Hakikat Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali: Jalan Menuju Kemurnian Tauhid

Dalam khazanah intelektual Islam, sedikit tokoh yang memiliki dampak seluas Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), berfungsi sebagai jembatan yang menyatukan syariat, filsafat, dan tasawuf. Inti dari seluruh proyek spiritual Ghazali adalah pemurnian hati, dan di pusat pemurnian tersebut terletaklah konsep fundamental: Ikhlas.

Menurut Al-Ghazali, amal yang tampak agung di mata manusia tidak akan bernilai sepeser pun di hadapan Tuhan jika ia ternodai oleh niat yang keruh. Ikhlas bukan hanya sekadar kondisi emosional sesaat, melainkan sebuah keadaan spiritual permanen yang meleburkan seluruh motif perbuatan—baik yang tersembunyi maupun yang terlihat—menjadi satu tujuan tunggal: Wajah Allah semata. Artikel ini akan mengupas tuntas hakikat ikhlas menurut perspektif mendalam Imam Al-Ghazali, merincikan tingkatan, penyakitnya, serta jalan praktis menuju kemurnian yang sempurna.


I. Definisi Ontologis Ikhlas: Tauhid dalam Tindakan

Al-Ghazali memulai pembahasan ikhlas dengan membedakannya dari amal perbuatan lahiriah. Ikhlas, baginya, adalah ruh dari amal. Tanpa ruh, tubuh (amal) hanyalah bangkai tak bernyawa. Secara bahasa, ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan sesuatu dari campurannya. Dalam terminologi spiritual, ikhlas adalah memurnikan niat beramal dari segala bentuk kepentingan duniawi, hawa nafsu, dan perhatian makhluk.

1. Ikhlas sebagai Manifestasi Tauhid Murni

Puncak keikhlasan, menurut Ghazali, adalah manakala pelaku amal menyadari secara utuh bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat atau bahaya, memberi atau menahan, kecuali Allah SWT. Kesadaran ini disebut sebagai Tauhid al-Afa’al (Mengesakan Allah dalam Perbuatan). Ketika kesadaran ini telah tertanam kuat, mustahil bagi hati untuk mencari pujian dari selain-Nya.

“Ikhlas adalah memurnikan tujuan dari seluruh amal dari campur tangan apa pun selain Allah, dan ini tidak akan tercapai kecuali jika seorang hamba tidak mengharapkan imbalan dari makhluk di dunia maupun di akhirat atas amal yang dilakukannya.”

2. Perbedaan Krusial antara Ikhlas, Sidq, dan Niat

Meskipun sering disamakan, Al-Ghazali membedakan konsep-konsep ini secara halus:

Ikhlas adalah tahap yang lebih tinggi. Ia memastikan bahwa niat (motivasi awal) tetap murni hingga akhir amal, bebas dari godaan yang muncul selama proses pelaksanaan.


II. Hierarki Keikhlasan: Tingkatan Para Mukhlis

Imam Al-Ghazali membagi pelaku amal (mukallaf) berdasarkan tingkat keikhlasan mereka, yang mencerminkan pemahaman mereka terhadap Tuhan dan akhirat. Pembagian ini penting karena menunjukkan bahwa ikhlas bukanlah keadaan statis, melainkan perjalanan spiritual yang mendaki.

1. Tingkat Ikhlas Al-Awam (Ikhlas Orang Awam)

Ini adalah tingkat ikhlas yang paling dasar. Tujuan mereka adalah melakukan amal saleh karena berharap pahala di surga dan takut akan siksa neraka. Meskipun motivasi ini sah dan diakui syariat, ia masih dianggap sebagai transaksi, yaitu menukar amal dengan imbalan. Orang awam melakukan puasa, shalat, atau haji karena mengharapkan kesenangan surgawi, bukan semata-mata karena kecintaan kepada Sang Pemberi Perintah. Ghazali tidak mencela tingkat ini; ia adalah pijakan yang wajib. Namun, ia bukanlah puncak dari pemurnian jiwa. Mereka masih melihat diri mereka sebagai pedagang yang menanti untung di akhirat.

2. Tingkat Ikhlas Al-Khawass (Ikhlas Orang Khusus)

Orang-orang khusus ini beramal bukan karena takut neraka atau berharap surga. Motivasi mereka telah meningkat menuju kerinduan dan kecintaan yang murni kepada Allah SWT. Bagi mereka, pahala dan surga hanyalah konsekuensi, bukan tujuan utama. Tujuan utama mereka adalah memperoleh keridhaan (Ridha Allah) dan kehormatan untuk melihat Wajah-Nya (Liqa'ullah). Amal mereka murni dari segala motif imbalan. Jika Allah memerintahkan, mereka berbuat, dan cukuplah bagi mereka bahwa perintah itu datang dari Yang Maha Dicintai. Ikhlas pada tingkat ini menuntut pembebasan total dari perhatian kepada diri sendiri, berfokus hanya pada Hak Tuhan atas pengabdian.

3. Tingkat Ikhlas Ash-Shiddiqin (Ikhlas Para Kekasih Allah)

Ini adalah tingkatan tertinggi, hampir tidak dapat dijangkau oleh kebanyakan manusia. Pada level ini, Sang Kekasih (Shiddiq) telah mencapai fana’ (peleburan diri) dalam tauhid. Mereka tidak lagi melihat amal sebagai "milik mereka" atau "usaha mereka". Mereka beramal karena kesadaran bahwa Allah-lah yang menggerakkan mereka untuk beramal. Amal mereka adalah murni ketundukan yang tidak diselingi oleh keinginan apa pun, bahkan keinginan untuk mendapatkan ridha secara sadar, karena kesadaran diri (ego) telah hilang dalam pelaksanaan kehendak Ilahi. Ini adalah ikhlas yang sempurna karena tidak menyisakan ruang bagi ego untuk mengklaim bagian dari amal tersebut.


III. Penyakit yang Membatalkan Ikhlas: Riya dan Cabang-cabangnya

Jika ikhlas adalah jantung amal, maka Riya (pamer) adalah racun yang mematikan. Al-Ghazali mendedikasikan bagian besar dari Ihya Ulumuddin untuk membongkar sifat-sifat riya, karena ia adalah penyakit hati yang paling tersembunyi dan paling sulit dideteksi. Ia menyebut riya sebagai “syirik yang tersembunyi” (syirkul khafi).

1. Hakikat Riya: Mencari Perhatian Makhluk

Riya didefinisikan sebagai melakukan ibadah atau kebaikan dengan tujuan agar dilihat, dipuji, atau dihormati oleh orang lain, bukan karena Allah. Jika amal murni diniatkan untuk Allah, tetapi selama prosesnya timbul rasa senang karena dilihat, maka amal itu telah terkontaminasi. Riya tidak hanya membatalkan pahala, tetapi juga menunjukkan bahwa hati tersebut belum sepenuhnya mengesakan Tuhan dalam tujuan.

2. Pembagian Riya Berdasarkan Tingkat Kehancuran

a. Riya yang Membatalkan Total (Riya Khulush)

Ini terjadi ketika niat awal melakukan amal (misalnya shalat) sepenuhnya didasarkan pada keinginan untuk dilihat orang lain. Contohnya, seseorang shalat panjang dan khusyuk hanya ketika ada mertua atau atasan yang melihat. Ini membatalkan amal secara keseluruhan dan menjadikannya dosa.

b. Riya yang Mencampuri Niat Awal (Riya Musyarakah)

Niat awalnya adalah karena Allah (70%), tetapi ia juga menyertakan tujuan agar dipuji manusia (30%). Misalnya, sedekah awalnya ikhlas, tetapi ia memilih memberikannya di tempat umum agar namanya disebut. Riya ini merusak keikhlasan, mengurangi pahala secara drastis, dan sering kali membuat amal ditolak. Ghazali berpendapat bahwa meskipun pahala mungkin masih ada sedikit, risiko penolakan jauh lebih besar, karena Allah hanya menerima yang paling murni.

3. Wujud Riya yang Halus dan Tersembunyi (Syirkul Khafi)

Riya memiliki bentuk-bentuk yang sangat samar, sehingga hanya orang yang benar-benar introspektif (muhasabah) yang bisa menyadarinya. Ghazali menguraikan Riya dalam berbagai aspek:

i. Riya dalam Fisik (Riya al-Badan)

Seseorang menunjukkan kelelahan, pucat, atau badan yang kurus untuk mengesankan bahwa ia banyak berpuasa malam, shalat, dan ibadah berat lainnya. Ia sengaja mengubah postur tubuhnya (menundukkan kepala, berjalan pelan) di hadapan orang lain untuk menampilkan citra kesalehan.

ii. Riya dalam Penampilan (Riya al-Zay)

Ini meliputi penampilan luar seperti mengenakan pakaian lusuh atau tambalan untuk menunjukkan sikap zuhud (asketisme) dan ketidakpedulian terhadap dunia. Atau sebaliknya, mengenakan pakaian yang sangat rapi dan eksklusif untuk menunjukkan status 'alim atau kaya yang dermawan, padahal tujuannya adalah perhatian, bukan sunnah.

iii. Riya dalam Perkataan (Riya al-Qawl)

Seseorang bercerita tentang pengalamannya beribadah, menyebutkan ilmu-ilmu langka, atau mengeluarkan kata-kata hikmah yang berat dengan tujuan agar orang menganggapnya sebagai ulama atau wali. Ini termasuk mengeraskan suara ketika membaca Al-Qur'an di tempat umum bukan untuk berdakwah, melainkan agar orang tahu bahwa ia mahir qira'ah.

iv. Riya dalam Pergaulan (Riya al-Muamalah)

Ia menunjukkan dirinya dekat dan akrab dengan tokoh-tokoh saleh, ulama besar, atau orang-orang berpengaruh, dan sering menyebutkan nama mereka dalam pembicaraan, berharap sebagian dari kehormatan mereka melekat padanya di mata masyarakat.

4. Sum’ah: Bentuk Riya Melalui Pendengaran

Jika Riya adalah mencari pujian melalui apa yang dilihat orang lain, maka Sum’ah adalah mencari pujian melalui apa yang didengar orang lain. Seseorang mungkin melakukan ibadah secara rahasia, tetapi kemudian menceritakannya kepada orang lain agar namanya terdengar dan ia mendapat kehormatan. Ghazali menekankan bahwa Sum’ah sama berbahayanya dengan Riya karena keduanya berakar pada penyakit cinta kedudukan (hubb al-jah) di hati manusia.


IV. Strategi Mencegah dan Mengobati Penyakit Ikhlas

Imam Al-Ghazali tidak hanya mendiagnosis penyakit Riya, tetapi juga memberikan resep pengobatan yang sangat detail, yang berakar pada ilmu psikologi spiritual. Pengobatan ikhlas melibatkan dua langkah besar: memotong akar penyakit (cinta dunia) dan memperkuat fondasi keimanan (Tauhid).

1. Pengobatan Radikal: Menghancurkan Cinta Kedudukan (Hubb al-Jah)

Riya hanya dapat hidup jika ia disuburkan oleh cinta kepada kedudukan, pujian, dan popularitas di mata manusia. Ghazali menasihati: Selama hati seorang hamba masih berharap agar orang lain memujinya atau takut dicela, ia belum mencapai ikhlas.

a. Meditasi tentang Kebodohan Manusia

Tadabbur (kontemplasi) adalah kunci. Al-Ghazali meminta kita merenungkan: Mengapa kita mencari pujian dari makhluk yang sama-sama lemah, bodoh, dan tidak berdaya? Manusia tidak bisa memberi rezeki, tidak bisa menunda ajal, dan tidak mengetahui rahasia batin kita. Mencari pujian dari mereka ibarat memohon sepotong roti dari orang miskin yang tidak punya apa-apa. Dengan menyadari ketidakberdayaan manusia, ketergantungan hati kepada mereka akan terputus.

b. Mengenali Bahaya Pujian

Pujian adalah racun manis. Pujian akan menumbuhkan kebanggaan diri (ujub), yang pada gilirannya akan mematikan amal. Seseorang yang dipuji akan merasa bahwa ia telah mencapai kesalehan, sehingga ia berhenti berusaha. Oleh karena itu, bagi Ghazali, kritik (cacian) lebih bermanfaat daripada pujian, sebab kritik mendorong kita untuk introspeksi dan memperbaiki diri.

2. Pengobatan Praktis: Mengamalkan Sirr (Kerahasiaan)

Cara terbaik untuk melatih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikan. Rasulullah SAW menyebut bahwa amal yang tersembunyi nilainya lebih besar.

a. Prinsip As-Sirr fi al-Awliyā’ (Kerahasiaan Para Wali)

Seorang mukhlis (orang yang ikhlas) akan berusaha menyembunyikan ibadah sunnahnya seperti ia menyembunyikan aibnya. Shalat sunnah di rumah, sedekah tersembunyi, dan tangisan tobat di tengah malam adalah "modal" tersembunyi yang hanya diketahui Allah. Al-Ghazali membolehkan amal yang terlihat jika tujuannya adalah mengajarkan kebaikan (ta’lim) atau memberi motivasi (tahfidz), namun ini hanya berlaku bagi mereka yang jiwanya telah kuat, yang diyakini tidak akan terpengaruh oleh pujian.

b. Menguji Reaksi Hati

Ujian keikhlasan tertinggi adalah ketika seseorang melakukan kebaikan, lalu ia dicela atau dihina. Jika hati tetap tenang dan tidak terganggu, itu adalah tanda ikhlas yang kuat. Sebaliknya, jika ia merasa marah, sakit hati, atau ingin membela diri, itu menunjukkan bahwa ia masih mengharapkan pengakuan dari orang yang mencela tersebut.


V. Kedalaman Ikhlas dalam Tiga Ranah Kehidupan

Konsep ikhlas yang diajukan Ghazali tidak terbatas pada ibadah ritual seperti shalat atau puasa, tetapi harus meresapi setiap aspek kehidupan, menjadikannya sebuah etika universal.

1. Ikhlas dalam Ibadah Ritual (Al-Ibadat)

Ikhlas dalam shalat berarti mengosongkan pikiran dari segala urusan duniawi sejak takbiratul ihram hingga salam, dan tidak peduli apakah ada yang melihat shalatnya atau tidak. Ikhlas dalam puasa berarti menjaga diri dari segala yang membatalkan pahala (seperti ghibah), bahkan ketika tidak ada yang melihat, karena kesadaran bahwa Allah Maha Melihat. Ghazali menjelaskan, ibadah yang paling mudah diserang riya adalah ibadah yang bersifat umum seperti haji dan sedekah, karena ia melibatkan interaksi sosial yang besar dan menarik perhatian publik.

2. Ikhlas dalam Muamalah (Interaksi Sosial)

Ikhlas dalam muamalah berarti berlaku jujur dalam perdagangan, membantu sesama, dan menunaikan hak orang lain semata-mata karena memenuhi perintah Allah. Contoh paling halus: Seseorang menahan diri dari marah kepada bawahannya, bukan karena takut kehilangan respek, tetapi karena takut melanggar hak saudaranya di hadapan Allah. Ikhlas dalam muamalah menuntut kita untuk mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri, menghilangkan motif terselubung untuk memanipulasi atau mengambil keuntungan dari kebaikan yang kita lakukan.

3. Ikhlas dalam Menuntut Ilmu (Thalab Al-Ilm)

Ghazali sangat keras terhadap ulama yang rusak niatnya. Menuntut ilmu demi popularitas, kedudukan, debat, atau harta adalah bencana spiritual. Ilmu yang tidak didasari ikhlas tidak akan membawa manfaat bagi pemiliknya di akhirat. Ikhlas dalam ilmu berarti mencari ilmu hanya untuk mengenal Allah, mengamalkan syariat-Nya, dan menyelamatkan diri dari kebodohan. Orang yang ikhlas dalam menuntut ilmu akan merasa puas dengan ilmu yang sedikit jika ia telah diamalkan, dan tidak akan merasa tertekan jika ilmunya tidak diakui orang lain.


VI. Analisis Mendalam: Skenario Riya Paling Halus

Untuk memastikan pemahaman ikhlas yang komprehensif, Al-Ghazali merinci skenario di mana riya muncul dalam bentuk yang paling licik, yang sering disalahartikan sebagai niat baik.

1. Senang karena Amal Terlihat Baik

Seorang hamba melakukan shalat malam secara rahasia. Keesokan paginya, ia menceritakannya kepada seorang teman. Teman itu memujinya. Hati hamba tersebut merasa senang dan gembira. Ghazali membedakan:

Seorang mukhlis sejati harus berusaha agar pujian dan cacian tidak memengaruhi kondisi batinnya. Pujian seharusnya hanya mengingatkannya bahwa Allah telah menutupi aibnya.

2. Meninggalkan Kebaikan Karena Takut Riya

Ini adalah perangkap syaitan yang sangat canggih. Seseorang berniat sedekah di depan umum, niatnya murni karena Allah. Namun, ia khawatir orang lain akan menuduhnya riya, sehingga ia membatalkan sedekahnya. Ghazali menegaskan: Membatalkan amal saleh yang diniatkan karena Allah hanya karena takut dicap riya oleh manusia adalah bentuk riya yang terbalik! Ini berarti ia lebih peduli pada pandangan manusia daripada pelaksanaan perintah Allah. Prinsipnya: Jika niatnya murni, lakukanlah. Pandangan manusia terhadap niatmu adalah urusan mereka, bukan urusanmu. Ketakutan terhadap pandangan orang adalah riya itu sendiri.

3. Riya dalam Kesedihan dan Musibah

Bahkan ketika ditimpa musibah, riya bisa menyelinap masuk. Seseorang mungkin menunjukkan air mata yang deras atau kepasrahan yang luar biasa di depan umum agar dianggap sebagai pribadi yang sabar dan tawakal. Padahal, jika ia sendirian, ia mungkin tidak menunjukkan level kesabaran yang sama. Ikhlas menuntut konsistensi dalam keadaan sulit, baik ada saksi maupun tidak.


VII. Fondasi Filosofis: Ikhlas dalam Kerangka Akhlak Ghazali

Dalam pandangan Al-Ghazali, ikhlas bukanlah sekadar bagian dari etika Islam, melainkan fondasi bagi seluruh etika. Ia terkait erat dengan pemurnian Nafs (jiwa) melalui konsep muhasabah (introspeksi) dan mujāhadah (perjuangan).

1. Ikhlas dan Pembersihan Nafsu Ammarah

Jiwa yang paling rendah (Nafs al-Ammarah bis-Su’) adalah jiwa yang selalu memerintahkan keburukan. Riya dan cinta kedudukan adalah manifestasi utama dari Nafsu Ammarah. Nafsu ini ingin dihormati dan dipuji. Perjuangan (Mujahadah) untuk ikhlas adalah perjuangan melawan nafsu ini, memaksanya untuk beramal tanpa meminta balasan atau pengakuan dari sumber manapun kecuali Allah. Ketika niat telah tulus murni, nafsu ini akan terdiam karena ia tidak mendapatkan "makanan" berupa pujian.

2. Ikhlas sebagai Hasil Tawakul Sempurna

Seorang yang ikhlas adalah seorang yang tawakul (berserah diri) secara sempurna. Jika seseorang bertawakal sepenuhnya kepada Allah mengenai rezeki, kehormatan, dan masa depannya, mengapa ia harus mencari sanjungan dari manusia? Ketergantungan hati pada pujian makhluk menunjukkan kurangnya tawakul kepada Sang Pencipta. Jika hamba yakin bahwa manfaat dan bahaya datang hanya dari Allah, maka pujian manusia menjadi tidak relevan, sekadar tiupan angin.

“Inti dari Ikhlas adalah bahwa seorang hamba tidak mencari saksi atas amalnya selain Yang Maha Mengetahui rahasia, dan ia tidak mengharapkan pujian dari siapapun kecuali Tuhan Semesta Alam.”


VIII. Memperluas Ranah Ikhlas: Dari Niat Hingga Penutup Amal

Untuk memenuhi tuntutan keikhlasan yang mendalam, kita harus melihat bagaimana Ikhlas bekerja dalam tiga fase perbuatan: sebelum, selama, dan setelah amal. Keikhlasan yang sempurna harus mencakup ketiga fase ini tanpa terputus.

1. Ikhlas Pra-Amal (Sebelum Melakukan Perbuatan)

Fase ini adalah fase niat. Seorang mukhlis harus menanyakan pada dirinya, "Apa motivasiku yang paling murni dalam melakukan amal ini?" Ia harus jujur mencari tahu apakah ada benih-benih duniawi yang menyelinap, seperti keinginan untuk diundang dalam acara keagamaan, harapan mendapatkan posisi, atau sekadar ingin terlihat baik di lingkungan sosial. Jika niat awal sudah tercampur, amal tersebut sejak awal sudah berpotensi rusak. Ghazali menyarankan untuk melakukan jeda sesaat sebelum amal, membersihkan hati dari segala motivasi ganda.

2. Ikhlas Saat Pelaksanaan Amal (Selama Perbuatan)

Inilah fase yang paling sering diganggu oleh riya. Ketika amal sedang berjalan dan tiba-tiba ada orang yang melihat, hati cenderung ingin memperindah amal tersebut—memanjangkan sujud, mengeluarkan air mata palsu, atau memperlembut suara. Ikhlas pada fase ini menuntut konsistensi. Jika sebelum ada orang niatnya murni, maka ketika ada orang, niatnya harus tetap sama. Mukhlis sejati adalah mereka yang ketaatannya kepada Allah tidak bertambah atau berkurang dengan keberadaan makhluk.

3. Ikhlas Pasca-Amal (Setelah Perbuatan Selesai)

Keikhlasan tidak berakhir saat amal selesai. Riya seringkali menyerang melalui penyakit sum’ah (ingin didengar) dan ujub (bangga diri). Seorang yang ikhlas akan melupakan amalnya secepat mungkin. Ia tidak akan menceritakan kebaikannya kepada orang lain dan tidak akan mengingat-ingat ketaatannya. Bahkan, ia merasa takut kalau-kalau amal yang telah ia lakukan tidak diterima, sehingga ia tidak sempat merasa bangga. Mengingat amal kebaikan hanya akan menumbuhkan ego yang pada akhirnya merusak nilai amal itu sendiri.


IX. Puncak Keikhlasan: Hidup dalam Pengawasan Ilahi (Muraqabah)

Pencapaian ikhlas yang sempurna identik dengan kondisi spiritual yang disebut Muraqabah, yaitu kesadaran yang terus-menerus bahwa Allah mengawasi setiap detik perbuatan dan niat kita.

1. Muraqabah Menggantikan Rasa Takut pada Manusia

Ketika seorang hamba mencapai Muraqabah, ia beramal seolah-olah melihat Allah (Ihsan). Rasa malu dan takut kepada Allah jauh melampaui rasa takut dan harap kepada manusia. Jika seorang hamba merasa malu untuk melakukan perbuatan buruk di hadapan gurunya, bagaimana mungkin ia tidak malu melakukan riya di hadapan Pencipta alam semesta? Kesadaran ini adalah benteng terkuat melawan riya, karena ia menjadikan Allah satu-satunya audiens, satu-satunya penilai, dan satu-satunya tujuan.

2. Konsistensi dalam Kesendirian dan Keramaian

Tanda tertinggi ikhlas dan muraqabah adalah ketika perbuatan hamba di tempat tersembunyi sama indahnya dengan perbuatannya di tempat terbuka. Tidak ada perbedaan antara shalat malam sendirian dan shalat berjamaah di masjid raya. Kualitas kedermawanannya saat anonim sama tingginya dengan saat ia disorot kamera. Al-Ghazali menyimpulkan bahwa inilah tujuan utama dari Tasawuf (Sufismenya Ghazali): mengubah karakter batin agar sejalan dengan tuntutan syariat, menjadikan hati sebagai cerminan tauhid yang murni.


Penutup: Ikhlas, Kunci Keselamatan

Imam Al-Ghazali, melalui warisannya yang tak ternilai, mengajarkan bahwa Ikhlas bukanlah sekadar atribut yang menyenangkan, melainkan syarat mutlak bagi keselamatan abadi. Seluruh bangunan keagamaan—mulai dari syariat hingga hakikat—akan runtuh jika fondasinya, yaitu kemurnian niat, telah rapuh.

Jalan menuju ikhlas adalah jalan yang panjang, memerlukan perjuangan terus-menerus melawan hawa nafsu dan tipu daya syaitan yang tersembunyi dalam bentuk pujian. Jalan ini menuntut introspeksi harian, di mana kita secara brutal jujur memeriksa mengapa kita melakukan sesuatu. Apakah karena Allah, ataukah karena berharap pandangan sekilas dari makhluk yang fana?

Ikhlas, dalam pandangan Hujjatul Islam, adalah penyatuan total antara hati, lisan, dan perbuatan, di mana satu-satunya yang dituju adalah Wajah Ilahi, menjadikannya puncak dari segala amal dan inti dari seluruh ajaran Tauhid. Hanya dengan memurnikan niat sepenuhnya, seorang hamba dapat berharap bahwa amalnya akan melampaui batas-batas dunia ini dan diterima di sisi Yang Maha Menerima.

🏠 Homepage