Surat Al-Lahab, yang merupakan surat ke-111 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surat Makkiyah yang diturunkan di awal masa kenabian. Meskipun terdiri dari hanya lima ayat yang sangat ringkas, surat ini membawa pesan yang sangat kuat, tajam, dan memiliki konteks sejarah yang sangat spesifik. Kandungan surat ini berpusat pada penegasan takdir ilahi terhadap mereka yang secara terang-terangan menentang dakwah Rasulullah ﷺ, khususnya salah satu kerabat terdekat beliau, Abu Lahab.
Analisis mendalam terhadap surat ini tidak hanya terbatas pada kutukan historis, tetapi mencakup pelajaran fundamental mengenai konsekuensi kekufuran, tiadanya manfaat harta dan kedudukan di hadapan azab Allah, serta penegasan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari keadilan Ilahi jika ia memilih jalan kesesatan. Untuk memahami sepenuhnya kedalaman maknanya, kita harus menelusuri akar linguistik, konteks penurunan (Asbabun Nuzul), dan implikasi teologisnya yang meluas.
Al-Lahab, yang secara harfiah berarti 'Jilatan Api yang Menyala,' dinamai demikian karena merujuk langsung kepada takdir azab neraka yang akan menimpa tokoh utama yang dicerca dalam surat ini. Penempatan surat ini di akhir Al-Qur'an, berdekatan dengan surat-surat perlindungan (Al-Falaq dan An-Nas), menekankan kontras antara kasih sayang dan perlindungan Ilahi bagi yang beriman, dengan azab yang pasti bagi yang ingkar.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّ
(1) Kandungan Ayat 1
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!
مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَ
(2) Kandungan Ayat 2
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (anak-anaknya).
سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
(3) Kandungan Ayat 3
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka yang menyala-nyala).
وَّامْرَاَتُهٗ ۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۗ
(4) Kandungan Ayat 4
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ
(5) Kandungan Ayat 5
Di lehernya ada tali dari sabut.
Kandungan Surat Al-Lahab tidak dapat dipisahkan dari peristiwa historis yang melatarbelakanginya. Penurunan surat ini terjadi pada masa awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekah, ketika beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan peringatan kepada kerabat terdekatnya secara terbuka. Peristiwa ini dicatat dalam beberapa riwayat hadis sahih.
Ketika turun firman Allah (QS. Asy-Syu'ara: 214), "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat," Nabi Muhammad ﷺ naik ke Bukit Safa. Beliau menyeru kaum Quraisy, termasuk Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan suku-suku lainnya. Beliau bertanya kepada mereka, "Bagaimana jika aku beritahukan kepada kalian bahwa di balik lembah ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serentak menjawab, "Kami tidak pernah mendapati engkau berdusta."
Kemudian, Nabi ﷺ menyatakan, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih."
Di tengah kerumunan tersebut, berdiri paman Nabi ﷺ, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang dikenal dengan julukan Abu Lahab (Bapak Jilatan Api), karena wajahnya yang rupawan dan kemerahan. Abu Lahab, yang seharusnya menjadi pelindung Nabi sebagai bagian dari Bani Hasyim, justru tampil sebagai penentang paling sengit dan kejam.
Dengan suara lantang, Abu Lahab berseru, "Celaka engkau Muhammad! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Pernyataan ini bukan sekadar penolakan biasa; itu adalah penghinaan publik yang bertujuan meruntuhkan otoritas Nabi ﷺ di hadapan seluruh kabilah Quraisy. Sebagai tanggapan langsung dan tegas atas penghinaan tersebut, Allah menurunkan Surat Al-Lahab, mengumumkan takdir azab yang akan menimpa Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil.
Keunikan surat ini terletak pada fakta bahwa ia adalah satu-satunya surat dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama musuh Islam yang masih hidup. Hal ini menunjukkan kepastian takdir dan kemahatahuan Allah, sekaligus sebagai penghibur besar bagi Nabi ﷺ di tengah tekanan dakwah yang luar biasa.
Setiap kata dalam Surat Al-Lahab memiliki bobot teologis dan linguistik yang luar biasa, menjelaskan secara rinci mengapa Abu Lahab dan istrinya layak mendapatkan hukuman tersebut.
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!
Kata "Tabbat" (تَبَّتْ) berasal dari akar kata *Tabba*, yang berarti rugi, celaka, hancur, atau binasa. Penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi) di sini menunjukkan kepastian yang telah ditetapkan oleh Allah, seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi. Ini adalah bentuk penegasan profetik bahwa takdir kehancuran Abu Lahab tidak dapat dihindari.
Penyebutan "Yada" (kedua tangan) adalah metafora yang mendalam. Tangan melambangkan usaha, kekuasaan, kekuatan, kemampuan untuk mencari rezeki, dan kemampuan untuk menyerang. Ketika Allah mengatakan kedua tangannya binasa, ini berarti:
Ayat ditutup dengan pengulangan, "wa Tabba" (dan benar-benar binasa dia). Pengulangan ini memiliki dua makna utama:
Inti dari Ayat 1 adalah penegasan bahwa setiap kekuatan, kekuasaan, atau usaha yang digunakan untuk melawan kebenaran akan menemui kegagalan mutlak, baik di dunia maupun di akhirat. Abu Lahab, meskipun memiliki kedudukan sosial tinggi di Quraisy, kekerabatan yang dekat dengan Nabi, dan kekayaan melimpah, tetap dihukum karena pilihan hatinya.
Simbol Kekuatan yang Dihancurkan
مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَ
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (anak-anaknya).
Ayat kedua menjelaskan mengapa kehancuran Abu Lahab itu pasti: harta bendanya (maluhu) tidak akan memberinya sedikit pun manfaat di hadapan azab Allah. Di Mekah, kekayaan adalah sumber kehormatan dan kekuasaan. Abu Lahab sangat kaya raya. Dalam benak orang kafir, harta dapat membeli perlindungan atau setidaknya menunda kesulitan. Namun, ayat ini meniadakan seluruh keyakinan materialistik tersebut. Kekayaan yang diperolehnya, yang mungkin ia banggakan dan gunakan untuk menentang Nabi, kini menjadi tidak berdaya.
Frasa "Wama Kasab" (apa yang dia usahakan) adalah pusat perdebatan tafsir dan memiliki makna yang sangat kaya:
Kandungan utama ayat ini adalah pelajaran universal tentang nilai-nilai abadi. Di hadapan azab Allah, kriteria duniawi seperti harta, kekuasaan, dan keturunan tidak memiliki bobot sama sekali. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan bagi setiap individu yang mengandalkan materialisme dan melupakan kekuasaan Sang Pencipta.
Lebih lanjut, analisis tentang maluhu dan ma kasab menegaskan bahwa pertanggungjawaban di Hari Kiamat bersifat individual. Meskipun seseorang memiliki kekayaan tak terbatas dan keturunan yang banyak, tidak ada yang dapat menebus dosa-dosanya atau membelikannya pengampunan, melainkan amal saleh yang ia kumpulkan sendiri.
سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka yang menyala-nyala).
Kata "Sa" (سَيَصْلَى) di awal ayat adalah partikel masa depan yang mengindikasikan kepastian yang akan terjadi. Ini menegaskan bahwa hukuman ini tidak mungkin terhindarkan, dan penantiannya relatif singkat hingga hari kebangkitan atau kematiannya.
Ayat ini menggunakan permainan kata yang luar biasa. Allah mengancam Abu Lahab (Bapak Jilatan Api) akan memasuki neraka yang "zaata Lahab" (memiliki jilatan api yang menyala-nyala).
Ini adalah nubuat yang sangat spesifik. Abu Lahab meninggal dunia setelah Perang Badar (tanpa ikut serta, tetapi terkena penyakit menular yang menjijikkan, menolak disentuh keluarganya), dan ia mati dalam keadaan kufur. Ayat ini bukan hanya ancaman, tetapi juga mukjizat profetik. Surat ini diturunkan saat Abu Lahab masih hidup, namun ia tidak pernah memeluk Islam hingga wafat. Seandainya ia masuk Islam, surat ini akan menjadi salah, namun kenyataannya membuktikan kebenaran firman Allah.
Kandungan teologisnya adalah penekanan pada Keadilan Ilahi. Allah memberikan pilihan kepada manusia, tetapi ketika pilihan itu jatuh pada penentangan terhadap kebenaran, konsekuensinya adalah kebinasaan yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
Ilustrasi Api Neraka yang Bergejolak
وَّامْرَاَتُهٗ ۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۗ
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
Istri Abu Lahab bernama Arwa binti Harb bin Umayyah, yang dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Ia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan, tokoh Quraisy terkemuka lainnya. Status sosialnya menunjukkan bahwa kejahatan dan penentangan terhadap Nabi ﷺ tidak hanya datang dari satu pihak, tetapi merupakan koalisi kekuasaan.
Frasa ini memiliki dua interpretasi utama, keduanya menunjukkan tingkat kejahatan Ummu Jamil:
Kandungan utama ayat ini menunjukkan bahwa hukuman bukan hanya untuk pemimpin kekufuran (Abu Lahab), tetapi juga untuk mitra yang mendukung dan memfasilitasi kejahatan tersebut (Ummu Jamil). Mereka berdua merupakan pasangan kejahatan yang bersama-sama melawan dakwah tauhid. Ayat ini juga mengajarkan bahwa peran wanita dalam menyebarkan kebenaran atau kebatilan sangatlah signifikan; fitnah yang disebarkan melalui lidah bisa sebahaya api yang membakar.
فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ
Di lehernya ada tali dari sabut.
Ayat terakhir memberikan gambaran visual yang mengerikan tentang azab Ummu Jamil di neraka. Masad adalah tali yang terbuat dari sabut kasar (biasanya sabut pohon kurma atau palma) yang sangat keras, menyakitkan, dan berat.
Penggambaran ini adalah kontras tajam dengan kehidupan Ummu Jamil di dunia. Di dunia, ia adalah wanita bangsawan yang mengenakan kalung mutiara yang mahal. Di akhirat, kalung kemuliaan itu akan digantikan oleh tali sabut neraka yang menjerat lehernya (jidiha).
Interpretasi mengenai tali sabut ini juga terhubung kembali dengan perannya sebagai pembawa kayu bakar.
Kandungan moral dari ayat ini adalah kepastian balasan yang setimpal. Allah menghukum dengan keadilan absolut, memberikan hukuman yang secara simbolis dan harfiah sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan di dunia. Keindahan dan kemuliaan duniawi sama sekali tidak akan menyelamatkan dari kehinaan akhirat jika jalan hidupnya dipenuhi penentangan terhadap kebenaran.
Gambaran Tali dari Sabut di Leher
Meskipun surat ini sangat spesifik menargetkan individu tertentu, kandungan dan hikmahnya bersifat universal dan abadi, mengajarkan prinsip-prinsip dasar akidah dan moralitas Islam.
Kandungan inti surat ini adalah penegasan mutlak bahwa kekuasaan, harta, dan kekerabatan tidak memiliki arti di hadapan kehendak Allah. Abu Lahab adalah paman Nabi ﷺ, memiliki ikatan darah yang sangat kuat. Dalam tradisi suku Arab, paman adalah benteng pertahanan utama. Namun, Allah menghancurkan benteng ini melalui firman-Nya, menunjukkan bahwa kriteria di sisi Allah hanyalah keimanan dan amal saleh, bukan hubungan darah atau status sosial. Kehancuran Abu Lahab membuktikan bahwa takdir Allah adalah pasti, dan tidak ada yang bisa melarikan diri dari konsekuensi perbuatan mereka.
Penggunaan bahasa yang tegas dan pasti, seperti 'Tabbat' (telah binasa), menekankan sifat Keadilan Ilahi yang segera dan tidak dapat dinegosiasikan bagi penentang kebenaran. Ini menjadi sumber penghiburan yang besar bagi kaum Muslimin yang tertindas pada masa awal dakwah, menyadari bahwa penindas mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Ayat kedua ("Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan") berfungsi sebagai kritik tajam terhadap mentalitas Quraisy yang sangat mengagungkan kekayaan dan keturunan. Abu Lahab menggunakan sumber daya dan pengaruhnya untuk menyakiti Nabi. Allah menelanjangi kekayaan tersebut, menjadikannya tak berharga di Hari Pembalasan. Ini adalah pelajaran abadi bahwa kekayaan materi harus menjadi sarana untuk berbuat baik, bukan alat untuk menindas atau menjauhkan diri dari Allah. Jika harta menghalangi jalan menuju kebenaran, harta itu sendiri akan menjadi sumber bencana.
Lebih jauh, ini memperkuat konsep bahwa setiap hasil jerih payah (kasab), jika diarahkan pada kebatilan, akan berbalik menjadi beban yang memberatkan timbangan dosa. Bahkan anak-anak, yang dianggap sebagai kekayaan terbesar, tidak dapat menolongnya.
Surat Al-Lahab secara unik mencakup istri dari pelaku utama. Ummu Jamil dihukum karena perannya sebagai pembawa kayu bakar atau penyebar fitnah. Ini mengajarkan bahwa dosa bukanlah urusan tunggal; kerjasama dalam kejahatan akan menghasilkan hukuman bersama. Ayat 4 dan 5 memberikan peringatan keras tentang bahaya lisan, gosip, dan hasutan. Fitnah dapat menyalakan api konflik dan permusuhan di masyarakat, dan hukuman bagi penyebar fitnah adalah azab yang sangat menyakitkan dan menghinakan.
Kandungan ini relevan sepanjang masa. Lisan adalah senjata yang lebih tajam daripada pedang. Surat Al-Lahab mengingatkan kita bahwa menyebarkan kebohongan (fitnah) tentang orang saleh atau penyebar kebenaran adalah dosa besar yang balasannya digambarkan secara fisik dan mengerikan di akhirat.
Salah satu aspek terpenting dari kandungan surat ini adalah sifatnya yang merupakan mukjizat kenabian yang terbuka. Surat ini diturunkan di Mekah, jauh sebelum Abu Lahab meninggal. Allah tidak hanya mengancamnya dengan azab neraka, tetapi juga menyatakan kepastian bahwa harta dan usaha duniawinya tidak akan menolongnya. Ini secara implisit menyatakan bahwa Abu Lahab tidak akan pernah beriman.
Jika Abu Lahab pada saat itu, untuk membuktikan Al-Qur'an salah, mengucapkan dua kalimat syahadat, maka nubuat dalam surat ini akan gugur. Namun, ia tidak melakukannya, bahkan ketika beliau mengetahui surat ini dibacakan. Abu Lahab tetap dalam kekufuran hingga kematiannya, membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang Maha Mengetahui masa depan. Ini mengukuhkan keimanan bagi para pengikut Nabi ﷺ yang melihat bukti nyata kebenaran wahyu di hadapan mereka.
Kandungan surat ini memberikan pemisahan yang jelas antara ikatan darah dan ikatan akidah. Di masyarakat suku Arab yang sangat mementingkan kekerabatan (asabiyah), surat ini mengajarkan bahwa dalam Islam, garis pemisah yang menentukan keselamatan adalah tauhid dan keimanan. Jika kerabat terdekat Nabi pun (seperti Abu Lahab) tidak beriman, ia akan binasa. Sebaliknya, orang asing yang beriman (seperti Bilal atau Salman) adalah bagian dari keluarga spiritual Nabi. Ini adalah revolusi sosial-keagamaan yang menentang struktur sosial Quraisy yang mapan.
Nama Abu Lahab ('Bapak Jilatan Api') sangat simbolis. Ia dinamai demikian karena wajahnya yang cerah dan indah. Allah menggunakan nama yang ia banggakan untuk mendeskripsikan tempat tinggal abadinya di Neraka *zaata Lahab*. Ini adalah bentuk penghinaan yang sempurna: apa yang ia anggap sebagai sumber kemuliaan (nama/penampilan) diubah menjadi lambang kehinaan abadi. Hal ini memperingatkan manusia agar tidak menyombongkan atribut duniawi mereka, karena semua itu dapat dibalikkan menjadi alat hukuman oleh Allah.
Untuk memahami sepenuhnya kandungan surat Al-Lahab, kita harus mengkaji bagaimana setiap ayat berfungsi sebagai satu kesatuan dalam menjelaskan konsekuensi penuh dari kekufuran yang terang-terangan dan penuh kebencian.
Ayat pertama, Tabbat yada Abi Lahab, melambangkan kegagalan total dalam aksi dan usaha. Dalam tafsir yang lebih dalam, 'tangan yang binasa' bukan hanya berarti gagal secara fisik, tetapi juga kegagalan spiritual. Setiap langkah, setiap rencana, dan setiap strategi yang disusun oleh Abu Lahab untuk memadamkan cahaya Islam dipastikan akan binasa sebelum mencapai tujuannya. Kegagalan ini meluas hingga ke tingkat psikologis, di mana penolakan terhadap kebenaran mengakibatkan kegelisahan dan kehancuran jiwa, bahkan sebelum hukuman akhirat tiba.
Pengulangan wa tabb menunjukkan kekalahan yang multidimensi. Kekalahan dalam upaya (tangan) dan kekalahan dalam esensi diri (tabba). Seseorang yang melawan Allah tidak hanya kalah dalam pertarungan, tetapi esensi kemanusiaannya pun akan hancur dan menjadi hina.
Ayat kedua memperluas kehancuran ke ranah materi (maluhu) dan sumber daya manusia (ma kasab). Dalam konteks Arab pra-Islam, dua hal ini adalah jaminan keamanan. Surat Al-Lahab mengajarkan bahwa ketika akidah rusak, jaminan material pun hilang. Harta yang dikumpulkan dengan mengabaikan hak Allah dan digunakan untuk melawan para nabi adalah harta yang terkutuk. Harta tersebut tidak hanya gagal menyelamatkan, tetapi juga akan menjadi pemberat azab.
Kajian mendalam tentang ma kasab yang merujuk pada anak-anak juga mengandung pelajaran penting tentang tanggung jawab orang tua. Anak-anak yang dibesarkan dalam kekafiran dan diajarkan untuk membenci kebenaran tidak akan menjadi aset, melainkan bagian dari kerugian abadi orang tua mereka. Ini adalah cerminan dari kegagalan Abu Lahab sebagai kepala keluarga, yang gagal membimbing keturunannya menuju jalan yang benar.
Ayat ketiga adalah puncak dari kepastian. Jika Ayat 1 dan 2 berbicara tentang kegagalan di dunia, Ayat 3 memastikan azab di akhirat. Penamaan spesifik Neraka zaata Lahab (yang menyala-nyala) berfungsi sebagai simbol personalisasi hukuman. Azab ini bukan sekadar api biasa, melainkan api yang sesuai dengan identitas dan tingkat kejahatan pelakunya. Keindahan dan kemuliaan palsu Abu Lahab di dunia akan dibakar oleh api yang membawa namanya sendiri.
Implikasi teologisnya adalah bahwa akhirat adalah tempat di mana semua janji dan peringatan Allah diwujudkan secara sempurna. Bagi orang-orang kafir yang mengejek atau meremehkan peringatan, mereka akan menemukan bahwa setiap ancaman adalah nyata dan tidak ada celah untuk melarikan diri atau tebusan.
Penyertaan Ummu Jamil dalam hukuman memberikan dimensi sosial yang kuat. Kekufuran bukan hanya masalah individu, tetapi seringkali merupakan fenomena sosial yang melibatkan dukungan dari lingkungan terdekat. Sebagai hammalatal-hatab (pembawa kayu bakar), Ummu Jamil mewakili semua orang yang menggunakan lidahnya untuk menghancurkan masyarakat melalui fitnah dan kebohongan.
Kutukan terhadap fitnah ini sangat penting. Di zaman modern, fitnah dan penyebaran informasi palsu (yang sama dengan membakar kayu bakar di jalan kebenaran) tetap menjadi ancaman besar. Surat Al-Lahab mengajarkan bahwa bagi orang beriman, peran mereka harus menjadi pembawa kedamaian, bukan pembawa permusuhan. Dan bagi penyebar fitnah, balasan yang mereka terima adalah kehinaan yang setara dengan kalung tali sabut yang menjerat leher—simbol dari beban dosa dan kehinaan yang kekal.
Meskipun konteks historisnya adalah abad ke-7 Mekah, kandungan Surat Al-Lahab tetap sangat relevan bagi umat Islam di seluruh dunia, terutama dalam menghadapi tantangan modern.
Surat ini adalah kritik abadi terhadap mereka yang menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk menindas suara kebenaran. Dalam setiap era, akan selalu ada ‘Abu Lahab’ modern—para pemimpin, penguasa, atau tokoh yang menentang prinsip-prinsip Ilahi dan menggunakan harta serta status sosial untuk memusuhi para dai atau pemegang teguh ajaran agama. Surat ini memberi kepastian bahwa akhir dari kezhaliman adalah kehancuran, meskipun kekuasaan mereka terlihat absolut di mata manusia.
Di era digital, penyebaran fitnah dan gosip (hammalatal hatab) telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya melalui media sosial. Ummu Jamil modern adalah mereka yang menggunakan platform komunikasi untuk menyebarkan kebencian, hoaks, dan fitnah tentang ajaran Islam atau individu yang berdakwah. Ancaman tali sabut di leher mengingatkan kita bahwa setiap kata yang kita ketik atau bagikan memiliki konsekuensi abadi. Integritas lisan dan tanggung jawab dalam berkomunikasi adalah pelajaran moral yang paling mendesak dari ayat ini.
Pesan bahwa harta dan usaha tidak akan menolong mengajarkan kepada umat Islam untuk selalu menjaga perspektif akhirat. Jika kita mencari kekayaan, kita harus melakukannya dengan cara yang halal dan menggunakannya untuk mendukung kebenaran. Surat Al-Lahab mencegah umat Islam dari terjebak dalam materialisme buta, mengingatkan bahwa aset sejati adalah iman dan amal saleh, bukan saldo bank atau kedudukan. Harta adalah ujian, dan kegagalan dalam ujian ini akan membawa pada nasib yang sama seperti Abu Lahab.
Kandungan Surat Al-Lahab, oleh karena itu, adalah peta jalan spiritual dan moral. Ini bukan hanya cerita tentang paman Nabi yang jahat, melainkan sebuah prinsip ketuhanan yang berlaku bagi setiap orang yang memilih jalan penentangan terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi. Surat ini menutup segala keraguan tentang konsekuensi kekufuran dan menggarisbawahi keagungan serta keadilan mutlak dari hukum Allah SWT.
Surat Al-Lahab, meski pendek, berfungsi sebagai surat peringatan yang sangat kuat dalam Al-Qur'an. Ia mengajarkan tentang kepastian hukuman bagi mereka yang menentang kebenaran secara terbuka dan sengit. Kisah kehancuran Abu Lahab dan istrinya adalah pengingat keras bahwa ikatan kekerabatan, status sosial yang tinggi, dan kekayaan yang melimpah tidak akan pernah menjadi penolong di Hari Kiamat. Yang tersisa hanyalah hasil dari usaha (kasab) yang dilakukan di jalan kebaikan atau keburukan.
Kandungan Surat Al-Lahab mendesak setiap pembacanya untuk merenungkan prioritas hidup: Apakah kita menggunakan tangan kita (usaha) untuk mendukung kebenaran atau menggunakannya untuk menentangnya? Apakah harta kita menjadi alat untuk takwa atau alat untuk kesombongan? Dan yang terpenting, apakah lisan kita menjadi sumber kedamaian atau menjadi pembawa kayu bakar fitnah?
Pada akhirnya, Surat Al-Lahab adalah penegasan indah akan keadilan Allah, yang menjamin bahwa tidak ada kezaliman yang luput dari perhitungan-Nya. Bagi Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya, surat ini adalah janji kemenangan spiritual. Bagi kita, ia adalah motivasi untuk berpegang teguh pada tauhid dan menjauhi segala bentuk kesombongan dan penentangan, agar kita tidak binasa seperti kedua tangan Abu Lahab yang telah binasa.