I. Bahasa Arabnya Al-Fatihah: Makna Etimologis dan Nomenklatur
Pertanyaan mendasar mengenai "bahasa Arabnya Al-Fatihah" membawa kita langsung pada inti dari penamaannya yang agung. Secara harfiah, Surah pertama dalam mushaf Al-Qur'an ini dinamakan: الفَاتِحَةُ (Al-Fātiḥah).
1. Makna Literal: 'Pembukaan' (The Opening)
Kata Al-Fātiḥah berasal dari akar kata Arab فَتَحَ (fa-ta-ḥa) yang memiliki makna dasar 'membuka', 'memulai', atau 'menjelaskan'. Oleh karena itu, Al-Fatihah memiliki beberapa implikasi signifikan terkait penamaan ini:
- Pembukaan Kitab Suci: Surah ini adalah surah pertama yang ditulis dan dibaca dalam Al-Qur'an. Ia berfungsi sebagai kunci yang membuka gerbang pemahaman terhadap keseluruhan isi wahyu.
- Pembukaan Shalat: Tidak sah shalat tanpa membacanya. Ia adalah pembuka bagi dialog antara hamba dan Rabb-nya dalam ibadah formal.
- Pembuka Pintu Petunjuk: Secara spiritual, ia memohon petunjuk langsung (ihdinas shiratal mustaqim), membuka jalan lurus bagi jiwa.
2. Nama-Nama Lain Al-Fatihah (Keagungan Nomenklatur)
Keagungan surah ini dibuktikan dengan banyaknya nama lain yang disematkan padanya, masing-masing menyingkap dimensi makna yang berbeda. Para ulama tafsir mencatat bahwa surah ini memiliki lebih dari sepuluh nama, di antaranya yang paling masyhur adalah:
a. Ummul Kitab (أُمُّ الْكِتَابِ)
Berasal dari kata أُمٌّ (Ummun) yang berarti 'ibu' atau 'asal'. Ini menunjukkan bahwa Al-Fatihah adalah induk, fondasi, atau ringkasan dari seluruh ajaran Al-Qur'an. Semua ilmu, hukum, dan kisah dalam Al-Qur'an bersumber dan kembali pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam tujuh ayat ini.
b. As-Sab'ul Matsani (السَّبْعُ الْمَثَانِي)
Bermaksud 'Tujuh Ayat yang Diulang-ulang'. Sab'u berarti tujuh (jumlah ayatnya), dan Matsani (dari akar kata ثَنَى - mengulang) merujuk pada kewajiban mengulang pembacaannya di setiap rakaat shalat. Nama ini menekankan sifat esensial dan ritualistik surah ini.
c. Al-Wafiyah (الْوَافِيَةُ)
Berarti 'Yang Mencukupi' atau 'Yang Sempurna'. Surah ini wajib dibaca secara keseluruhan; tidak boleh dibagi atau dipotong. Maknanya sudah lengkap dan mencakup kebutuhan spiritual seorang hamba.
II. Analisis Linguistik dan Tafsir Kata Per Kata (Tafsir Mufradat)
Untuk benar-benar memahami keindahan bahasa Arab dalam Al-Fatihah, kita perlu membedah setiap kata, menelusuri akar kata (jithr), dan memahami konteks teologisnya. Tujuh ayat ini, meskipun pendek, mengandung lautan makna.
Ayat 1: Basmalah
Terjemah: Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. بِسْمِ (Bismi) – Dengan Nama
Kata Ism (اسم) berarti 'nama'. Huruf بِ (Bi) adalah huruf jar yang menunjukkan 'dengan' atau 'melalui'. Memulai dengan Bismi adalah deklarasi bahwa setiap tindakan dilakukan di bawah naungan dan atas izin Allah, mencari keberkahan dari Dzat yang memiliki nama tersebut. Ini menunjukkan ketergantungan total.
2. اللَّهِ (Allahi) – Allah
Nama teragung (Ism Adzom). Para ahli bahasa sepakat bahwa nama ini berasal dari akar kata yang merujuk pada إِلَهٌ (Ilah), yang berarti 'sesembahan' atau 'Yang disembah'. Namun, nama 'Allah' secara spesifik adalah nama diri (ism alam) yang hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ia tidak memiliki bentuk jamak dan tidak dapat diperkecil. Ia mewakili Dzat yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan.
3. الرَّحْمَنِ (Ar-Rahman) – Maha Pengasih
Berasal dari akar kata ر ح م (R-Ḥ-M) yang berarti rahmat atau kasih sayang. Ar-Rahman menggunakan pola fa'lān (فَعْلانُ) yang menunjukkan intensitas dan kelengkapan. Rahmat Ar-Rahman bersifat universal, meliputi semua makhluk di dunia ini, baik yang beriman maupun yang ingkar. Ini adalah rahmat yang diberikan di dunia sebelum pembalasan.
4. الرَّحِيمِ (Ar-Rahim) – Maha Penyayang
Juga dari akar R-Ḥ-M, namun menggunakan pola fa'īl (فَعِيلٌ) yang sering merujuk pada tindakan yang berulang atau konsekuensi yang abadi. Ar-Rahim adalah rahmat yang bersifat spesifik, terutama dicurahkan kepada orang-orang beriman di akhirat. Perpaduan Ar-Rahman dan Ar-Rahim menunjukkan keluasan rahmat Allah yang meliputi dimensi temporal (dunia) dan abadi (akhirat).
Ayat 2: Pujian Universal
Terjemah: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
5. الْحَمْدُ (Al-Hamdu) – Segala Puji
Al-Hamd (حمد) adalah pujian yang diberikan kepada seseorang karena sifat-sifatnya yang terpuji, baik ia memberi manfaat kepada kita maupun tidak. Penggunaan partikel penentu الـ (Al) pada Al-Hamd memberikan makna universalitas dan eksklusivitas. Artinya, semua bentuk pujian yang ada dan akan ada, secara mutlak dan sempurna, hanya milik Allah semata. Ini berbeda dengan Syukur (bersyukur) yang merupakan pujian atas pemberian (nikmat), sementara Hamd adalah pujian atas Dzat itu sendiri.
6. لِلَّهِ (Lillahi) – Bagi Allah
Huruf لِـ (Li) adalah Lam al-Milk (Lam Kepemilikan) atau Lam al-Istihqaq (Lam Hak). Ini menegaskan bahwa kepemilikan mutlak atas semua pujian hanya hak Allah. Pujian harus ditujukan kepada-Nya, karena Dialah yang berhak dipuji tanpa batas.
7. رَبِّ (Rabbi) – Tuhan/Pemelihara
Kata Rabb (رب) memiliki makna yang sangat kaya dan mendalam. Ia berasal dari akar kata yang mencakup makna: menciptakan (khalaqa), memiliki (malaka), menguasai (sayyada), dan memelihara/mengembangkan (rabbā). Ketika kita menyebut Allah sebagai Rabb, kita mengakui Dia sebagai Pencipta, Pemilik, Penguasa, dan satu-satunya yang mengatur serta memelihara segala sesuatu dari kondisi tidak ada menuju kesempurnaan.
8. الْعَالَمِينَ (Al-'Alamin) – Semesta Alam
Bentuk jamak dari ‘Ālam (عالم), yang merujuk pada segala sesuatu selain Allah. Penggunaan bentuk jamak ini mencakup seluruh jenis keberadaan: manusia, jin, malaikat, tumbuhan, benda mati, dan dimensi ruang serta waktu. Pengakuan bahwa Allah adalah Rabbil 'Alamin menekankan Tauhid Rububiyah, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Pengatur di seluruh kosmos.
Ayat 3: Penegasan Rahmat (Repetisi)
Terjemah: Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Pengulangan sifat Ar-Rahmanir Rahim setelah pujian Alhamdulillah sangat signifikan. Setelah kita memuji Allah sebagai Rabb penguasa alam semesta (yang bisa jadi menimbulkan rasa gentar karena kekuasaan-Nya), ayat ini segera menenangkan hati dengan menegaskan kembali bahwa Kekuasaan itu diiringi oleh Rahmat yang luas dan mendominasi. Repetisi ini berfungsi sebagai penyeimbang antara rasa takut (khauf) dan harapan (rajā’).
Ayat 4: Kedaulatan Hari Pembalasan
Terjemah: Pemilik Hari Pembalasan.
9. مَالِكِ (Maliki) – Pemilik/Raja
Terdapat dua qira'ah (bacaan) utama untuk kata ini: مَالِكِ (Māliki) dengan alif panjang, berarti 'Pemilik' atau 'Yang Memiliki', dan مَلِكِ (Maliki) tanpa alif, berarti 'Raja' atau 'Penguasa'. Kedua makna tersebut sempurna bagi Allah. Sebagai Mālik (Pemilik), Dia menguasai segala sesuatu. Sebagai Malik (Raja), Dialah satu-satunya yang memiliki kedaulatan, perintah, dan larangan di hari itu.
10. يَوْمِ الدِّينِ (Yawmid Din) – Hari Pembalasan
Kata يَوْمِ (Yawm) berarti 'hari'. Kata الدِّينِ (Ad-Din) memiliki beberapa makna dalam bahasa Arab, namun dalam konteks ini, ia bermakna 'pembalasan', 'penghitungan', atau 'penghakiman' (Jaza’). Ayat ini menetapkan Tauhid Uluhiyah dalam hal kekuasaan. Meskipun Allah adalah Raja dunia dan akhirat, kekuasaan-Nya di Hari Kiamat akan tampak paling absolut, di mana semua makhluk berdiri tanpa pelindung selain Dia. Ini berfungsi sebagai peringatan sekaligus motivasi untuk berbuat baik.
Ayat 5: Deklarasi Eksklusivitas (Ibadah dan Pertolongan)
Terjemah: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
11. إِيَّاكَ (Iyyaka) – Hanya Engkau
Ini adalah kata ganti objek yang diletakkan di awal kalimat (sebelum kata kerja نَعْبُدُ dan نَسْتَعِينُ). Dalam kaidah bahasa Arab (Balaghah), mendahulukan objek menunjukkan al-Hashr (pembatasan) atau eksklusivitas. Secara tata bahasa, susunan normalnya adalah 'Kami menyembah Engkau'. Dengan membalik susunan menjadi 'Hanya Engkau yang kami sembah', artinya menjadi: "Kami tidak menyembah siapa pun selain Engkau." Ini adalah inti dari Tauhid Uluhiyah (Pengesaan dalam Ibadah).
12. نَعْبُدُ (Na'budu) – Kami Sembah
Berasal dari akar kata ع ب د ('A-B-D) yang berarti 'hamba' atau 'budak'. Na'budu berarti 'kami menjalankan peribadatan'. Ibadah adalah ketaatan tertinggi yang disertai dengan rasa cinta, ketundukan, dan kerendahan hati. Penggunaan bentuk jamak ('kami') mencerminkan solidaritas umat dan menunjukkan bahwa hamba beribadah bukan hanya sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari komunitas yang tunduk kepada Allah.
13. نَسْتَعِينُ (Nasta'in) – Kami Memohon Pertolongan
Berasal dari akar kata ع و ن ('A-W-N) yang berarti pertolongan. Pola istaf'ala (استفعل) menunjukkan permintaan atau permohonan. Nasta'in adalah permohonan bantuan secara aktif. Ayat ini secara sempurna memasangkan ibadah (tujuan tertinggi) dan permohonan pertolongan (alat untuk mencapai tujuan). Ini mengajarkan bahwa kita harus melakukan bagian kita (ibadah) dan kemudian menyerahkan hasil dan keberhasilan upaya kita hanya kepada Allah.
Ayat 6: Permohonan Petunjuk yang Esensial
Terjemah: Tunjukilah kami jalan yang lurus.
14. اهْدِنَا (Ihdinā) – Tunjukilah Kami
Berasal dari akar kata ه د ى (H-D-Y) yang berarti 'memberi petunjuk' atau 'mengantar'. Perintah Ihdinā menunjukkan betapa vitalnya petunjuk ini. Petunjuk (Hidayah) dibagi menjadi dua jenis: Hidayah Irsyad (petunjuk berupa penjelasan/ilmu) dan Hidayah Taufiq (petunjuk berupa kemampuan untuk mengamalkannya). Ketika kita meminta Ihdinā, kita meminta kedua-duanya secara terus-menerus, karena hati manusia bisa berbalik kapan saja.
15. الصِّرَاطَ (Ash-Shirāṭa) – Jalan
Kata Shirāṭ (صراط) bukan sekadar jalan (seperti ṭarīq), tetapi jalan yang luas, jelas, mudah dilalui, dan menghubungkan ke tujuan yang pasti. Penggunaan kata ini menekankan bahwa petunjuk Allah adalah jalan yang paling jelas dan efektif, bukan jalan yang sempit atau samar.
16. الْمُسْتَقِيمَ (Al-Mustaqīma) – Yang Lurus
Berasal dari akar kata ق و م (Q-W-M), yang berarti berdiri tegak atau lurus. Mustaqīm (bentuk Ism Fā'il) menekankan bahwa jalan ini tidak bengkok, tidak berbelok ke kiri atau kanan. Jalan yang lurus adalah kiasan bagi Islam, yang merupakan kebenaran murni tanpa penyimpangan, tegak lurus antara perintah Allah dan perbuatan hamba.
Ayat 7: Definisi Jalan Lurus (Pembeda)
Terjemah: (Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Ayat terakhir ini berfungsi sebagai penafsiran atas Ayat 6. Ia mendefinisikan Jalan Lurus (Shiratal Mustaqim) melalui identifikasi kelompok-kelompok yang berada di atasnya dan kelompok-kelompok yang menyimpang.
17. أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (An'amta 'Alaihim) – Mereka yang Diberi Nikmat
Berasal dari kata ن ع م (N-'-M) yang berarti nikmat atau karunia. Ini merujuk pada mereka yang dianugerahi nikmat istimewa berupa petunjuk (Hidayah). Siapakah mereka? Al-Qur'an menjelaskan di surah lain (An-Nisa' 69) bahwa mereka adalah para Nabi (Anbiyā'), orang-orang yang jujur/benar (Shiddīqīn), para syuhada (Syuhadā'), dan orang-orang saleh (Shāliḥīn).
18. غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ (Ghairil Maghdubi 'Alaihim) – Bukan Mereka yang Dimurkai
Kata غَضَبَ (Ghaḍaba) berarti marah atau murka. Ini merujuk pada kelompok yang mengetahui kebenaran (memiliki ilmu dan petunjuk) tetapi menolak mengamalkannya karena kesombongan, kedengkian, atau kepentingan duniawi. Mereka adalah orang-orang yang paling besar tanggung jawabnya karena mereka menukar ilmu dengan kesesatan. Secara historis, tafsir utama merujuk pada kaum Yahudi.
19. وَلَا الضَّالِّينَ (Waladh Dhaallīn) – Dan Bukan Pula Mereka yang Sesat
Berasal dari akar kata ض ل ل (Ḍ-L-L) yang berarti kehilangan jalan, tersesat, atau keliru. Kelompok ini adalah mereka yang beribadah atau berusaha mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh, tetapi melakukannya tanpa dasar ilmu atau petunjuk yang benar. Mereka beramal tetapi amalan mereka salah karena mereka tersesat dari jalan yang benar. Secara historis, tafsir utama merujuk pada kaum Nasrani.
III. Struktur Balaghah (Rhetorika) dan Keutamaan Surah
Keagungan Al-Fatihah tidak hanya terletak pada makna katanya, tetapi juga pada struktur linguistik dan pola komunikasinya yang luar biasa. Ilmu Balaghah (retorika Arab) menyoroti aspek-aspek berikut:
1. Pembagian Tiga Komponen Utama
Al-Fatihah dibagi secara harmonis menjadi tiga bagian utama, mencerminkan interaksi antara Hamba dan Tuhan, sebagaimana ditegaskan dalam Hadits Qudsi:
- Bagian 1 (Ayat 1-3): Puji-pujian kepada Allah (untuk Allah). Hamba memuji Allah karena sifat-sifat keagungan-Nya (Rahmat, Kekuasaan).
- Bagian 2 (Ayat 4-5): Penetapan Tauhid dan Janji (Pertengahan). Hamba berikrar tentang kedaulatan Allah dan sumpah untuk beribadah dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Ayat 5 adalah inti dialog.
- Bagian 3 (Ayat 6-7): Permintaan dan Permohonan (untuk Hamba). Hamba mengajukan permintaan tertinggi: Petunjuk ke jalan yang lurus.
2. Pergeseran Kata Ganti (Shift in Pronoun)
Salah satu keajaiban terbesar dalam struktur bahasa Arab Al-Fatihah adalah pergeseran kata ganti (Iltifāt) yang cepat dan dinamis, menunjukkan kedekatan yang tiba-tiba antara Hamba dan Tuhan:
- Ganti Orang Ketiga (Gha'ib): Ayat 1-4 menggunakan kata ganti orang ketiga ('Dia', 'Allah', 'Raja Hari Pembalasan'). Hamba berbicara tentang Allah dalam bentuk penyebutan sifat-sifat-Nya yang jauh di atas segalanya.
- Ganti Orang Kedua (Mukhāṭab): Tiba-tiba di Ayat 5 (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), terjadi perpindahan mendadak ke kata ganti orang kedua tunggal ('Engkau'). Ini seolah-olah hamba, setelah memuji Allah dengan segenap kesadaran, kini diizinkan untuk berhadapan langsung dan berbicara kepada Dzat yang dipujinya. Ini menciptakan kedekatan spiritual yang intens dalam shalat.
3. Keutamaan dan Kedudukan dalam Shalat
Dalam bahasa Arab, Al-Fatihah disebut رُكْنُ الصَّلَاةِ (Ruknush Shalāh – Pilar Shalat). Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fātiḥatul Kitāb.” Kewajiban ini menekankan bahwa Al-Fatihah adalah inti dari ritual ibadah, berfungsi sebagai dialog yang mengkondisikan hati sebelum memasuki bagian-bagian shalat lainnya.
IV. Pengembangan Makna: Kedalaman Kata Kunci Arab
Untuk melengkapi analisis bahasa Arabnya Al-Fatihah, penting untuk memperluas pemahaman kita tentang beberapa konsep teologis dan linguistik kunci yang tersembunyi dalam Surah ini.
1. Analisis Mendalam tentang Rahmat (Ar-Rahman dan Ar-Rahim)
Dalam bahasa Arab, perbedaan antara Rahman dan Rahim sangat halus tetapi krusial. Kedua kata tersebut adalah bentuk superlatif (sighah mubalaghah) dari Rahmat:
- Ar-Rahman (فَعْلانُ): Ini adalah pola yang menunjukkan sifat yang melimpah (filling the space) tetapi mungkin bersifat sementara atau spesifik pada waktu tertentu. Para ulama menyebutnya rahmat yang bersifat 'āmm (umum/universal) di dunia.
- Ar-Rahim (فَعِيلٌ): Pola ini menunjukkan sifat yang berulang, permanen, dan melekat pada subjek. Rahmat ini bersifat khāṣṣ (khusus), diberikan kepada orang beriman, yang akan mereka nikmati secara abadi di akhirat. Pemaduan keduanya memastikan bahwa Allah memiliki rahmat yang sangat luas (kuantitas) dan rahmat yang terus-menerus (kualitas).
2. Konsep Ibadah dalam Bahasa Arab
Ketika kita mengucapkan نَعْبُدُ (Na'budu), kita mengikatkan diri pada konsep 'ubūdiyyah, yaitu perwujudan kehambaan yang paling total. Dalam bahasa Arab, seorang 'Abd (hamba/budak) harus menaati tuannya sepenuhnya. Namun, kehambaan kepada Allah bersifat mulia, karena Allah tidak membutuhkan hamba-Nya. Konsep Ibadah dalam Al-Fatihah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan (gerakan shalat, niat di hati, ucapan lisan) adalah manifestasi dari penundukan diri, sebuah penghormatan terhadap Dzat yang memberi kita kehidupan dan rezeki.
3. Kedudukan Makna 'Din' (Agama dan Pembalasan)
Kata الدِّينِ (Ad-Din) dalam bahasa Arab sangat polisemi (banyak makna). Ini dapat berarti 'agama', 'hukum', 'kebiasaan', atau 'pembalasan/penghitungan'. Dalam konteks Māliki Yawmid Din, makna 'pembalasan' (الجَزَاءُ) adalah yang paling menonjol, karena Allah menunjukkan kedaulatan-Nya yang absolut di hari ketika segala urusan dikembalikan kepada-Nya untuk dihakimi. Namun, penggunaan kata 'Din' secara tidak langsung mengingatkan bahwa kehidupan dunia adalah periode di mana kita mengikuti 'Din' (agama/aturan) yang benar, yang mana hasilnya akan dihitung di hari 'Din' (pembalasan) itu sendiri.
4. Petunjuk (Hidayah) yang Diminta
Mengapa kita yang sudah Islam masih harus meminta petunjuk (اهْدِنَا) berulang kali dalam shalat? Ulama tafsir menjelaskan bahwa permintaan petunjuk ini mencakup empat dimensi:
- Permintaan Hidayah Permulaan: Menuntun kita kepada Islam.
- Permintaan Hidayah Keberlanjutan: Memohon keteguhan di atas Islam (Istiqamah).
- Permintaan Hidayah Perincian: Memahami detail hukum dan hikmah (ilmu).
- Permintaan Hidayah Akhir: Petunjuk menuju surga di hari akhirat.
Kata Ihdinā adalah pengakuan hamba atas kerapuhan dirinya dan kebutuhan akan bimbingan Ilahi setiap saat. Ini adalah puncak kerendahan hati linguistik dalam surah ini.
V. Kontras Linguistik dalam Ayat Ketujuh
Ayat terakhir Al-Fatihah adalah karya agung dalam membedakan jalan yang benar dari jalan yang menyimpang. Bahasa Arab yang digunakan sangat presisi dalam mengkontraskan tiga kelompok utama manusia.
1. Pembedaan Sintaksis (Ghair vs Lā)
Perhatikan struktur: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
- Kata غَيْرِ (Ghairi – Bukan) digunakan untuk memisahkan kelompok yang dimurkai dari kelompok yang diberi nikmat.
- Partikel negasi وَلاَ (Wa Lā – dan bukan pula) digunakan untuk memisahkan kelompok yang sesat dari kelompok yang dimurkai.
Penggunaan partikel negasi Wala (dan bukan) di depan Adh-Dhallin menekankan bahwa sesatnya kelompok kedua ini adalah kesalahan yang berbeda dan terpisah dari kesalahan kelompok yang dimurkai. Jika Allah hanya mengatakan ghairil maghdubi wa dhallin, bisa jadi dipahami bahwa kelompok yang dimurkai dan yang sesat adalah sama. Dengan adanya partikel Wala, ditegaskan bahwa kedua penyimpangan tersebut berdiri sendiri sebagai dua bentuk kegagalan manusia yang harus dihindari.
2. Perbedaan Sifat Kegagalan
Linguistik Arab membantu kita memahami esensi kegagalan kedua kelompok tersebut:
- Al-Maghdub: Sifat Ghaḍab (murka) adalah reaksi dari Allah terhadap tindakan sadar manusia yang menolak kebenaran (haqq) yang telah mereka ketahui. Mereka menyimpang karena kehendak buruk.
- Adh-Dhāllīn: Sifat Ḍalāl (sesat) merujuk pada kebingungan, tersesat tanpa disadari, atau kegagalan yang terjadi karena ketidaktahuan atau kurangnya bimbingan. Mereka menyimpang karena kesalahan metodologi atau kekurangan ilmu.
Meminta untuk dihindarkan dari keduanya adalah memohon keselamatan dari penyimpangan berbasis ilmu yang disalahgunakan (kesombongan) dan penyimpangan berbasis amal yang salah (ketidaktahuan).
Penggunaan kata عَلَيْهِمْ ('Alaihim – Atas Mereka) juga penting. Dalam Al-Maghdubi 'Alaihim, ini menunjukkan bahwa murka itu ditimpakan secara aktif kepada mereka sebagai pembalasan. Sementara dalam Adh-Dhallin, partikel 'Alaihim tidak diulang, menunjukkan bahwa kesesatan adalah kondisi pasif yang mereka alami karena kehilangan jalan.
Kesimpulannya, bahasa Arab dari Al-Fatihah, الفَاتِحَةُ, adalah kunci literer dan spiritual. Ia bukan sekadar teks pembuka, tetapi fondasi dari seluruh ajaran Islam yang memuat prinsip-prinsip Tauhid, Etika, dan Eskatologi dalam kerangka linguistik yang tak tertandingi keindahannya. Mempelajari akar kata dan struktur gramatikalnya adalah membuka lapisan pemahaman yang tak terbatas tentang Surah yang menjadi jantung dari setiap shalat yang ditegakkan.