Dalam ajaran Islam, segala aspek kehidupan, termasuk hal-hal yang terkadang dianggap tabu atau pribadi, telah diatur dan dijelaskan. Salah satunya adalah mengenai status hukum menelan sperma. Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi keagamaan dan membutuhkan penjelasan yang didasarkan pada dalil-dalil syariat serta pandangan para ulama.
Para ulama memiliki perbedaan pendapat terkait hukum menelan sperma. Perbedaan ini umumnya bersumber dari penafsiran terhadap makna "najis" dan "makanan" dalam konteks sperma.
Mayoritas ulama, terutama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali, berpendapat bahwa sperma hukumnya adalah suci (thahur) dan tidak najis. Dasar pendapat ini adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari air mani (sperma). Jika sperma dianggap najis, maka bagaimana mungkin manusia bisa tercipta darinya?
Dalam pandangan ini, sperma bukanlah sesuatu yang secara inheren menjijikkan atau berbahaya dalam artian najis. Namun, meskipun suci, bukan berarti diperbolehkan untuk ditelan begitu saja tanpa ada alasan syar'i yang membolehkan. Para ulama yang berpendapat suci biasanya akan mengaitkan hukum menelannya dengan kaidah umum dalam fikih.
Di sisi lain, sebagian ulama, seperti yang dinukil dari beberapa riwayat dari mazhab Hanafi, memandang sperma sebagai sesuatu yang najis. Argumentasi mereka seringkali berfokus pada aspek keluarnya sperma yang disertai syahwat dan terkadang bercampur dengan cairan lain yang dianggap najis. Namun, pandangan ini tidak begitu luas diterima dibandingkan dengan pandangan mayoritas yang menyatakan suci.
Untuk memahami lebih dalam, kita perlu merujuk pada beberapa kaidah fikih yang relevan. Salah satunya adalah kaidah "Al-Ashlu fil asy-ya' al-ibahah hatta yadulla ad-dalilu 'ala at-tahrim" yang artinya "Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya."
Dengan kaidah ini, jika tidak ada dalil tegas yang mengharamkan menelan sperma, maka hukum asalnya adalah boleh. Namun, kebolehan ini pun harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu apakah tindakan tersebut dibenarkan secara moral dan etika dalam Islam.
Selain itu, ada juga kaidah "Adh-dhararu yuzalu" yang berarti "Kemudaratan harus dihilangkan." Jika terbukti bahwa menelan sperma dapat menimbulkan kemudaratan kesehatan, maka tentunya hal tersebut harus dihindari. Namun, dalam konteks medis modern, tidak ada bukti ilmiah yang kuat bahwa menelan sperma dalam jumlah normal menimbulkan bahaya kesehatan yang signifikan bagi orang dewasa yang sehat.
Pembahasan mengenai hukum menelan sperma seringkali berkaitan dengan praktik seksual dalam hubungan suami istri. Dalam konteks ini, para ulama umumnya lebih lunak terhadap tindakan yang dilakukan dalam lingkup pernikahan yang sah. Jika suami istri sepakat dalam melakukan tindakan tersebut dan tidak menimbulkan kemudaratan, banyak ulama memandang hal itu tidak mengapa, meskipun ada yang tetap menyarankan untuk menghindarinya demi menjaga kesucian.
Penting untuk ditekankan bahwa pembicaraan ini khusus berlaku dalam ikatan pernikahan yang sah. Di luar pernikahan, segala bentuk aktivitas seksual yang melibatkan pertukaran cairan tubuh adalah dilarang keras dalam Islam.
Secara ringkas, mayoritas ulama berpendapat bahwa sperma adalah suci, bukan najis. Namun, terkait hukum menelannya, terdapat perbedaan pandangan, dengan mayoritas yang cenderung membolehkan jika tidak ada kemudaratan dan konteksnya adalah dalam pernikahan yang sah. Sebagian ulama lain menganggapnya najis, namun pandangan ini kurang dominan.
Dalam mengambil sikap, seorang muslim hendaknya merujuk pada pendapat ulama yang terpercaya dan sesuai dengan kaidah-kaidah syariat. Yang terpenting adalah menjaga kebersihan diri, menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama, dan selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan.
Artikel ini disusun berdasarkan pandangan umum dalam literatur fikih Islam dan tidak dimaksudkan sebagai fatwa tunggal. Untuk urusan spesifik, disarankan berkonsultasi dengan ahli agama yang kompeten.