Kufuwan Artinya: Studi Komprehensif Tentang Kompatibilitas Nikah (Kafa’ah)

Simbol Keserasian dan Kafa'ah dalam Pernikahan Representasi dua bentuk yang saling melengkapi dalam lingkaran, melambangkan kesetaraan dan harmoni pernikahan.

Keselarasan dalam Kafa'ah

Pendahuluan: Fondasi Stabilitas Rumah Tangga

Pernikahan dalam Islam bukan hanya ikatan biologis, melainkan sebuah perjanjian suci (mitsaqan ghalizhan) yang bertujuan mencapai ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Untuk mencapai tujuan mulia ini, stabilitas menjadi prasyarat utama. Stabilitas tidak hanya bergantung pada kecintaan emosional semata, tetapi juga pada keselarasan latar belakang sosial, moral, dan ekonomi antara kedua belah pihak.

Di sinilah konsep kufuwan artinya, atau yang lebih dikenal dalam istilah fiqih sebagai Kafa’ah, memainkan peran krusial. Kafa’ah merujuk pada prinsip kesetaraan atau kesepadanan antara calon suami dan calon istri. Meskipun cinta bisa mengatasi banyak perbedaan, perbedaan yang terlalu mencolok dalam aspek-aspek mendasar dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa malu, cemoohan, atau ketidaknyamanan sosial, yang pada akhirnya dapat merusak keutuhan rumah tangga.

Perbincangan mengenai Kafa’ah sangatlah kompleks, seringkali menimbulkan perdebatan sengit di kalangan ulama fiqih. Apakah Kafa’ah itu syarat sah pernikahan? Atau hanya syarat kelaziman? Apakah kesetaraan hanya berlaku dalam hal agama, ataukah harus mencakup nasab, kekayaan, dan profesi? Artikel ini akan mengupas tuntas seluk beluk Kafa’ah, menggali definisi, landasan syariat, perbandingan antar mazhab, hingga implikasinya dalam konteks kehidupan modern.

I. Definisi Linguistik dan Terminologi Kafa’ah

A. Kufuwan Artinya dalam Bahasa Arab

Kata kufuwan (كفؤ) atau kufu’ berasal dari akar kata Arab yang berarti setara, sebanding, sepadan, atau sama. Dalam konteks linguistik, kata ini menyiratkan adanya keseimbangan antara dua hal. Seseorang disebut kufu’ bagi orang lain jika mereka memiliki tingkat atau nilai yang serupa. Kata ini juga sering digunakan untuk menggambarkan persamaan derajat atau status.

B. Kafa’ah sebagai Istilah Fiqih

Secara terminologi fiqih, Kafa’ah (الكفاءة) adalah kesetaraan (kesepadanan) antara calon suami dan calon istri dalam hal-hal tertentu yang dipandang penting oleh syariat atau adat masyarakat, yang dengannya dapat tercapai tujuan pernikahan dan terhindar dari aib serta rasa malu di mata sosial.

Para ulama sepakat bahwa Kafa’ah bertujuan menjaga kehormatan wanita dan keluarganya. Jika seorang wanita mulia menikah dengan pria yang statusnya jauh di bawahnya (dalam hal-hal yang diakui syariat), hal itu bisa menjadi aib bagi keluarga wanita tersebut. Oleh karena itu, hak untuk menuntut adanya Kafa’ah sebenarnya adalah hak wali (keluarga wanita), meskipun wanita itu sendiri juga memiliki hak tersebut.

Penting untuk dicatat, mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang bahwa Kafa’ah bukanlah syarat sah pernikahan (syarat pokok yang tanpanya akad menjadi batal), melainkan syarat kelaziman pernikahan (syarat yang tanpanya wali memiliki hak untuk mengajukan pembatalan atau faskh).

II. Landasan Syar’i Mengenai Kafa’ah

Meskipun Al-Qur’an menekankan kesetaraan umum di hadapan Allah (yakni, ketaqwaan adalah tolok ukur utama), terdapat beberapa dalil—terutama hadis Nabi—yang menjadi dasar penetapan Kafa’ah sebagai pertimbangan dalam pernikahan.

A. Dalil Umum (Mengutamakan Ketaqwaan)

Ayat-ayat Al-Qur’an seringkali menekankan bahwa perbedaan derajat di dunia tidak signifikan dibandingkan dengan perbedaan derajat di sisi Allah. Dalil yang paling sering dikutip adalah:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini digunakan oleh sebagian ulama, khususnya Mazhab Maliki dan sebagian Hanbali, untuk berpendapat bahwa kufuwan artinya yang paling esensial dan mutlak hanyalah kesetaraan dalam agama (ketaqwaan). Jika seorang pria memiliki agama yang baik, ia adalah kufu’ bagi wanita manapun, bahkan jika ia miskin atau bukan keturunan terhormat.

B. Hadis tentang Kafa’ah Khusus

Mazhab Syafi’i dan Hanafi, yang menetapkan Kafa’ah dalam beberapa aspek duniawi, mendasarkan pandangan mereka pada hadis-hadis yang berkaitan dengan perlindungan hak wali dan status sosial:

  1. Hadis Fatimah binti Qais: Ketika Fatimah binti Qais dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm, Rasulullah ﷺ bersabda, “Adapun Mu’awiyah, ia orang miskin yang tidak punya harta, dan adapun Abu Jahm, ia suka memukul wanita. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid.”

    Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi mempertimbangkan faktor-faktor non-agama (harta dan perilaku/akhlak) dalam memberikan nasihat pernikahan, yang mendukung adanya Kafa’ah dalam hal kekayaan dan moral.

  2. Hadis Klasik tentang Kedudukan Wali: Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa para wali memiliki hak untuk menolak pernikahan yang tidak setara, demi menjaga kehormatan. Meskipun beberapa riwayat ini lemah (dha'if), gabungan dari riwayat-riwayat tersebut menguatkan prinsip umum bahwa Kafa’ah adalah hak wali. Contohnya: "Tidak boleh mengawinkan seorang wanita kecuali dengan yang setara (kufu')." (Riwayat Dha’if namun dipegang kuat oleh sebagian fuqaha).

C. Ijma’ dan Adat (Kesepakatan dan Kebiasaan)

Banyak ulama juga berargumen bahwa Kafa’ah didasarkan pada Ijma’ (konsensus) dan pertimbangan maslahat (kebaikan umum). Secara historis, pernikahan yang sangat tidak setara seringkali berujung pada fitnah atau perpecahan. Syariat bertujuan mencegah timbulnya konflik dan aib, dan Kafa’ah dianggap sebagai sarana preventif untuk hal tersebut.

Al-Sarakhsi, ulama Hanafi, menjelaskan bahwa fungsi Kafa’ah adalah untuk "mencegah aib yang timbul dari pernikahan tersebut." Jika seorang suami lebih rendah dari istri, keluarga istri akan merasa malu, dan hal itu dapat mengganggu keharmonisan.

III. Perbedaan Pandangan Mazhab Fiqih Mengenai Unsur Kafa’ah

Seluruh mazhab sepakat bahwa agama (ketaqwaan) adalah elemen Kafa’ah yang paling mendasar. Namun, mereka berbeda dalam menetapkan elemen tambahan apa saja yang juga wajib dipenuhi dalam konsep kufuwan artinya.

A. Mazhab Hanafi (Paling Ketat)

Mazhab Hanafi, yang dipandang sebagai mazhab paling rinci dalam mengatur Kafa’ah, menetapkan enam (atau kadang-kadang tujuh) aspek kesetaraan:

  1. Agama dan Ketaqwaan (Ad-Din): Ini adalah pondasi. Seorang fasik (pelaku dosa besar yang terang-terangan) bukanlah kufu’ bagi wanita salihah, terlepas dari kekayaan atau nasabnya.
  2. Nasab (Keturunan): Hanafi sangat menekankan nasab. Seorang non-Arab tidak kufu’ bagi seorang wanita Arab. Jika wanita tersebut berasal dari suku Quraisy, suaminya harus Quraisy pula. Pandangan ini, meskipun historis dan kuat di wilayah kekhalifahan lama, menjadi subjek reinterpretasi di era modern.
  3. Harta (Al-Maal): Suami harus memiliki harta atau kemampuan finansial yang cukup untuk menafkahi istri (Nafaqah) dan melunasi mahar. Kesetaraan kekayaan di sini bukan berarti harus sama kayanya, melainkan setara dalam hal kemampuan menafkahi sesuai standar hidup keluarga istri.
  4. Profesi (Al-Hirfah): Profesi suami tidak boleh lebih rendah dari profesi keluarga istri. Misalnya, seorang wanita dari keluarga pedagang terhormat tidak kufu’ jika menikah dengan seorang tukang sapu jalanan.
  5. Kemerdekaan (Al-Hurriyyah): Secara historis, budak tidak kufu’ bagi wanita merdeka. Aspek ini kini tidak relevan kecuali dalam diskusi fiqih masa lalu.
  6. Kesehatan/Keutuhan Fisik: Meskipun tidak selalu termasuk dalam daftar baku, sebagian Hanafi memasukkan bebas dari aib yang menghalangi hubungan seksual (misalnya, impoten) sebagai bagian dari Kafa’ah, karena aib tersebut dapat menjadi alasan faskh (pembatalan).

B. Mazhab Syafi’i (Komprehensif)

Mazhab Syafi’i umumnya menetapkan lima elemen Kafa’ah. Bagi Syafi’i, Kafa’ah diperlukan saat akad nikah, dan jika tidak ada, wali yang berhak memiliki hak faskh (membatalkan pernikahan). Lima unsur tersebut adalah:

  1. Agama (Ad-Din): Ketaqwaan adalah yang utama.
  2. Nasab (Keturunan): Mirip Hanafi, Syafi’i menekankan kesetaraan nasab, terutama bagi keluarga yang menonjolkan kehormatan keturunan.
  3. Kebebasan dari Aib (Salamah min Al-Uyyub): Suami harus bebas dari aib yang dapat membatalkan nikah, seperti gila, penyakit menular kronis, atau impoten.
  4. Profesi/Pekerjaan (Al-Hirfah): Pekerjaan yang merendahkan status sosial dianggap dapat menghilangkan Kafa’ah.
  5. Kemerdekaan: Status merdeka.

C. Mazhab Maliki (Paling Luas)

Mazhab Maliki adalah mazhab yang paling longgar dalam masalah Kafa’ah, hampir seluruhnya merujuk pada prinsip Al-Hujurat: 13. Bagi Maliki, kufuwan artinya hampir murni kesetaraan dalam agama dan ketaqwaan.

Mereka berpendapat bahwa selain agama, tidak ada hal lain yang menjadi syarat Kafa’ah, kecuali kebebasan dari aib yang secara tegas memberikan hak khiyar (pilihan) bagi pasangan untuk membatalkan pernikahan. Kekayaan, nasab, atau profesi tidak menghilangkan Kafa’ah jika pria tersebut saleh. Namun, ulama Maliki tetap mengakui bahwa adat istiadat setempat (Urf) dapat mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap pernikahan tersebut, meskipun secara hukum fiqih, pernikahan itu sah.

D. Mazhab Hanbali (Pertengahan)

Mazhab Hanbali berada di antara Hanafi/Syafi’i yang ketat dan Maliki yang longgar. Mereka umumnya menetapkan empat unsur Kafa’ah:

  1. Agama (Ad-Din): Ketaqwaan.
  2. Nasab (Keturunan): Penting, tetapi tidak sekeras Hanafi.
  3. Kemerdekaan: Status merdeka.
  4. Kemampuan Finansial: Kemampuan menafkahi secara memadai.

IV. Analisis Mendalam terhadap Unsur-Unsur Kafa’ah

Untuk memahami mengapa Kafa’ah membutuhkan pembahasan ribuan kata, kita perlu mendalami setiap unsur, terutama yang berkaitan dengan isu kontemporer.

A. Kafa’ah dalam Agama (Ad-Din)

Ini adalah unsur yang disepakati semua mazhab. Kafa’ah dalam agama berarti kesetaraan dalam keyakinan dan ketaqwaan. Seorang Muslimah tidak boleh menikah dengan non-Muslim (kecuali Muslimah yang menikah dengan Ahli Kitab, yang mana mayoritas ulama melarangnya bagi Muslimah, dan memperbolehkan bagi Muslim pria).

Lebih jauh, Kafa’ah Ad-Din mencakup kesetaraan dalam perilaku. Secara umum, seorang pria yang dikenal fasik (terang-terangan meninggalkan kewajiban atau melakukan maksiat) tidak kufu’ bagi wanita yang dikenal salihah dan taat. Bahkan jika pria tersebut kaya raya atau keturunan bangsawan, kekurangannya dalam agama mencoreng kehormatan wanita salihah tersebut.

Kasus Kontemporer: Mualaf

Bagaimana jika seorang pria baru saja memeluk Islam (Mualaf)? Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Kafa’ah dalam agama juga mencakup kesetaraan dalam lama waktu keislaman. Pria Mualaf yang baru masuk Islam belum menjadi kufu’ bagi wanita yang keluarganya sudah Islam sejak lama. Namun, pandangan ini banyak dilemahkan oleh ulama kontemporer, yang menganggap bahwa begitu seseorang bersyahadat, ia telah setara dalam agama, asalkan ia menunjukkan kesungguhan dalam menjalankan syariat. Ketaqwaan pribadi harus dinilai lebih tinggi daripada lamanya seseorang memeluk Islam.

B. Kafa’ah dalam Nasab (Keturunan)

Unsur Nasab adalah titik perdebatan terbesar dan paling sensitif. Nasab adalah identitas sosial yang sulit diubah, dan kehormatan keluarga seringkali diukur darinya.

Pandangan Klasik: Arab dan Quraisy

Secara historis, fuqaha (terutama Hanafi dan Syafi’i) menetapkan urutan nasab: Quraisy, lalu Arab (non-Quraisy), lalu Mawali (bekas budak yang dibebaskan), dan terakhir non-Arab. Mereka berpendapat bahwa pria dari nasab yang lebih rendah tidak kufu’ bagi wanita dari nasab yang lebih tinggi. Dalil yang digunakan seringkali terkait dengan hadis yang menekankan pentingnya menikahi wanita dari nasab yang baik, yang kemudian dibalik menjadi pentingnya menikahi pria dari nasab yang baik.

Implikasi Historis: Jika seorang wanita Quraisy menikah dengan pria non-Quraisy, wali memiliki hak untuk menuntut faskh. Ini murni didasarkan pada kekhawatiran sosial dan kehormatan klan.

Relevansi Modern: Suku, Budaya, dan Kasta

Di masa kini, perbedaan "Arab vs. Non-Arab" telah bergeser menjadi perbedaan suku, adat, atau bahkan kasta dalam masyarakat tertentu. Meskipun secara syariat Islam menolak sistem kasta, dalam konteks sosial, perbedaan suku yang sangat mencolok atau perbedaan tingkat kehormatan keluarga (misalnya, keluarga ulama besar vs. keluarga biasa) masih sering menjadi pertimbangan Kafa’ah.

Ulama modern cenderung membatasi Kafa’ah nasab hanya pada pencegahan aib yang nyata dan universal, bukan sekadar perbedaan suku. Jika masyarakat secara luas tidak menganggap perbedaan nasab sebagai aib, maka Kafa’ah nasab tersebut gugur. Yang terpenting adalah ketaqwaan, seperti sabda Nabi: “Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, kecuali dengan taqwa.”

C. Kafa’ah dalam Harta (Al-Maal)

Kafa’ah harta tidak berarti calon suami harus sekaya calon istri atau keluarganya. Inti dari Kafa’ah harta adalah kemampuan pria untuk menunaikan hak-hak finansial istri, terutama Nafaqah (nafkah harian).

Perspektif Mazhab:

  • Hanafi/Hanbali: Pria harus mampu memberikan nafkah yang memadai dan segera melunasi mahar (jika mahar tunai). Jika pria adalah fakir miskin yang tidak memiliki prospek kerja, ia dianggap tidak kufu’ bagi wanita kaya atau terpandang. Tujuannya adalah mencegah wanita dari kesulitan yang merendahkan statusnya.
  • Maliki/Syafi’i: Syafi’i tidak menjadikan kekayaan sebagai syarat utama, tetapi kemampuan untuk menafkahi. Maliki hampir tidak mempertimbangkan kekayaan sama sekali, selama pria tersebut mampu bekerja dan beragama baik.

Pertimbangan utama adalah kecukupan. Jika seorang wanita terbiasa hidup mewah, dan suaminya hanya mampu memberikan nafkah yang sangat minimal, ini dapat menjadi alasan bagi wali untuk menolak pernikahan, karena kondisi tersebut dapat merusak keharmonisan. Namun, jika wanita dan walinya menerima perbedaan tersebut, Kafa’ah harta gugur karena kerelaan (ridha).

D. Kafa’ah dalam Profesi (Al-Hirfah)

Unsur ini sangat terkait erat dengan Kafa’ah harta dan nasab. Profesi (pekerjaan) mencerminkan status sosial seseorang.

Fuqaha klasik menggolongkan pekerjaan menjadi tiga: mulia, pertengahan, dan rendah. Seorang pria dengan pekerjaan yang secara adat dipandang rendah tidak kufu’ bagi wanita dari keluarga yang pekerjaan mereka dipandang mulia (misalnya, hakim, ulama, saudagar besar).

Tantangan Modern: Di zaman modern, banyak pekerjaan yang dulu dianggap rendah kini menjadi profesi yang menghasilkan pendapatan tinggi (misalnya, seniman, pekerja teknologi). Oleh karena itu, ulama kontemporer sepakat bahwa Kafa’ah profesi harus dinilai berdasarkan dua hal:

  1. Moralitas Pekerjaan: Apakah pekerjaan itu halal atau haram? (Pekerjaan haram jelas menghilangkan Kafa’ah agama.)
  2. Penerimaan Sosial dan Pendapatan: Apakah pekerjaan tersebut memberikan pendapatan yang stabil dan apakah masyarakat di sekitar keluarga wanita menganggapnya sebagai aib? Jika pekerjaan tersebut menghasilkan pendapatan yang baik dan tidak ada unsur haram, maka perbedaan profesi tidak lagi menjadi penghalang Kafa’ah, meskipun ada perbedaan status sosial.

E. Kafa’ah dalam Kebebasan (Al-Hurriyyah)

Kafa’ah ini merujuk pada status merdeka versus budak. Pria budak tidak kufu’ bagi wanita merdeka. Meskipun aspek ini tidak relevan lagi secara praktis, secara teori ia tetap menjadi bagian dari pembahasan Kafa’ah dalam kitab-kitab fiqih klasik, yang menekankan pentingnya kesetaraan status hukum dan sosial.

V. Kafa’ah dalam Tinjauan Fiqih Kontemporer dan Sosial

Seiring perkembangan zaman, banyak parameter Kafa’ah yang bersifat adat (seperti nasab yang kaku) mulai memudar, dan muncul pertimbangan baru yang relevan dengan kehidupan masa kini.

A. Kafa’ah Lintas Budaya dan Negara

Pernikahan antarbudaya (misalnya, Indonesia dengan Timur Tengah, atau Jawa dengan Sumatera) seringkali menghadapi masalah Kafa’ah. Perbedaan bahasa, adat istiadat, dan cara hidup dapat menciptakan kesulitan yang setara dengan perbedaan nasab atau profesi di masa lalu.

Dalam konteks modern, Kafa’ah di sini bergeser menjadi Kafa’ah Budaya. Apakah pasangan memiliki kesiapan mental dan spiritual untuk mengintegrasikan atau mengakomodasi perbedaan budaya tersebut? Jika perbedaan budaya sangat ekstrem dan dikhawatirkan mengganggu pendidikan anak atau hubungan keluarga besar, maka wali memiliki alasan kuat untuk meninjau kembali Kafa’ah. Namun, jika kedua belah pihak dan keluarga saling menerima, perbedaan budaya tidak menghilangkan Kafa’ah secara hukum.

B. Kafa’ah Pendidikan dan Intelektual

Pendidikan kini menjadi penentu status sosial dan kemampuan berkomunikasi. Walaupun tidak termasuk dalam daftar Kafa’ah klasik, banyak ulama kontemporer berpendapat bahwa perbedaan tingkat pendidikan yang sangat jauh (misalnya, doktor dengan lulusan SD) dapat menjadi penghalang Kafa’ah, karena dapat mengganggu komunikasi intelektual dan pola pengasuhan anak.

Jika wanita memiliki pendidikan tinggi dan pria memiliki pendidikan rendah, perbedaan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa inferioritas pada pria atau rasa superioritas pada wanita, yang pada gilirannya mengganggu rasa sakinah. Namun, jika pria memiliki kecerdasan alami dan penghasilan yang baik, serta wanita menerima kondisi tersebut, maka Kafa’ah pendidikan ini gugur.

C. Kafa’ah dalam Isu Feminisme dan Profesionalitas Wanita

Dulu, Kafa’ah selalu dinilai dari sisi pria (apakah pria kufu’ bagi wanita). Namun, bagaimana jika wanita memiliki penghasilan dan status profesional yang jauh lebih tinggi daripada pria?

Misalnya, seorang wanita direktur perusahaan yang sangat sukses menikah dengan seorang guru biasa. Secara tradisional, wali wanita mungkin menolak karena pria tersebut tidak kufu’ secara harta dan profesi. Namun, jika wanita tersebut dengan tulus merelakannya dan pria itu tetap mampu menjalankan tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga dan mampu menafkahinya, maka Kafa’ah tetap terpenuhi.

Ulama menegaskan bahwa harta milik wanita (termasuk gaji dan warisan) tidak mengurangi kewajiban pria untuk menafkahi. Selama pria mampu memberikan nafkah yang cukup sesuai kebutuhan, meskipun kekayaan wanita jauh lebih besar, Kafa’ah harta tetap terpenuhi. Yang lebih penting adalah Kafa’ah dalam kepemimpinan dan ketaqwaan.

VI. Kafa’ah dan Peran Wali: Hak Faskh (Pembatalan)

Pembahasan mengenai kufuwan artinya tidak lengkap tanpa memahami peran sentral wali (wali nikah) dalam konteks ini, serta konsekuensi hukum jika Kafa’ah tidak terpenuhi.

A. Kafa’ah sebagai Hak Wali

Mayoritas ulama menyatakan bahwa Kafa’ah adalah hak wali, khususnya wali yang lebih dekat (seperti ayah), untuk menjaga kehormatan keluarga. Jika seorang wanita baligh dan berakal menikah tanpa persetujuan walinya (dalam hal non-Kafa’ah), atau walinya menyetujui, maka hak Kafa’ah tersebut gugur.

Namun, jika seorang wanita menikah tanpa sepengetahuan walinya, atau walinya tidak menyetujui karena tidak adanya Kafa’ah dalam aspek-aspek yang dipersyaratkan mazhab (misalnya, pria fasik atau dari profesi yang sangat rendah), maka wali memiliki hak untuk menuntut pembatalan pernikahan (Faskh) di hadapan pengadilan syariat.

B. Faskh Karena Hilangnya Kafa’ah

Faskh adalah pembatalan akad nikah secara hukum oleh qadhi (hakim), berbeda dengan talak yang dilakukan oleh suami. Alasan faskh karena Kafa’ah hanya berlaku jika tiga syarat terpenuhi:

  1. Kafa’ah hilang dalam aspek yang dipersyaratkan mazhab yang dianut.
  2. Wali yang memiliki hak tersebut tidak menyetujui pernikahan sejak awal.
  3. Wali segera mengajukan tuntutan faskh setelah mengetahui pernikahan tersebut.

Jika wali diam dan mengetahui adanya pernikahan yang tidak kufu’ tersebut, diamnya dianggap sebagai ridha (kerelaan), dan hak faskhnya gugur. Ini menunjukkan bahwa fokus Kafa’ah adalah pada perlindungan kehormatan keluarga, yang dapat dikesampingkan jika keluarga merelakannya.

C. Kesetaraan dalam Kafa’ah Versus Keridhaan

Para fuqaha sepakat bahwa keridhaan (persetujuan) dari wali yang bersangkutan dapat menghapuskan tuntutan Kafa’ah dalam aspek duniawi (nasab, harta, profesi). Misalnya, jika seorang ayah merelakan putrinya yang kaya dinikahi oleh pria miskin yang saleh, maka pernikahan tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan oleh wali lain atau oleh ayah itu sendiri di kemudian hari.

Pengecualian utama adalah Kafa’ah yang terkait dengan ketaqwaan. Jika pria tersebut jelas-jelas fasik, meskipun wanita dan walinya setuju, sebagian ulama (terutama yang sangat ketat) masih memperdebatkan sahnya pernikahan, karena ketaqwaan adalah hak Allah dan maslahat umum, yang tidak sepenuhnya bisa digugurkan oleh keridhaan individu.

D. Kafa’ah Dalam Konteks Wali Mujbir (Wali Paksa)

Wali Mujbir (biasanya ayah atau kakek) memiliki hak untuk menikahkan putrinya yang masih perawan tanpa seizinnya (meskipun sunnah meminta izin). Dalam konteks Kafa’ah, wali mujbir dilarang menikahkan putrinya dengan pria yang tidak kufu’ (misalnya, pria yang lebih rendah nasabnya) meskipun pria tersebut kaya raya. Hak paksa wali mujbir hanya berlaku jika ia menikahkan putrinya dengan pria yang kufu’. Jika ia menikahkan dengan yang tidak kufu’, pernikahan tersebut batal secara otomatis, bahkan tanpa perlu faskh, menurut sebagian mazhab.

VII. Sintesis dan Kesimpulan Kafa’ah dalam Masyarakat Muslim Kontemporer

Setelah meninjau berbagai pandangan mazhab dan unsur-unsur yang membentuk konsep kufuwan artinya, dapat disimpulkan bahwa Kafa’ah bukanlah konsep yang kaku, melainkan sebuah kerangka hukum yang bersifat dinamis, menyesuaikan maslahat dan adat istiadat yang berlaku, namun tetap berpegang teguh pada prinsip ketaqwaan.

A. Prioritas Utama: Kafa’ah Ad-Din

Kesimpulan yang paling kokoh dari seluruh perdebatan fiqih adalah bahwa Kafa’ah dalam agama (ketaqwaan, akhlak, keislaman) adalah persyaratan Kafa’ah yang paling fundamental dan universal. Seorang pria yang saleh adalah kufu’ bagi wanita manapun, dan seorang pria fasik tidak kufu’ bagi wanita salihah, terlepas dari faktor duniawi lainnya.

Dalil umum hadis Nabi Muhammad ﷺ: “Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa jika agama dan akhlak telah terpenuhi, maka aspek-aspek lain (nasab, harta, profesi) menjadi sekunder dan dapat dikesampingkan melalui keridhaan wali.

B. Kafa’ah sebagai Pencegahan Konflik Sosial

Fungsi utama Kafa’ah dalam aspek duniawi (nasab, harta, profesi) adalah sebagai perangkat sosiologis untuk mencegah aib dan konflik. Jika suatu pernikahan yang tidak setara menimbulkan cemoohan publik atau ketidaknyamanan yang serius bagi keluarga wanita, maka Kafa’ah tersebut dianggap hilang.

Oleh karena itu, Kafa’ah yang terikat pada adat (*Urf*) bersifat lokal. Apa yang dianggap kufu’ di satu masyarakat (misalnya, pentingnya nasab di masyarakat Arab) mungkin tidak relevan di masyarakat lain (misalnya, masyarakat perkotaan yang lebih menghargai profesi dan pendapatan).

C. Implementasi Hukum di Indonesia

Di Indonesia, hukum perkawinan positif (Kompilasi Hukum Islam/KHI) mengakui konsep Kafa’ah, meskipun penerapannya lebih longgar dan mengedepankan hak individu. Pengadilan Agama biasanya akan mempertimbangkan Kafa’ah jika diajukan dalam permohonan pembatalan nikah. Namun, fokus utamanya adalah agama dan akhlak, serta kemampuan suami dalam menafkahi.

Pasal-pasal KHI dan putusan Mahkamah Agung menunjukkan kecenderungan untuk membatasi Kafa’ah hanya pada aspek yang benar-benar esensial, yaitu agama, sehingga pernikahan tetap sah meskipun ada perbedaan mencolok dalam status sosial, asalkan kedua belah pihak telah mencapai kerelaan, dan suami memiliki kemampuan finansial minimal untuk menjamin kelangsungan hidup rumah tangga.

Kafa’ah, pada akhirnya, adalah panduan menuju pernikahan yang langgeng, bukan penghalang cinta yang saleh. Ia mengingatkan umat Islam bahwa kesetaraan sejati harus dibangun di atas fondasi iman, sebelum membangun di atas fondasi materi dan status sosial.

VIII. Perluasan Diskusi Fiqih Mendalam Mengenai Nasab dan Harta

Karena pentingnya pembahasan dan kerumitan hukum yang menyertai unsur Nasab dan Harta, bagian ini didedikasikan untuk mengulas pandangan fuqaha secara lebih rinci, yang menjadi alasan utama perbedaan mazhab.

A. Kedalaman Isu Nasab (Keturunan)

1. Klasifikasi Kafa’ah dalam Nasab Menurut Hanafi

Ulama Hanafi membagi derajat kufu’ berdasarkan nasab secara hierarkis yang sangat ketat. Urutan kufu’ dimulai dari Bani Hasyim (keluarga Nabi Muhammad SAW), lalu Bani Muttalib, lalu suku Quraisy secara umum, lalu Arab, dan seterusnya. Ini memastikan bahwa seorang wanita dari Bani Hasyim hanya kufu’ jika suaminya juga dari Bani Hasyim, atau minimal dari strata yang sangat dekat.

Alasan Penguatan Nasab: Fuqaha Hanafi berargumen bahwa penekanan pada nasab di masa awal Islam berfungsi untuk menjaga integritas garis keturunan yang kelak akan menjadi pemegang otoritas dan ilmu agama. Menikahkan wanita mulia dengan pria dari nasab yang jauh di bawah dianggap merendahkan kehormatan nasab tersebut, dan kehormatan ini adalah hak kolektif keluarga, yang tidak bisa digugurkan hanya oleh kerelaan wanita saja.

2. Diskusi Kontra terhadap Kafa’ah Nasab

Para ulama yang menentang atau melonggarkan Kafa’ah nasab, seperti Mazhab Maliki, berpegangan pada semangat Islam yang menghapus rasisme dan kasta. Mereka mengutip hadis yang menyebutkan bahwa Bilal bin Rabah (seorang bekas budak non-Arab) adalah saudara bagi para Quraisy, dan beliau menikahi wanita dari nasab yang baik. Para penentang Kafa’ah Nasab berargumen bahwa semua hadis yang secara eksplisit membatasi pernikahan berdasarkan nasab (kecuali ketaqwaan) adalah hadis yang lemah atau tidak bisa dijadikan hujjah utama di atas ayat Al-Qur’an (Al-Hujurat: 13).

Dalam konteks modern, ketika batas-batas klan dan suku semakin melebur, Kafa’ah nasab hampir secara universal diinterpretasikan ulang menjadi Kafa’ah sosio-kultural. Artinya, yang dihindari adalah pernikahan yang menimbulkan gesekan sosial atau aib yang nyata dan diakui secara luas, bukan sekadar perbedaan silsilah yang tidak berdampak pada akhlak atau penghidupan.

B. Kafa’ah Harta dan Kewajiban Nafaqah

1. Kafa’ah Harta: Kebutuhan versus Kesetaraan

Ketika mendiskusikan Kafa’ah harta, fuqaha membedakan antara kebutuhan minimum untuk Nafaqah (wajib) dan kesetaraan status sosial (Kafa’ah). Nafaqah adalah kewajiban mutlak suami, tanpa memandang Kafa’ah. Namun, Kafa’ah harta mempertimbangkan apakah suami mampu menjaga standar hidup yang biasa dinikmati oleh istri.

Pandangan Syafi’i dan Hanafi: Mereka menekankan bahwa jika seorang wanita terbiasa makan makanan mewah, mengenakan pakaian mahal, dan dilayani, suaminya harus, minimal, mampu mendekati standar tersebut. Jika tidak, wanita tersebut dianggap tidak kufu’ (setara) baginya karena perbedaan standar hidup yang ekstrem ini akan menyebabkan kesulitan dalam rumah tangga. Suami harus kaya (mampu) setara dengan standar minimal yang biasa dinikmati istri.

2. Perbedaan Antara Kaya Harta dan Kaya Profesi

Terkadang, Kafa’ah harta dihubungkan dengan Kafa’ah profesi. Seorang pria yang bekerja sebagai pedagang yang sukses, meskipun secara tunai hartanya tidak sebanyak wanita bangsawan, dianggap kufu’ karena profesinya menjamin aliran pendapatan yang stabil dan terhormat. Sebaliknya, seorang pria yang mewarisi banyak harta tetapi tidak memiliki profesi (sehingga kekayaannya berpotensi habis) mungkin dianggap kurang kufu’ oleh sebagian ulama Hanbali, karena masa depan finansialnya tidak terjamin.

3. Kafa’ah dan Kemampuan Membayar Mahar (Maskawin)

Beberapa ulama juga mengaitkan Kafa’ah harta dengan kemampuan suami untuk membayar mahar (maskawin) secara penuh dan tepat waktu. Jika mahar yang disepakati sangat besar, dan suami jelas tidak mampu melunasinya, hal ini dapat menjadi salah satu indikasi hilangnya Kafa’ah, karena menunjukkan ketidakmampuan finansial yang signifikan.

C. Kafa’ah Akhlak dan Kebebasan dari Aib

Selain fasik (pelaku dosa), Kafa’ah Akhlak juga mencakup kebebasan dari aib yang memalukan (Al-Uyyub). Aib tidak hanya mencakup penyakit fisik (impoten, kusta, dll.) tetapi juga aib moral yang secara sosial sangat merusak, seperti kecanduan yang merusak (misalnya alkohol atau judi ekstrem) atau reputasi buruk sebagai pencuri atau penipu.

Dalam Mazhab Syafi’i dan Hanbali, aib fisik dan moral yang parah yang tidak diketahui oleh pihak lain dapat memberikan hak faskh (pembatalan) bagi pihak yang dirugikan, karena aib tersebut dianggap menghilangkan Kafa’ah yang dibutuhkan untuk membangun rumah tangga yang stabil dan terhormat.

IX. Isu Kedudukan dan Kafa’ah dalam Fiqih Modern

Di era globalisasi, definisi ‘aib sosial’ dan ‘derajat’ terus berubah, memaksa mujtahid kontemporer untuk melakukan penafsiran ulang (ijtihad) terhadap konsep Kafa’ah, menjaga substansinya tanpa terjebak dalam formalitas masa lalu.

A. Kafa’ah di Mata Hukum Islam Internasional

Ketika pernikahan melibatkan warga negara yang berbeda (multinasional), pengadilan seringkali berhadapan dengan konflik hukum (conflict of laws) dan konflik adat. Sebagian negara (seperti Mesir dan Yordania) memiliki undang-undang keluarga yang masih sangat dipengaruhi oleh mazhab Hanafi yang ketat dalam hal nasab. Namun, kebanyakan pengadilan saat ini, termasuk di Indonesia, cenderung mengutamakan prinsip keridhaan dan ketaqwaan, kecuali jika perbedaan tersebut jelas-jelas melanggar maslahat publik atau menimbulkan kezaliman.

Di negara-negara Barat, di mana status sosial tidak didasarkan pada keturunan melainkan pada pencapaian, Kafa’ah secara praktis dimaknai sebagai kesetaraan dalam hal pendidikan, etos kerja, dan agama, mengesampingkan faktor nasab kuno.

B. Kafa’ah dan Pernikahan Dini

Dalam kasus pernikahan dini (di mana wanita belum dewasa secara hukum), peran wali mujbir menjadi sangat kuat. Jika wali mujbir menikahkan anak perempuannya dengan pria yang tidak kufu’, pernikahan tersebut menjadi terlarang. Pertimbangan Kafa’ah di sini berfungsi sebagai pelindung bagi anak yang belum mampu membuat keputusan penuh mengenai masa depannya, memastikan bahwa ia tidak dinikahkan dengan pria yang akan merendahkan statusnya di kemudian hari.

C. Peran Keluarga Inti dan Keluarga Besar dalam Penilaian Kafa’ah

Kafa’ah bukanlah sekadar kesetaraan antara suami dan istri, tetapi kesetaraan antara keluarga besar suami dan keluarga besar istri. Rasa malu atau aib yang dirasakan bukan hanya oleh wanita, tetapi oleh seluruh anggota keluarganya, terutama ayah dan saudara laki-laki. Inilah mengapa hak faskh (pembatalan) diberikan kepada wali, bukan hanya kepada istri.

Jika keluarga besar istri berasal dari lingkungan akademisi yang sangat menghargai ilmu, dan suami hanya memiliki etos kerja yang buruk atau menolak pendidikan, meskipun secara finansial ia stabil, perbedaan pandangan hidup mendasar ini dapat dianggap sebagai hilangnya Kafa’ah secara moral, yang dapat memicu konflik antar keluarga.

D. Kafa’ah sebagai Etika Sosial (Bukan Hanya Hukum)

Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apakah Kafa’ah adalah syarat sah atau syarat kelaziman, pada dasarnya, Kafa’ah berfungsi sebagai etika sosial. Ia menuntun umat Islam untuk memilih pasangan yang bukan hanya dicintai, tetapi juga yang dapat dihormati oleh lingkungan sosial dan keluarga besar. Ketika rasa hormat dan penerimaan sosial terpenuhi, jalan menuju mawaddah wa rahmah akan lebih mudah dicapai.

Menjelaskan kufuwan artinya secara komprehensif berarti memahami bahwa Islam selalu menghendaki kebaikan bagi umatnya. Aturan Kafa’ah dirancang untuk meminimalkan risiko konflik yang timbul dari kesenjangan status yang terlalu besar, memastikan bahwa fondasi pernikahan—yaitu agama dan akhlak—tetap menjadi prioritas tertinggi dalam menentukan pasangan hidup.

🏠 Homepage