Contoh Cerpen 500 Kata: Cahaya di Ujung Lorong

Langit senja memerah saga, mewarnai jendela kamar tua yang sedikit berdebu. Sarah duduk termangu di tepi ranjang, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat. Di tangannya tergenggam sebuah buku lusuh, namun halamannya tak tersentuh sejak pagi. Pikirannya melayang pada pertanyaan yang tak kunjung terjawab, sebuah misteri yang membebani hatinya selama berminggu-minggu. Ia adalah seorang mahasiswi sastra, terbiasa bermain dengan kata dan narasi, namun kali ini, kisah hidupnya terasa seperti alur yang terputus.

Beberapa hari yang lalu, sebuah amplop tanpa nama pengirim datang ke alamat kosnya. Isinya hanya selembar kertas dengan beberapa baris tulisan tangan yang rapi, mengundangnya ke sebuah kafe tua di sudut kota yang jarang ia kunjungi. Ada sesuatu yang aneh namun juga menarik dalam undangan itu, semacam panggilan takdir yang tak bisa ia abaikan. Penasaran, ia pun memutuskan untuk datang.

Di kafe itu, ia disambut oleh seorang wanita tua dengan senyum teduh dan mata yang berbinar. Sang wanita, yang memperkenalkan diri sebagai Nenek Laras, duduk di hadapannya, mengamati Sarah dengan tatapan penuh pengertian. Nenek Laras lalu menceritakan sebuah kisah tentang sebuah lorong yang tak pernah kering air matanya, sebuah tempat yang menyimpan banyak kenangan pahit namun juga penuh dengan potensi keajaiban. Sarah mendengarkan dengan saksama, merasakan ada kesamaan antara cerita itu dan kegelisahan yang ia rasakan.

“Lorong itu, Nak,” ujar Nenek Laras, suaranya lembut namun penuh makna, “adalah cerminan dari hati yang sedang dilanda keraguan. Kita seringkali terjebak dalam kegelapan masa lalu, lupa bahwa di ujung lorong selalu ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan.”

Sarah teringat akan keraguan yang melandanya mengenai masa depan kariernya. Setelah lulus, ia merasa tersesat, tak yakin apakah jalan yang ia pilih benar. Ia membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang sudah mapan, merasa tertinggal jauh. Kegelisahan itu semakin menumpuk, membuatnya kehilangan semangat.

Nenek Laras seolah bisa membaca pikirannya. Beliau lalu mengeluarkan sebuah liontin sederhana berbentuk bulan sabit dari sakunya. “Ini adalah hadiah untukmu. Ketika kau merasa tersesat dalam kegelapan, peganglah ini dan ingatlah, bahkan di malam tergelap sekalipun, bulan selalu ada, walau kadang tertutup awan. Cahaya itu selalu ada.”

Sarah menerima liontin itu dengan rasa terima kasih yang mendalam. Sejak pertemuan itu, ia sering merenungkan kata-kata Nenek Laras. Ia mulai melihat kembali buku-buku sastranya, bukan sebagai beban, tetapi sebagai harta karun yang dapat memberinya inspirasi. Ia mulai menulis lagi, tidak lagi terbebani oleh ekspektasi, melainkan menikmati prosesnya. Ia menyadari bahwa setiap perjuangan, setiap keraguan, adalah bagian dari perjalanannya. Kegelapan yang ia rasakan bukanlah akhir, melainkan sebuah jeda sebelum ia menemukan cahaya baru.

Kini, sambil memegang liontin bulan sabit di lehernya, Sarah tersenyum. Langit senja di luar jendelanya terasa lebih hangat. Ia membuka bukunya, dan kali ini, kata-kata mengalir dengan indah. Ia telah menemukan cahayanya sendiri di ujung lorong keraguannya, sebuah cahaya yang berasal dari penerimaan diri dan semangat untuk terus melangkah. Perjalanan mungkin masih panjang, namun ia kini yakin, setiap langkahnya akan membawanya pada cerita yang lebih indah.

Simbol cahaya dan penemuan diri
🏠 Homepage