskripsikan sifat-sifat surga atau neraka, sering digunakan jumlah ismiyyah untuk menyiratkan bahwa keadaan tersebut adalah keadaan yang tetap dan tidak berubah. Kehati-hatian dalam pemilihan struktur kalimat ini adalah bagian integral dari I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur'an, menunjukkan bahwa tidak ada satu kata pun yang dapat ditukar tempatnya tanpa merusak kesempurnaan makna.
Ilmul Bayan mengajarkan penggunaan perumpamaan (tasybih), metafora (isti’arah), dan kiasan (kinayah). Al-Qur'an menggunakan perumpamaan yang sangat kuat untuk membuat konsep-konsep metafisik menjadi dapat dipahami. Misalnya, mendeskripsikan perbuatan orang kafir yang sia-sia: كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ (Seperti abu yang ditiup angin kencang pada hari badai). Metafora ini secara instan menyampaikan kesan ketiadaan hasil dan kehampaan, sebuah gambaran visual yang intens. Keunggulan Ilmul Bayan terletak pada efisiensinya dalam menyampaikan ide yang kompleks dalam bentuk yang paling ringkas dan berdampak.
Meskipun Al-Qur'an bukanlah puisi, ia memiliki pola ritmis dan rima akhir (disebut Fawasil) yang berbeda dari prosa biasa. Rima ini, terutama dalam surat-surat Makkiyah yang pendek, berfungsi untuk mengikat tema dan memberikan dampak emosional yang kuat kepada pendengar. Fawasil ini tidak pernah mengorbankan makna demi rima, menunjukkan bahwa bunyi dan makna bergerak dalam harmoni sempurna, suatu hal yang mustahil dicapai dalam sastra manusia.
Bahasa Arab Qur'ani kaya akan polysemy, di mana satu kata memiliki beberapa makna yang terkait, tergantung konteksnya. Memahami konteks adalah kunci untuk menafsirkan teks suci. Contoh paling menonjol adalah kata آيَةٌ (Ayah/Ayat). Dalam Al-Qur'an, kata ini dapat berarti: (1) Tanda atau bukti kekuasaan Tuhan di alam semesta, (2) Mukjizat yang diberikan kepada para Nabi, atau (3) Bagian dari teks Al-Qur'an (ayat). Tiga makna ini terhubung secara intrinsik: Ayat Al-Qur'an adalah tanda, dan mukjizat adalah tanda. Kesatuan semantik ini menegaskan keutuhan pesan wahyu.
Beberapa konsep sentral Islam diekspresikan melalui kata-kata yang maknanya telah diperkaya dan disempurnakan oleh Al-Qur'an, jauh melampaui penggunaan pra-Islamnya:
Analisis leksikal yang cermat menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak hanya meminjam kosakata, tetapi juga mereformasi seluruh medan semantik bahasa Arab, menetapkan definisi-definisi baru yang bersifat teologis dan etis.
Kompleksitas bahasa Al-Qur'an memunculkan kebutuhan akan disiplin ilmu pendukung yang masif, yang secara kolektif dikenal sebagai Ulumul Qur'an (Ilmu-ilmu Al-Qur'an). Ilmu-ilmu ini dirancang untuk memastikan bahwa pemahaman terhadap teks suci tidak menyimpang dari maksud ilahiahnya. Inti dari semua ilmu ini adalah keunggulan linguistik teks.
Ilmu ini berfokus pada kata-kata yang jarang atau asing (Gharib) dalam kosakata Arab Klasik, yang muncul dalam Al-Qur'an. Meskipun Al-Qur'an fasih, ia tetap menggunakan beberapa istilah yang mungkin tidak umum di kalangan masyarakat Quraisy sehari-hari tetapi dikenal oleh kabilah-kabilah Arab lain yang memiliki kedalaman bahasa. Memahami kata-kata Gharib ini sangat penting, karena penafsiran yang salah terhadap satu kata dapat memutarbalikkan pesan seluruh ayat. Upaya kodifikasi Gharib Al-Qur'an menunjukkan betapa para ulama sejak dini menyadari perlunya mempertahankan pemahaman leksikal yang presisi.
Meskipun Asbabun Nuzul bersifat historis, ia memiliki implikasi linguistik yang mendalam. Mengetahui konteks sosio-historis suatu ayat membantu para ahli bahasa memahami rujukan, kiasan, dan juga tingkat retorika yang digunakan. Ayat yang ditujukan untuk situasi spesifik sering kali menggunakan sintaksis yang lebih langsung, sementara ayat yang bersifat universal mungkin menggunakan bahasa yang lebih metaforis atau struktural yang menekankan keabadian.
Tafsir (eksegesis) adalah puncak aplikasi linguistik terhadap teks. Mufassir (penafsir) harus menguasai semua aspek tata bahasa (Nahwu dan Sharf), retorika (Balaghah), dan leksikologi untuk mengungkap makna. Ada berbagai metodologi tafsir, namun yang paling dihormati adalah Tafsir Bil Ma'tsur (berdasarkan riwayat Nabi dan Sahabat), karena para Sahabat adalah penutur asli Bahasa Arab Qur'ani, dan pemahaman mereka dianggap sebagai interpretasi yang paling dekat dengan realitas linguistik aslinya.
Misalnya, penafsiran mengenai penggunaan kata الظُلْمُ (kezaliman) dalam Al-Qur'an. Secara leksikal, ia berarti menempatkan sesuatu di tempat yang salah. Namun, dalam konteks teologis, ia mencakup syirik (penempatan ibadah pada selain Allah), pelanggaran hak orang lain, dan dosa-dosa besar lainnya. Hanya melalui gabungan antara pemahaman linguistik murni dan konteks teologis (tafsir) makna komprehensif ini dapat diakses.
Pembelajar modern sering kali bergumul dengan jurang pemisah antara Bahasa Arab Klasik (Qur'ani) dan Bahasa Arab Standar Modern (MSA, atau *Fushah Al-Asr*), apalagi dengan dialek sehari-hari (Amiyyah). Meskipun MSA secara tata bahasa dibangun di atas fondasi Klasik, ia telah menyerap banyak kosakata baru, dan banyak struktur sintaksis kompleks yang biasa dalam Al-Qur'an jarang digunakan dalam tulisan kontemporer.
Oleh karena itu, seseorang yang mahir dalam MSA jurnalistik belum tentu mampu memahami kedalaman retorika dan presisi I'rab dari ayat-ayat Al-Qur'an tanpa studi khusus dalam ilmu Nahwu dan Balaghah Klasik. Tantangan ini memperkuat perlunya pendekatan studi yang berakar pada teks-teks klasik dan bukan hanya pada kurikulum bahasa modern.
Mempelajari Bahasa Arab Al-Qur'an adalah sebuah perjalanan spiritual dan intelektual. Ia membuka pintu pemahaman langsung terhadap pesan wahyu, membebaskan pembaca dari ketergantungan mutlak pada terjemahan. Terjemahan, meskipun berguna, selalu merupakan interpretasi, bukan teks itu sendiri. Terjemahan gagal menangkap Balaghah—ritme, nuansa I'rab, dan kepadatan semantik—yang merupakan esensi dari I'jaz.
Ketika seorang pembaca memahami mengapa kata kerja didahulukan di sini, atau mengapa kata sifat diletakkan di sana, ia mulai menyaksikan mukjizat bahasa yang disajikan oleh Al-Qur'an. Pemahaman ini mengubah pengalaman membaca dari sekadar konsumsi informasi tekstual menjadi interaksi mendalam dengan firman Ilahi.
Selain struktur tata bahasa, terdapat pula kajian mendalam mengenai pola numerik dan penggunaan huruf tunggal (Huruf Muqatta’ah) di awal beberapa surat. Meskipun interpretasi huruf-huruf ini tetap menjadi misteri yang mendalam, studi statistik modern, seperti yang dilakukan oleh beberapa ahli linguistik, menyoroti frekuensi penggunaan huruf tertentu yang konsisten dan berpola matematis. Meskipun kontroversial, studi ini menambah dimensi pada pandangan bahwa Al-Qur'an adalah struktur linguistik yang dirancang dengan ketelitian absolut, yang melampaui kemampuan acak atau kemampuan manusia.
Setiap fonem dan morfologi dalam bahasa Al-Qur'an berfungsi sebagai lapisan-lapisan makna yang saling mendukung. Tidak ada pemborosan kata (*hashw*) atau redundansi yang tidak perlu. Setiap pengulangan (takrar) dalam Al-Qur'an berfungsi untuk tujuan penekanan retoris yang spesifik. Misalnya, pengulangan frasa "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" dalam Surah Ar-Rahman berfungsi untuk secara ritmis menantang pembaca dan menekankan kesinambungan nikmat Ilahi yang tak terputus.
Al-Qur'an terkadang menggunakan struktur sintaksis yang 'menyimpang' dari norma tata bahasa yang sudah dikodifikasi (yang sebenarnya, kodifikasi tersebut didasarkan pada Al-Qur'an). Deviasi ini, seperti penggunaan bentuk jamak tertentu atau pengecualian dalam I'rab, bukanlah 'kesalahan,' melainkan 'Puncak Kefasihan' (*Al-Fasahah Al-Ulya*). Ahli Nahwu klasik mengakui bahwa jika Al-Qur'an menggunakan bentuk yang tidak umum, itu karena bentuk itu adalah yang paling fasih dan paling tepat secara retoris untuk konteks tersebut, bahkan jika hal itu kemudian menjadi pengecualian dalam buku-buku tata bahasa.
Salah satu contoh paling menakjubkan adalah penekanan ganda atau bahkan tiga kali lipat yang digunakan untuk menyampaikan janji atau peringatan. Penggunaan partikel penegasan (seperti إِنَّ (Inna) dan لَـ (Laam)) secara bersamaan menghasilkan intensitas makna yang tidak dapat ditiru oleh bahasa lain. Bahasa Arab Qur'ani mampu memberikan 'bobot' teologis pada sebuah kalimat hanya melalui penambahan partikel penegas, menjadikannya alat yang sempurna untuk komunikasi transenden.
Selama Zaman Keemasan Islam, Bahasa Arab Al-Qur'an menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Kosa kata dasar yang digunakan dalam teologi, filsafat, matematika, kedokteran, dan astronomi pada dasarnya berasal dari akar kata Arab Qur'ani atau dikembangkan melalui sistem morfologi yang ketat yang disempurnakan oleh kontak dengan teks suci.
Konsep-konsep seperti منطق (Mantiq - Logika), حكمة (Hikmah - Kebijaksanaan), dan وجود (Wujud - Eksistensi) diadaptasi dan diperkaya dari konteks Qur'ani untuk membangun kerangka filsafat Islam. Kedisiplinan sintaksis Bahasa Arab memastikan bahwa terjemahan dan pengembangan ilmu dari bahasa Yunani ke Arab dilakukan dengan ketelitian, membantu melestarikan warisan intelektual klasik yang kemudian diteruskan ke Eropa. Bahasa ini tidak hanya melayani agama, tetapi juga berfungsi sebagai kendaraan peradaban universal.
Metode yang digunakan untuk mempertahankan teks Al-Qur'an, termasuk pengembangan sistem vokal (harakat) dan titik (nuqat) oleh ahli bahasa seperti Khalil bin Ahmad al-Farahidi, merupakan sumbangan linguistik yang monumental. Sebelum ini, aksara Arab hanya terdiri dari konsonan. Penambahan harakat dan nuqat memungkinkan pembaca non-Arab membaca teks dengan akurasi yang sama seperti penutur aslinya, sebuah teknik konservasi teks yang tidak tertandingi oleh tradisi naskah lain pada masanya. Sistem ini adalah manifestasi langsung dari upaya menjaga kesucian I'rab Al-Qur'an.
Salah satu tantangan terbesar dalam menganalisis Al-Qur'an adalah kohesi strukturalnya. Tidak seperti buku yang disusun secara tematik atau kronologis, Al-Qur'an disusun berdasarkan perintah Ilahi. Bahasa Arab Qur'ani mengatasi keragaman topik ini melalui pola rujukan yang kompleks. Sebuah kata ganti (dhamir) dapat merujuk kembali ke topik yang disebutkan beberapa ayat sebelumnya, menciptakan jaring makna yang kohesif. Para ahli tafsir dan linguistik menghabiskan hidup mereka memetakan jaring rujukan ini, yang menegaskan bahwa teks tersebut adalah satu kesatuan organik, meskipun diturunkan secara bertahap selama dua dekade lebih.
Analisis pada ta'liq (hubungan) antara awal surat dan akhir surat, atau antara satu ayat dan ayat berikutnya, seringkali menunjukkan kaitan leksikal atau fonetis yang halus. Kaitan ini, yang hanya dapat diakses melalui pemahaman langsung terhadap Bahasa Arab, adalah bukti lebih lanjut dari desain sempurna teks tersebut, yang dikenal sebagai Munasabah (koherensi tematik).
Simbolisasi Al-Qur'an sebagai sumber cahaya dan bahasa yang suci.
Bahasa Arab Al-Qur'an adalah sebuah struktur linguistik yang keahliannya diakui secara universal, bahkan oleh mereka yang non-Muslim yang mendalami sastra Arab Klasik. Bahasa ini bukan hanya media untuk menyampaikan ajaran, tetapi merupakan bagian integral dari mukjizat itu sendiri. Struktur morfologisnya yang ketat, fleksibilitas sintaksisnya yang dikendalikan oleh I'rab, serta ketinggian retorikanya (Balaghah) membentuk sebuah ekosistem linguistik yang sempurna dan tak tertandingi.
Memahami Al-Qur'an memerlukan penguasaan pada tiga tingkatan utama: leksikal (kosa kata), struktural (Nahwu dan Sharf), dan retorikal (Balaghah). Kegagalan pada salah satu tingkatan ini berarti kehilangan kedalaman makna yang terkandung. Melalui studi yang tekun terhadap ilmu-ilmu yang menjaga kemurnian Bahasa Arab Qur'ani, seorang Muslim dapat melampaui pembacaan harfiah terjemahan dan mencapai pemahaman yang lebih kaya, lebih bernuansa, dan lebih dekat dengan maksud Ilahi.
Oleh karena itu, upaya konservasi dan revitalisasi studi Bahasa Arab Klasik tetap menjadi proyek keilmuan yang vital bagi umat Islam di seluruh dunia. Bahasa ini adalah kunci spiritual menuju kedalaman Ma’rifat (pengenalan) dan hikmah yang terkandung dalam Kitab Suci, memastikan bahwa pesan abadi Al-Qur'an terus bercahaya dan relevan bagi setiap generasi.
Kemukjizatan linguistik ini telah teruji oleh waktu. Selama berabad-abad, upaya untuk menandingi Al-Qur'an dalam hal keindahan, koherensi, dan kedalaman makna telah gagal total. Fakta ini bukan hanya klaim teologis, melainkan kesimpulan yang dicapai melalui analisis linguistik yang paling ketat. Bahasa Arab Al-Qur'an adalah warisan abadi, sebuah mercusuar yang memandu umat manusia melalui kompleksitas hidup menuju kebenaran yang hakiki.
Studi terhadap sistem I'rab menunjukkan adanya lapisan-lapisan kekayaan makna yang tidak pernah habis. Bahkan variasi kecil pada harakat dapat menggeser fokus dari pelaku ke perbuatan, atau dari keumuman ke kekhususan, semuanya diatur dengan presisi yang mengejutkan. Dalam konteks ayat-ayat hukum, presisi ini menjadi penentu utama dalam penetapan fiqih (yurisprudensi Islam). Jika sebuah kata diangkat ke kasus akusatif (Nashb), itu mungkin menandakan bahwa kata tersebut adalah pengecualian dari aturan umum (Mustatsna), sebuah detail kecil yang memiliki implikasi hukum yang besar. Tidak ada bahasa lain yang mampu memadatkan kekayaan hukum dan etika dalam kerangka sintaksis yang begitu ringkas.
Selain itu, sistem penamaan (tasmiyyah) yang digunakan Al-Qur'an menunjukkan kehati-hatian leksikal. Misalnya, penggunaan nama-nama Allah (Asma'ul Husna). Ketika konteksnya adalah rahmat, digunakan kata الرَّحْمَنُ (Ar-Rahman) atau الرَّحِيمُ (Ar-Rahim). Namun, setiap kata ini memiliki nuansa semantik yang berbeda: Ar-Rahman merujuk pada rahmat yang meliputi segala sesuatu di dunia, sedangkan Ar-Rahim merujuk pada rahmat yang dikhususkan bagi orang-orang beriman di akhirat. Perbedaan ini, yang didukung oleh analisis morfologis (Sharf), menegaskan bahwa setiap pilihan kata dalam Al-Qur'an adalah hasil dari keputusan retoris dan teologis yang tertinggi.
Keagungan ini diperkuat oleh studi tentang Qira'at (berbagai cara pembacaan Al-Qur'an). Meskipun Qira'at memiliki variasi dalam vokal atau konsonan tertentu, variasi ini hampir selalu berasal dari dialek Arab kuno yang autentik dan selalu konsisten dengan kaidah tata bahasa Arab Fusha. Variasi Qira'at tidak pernah mengubah makna inti ayat secara kontradiktif, melainkan memperkaya pemahaman semantik, menambahkan dimensi makna yang mungkin tersembunyi jika hanya dibaca dalam satu cara saja. Konsistensi linguistik di antara berbagai Qira'at ini menjadi bukti tambahan atas kemukjizatan teks dan kehebatan bahasa yang dipilih untuk menampungnya.