Analisis Mendalam Ayat-Ayat Pembuka dan Struktur Empat Ujian Utama
Ilustrasi simbolis Cahaya Kebenaran (Wahyu) yang menerangi kegelapan ujian (Kahfi).
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah Makkiyah, diturunkan pada periode pertengahan kenabian di Makkah, sebuah masa di mana kaum Muslimin menghadapi tekanan, intimidasi, dan keraguan yang luar biasa dari kaum Quraisy. Surah ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam tradisi Islam, tidak hanya karena keindahan bahasanya tetapi juga karena peranannya sebagai benteng spiritual, khususnya dari fitnah (ujian) Dajjal, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis sahih.
Konteks turunnya surah ini erat kaitannya dengan tantangan intelektual yang dilontarkan oleh kaum Quraisy terhadap Rasulullah Muhammad ﷺ. Mereka bersekutu dengan Ahli Kitab (Yahudi) di Madinah untuk menguji kenabian beliau dengan tiga pertanyaan kunci yang dianggap hanya diketahui oleh nabi sejati: mengenai sekelompok pemuda yang tidur panjang (Ashabul Kahfi), mengenai seorang pengembara yang mencapai ujung timur dan barat (Dzulqarnain), dan mengenai hakikat roh. Jawaban atas dua pertanyaan pertama, yang terkandung sepenuhnya dalam Surah Al-Kahfi, membuktikan kebenaran wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Surah ini berfungsi sebagai peta jalan rohani, mempersiapkan jiwa Mukmin untuk menghadapi empat bentuk fitnah fundamental yang mengancam keberlangsungan iman: Fitnah Agama (Ashabul Kahfi), Fitnah Harta (Pemilik Dua Kebun), Fitnah Ilmu (Musa dan Khidir), dan Fitnah Kekuasaan (Dzulqarnain).
Surah Al-Kahfi dibuka dengan ayat yang penuh makna dan pernyataan keagungan ilahiah:
(Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;)
Ayat pertama, ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ (Alhamdulillah), adalah kunci universal yang membuka banyak surah dalam Al-Qur'an (seperti Al-Fatihah dan Al-An'am). Ayat ini menetapkan fondasi bahwa semua pujian, penghormatan, dan rasa syukur hanya milik Allah. Dalam konteks Al-Kahfi, pujian ini dikaitkan secara spesifik dengan anugerah terbesar bagi umat manusia, yaitu penurunan Al-Kitab (Al-Qur’an).
Pernyataan bahwa Allah menurunkan Al-Kitab "kepada hamba-Nya" ('ala abdihil) mengandung pengakuan yang mendalam terhadap status kenabian Muhammad ﷺ sekaligus menekankan sifat ketundukan mutlak (ubudiyah). Seorang hamba adalah seseorang yang sepenuhnya mengabdi, dan di sinilah letak kemuliaan terbesar Nabi Muhammad: beliau adalah hamba Allah sebelum menjadi Rasul Allah. Penyebutan ini menguatkan klaim Nabi di hadapan orang-orang Makkah yang meragukan kenabiannya.
Kata kunci kedua dari ayat pertama adalah وَلَمۡ يَجۡعَل لَّهُۥ عِوَجَاۜ, yang berarti 'dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.' 'Iwaja' (kebengkokan) dalam bahasa Arab sering digunakan untuk menunjukkan penyimpangan moral, ketidakadilan, atau kontradiksi logis. Dengan menafikan 'Iwaja' dari Al-Qur'an, Allah menegaskan dua hal esensial:
Ayat ini berfungsi sebagai pembuka yang menunjukkan bahwa solusi terhadap segala fitnah—dari keraguan akidah hingga godaan duniawi—hanya dapat ditemukan dalam petunjuk yang lurus dan tanpa bengkok ini. Ini adalah pengantar yang kuat untuk kisah-kisah yang akan datang, di mana manusia sering kali tersesat karena mengikuti hawa nafsu dan kebengkokan pemikiran mereka sendiri.
Kisah Ashabul Kahfi, atau Penghuni Gua, adalah narasi sentral pertama dalam surah ini. Kisah ini diceritakan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum Quraisy, tetapi hikmahnya jauh melampaui sejarah. Ini adalah ujian paling dasar: ujian keimanan di hadapan kekuasaan yang zalim, sebuah fitnah yang mengancam eksistensi akidah.
Para pemuda ini hidup dalam masyarakat kafir yang dipimpin oleh seorang raja tiran yang memaksa mereka menyembah berhala. Ketika mereka menyadari bahwa mempertahankan tauhid (keesaan Allah) di tengah masyarakat tersebut mustahil dan berbahaya, mereka mengambil keputusan radikal. Mereka meninggalkan segala kenyamanan dunia demi menyelamatkan akidah mereka.
"Dan Kami teguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: 'Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru tuhan selain Dia, sesungguhnya kalau kami berbuat demikian, tentulah kami telah mengucapkan perkataan yang melampaui batas.'" (Al-Kahfi: 14)
Pernyataan ini bukan sekadar deklarasi keyakinan, tetapi sebuah tindakan keberanian yang didasari oleh keyakinan mendalam. Mereka mempertaruhkan nyawa dan status sosial. Inti dari kisah ini adalah Al-Tawakkul Al-Kamil (Ketergantungan Total kepada Allah). Mereka berlindung di gua, sebuah tempat yang secara fisik rapuh, tetapi mereka yakin bahwa pelindung sejati adalah Allah.
Allah menidurkan mereka selama tiga ratus sembilan tahun. Periode tidur yang sangat panjang ini menunjukkan kekuasaan Allah untuk menghentikan waktu dalam konteks kehidupan fana, sekaligus sebagai mukjizat yang bertujuan. Ketika mereka bangun, dunia telah berubah sepenuhnya. Raja tiran telah mati, dan kota mereka telah menjadi komunitas yang beriman.
Ulama tafsir menekankan bahwa tidur ini adalah simbol dari 'penangguhan' hukuman atau penantian akan keadilan ilahi. Allah membiarkan mereka 'tertidur' selama masa tirani itu, lalu membangkitkan mereka untuk menjadi bukti nyata (hujjah) bagi masyarakat yang baru bahwa kebangkitan (setelah kematian) adalah suatu kepastian. Pengalaman mereka menjadi pelajaran yang mengajarkan bahwa:
Kisah Ashabul Kahfi mengajarkan bahwa ketika akidah terancam, hijrah fisik atau spiritual demi menyelamatkan iman adalah kewajiban, dan bahwa Allah adalah pelindung terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang berpegang teguh pada tauhid, meskipun jalan tersebut terlihat penuh risiko.
Setelah ujian akidah, surah ini beralih ke ujian kedua yang paling umum dihadapi manusia: fitnah harta (al-mal). Kisah ini melibatkan dua orang sahabat—seorang kaya raya dan seorang miskin—yang kekayaannya menjadi alat ukur spiritual mereka.
Salah satu dari mereka dikaruniai dua kebun anggur yang subur, dikelilingi pohon kurma, dan dialiri sungai yang berlimpah. Kekayaan ini, alih-alih menumbuhkan syukur, justru memicu kesombongan (kibr) dan keangkuhan. Ia berkata kepada temannya:
"Aku lebih banyak hartanya daripadamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat." (Al-Kahfi: 34)
Kesombongan ini diperparah ketika ia memasuki kebunnya dan melupakan asal-usul karunia itu. Ia tidak hanya sombong di hadapan manusia, tetapi ia juga berbuat zalim terhadap dirinya sendiri dengan meragukan Hari Kiamat atau bahkan kehidupan kekal di akhirat.
(Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,")
Inilah puncak dari fitnah harta: kekayaan membuat seseorang lupa akan fana-nya dunia dan meremehkan janji Hari Akhir. Ia menganggap hartanya adalah hasil jerih payahnya semata, dan melupakan kekuatan Allah (Quwwatullah).
Temannya yang miskin namun beriman mencoba mengingatkannya dengan prinsip tauhid, menekankan pentingnya mengucapkan مَا شَاءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ (Ma sha Allah la quwwata illa billah – Apa yang dikehendaki Allah, tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah) ketika melihat nikmat.
Namun, pemilik kebun menolak nasihat tersebut. Akibatnya datanglah hukuman yang instan dan total. Seluruh kebunnya dihancurkan oleh bencana. Ayat ini menunjukkan sifat dunia yang sementara dan betapa cepatnya harta dapat lenyap.
Hikmah terpenting dari kisah ini adalah perlunya bersikap realistis terhadap nilai harta. Harta hanyalah ujian dan pinjaman. Kehancuran kebun itu melambangkan kehancuran harapan duniawi di Hari Kiamat. Kekayaan bukanlah ukuran kemuliaan di sisi Allah, melainkan bagaimana harta itu diakui sebagai anugerah dan digunakan sesuai kehendak-Nya.
Surah Al-Kahfi kemudian membawa kita pada ujian ketiga: Fitnah Ilmu. Ini adalah ujian yang paling kompleks, menunjukkan bahwa bahkan seorang nabi besar seperti Musa AS pun harus mengakui keterbatasan pengetahuannya di hadapan ilmu Allah yang tak terbatas.
Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa AS ditanya, "Siapakah orang yang paling berilmu di bumi?" Musa, dengan keyakinan bahwa ia adalah Rasul Allah dan pemegang Taurat, menjawab, "Saya." Kemudian Allah menegur Musa bahwa ada hamba-Nya yang lebih berilmu darinya, yaitu Khidir (yang mayoritas ulama tafsir meyakini beliau adalah seorang Nabi atau Wali yang diberi ilmu khusus/Ilmu Ladunni).
Pencarian Musa terhadap Khidir adalah pelajaran tentang kerendahan hati (Tawadhu') dalam menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu, betapapun tingginya kedudukannya, harus siap menempuh kesulitan, melakukan perjalanan jauh, dan yang terpenting, bersabar dan taat pada guru yang memiliki dimensi pengetahuan yang berbeda.
Khidir membuat perjanjian dengan Musa bahwa Musa tidak boleh bertanya atau berkomentar sebelum Khidir sendiri menjelaskannya. Tiga peristiwa misterius terjadi, yang secara lahiriah tampak tidak adil atau bertentangan dengan syariat Musa:
Setiap kejadian ini adalah pukulan terhadap pemahaman Musa yang didasarkan pada pengetahuan syariat yang tampak. Ilmu Musa bersifat eksoterik (syariat) yang berurusan dengan hukum yang terlihat. Sementara ilmu Khidir bersifat esoterik (hakikat/ladunni) yang berurusan dengan takdir dan hikmah tersembunyi Allah.
Ketika Khidir akhirnya menjelaskan, hikmah di balik setiap tindakan terungkap, menegaskan bahwa pengetahuan manusia terbatas pada apa yang terlihat, sementara ilmu Allah meliputi dimensi waktu, masa depan, dan takdir:
Ujian ini mengajarkan kita tentang batas ilmu manusia. Meskipun kita diperintahkan untuk mencari ilmu, kita harus selalu mengingat bahwa ada dimensi ilmu yang berada di luar jangkauan akal kita. Fitnah ilmu adalah ketika seseorang menjadi sombong dengan pengetahuannya (seperti Musa pada awalnya) dan menggunakan akalnya untuk menghakimi takdir atau hukum Allah, padahal ia hanya melihat sepotong kecil dari gambaran besar.
Ujian keempat, dan yang terakhir dalam surah ini, adalah Fitnah Kekuasaan (al-sulthan), yang diwujudkan melalui kisah Dzulqarnain. Dzulqarnain (yang berarti 'Pemilik Dua Tanduk' atau 'Dua Masa') adalah seorang raja atau penguasa saleh yang diberi kekuasaan besar atas bumi.
Allah memberi Dzulqarnain kekuasaan di berbagai penjuru bumi. Setiap perjalanannya—ke Barat, ke Timur, dan ke daerah antara dua pegunungan—menjadi pelajaran tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin menggunakan kekuasaan yang dianugerahkan kepadanya.
Perjalanan ke Barat: Ketika sampai di tempat terbenamnya matahari, ia dihadapkan pada suatu kaum. Allah memberinya pilihan untuk menghukum atau berbuat baik kepada mereka. Dzulqarnain menerapkan keadilan ilahiah:
"Adapun orang yang zalim, maka kami akan menghukumnya, kemudian dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang sangat keras. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya perintah yang mudah dari urusan kami." (Al-Kahfi: 87-88)
Ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati tidak menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk menegakkan hukum Allah (keadilan) dan membedakan antara yang baik dan yang jahat.
Peristiwa paling monumental dari kisahnya adalah ketika ia tiba di antara dua gunung, di mana ia menemukan kaum yang mengeluhkan gangguan dari Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog), dua suku perusak. Mereka menawarkan upah agar Dzulqarnain membangun dinding pelindung.
Respon Dzulqarnain mencerminkan puncak dari kesalehan seorang pemimpin:
(Dia (Dzulqarnain) berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku adalah lebih baik (daripada upahmu), tetapi bantulah aku dengan kekuatan (tenaga), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.")
Dzulqarnain menolak harta (upah), menegaskan bahwa kekuasaan yang dimilikinya adalah karunia Allah yang harus digunakan untuk melayani dan bukan untuk mencari keuntungan. Ia menggunakan sumber daya dan ilmu pengetahuan (teknologi besi dan tembaga cair) yang dimilikinya untuk membangun benteng yang kokoh, murni demi kebaikan rakyatnya. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kerendahan hati dan pengakuan bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah.
Kisah ini menekankan bahwa ujian kekuasaan bukanlah seberapa besar wilayah yang dikuasai, tetapi apakah kekuasaan itu digunakan untuk:
Setelah merinci empat kisah agung yang membahas fitnah agama, harta, ilmu, dan kekuasaan, Surah Al-Kahfi menutup dengan peringatan tentang tujuan akhir dari kehidupan ini dan Hari Kiamat.
Keterkaitan Surah Al-Kahfi dengan fitnah Dajjal—yang menurut hadis adalah ujian terbesar yang pernah ada—menjadi jelas. Dajjal akan menguji manusia melalui keempat pilar fitnah ini secara simultan:
Oleh karena itu, menghafal dan memahami sepuluh ayat pertama (yang mencakup fokus pada ayat 1, ‘Alhamdulillah’) atau sepuluh ayat terakhir Al-Kahfi menjadi perlindungan profetik, karena ayat-ayat ini mengandung inti pelajaran untuk menahan godaan Dajjal.
Ayat-ayat penutup Surah Al-Kahfi memberikan pukulan telak kepada mereka yang menyangka telah berbuat baik padahal amalan mereka sia-sia. Allah berfirman tentang orang-orang yang merugi:
"Katakanlah: 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (Al-Kahfi: 103-104)
Ini adalah peringatan bagi kita semua, terutama bagi mereka yang terperangkap dalam fitnah ilmu dan kekuasaan. Seseorang mungkin memiliki niat baik (menurut pandangannya), tetapi jika amalan tersebut tidak didasarkan pada tauhid yang murni dan syariat yang benar, maka semua usahanya akan hancur (seperti debu yang beterbangan) di akhirat.
Surah ini ditutup dengan merangkum dua syarat utama diterimanya amal, yang merupakan antitesis dari empat fitnah yang telah dibahas. Ayat 110 memberikan rumus keberhasilan sejati:
(Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.)
Dua syarat ini adalah: Amal Saleh (Ittiba' / Sesuai syariat) dan Tidak mempersekutukan (Ikhlas / Murni karena Allah). Jika seseorang berhasil melewati empat fitnah utama (agama, harta, ilmu, kekuasaan) dengan menjaga ikhlas dan ittiba', maka ia akan mencapai tujuan utamanya.
Surah Al-Kahfi, dimulai dengan pujian kepada Allah atas kesempurnaan Kitab-Nya (Ayat 1), diakhiri dengan peringatan bahwa Kitab itu adalah pedoman tunggal untuk mengarahkan setiap tindakan manusia menuju pertemuan yang sukses dengan Sang Pencipta. Ia adalah mercusuar bagi seorang Muslim di tengah badai fitnah dunia, menjanjikan perlindungan, kebijaksanaan, dan jalan lurus yang tidak bengkok.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Kahfi, kita perlu menelaah beberapa aspek linguistik dan struktur naratif yang canggih yang digunakan dalam surah ini. Struktur Surah Al-Kahfi sering disebut sebagai struktur cincin (ring structure) atau struktur simetris, di mana bagian awal surah mencerminkan bagian akhir, dan kisah-kisah di tengah saling berpasangan.
Para ahli kajian Al-Qur'an modern mencatat bahwa Surah Al-Kahfi tersusun secara simetris, menciptakan koherensi yang luar biasa. Koherensi ini mengikat ayat pembuka (fokus pada Kitab yang lurus) dengan ayat penutup (fokus pada amal yang lurus):
Keseimbangan struktural ini menegaskan bahwa tidak ada satu ujian pun yang berdiri sendiri; keempatnya saling terkait dan hanya dapat diatasi dengan kembali kepada Al-Qur’an yang ‘tidak bengkok’.
Dalam kisah Ashabul Kahfi, Al-Qur'an secara eksplisit membahas perbedaan pendapat mengenai jumlah mereka:
"Mereka akan mengatakan: '(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya', dan yang lain mengatakan: '(Jumlah mereka) lima orang, yang keenam adalah anjingnya', sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan yang lain lagi mengatakan: '(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya'." (Al-Kahfi: 22)
Allah kemudian memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berkata, "Tuhanku lebih mengetahui bilangan mereka." Ini mengajarkan umat Muslim untuk tidak terperangkap dalam perdebatan detail yang tidak esensial bagi hikmah spiritual. Fokus harus tetap pada pesan Tauhid dan keberanian mereka, bukan pada angka. Kehadiran anjing, yang setia mendampingi mereka, menunjukkan bahwa bahkan makhluk rendahan pun dapat memperoleh kemuliaan jika ia bergaul dengan orang-orang saleh.
Ketika mereka bangun, salah satu dari mereka dikirim ke kota dengan uang perak (waraq) untuk membeli makanan yang paling suci (azka tha’aman). Perintah ini mengajarkan dua hal:
Kisah ini sangat relevan di era kapitalisme dan materialisme. Kebun itu sendiri melambangkan infrastruktur dan aset yang kita kumpulkan di dunia ini. Ketika pemilik kebun itu berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya," ia mencerminkan mentalitas manusia modern yang menaruh kepercayaan absolut pada kestabilan pasar, pertumbuhan ekonomi, atau kekayaan yang terakumulasi, seolah-olah bencana atau kematian tidak akan pernah menyentuhnya.
Nasihat dari teman yang miskin (yang merupakan representasi dari spiritualitas yang kaya) adalah antidote terhadap fitnah harta. Pengucapan "Ma sha Allah la quwwata illa billah" (apa yang dikehendaki Allah, tiada kekuatan kecuali dengan Allah) harus diucapkan setiap kali seseorang melihat nikmatnya sendiri atau nikmat orang lain. Ini adalah penawar kesombongan, sebuah pengakuan bahwa sumber semua kekuatan dan karunia adalah dari Allah, bukan dari kecerdasan, modal, atau usaha semata.
Diskusi tentang kisah ini sering menyentuh perdebatan apakah Khidir lebih mulia dari Musa. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah menegaskan bahwa Musa AS, sebagai Rasul dan pemilik syariat ulul azmi, memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Ilmu Khidir (Ladunni) adalah ilmu yang spesifik, sementara ilmu Musa (Syariat) adalah ilmu universal yang diperlukan untuk membimbing seluruh umat manusia.
Yang diajarkan surah ini adalah bahwa ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan yang dapat dipelajari (kasbi) dan pengetahuan yang dianugerahkan secara khusus (wahbi/ladunni). Keduanya berada di bawah payung ilmu Allah. Ujian bagi seorang berilmu adalah tidak pernah merasa cukup atau paling benar, karena selalu ada dimensi yang lebih tinggi dan tersembunyi dalam takdir ilahi.
Dzulqarnain adalah model pemimpin ideal. Kunci karakternya ada pada kata مَكَّنَّا لَهُ فِي ٱلۡأَرۡضِ (Kami telah memberikan kepadanya kekuasaan di muka bumi). Tamkin (kekuasaan) bukan hanya kekuasaan politik, tetapi juga kekayaan material, kecerdasan, dan sarana untuk mencapai tujuan. Bagaimana Dzulqarnain menggunakan Tamkin ini menjadi teladan:
Surah Al-Kahfi adalah cermin yang memantulkan kondisi spiritual umat manusia sejak awal penciptaan hingga Hari Kiamat. Keempat kisah ini menyediakan kerangka berpikir yang kokoh bagi seorang Mukmin untuk menavigasi kesulitan hidup. Dengan memulai surah ini dengan pujian kepada Allah yang menurunkan Kitab yang lurus (Ayat 1), Allah telah memberikan solusi sebelum ujian dimulai.
Perlindungan terbesar dari semua fitnah—termasuk fitnah Dajjal—adalah integrasi ajaran Al-Kahfi dalam kehidupan sehari-hari:
Pembacaan Surah Al-Kahfi setiap hari Jumat bukan sekadar ritual, melainkan pengingat mingguan atas prinsip-prinsip ini, memperkuat benteng spiritual kita dari setiap godaan material, spiritual, dan intelektual yang dihadirkan oleh dunia yang semakin bingung ini. Surah ini adalah cahaya, sebagaimana yang disabdakan Nabi, yang akan menerangi jalan seorang Mukmin dari satu Jumat ke Jumat berikutnya, menjamin bahwa kita tetap berada di jalan yang lurus, bebas dari 'kebengkokan' yang dihindari oleh Kitabullah yang sempurna.
Keagungan surah ini terletak pada kemampuannya untuk menawarkan kenyamanan bagi yang teraniaya (Ashabul Kahfi), peringatan bagi yang lalai (Pemilik Kebun), pelajaran bagi yang berilmu (Musa), dan pedoman bagi yang berkuasa (Dzulqarnain), menjadikan Al-Kahfi sebagai warisan tak ternilai bagi setiap pencari kebenaran dan kesabaran.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa merenungi ayat pertama, "Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya," sebagai deklarasi bahwa solusi bagi segala kekusutan hidup telah tersedia, lurus, dan sempurna dalam petunjuk-Nya.
***