Simbol manusia dan potensi
Surat At-Tin adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang sarat makna, diwahyukan di Mekah dan terdiri dari delapan ayat. Surat ini dimulai dengan sumpah Allah SWT atas buah tin dan zaitun, serta tempat suci seperti Gunung Sinai dan negeri Mekah yang aman. Sumpah-sumpah ini memiliki kedalaman tersendiri, sering kali diinterpretasikan sebagai penekanan pada keagungan ciptaan Allah dan tempat-tempat yang memiliki nilai spiritual tinggi. Namun, fokus utama yang akan kita bedah di sini adalah kandungan surat At-Tin ayat 5, yang memberikan perspektif unik tentang esensi dan potensi manusia.
"ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ" (Tsumma radadnāhu asfala sāfilīn)
Ayat kelima ini sering kali dihubungkan erat dengan ayat sebelumnya dan ayat sesudahnya. Ayat keempat berbunyi, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin: 4). Sementara itu, ayat keenam dan ketujuh menyatakan, "kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya." (QS. At-Tin: 6-7).
Untuk memahami makna ayat kelima, penting untuk melihatnya dalam rangkaian ayat yang membentuk satu kesatuan makna. Allah SWT memulai dengan menyatakan penciptaan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, sebuah klaim yang menegaskan kemuliaan inheren yang diberikan kepada setiap individu. Manusia dianugerahi akal budi, kemampuan berpikir, rasa, dan moralitas yang membedakannya dari makhluk lain. Bentuk fisik yang simetris, fungsi organ yang kompleks, serta kemampuan untuk berinteraksi dan mengolah lingkungan, semuanya adalah bukti dari kesempurnaan penciptaan ini.
Namun, setelah menegaskan potensi dan kemuliaan tersebut, Allah SWT kemudian berfirman dalam ayat kelima, "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." Frasa "asfala sāfilīn" secara harfiah berarti "paling rendah dari yang rendah" atau "tempat yang paling hina". Pertanyaannya adalah, bagaimana status manusia yang mulia ini bisa kembali ke tempat yang serendah-rendahnya? Jawabannya terletak pada pilihan dan perilaku manusia itu sendiri.
Para ulama tafsir memberikan berbagai penjelasan mengenai makna "tempat yang serendah-rendahnya" ini. Salah satu penafsiran yang paling umum adalah bahwa ayat ini merujuk pada kondisi seseorang ketika ia menolak akal sehat dan petunjuk Ilahi, serta terjebak dalam hawa nafsu dan kesesatan. Ketika manusia menyalahgunakan anugerah akal dan kebebasan memilihnya untuk berbuat keji, merusak, berbuat zalim, atau mengingkari kebenaran, maka ia akan jatuh pada derajat yang lebih rendah daripada binatang. Hewan memiliki naluri yang terbatas dan tidak memiliki kesadaran moral seperti manusia. Ketika manusia bertindak di bawah kendali nafsu tanpa kendali akal dan wahyu, ia kehilangan keistimewaan penciptaannya.
Penafsiran lain menyebutkan bahwa "asfala sāfilīn" bisa merujuk pada kondisi saat kematian, di mana orang yang durhaka akan mengalami siksa kubur dan azab neraka yang merupakan tempat terendah. Namun, penafsiran yang lebih luas dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari adalah tentang degradasi moral dan spiritual akibat penyalahgunaan potensi diri. Ini adalah sebuah peringatan keras bahwa kemuliaan yang dianugerahkan Allah bersifat kondisional, bergantung pada bagaimana manusia memanfaatkan karunia tersebut.
Kondisi "tempat yang serendah-rendahnya" ini tidak berlaku mutlak bagi semua manusia. Ayat keenam dan ketujuh dengan tegas memberikan pengecualian, "kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya." Poin penting ini menyadarkan kita bahwa potensi manusia untuk jatuh ke lembah kehinaan bisa dihindari dan bahkan diatasi dengan dua pilar utama: iman dan amal saleh.
Iman yang benar bukan sekadar pengakuan lisan, melainkan keyakinan yang mendalam di hati yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Iman kepada Allah, para nabi, kitab-kitab-Nya, malaikat, hari kiamat, dan takdir, menjadi landasan moral dan spiritual yang kokoh. Iman ini memberikan arah, tujuan, dan motivasi bagi manusia untuk menggunakan potensi terbaiknya.
Amal saleh adalah buah dari iman. Ini adalah perbuatan baik yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hak Allah (ibadah mahdhah seperti salat, puasa, zakat) maupun hak sesama manusia dan makhluk lainnya (muamalah). Dengan beriman dan beramal saleh, manusia tidak hanya terhindar dari jurang kehinaan, tetapi justru akan naik derajatnya di sisi Allah SWT, mendapatkan ganjaran yang tiada putus-putusnya.
Kandungan surat At-Tin ayat 5 ini memiliki implikasi yang sangat penting bagi setiap individu. Ia mengingatkan kita bahwa status mulia manusia bukanlah jaminan mutlak tanpa usaha. Kita memiliki potensi luar biasa, tetapi potensi itu bisa disalahgunakan jika kita tidak berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran.
Ayat ini mendorong kita untuk senantiasa merenungkan bagaimana kita menggunakan akal, hati, dan seluruh kemampuan yang telah Allah anugerahkan. Apakah kita menggunakannya untuk kebaikan, mencari ilmu, menebar manfaat, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta? Atau justru kita membiarkannya tergelincir ke dalam kesombongan, kerakusan, kezaliman, dan kelalaian? Pilihan ada di tangan kita.