Angin laut berbisik, membawa aroma garam dan cerita masa lalu ke telinga Kakek Ardi. Tangannya yang keriput menggenggam erat kemudi kapal kayunya yang lusuh, sebuah kebiasaan yang tak pernah hilang meski kini ia lebih sering berlabuh daripada berlayar. Pantai yang tenang di kejauhan menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya, sebuah permadani biru kehijauan yang menyimpan ribuan kisah. Kakek Ardi adalah seorang pelaut, bukan pelaut biasa yang mencari nafkah dari ombak, melainkan seorang penjelajah hati yang selalu merindukan cakrawala.
Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya membentangkan sinarnya, Kakek Ardi sudah berada di dermaga. Ia tak pernah benar-benar meninggalkan laut. Laut adalah rumahnya, sekaligus guru terbaiknya. Ia belajar kesabaran dari pasang surut, ketangguhan dari badai yang datang dan pergi, serta keindahan dari gradasi warna langit saat senja. Kapal "Nirmala" yang berderit di bawahnya adalah sahabat setianya. Bersama Nirmala, ia pernah mengarungi lautan luas, menyaksikan paus bungkuk menari di bawah sinar rembulan, dan berlabuh di pulau-pulau terpencil yang belum terjamah peta.
Namun, ada satu tempat yang selalu memanggilnya pulang, yaitu pelabuhan kecil tempat ia dilahirkan. Di sana, seorang wanita menunggu, yang kini hanya tinggal kenangan dalam bingkai foto usang yang selalu ia bawa. Namanya, Kirana. Senyumnya secerah mentari pagi, dan tawanya semerdu ombak yang memecah di pantai. Kakek Ardi berlayar bukan hanya untuk mencari petualangan, tetapi juga untuk mengumpulkan mutiara-mutiara indah yang kelak akan ia berikan kepada Kirana. Setiap mutiara memiliki cerita, setiap cerita adalah janji.
Suatu ketika, dalam pelayaran menuju kepulauan rempah, Nirmala diterjang badai hebat. Gelombang setinggi rumah menyerbu dek kapal, menenggelamkan sebagian besar persediaan dan nyaris merenggut nyawa Kakek Ardi. Ia terombang-ambing, pandangannya kabur, dan dalam detik-detik genting itu, ia melihat siluet Kirana melambai dari tepi laut yang tenang. Ia tahu, itu bukan pertanda buruk, melainkan panggilan untuk bertahan. Ia berpegang erat pada kemudi, berdoa dan berjuang sekuat tenaga. Ketika badai reda, hanya ada puing-puing, namun Kakek Ardi selamat, dan yang terpenting, ia masih memegang erat bungkusan kulit yang berisi mutiara-mutiara terindahnya.
Ia kembali ke pelabuhan, namun Kirana tak ada. Kabar yang ia terima menusuk hatinya: Kirana telah pergi, menyusul ayahnya yang sakit keras, ke kota yang jauh, menikah dengan seorang saudagar. Kakek Ardi tak menyalahkan Kirana. Ia paham, hidup adalah lautan yang penuh ketidakpastian. Ia kembali berlayar, bukan lagi untuk mengumpulkan mutiara, melainkan untuk mencari makna. Ia membantu nelayan yang kesulitan, menyelamatkan kapal yang karam, dan berbagi cerita dengan anak-anak pesisir yang matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Kini, Kakek Ardi duduk di atas Nirmala yang berlabuh. Ia membuka bungkusan kulit itu. Mutiara-mutiara itu masih berkilau, namun kilauannya tak lagi sama. Ia tersenyum pahit, namun kemudian tatapannya melembut. Ia mengambil salah satu mutiara, lalu melemparkannya ke laut. "Ini untukmu, Kirana," bisiknya. Mutiara itu tenggelam, menjadi bagian dari lautan yang telah membentuk dirinya. Ia melempar mutiara satu per satu, setiap lemparan disertai bisikan, sebuah perpisahan yang damai. Ia telah belajar bahwa cinta sejati bukanlah kepemilikan, melainkan keikhlasan untuk melepaskan, sama seperti laut yang tak pernah menahan kapal yang ingin berlayar.
Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Kakek Ardi memandang laut, bukan dengan kerinduan yang menyakitkan, melainkan dengan penerimaan dan kedamaian. Ia adalah bagian dari laut, dan laut adalah bagian darinya. Kisahnya, seperti ombak yang tak pernah berhenti, akan terus bergulir, bertemu dengan pantai lain, membentuk legenda baru di samudra kehidupan. Ia telah menyelesaikan pelayarannya, bukan menuju tujuan, melainkan menuju hati nuraninya sendiri, menemukan pelabuhan terakhir yang paling ia rindukan: ketenangan.