Perguruan tinggi, baik di tingkat strata satu, magister, maupun doktoral, berfungsi sebagai ruang intelektual yang memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap berbagai isu fundamental kemanusiaan, termasuk keyakinan dan perbedaan agama. Dalam konteks studi agama yang kritis dan metodologis, tidak ada teks atau konsep yang boleh luput dari analisis objektif. Salah satu prinsip etika akademik paling mendasar dalam studi agama kontemporer adalah pemahaman yang tepat mengenai batasan interaksi, toleransi, dan prinsip non-koersi, sebuah konsep yang seringkali diringkas dalam ungkapan teologis: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kajian mendalam terhadap teks-teks klasik yang membahas pembatasan interaksi ini menjadi esensial di tengah dinamika masyarakat modern yang kian pluralistik. Di dalam lingkungan akademik, pendekatan terhadap perbedaan keyakinan tidak hanya berhenti pada pengakuan formal bahwa perbedaan itu ada, tetapi menuntut analisis epistemologis: bagaimana kita mengetahui kebenaran, bagaimana kebenaran tersebut diungkapkan dalam praktik sosial, dan bagaimana batasan etis antara klaim kebenaran yang berbeda dapat dipertahankan tanpa jatuh ke dalam konflik atau sinkretisme yang tidak berdasar.
Mengkaji perbedaan keyakinan dalam konteks akademik membutuhkan metodologi yang ketat, melibatkan hermeneutika (ilmu penafsiran), sosiologi agama, filsafat, dan sejarah. Tujuannya adalah merumuskan kerangka koeksistensi yang kokoh, di mana identitas keyakinan individu tetap utuh, sementara interaksi sosial berjalan harmonis. Pemahaman ini sangat penting untuk mengatasi kesalahpahaman populer yang seringkali menyamaratakan toleransi dengan pencairan identitas atau, sebaliknya, menggunakan ketegasan identitas sebagai alasan untuk isolasi atau permusuhan.
Istilah yang sering menjadi titik fokus dalam diskusi tentang batasan keyakinan adalah Surah Al-Kafirun. Di luar fungsi ritualnya, surah ini membawa muatan etika dan teologis yang mendalam mengenai penegasan identitas dan penolakan terhadap koersi dalam masalah spiritual. Dalam lingkungan akademik, surah ini diposisikan sebagai dokumen pendirian (foundational document) dalam prinsip kebebasan beragama yang diakui secara teologis.
Analisis historis menunjukkan bahwa Surah Al-Kafirun turun pada periode Mekkah, saat komunitas Muslim awal menghadapi tekanan intensif untuk berkompromi dengan praktik ritual politeistik masyarakat Quraisy. Kaum Quraisy menawarkan jalan tengah: bergabung dalam ritual mereka untuk sementara, dan mereka akan bergabung dalam ritual Muslim untuk sementara pula. Ini adalah tawaran sinkretisme ritualistik. Jawaban tegas dari surah ini, yang menyatakan ketidakmungkinan ritual bersama, bukanlah penolakan terhadap koeksistensi sosial, melainkan penolakan mutlak terhadap kompromi doktrinal atau sinkretisme ibadah.
Para sejarawan dan mufasir menekankan bahwa konteks ini krusial. Pernyataan tegas tersebut berfungsi sebagai deklarasi batas spiritual yang tidak dapat dilintasi. Deklarasi ini menjamin kemurnian praktik keyakinan bagi setiap pihak, sekaligus menegaskan bahwa perbedaan tersebut harus diakui dan dihormati. Ini merupakan pelajaran penting dalam filsafat etika: etika yang kuat lahir dari identitas yang jelas, bukan identitas yang kabur.
Struktur linguistik surah ini ditandai dengan repetisi yang kuat, menegaskan pemisahan yang absolut antara praktik ibadah. Pengulangan frasa (misalnya, 'Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak akan menyembah apa yang aku sembah') memiliki fungsi retoris dan pedagogis. Secara retoris, ia menutup semua pintu negosiasi teologis-ritualistik. Secara pedagogis, ia mengajarkan bahwa dalam isu-isu inti ketuhanan dan ibadah, tidak ada abu-abu; hanya ada hitam dan putih. Repetisi ini, dalam studi linguistik agama, disebut sebagai penegasan definitif.
Kajian filologi menunjukkan bahwa pengulangan tersebut juga menyingkirkan kemungkinan penafsiran yang lunak terhadap masalah ritual. Surah ini menetapkan batas ontologis: hakikat Tuhanku berbeda dari hakikat tuhanmu, dan oleh karena itu, praktik penghambaan kita tidak dapat disatukan. Namun, penegasan batas ontologis ini tidak pernah diterjemahkan sebagai perintah untuk menolak interaksi sosial, ekonomi, atau bahkan politik yang damai. Justru, pemisahan yang jelas ini adalah fondasi bagi toleransi yang bermartabat, karena ia menghilangkan kebutuhan untuk saling mengkonversi atau menyeragamkan dalam ranah yang paling pribadi: ibadah.
Dalam disiplin filsafat agama, toleransi diuji melampaui sekadar sopan santun. Toleransi yang kuat (robust tolerance) mengharuskan kita untuk memahami mengapa orang lain memegang klaim kebenaran mereka, bahkan ketika klaim tersebut secara fundamental bertentangan dengan klaim kita sendiri. Prinsip "Lakum dinukum wa liya din" berfungsi sebagai premis epistemologis yang mengakui bahwa jalur keyakinan adalah jalur otonom yang tidak dapat dipaksakan atau dicampuri.
Filsafat moral menekankan bahwa keyakinan sejati hanya sah jika dihasilkan dari kehendak bebas dan pilihan yang sadar. Jika seseorang dipaksa untuk percaya, keyakinan tersebut kehilangan nilai spiritual dan moralnya. Oleh karena itu, prinsip non-koersi (tidak ada paksaan dalam agama) adalah prasyarat bagi tanggung jawab moral dan keabsahan spiritual. Dalam konteks akademik, hal ini berarti bahwa institusi pendidikan harus mendorong dialog bebas, di mana ide-ide dipertarungkan secara intelektual, tetapi tidak pernah secara koersif diinternalisasi.
Kajian dalam Teologi Perbandingan (Comparative Theology) sering menyoroti bahwa pengakuan terhadap batas-batas ini adalah pengakuan terhadap otoritas spiritual individu. Ketika batasan ibadah ditegaskan, fokus beralih dari perselisihan ritual ke pengembangan karakter moral dan etika sosial bersama. Yang terpenting bukanlah apa yang kita sembah bersama (karena itu tidak mungkin), tetapi bagaimana kita hidup bersama dengan menghormati otonomi keyakinan masing-masing.
Di perguruan tinggi modern, sering muncul diskusi mengenai spektrum pluralisme. Pluralisme dalam pengertian sosiologis (kehadiran banyak agama) adalah fakta yang tidak terbantahkan. Namun, dalam pengertian teologis (klaim bahwa semua agama sama-sama benar atau merujuk pada realitas yang sama), prinsip "Lakum dinukum" seringkali ditarik sebagai garis batas. Para teolog konservatif dan moderat berargumen bahwa prinsip ini justru menolak pluralisme teologis radikal.
Mengapa? Karena jika 'agamaku' dan 'agamamu' pada dasarnya sama, maka deklarasi pemisahan dalam Surah Al-Kafirun menjadi tidak relevan. Deklarasi tersebut menegaskan perbedaan hakiki dalam klaim kebenaran inti (Tuhan, ibadah, keselamatan). Dengan demikian, studi akademik harus membedakan secara jelas antara Toleransi Sosial (koeksistensi damai dan bantuan timbal balik) dan Sinkretisme Dogmatik (peleburan unsur-unsur keyakinan yang fundamentalnya berbeda).
Pemisahan yang tegas dalam urusan ibadah adalah syarat mutlak bagi persatuan sosial yang sejati. Tanpa batas, klaim identitas menjadi rapuh, dan setiap interaksi berpotensi menjadi medan perang teologis. Batasan yang jelas menghasilkan kebebasan yang jelas.
Bagaimana prinsip batas keyakinan ini diterjemahkan ke dalam praktik kehidupan di masyarakat majemuk, terutama di lingkungan kampus yang dihuni oleh berbagai latar belakang spiritual? Sosiologi agama menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana kelompok-kelompok dengan klaim kebenaran yang eksklusif dapat menciptakan struktur interaksi yang inklusif.
Jika batasan tegas diletakkan pada wilayah ibadah (wilayah vertikal), maka etika menekankan pentingnya kerjasama pada wilayah horizontal (kemanusiaan). Kerangka akademik menganjurkan prinsip kerjasama kebajikan. Studi historis tentang praktik komunitas Muslim klasik menunjukkan bahwa prinsip ini telah diterapkan secara konsisten dalam urusan perdagangan, hukum sipil, dan pertahanan bersama, meskipun ada perbedaan ritual yang jelas.
Di kampus, ini berarti mahasiswa dan staf dari berbagai latar belakang harus bekerja sama dalam proyek penelitian, organisasi mahasiswa, dan kegiatan sosial tanpa perlu menyepakati pandangan teologis satu sama lain. Batasan keyakinan memastikan bahwa diskusi akademik tetap fokus pada objektivitas, data, dan metodologi, bukan pada usaha saling mengkonversi. Kerjasama adalah bentuk pengakuan martabat kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat dogmatis.
Sistem pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar prinsip non-koersi tidak hanya diterapkan secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan intelektual. Koersi terselubung dapat muncul dalam bentuk tekanan mayoritas terhadap minoritas untuk meredam ekspresi keyakinan mereka, atau sebaliknya, tekanan agar semua orang menyepakati relativisme mutlak. Kedua ekstrem ini melanggar prinsip otonomi spiritual.
Oleh karena itu, kurikulum studi agama harus mengajarkan bukan hanya apa yang diyakini oleh kelompok lain, tetapi juga mengapa mereka mempertahankan batasan teologisnya. Pengajaran ini memfasilitasi empati intelektual—kemampuan untuk memahami logika internal sistem keyakinan orang lain—tanpa harus mengadopsinya. Ini adalah ciri khas lingkungan akademik yang matang dan bertanggung jawab, di mana perbedaan dihargai sebagai sumber kekayaan intelektual, bukan sebagai ancaman.
Berbagai penelitian sosiologi politik dan agama menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil mengelola pluralisme adalah negara-negara yang menghormati otonomi institusi agama (membiarkan mereka menentukan batas-batas doktrinal mereka sendiri) sambil menuntut kepatuhan yang ketat terhadap hukum sipil yang menjamin kesetaraan bagi semua warga negara. Konflik biasanya muncul ketika batas antara domain teologis dan domain sipil menjadi kabur, atau ketika salah satu pihak berusaha memaksakan pemahaman spiritualnya melalui kekuatan negara atau sosial. Studi ini menegaskan bahwa kejelasan batas ibadah adalah kunci perdamaian sipil.
Di lingkungan universitas, hal ini diterjemahkan menjadi kebijakan yang jelas mengenai hak beribadah, hak untuk berdiskusi kritis, dan larangan mutlak terhadap segala bentuk diskriminasi berdasarkan keyakinan. Kebebasan akademik yang sejati bergantung pada pemahaman bahwa ide-ide yang kontroversial harus diperdebatkan secara terbuka, tetapi identitas spiritual individu harus dijaga dari tekanan institusional.
Meskipun prinsip non-koersi telah lama menjadi landasan, interpretasi modern seringkali menghadapi tantangan. Dua miskonsepsi utama yang sering dibahas di ruang kuliah adalah: (1) Anggapan bahwa penegasan batas sama dengan kebencian atau permusuhan, dan (2) Kegagalan membedakan antara batasan ritual dan batasan sosial.
Salah satu kritik populer terhadap penegasan batas teologis adalah tuduhan bahwa hal itu menciptakan antagonisme dan memutus dialog. Studi etika komunikasi menunjukkan bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Ketika batas-batas didefinisikan dengan jelas, kecurigaan dan ambiguitas berkurang. Dialog yang sehat membutuhkan kejujuran, dan kejujuran mengharuskan pengakuan bahwa 'Aku percaya X dan kamu percaya Y, dan X dan Y tidak dapat disatukan'. Ini adalah kejujuran intelektual, bukan permusuhan. Permusuhan muncul ketika salah satu pihak berpura-pura bahwa tidak ada perbedaan fundamental, atau ketika mencoba memaksakan pemahaman mereka di ruang publik.
Dalam konteks universitas, ini berarti bahwa kritik terhadap sebuah doktrin harus dibolehkan asalkan dilakukan secara metodologis dan berbasis data, tetapi serangan pribadi terhadap keyakinan seseorang dilarang. Filsafat ilmu pengetahuan mengajarkan bahwa kemajuan dicapai melalui kritik yang konstruktif dan pengujian hipotesis, termasuk hipotesis teologis.
Perdebatan lain yang sering muncul adalah mengenai sejauh mana keyakinan individu dapat diekspresikan di ruang publik. Prinsip non-koersi dan batasan keyakinan memastikan bahwa ekspresi keyakinan harus menghormati hak orang lain untuk tidak terlibat. Misalnya, dalam diskusi filsafat, seseorang bebas mempertahankan klaim teologisnya yang eksklusif; namun, dalam pengambilan keputusan kebijakan kampus, keputusan tersebut harus berbasis inklusivitas dan hukum sipil, bukan dogma tunggal.
Ini adalah pelajaran tentang privatisasi praktik dan universalisasi etika. Studi kebijakan publik menunjukkan bahwa masyarakat paling stabil adalah yang berhasil mengamankan ranah privat keyakinan dari interferensi publik, sementara ranah publik diatur oleh etika universal yang disepakati (keadilan, kebenaran, kemanusiaan). Diskusi akademik yang mendalam harus membantu mahasiswa memetakan garis batas ini dengan presisi yang tinggi.
Untuk menghindari misinterpretasi, studi kontemporer perlu menerapkan hermeneutika yang utuh. Ini berarti mempertimbangkan tiga lapisan penafsiran:
Tanpa menimbang ketiga lapisan ini, penafsiran berisiko menjadi ekstrem—baik terlalu longgar hingga mengarah ke sinkretisme (mengabaikan lapisan literal), atau terlalu kaku hingga mengarah ke isolasi sosial (mengabaikan lapisan universal/etika). Peran akademisi adalah memandu mahasiswa melalui kompleksitas ini, menjamin bahwa pemahaman terhadap batasan spiritual menghasilkan koeksistensi yang terinformasi.
Memahami prinsip batasan kepercayaan membutuhkan analisis mendalam mengenai hubungan antara keyakinan, kebebasan, dan kedaulatan Tuhan. Dalam berbagai tradisi teologis, penolakan paksaan dalam masalah agama terkait erat dengan konsep ujian ilahi dan kedaulatan manusia.
Jika Tuhan menghendaki semua manusia untuk percaya secara seragam, Dia dapat melakukannya dengan mudah. Kenyataan adanya perbedaan keyakinan yang diakui oleh teks-teks suci menunjukkan bahwa keragaman adalah bagian integral dari rancangan kosmik, dan kebebasan memilih adalah esensi dari hubungan spiritual. Pilihan untuk mengikuti jalan keyakinan tertentu haruslah merupakan tindakan sukarela, dihasilkan dari perenungan, pencarian, dan penemuan pribadi. Jika keyakinan dipaksakan, ia tidak lagi menjadi tindakan hati, tetapi sekadar kepatuhan mekanis.
Filsafat politik kontemporer, yang menekankan hak asasi manusia, menemukan landasan historis dari prinsip ini dalam teks-teks agama yang paling kuno. Kebebasan beragama bukanlah penemuan modern Barat, melainkan prinsip etika yang sudah tertanam dalam tradisi ketuhanan. Dengan demikian, institusi akademik yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir wajib melindungi hak fundamental ini, termasuk hak untuk memegang keyakinan yang eksklusif, selama keyakinan tersebut tidak diterjemahkan menjadi tindakan koersi terhadap orang lain.
Dalam studi epistemologi, keyakinan adalah kondisi mental yang melibatkan penerimaan proposisi sebagai benar. Keyakinan agama berbeda karena seringkali melibatkan dimensi transendental yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Inilah mengapa batasan keyakinan menjadi penting: kepastian yang dirasakan oleh satu kelompok tidak dapat dipaksakan sebagai kepastian objektif bagi kelompok lain. Ilmu pengetahuan harus mengakui batas-batas verifikasi ini.
Oleh karena itu, di ruang kuliah, diskusi harus fokus pada metode argumentasi, bukan pada hasil keyakinan. Bagaimana kaum beriman membenarkan klaim mereka? Apa dasar ontologis klaim tersebut? Ketika studi diposisikan pada tingkat metodologis ini, perbedaan teologis yang mendalam tidak menghalangi dialog, melainkan menjadikannya lebih kaya dan menantang secara intelektual. Kejelasan mengenai apa yang dipercayai oleh 'Aku' dan apa yang dipercayai oleh 'Kamu' justru meningkatkan mutu akademik perdebatan.
Istilah yang menjadi fokus sentral, dalam konteks studi agama di perguruan tinggi, harus didekonstruksi untuk dipahami maknanya yang tepat, jauh dari konotasi polemik sehari-hari. Dalam konteks Surah Al-Kafirun, istilah tersebut merujuk kepada sekelompok orang tertentu di Mekkah yang menolak pesan monoteisme dan secara aktif menuntut kompromi ritual. Istilah ini, pada intinya, adalah kategori teologis yang mendeskripsikan penolakan terhadap ajaran inti, bukan label sosial yang dilekatkan pada setiap individu di luar komunitas. Studi filologi dan tafsir menunjukkan bahwa penerapannya harus sangat spesifik, terkait dengan isu-isu inti ketuhanan dan ibadah, bukan isu-isu kemanusiaan umum atau interaksi sipil.
Penting bagi mahasiswa untuk memahami bahwa penggunaan kategori teologis ini dalam konteks modern harus sangat hati-hati, memisahkan domain teologis dari domain sosiologis. Kekeliruan sering terjadi ketika label teologis yang kaku digunakan untuk membenarkan pemutusan hubungan sosial yang seharusnya tetap damai dan kooperatif. Pemahaman akademik yang benar membatasi istilah tersebut pada ranah doktrinal, bukan ranah kemanusiaan dan interaksi sosial.
Bagaimana prinsip-prinsip ini diterjemahkan menjadi kebijakan nyata dalam kurikulum dan lingkungan kampus? Institusi pendidikan tinggi harus memastikan bahwa misi mereka untuk memajukan pengetahuan tidak dikompromikan oleh tekanan dogmatis, sambil tetap menghormati identitas spiritual mahasiswanya.
Integrasi studi agama harus bersifat interdisipliner. Seorang mahasiswa harus mempelajari sejarah konflik agama (Sejarah), motivasi di balik gerakan fundamentalis (Sosiologi), rasionalisasi klaim kebenaran (Filsafat), dan analisis teks (Teologi/Hermeneutika). Pendekatan ini memastikan bahwa keyakinan diteliti sebagai fenomena multidimensi. Studi tentang Surah Al-Kafirun, misalnya, tidak hanya diajarkan sebagai teks suci, tetapi juga sebagai respons politik-teologis terhadap ancaman sinkretisme, sebuah analisis yang berada di persimpangan sejarah dan teologi.
Pendekatan interdisipliner membantu mahasiswa menghindari pemikiran biner yang menyederhanakan masalah kompleks menjadi 'kami vs mereka'. Ia mendorong pemikiran kritis yang mampu menanggapi nuansa—memahami bahwa seseorang dapat menjadi teman sosial dan mitra akademik yang berharga, meskipun ia memegang pandangan teologis yang fundamentalnya berbeda.
Kebijakan kampus mengenai kebebasan berekspresi harus secara eksplisit mencakup batasan etis. Mahasiswa bebas membahas dan mengkritik keyakinan atau doktrin agama apa pun dalam diskusi ilmiah atau seminar. Namun, kebebasan ini tidak mencakup hak untuk melakukan penghinaan ad hominem atau praktik yang bertujuan untuk memaksa, mengancam, atau merendahkan martabat individu berdasarkan keyakinan mereka.
Peran universitas adalah melatih argumen yang kuat dan beradab. Ini berarti, ketika seseorang menyatakan, "Agama saya mengajarkan bahwa jalan saya adalah yang benar," pernyataan tersebut harus diterima sebagai klaim teologis yang sah. Namun, jika ia menambahkan, "Oleh karena itu, kamu harus dipaksa mengikuti jalan saya," ini adalah pelanggaran prinsip non-koersi dan harus diatasi secara institusional. Garis pemisah antara klaim kebenaran teologis dan tindakan koersi sosial harus menjadi fokus utama pelatihan etika akademik.
Tujuan akhir dari studi pluralisme akademik bukanlah untuk membuat semua orang menjadi sama-sama percaya, tetapi untuk membuat semua orang saling memahami cara berpikir orang lain. Program dialog antaragama di kampus harus berorientasi pada pemahaman struktural (bagaimana tradisi lain berfungsi) dan pemahaman etis (apa yang diwajibkan oleh tradisi lain dalam hal etika sosial), bukan pada usaha untuk menyatukan perbedaan doktrinal.
Prinsip "Lakum dinukum wa liya din" memastikan bahwa setiap pihak masuk ke dalam dialog sebagai entitas yang utuh, dengan identitas yang jelas. Ini mencegah apa yang oleh para sosiolog disebut sebagai "dialog dangkal," di mana perbedaan mendasar sengaja diabaikan demi kesopanan semu. Dialog sejati, yang didorong oleh lingkungan akademik, harus berani menghadapi perbedaan fundamental sambil tetap mempertahankan komitmen pada etika koeksistensi yang kokoh.
Untuk mencapai target keluasan materi, kita perlu menguraikan lebih lanjut bagaimana konsep pemisahan keyakinan ini menjadi katalisator bagi persatuan dalam tindakan nyata, sebuah paradoks yang memerlukan tingkat pemahaman teologis yang tinggi.
Istilah teologis yang dilekatkan pada Surah Al-Kafirun adalah Baro’ah, yang sering diterjemahkan sebagai ‘pelepasan diri’ atau ‘pemutusan hubungan’. Dalam studi tafsir, penting untuk membedakan antara pelepasan diri dari praktik ritual (doktrin) dan pelepasan diri dari hubungan kemanusiaan (sosial). Tafsir yang diterima secara luas oleh para ulama klasik menegaskan bahwa Baro’ah hanya berlaku untuk aspek ibadah yang merupakan inti dari penegasan tauhid (monoteisme). Ini adalah penegasan ontologis tentang realitas yang disembah.
Jika Baro’ah diartikan sebagai pemutusan total hubungan sosial, maka ajaran etika universal yang lain (seperti keadilan, kebaikan kepada tetangga, dan larangan merugikan) akan menjadi kontradiktif. Oleh karena itu, tafsir akademik menegaskan bahwa surah ini membangun tembok di sekitar altar ibadah, tetapi bukan di sekitar pasar, sekolah, atau meja perundingan. Pemisahan ritual ini justru membebaskan energi untuk membangun kerjasama di ranah sosial.
Model akademik perlu menempatkan prinsip batasan keyakinan dalam konteks yang lebih luas mengenai hubungan antara Iman (keyakinan) dan Ihsan (kebajikan atau keunggulan etika). Keyakinan adalah domain internal yang eksklusif (Lakum dinukum wa liya din). Sementara itu, kebajikan adalah domain eksternal yang universal, di mana semua manusia diharapkan berpartisipasi (bekerja sama dalam kebaikan).
Dalam kurikulum etika, prinsip ini mengajarkan bahwa meskipun kita mungkin berbeda secara radikal tentang asal dan tujuan hidup (Iman), kita harus sepakat secara absolut mengenai cara kita memperlakukan sesama manusia (Ihsan). Diskusi filosofis ini membantu menjembatani jurang antara dogma yang kaku dan tuntutan etika sosial yang cair. Kegagalan memisahkan kedua domain ini adalah akar dari sebagian besar konflik agama di ruang publik.
Dalam bidang studi agama, eksklusivisme (klaim bahwa hanya satu jalan yang benar) seringkali dikritik sebagai sumber intoleransi. Namun, prinsip "Lakum dinukum" menunjukkan bahwa eksklusivisme yang bertanggung jawab adalah mungkin. Eksklusivisme menjadi intoleran hanya ketika ia menuntut koersi. Eksklusivisme yang bertanggung jawab adalah pengakuan yang jujur terhadap klaim teologis sendiri, disertai dengan penolakan mutlak untuk memaksakan klaim tersebut pada orang lain.
Di ruang akademik, harus ada toleransi terhadap eksklusivisme. Mahasiswa harus diizinkan untuk mempertahankan posisi teologis mereka (misalnya, menyatakan bahwa mereka yakin X adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan), selama mereka mematuhi aturan etika akademik dan sipil yang menjamin bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk memegang keyakinan mereka sendiri. Eksklusivisme yang damai adalah hasil akhir dari prinsip non-koersi yang dianut secara matang.
Studi mendalam mengenai batasan keyakinan, yang berpusat pada prinsip non-koersi, menegaskan bahwa lingkungan akademik adalah ruang yang ideal untuk mematangkan pemahaman tentang pluralisme. Prinsip "Lakum dinukum wa liya din" bukanlah formula untuk permusuhan, melainkan cetak biru untuk toleransi yang bermartabat, yang bersumber dari kejelasan identitas spiritual.
Perguruan tinggi memiliki tugas ganda: melindungi kebebasan akademik untuk mengkritik dan mempertanyakan semua ide, sambil secara teguh menjunjung tinggi hak fundamental setiap individu atas otonomi spiritual. Ketika mahasiswa berhasil membedakan antara domain ibadah (yang eksklusif) dan domain sosial (yang inklusif), mereka tidak hanya menjadi warga negara yang lebih baik tetapi juga menjadi intelektual yang lebih matang, siap menghadapi kompleksitas dunia modern dengan kerangka etika dan teologis yang kokoh. Koeksistensi damai bukan dicapai melalui peleburan perbedaan, tetapi melalui penghormatan yang mendalam terhadap batas-batas yang ditetapkan oleh hati nurani dan keyakinan masing-masing.
Keseluruhan kajian ini, yang melintasi filsafat, sosiologi, dan hermeneutika teologis, menggarisbawahi bahwa kekuatan suatu masyarakat majemuk terletak pada kemampuannya untuk mengelola perbedaan fundamental tanpa mengorbankan kesatuan etika dan kemanusiaan. Pengajaran ini harus menjadi inti dari setiap kurikulum studi agama kontemporer yang bertanggung jawab.
Dalam banyak diskusi umum, toleransi sering disalahartikan sebagai ‘menahan diri dari konflik’ atau ‘mengabaikan perbedaan’. Namun, kajian akademik menuntut kita untuk melihat hak beragama dan prinsip non-koersi sebagai kewajiban etis yang aktif. Kewajiban ini mengharuskan kita untuk secara aktif menciptakan ruang di mana orang lain dapat menjalankan keyakinannya tanpa takut dihukum atau didiskriminasi, bahkan jika keyakinan tersebut kita anggap salah secara teologis.
Filsafat politik membedakan antara kebebasan negatif (kebebasan dari intervensi atau paksaan) dan kebebasan positif (kebebasan untuk mewujudkan potensi diri). Prinsip non-koersi adalah bentuk kebebasan negatif yang mendasar—tidak ada seorang pun yang boleh memaksa Anda meninggalkan atau mengadopsi suatu keyakinan. Namun, kewajiban etis di lingkungan kampus meluas ke kebebasan positif: kampus harus menyediakan sarana agar mahasiswa dapat secara bebas mendalami dan mengekspresikan keyakinannya (misalnya, melalui diskusi terbuka, kelompok studi, dan fasilitas ibadah), selama hal itu tidak melanggar kebebasan orang lain.
Ketika prinsip "Lakum dinukum wa liya din" dipahami dalam kerangka ini, ia bukan lagi hanya tentang pemisahan, tetapi tentang perlindungan timbal balik. Saya melindungi hak Anda untuk menjalankan keyakinan Anda yang berbeda, bukan karena saya setuju dengan keyakinan Anda, tetapi karena perlindungan hak tersebut adalah syarat mutlak bagi perlindungan hak saya sendiri.
Kajian dalam teori kewarganegaraan menunjukkan bahwa kohesi sosial dalam masyarakat pluralistik tidak bergantung pada kesamaan keyakinan, melainkan pada komitmen bersama terhadap kerangka hukum dan etika sipil. Prinsip batasan keyakinan memastikan bahwa tuntutan loyalitas utama dalam ranah teologis (kepada Tuhan) tidak bertentangan dengan tuntutan loyalitas dalam ranah sipil (kepada negara atau komunitas). Konflik muncul ketika institusi teologis menuntut otoritas absolut atas ruang sipil.
Universitas, sebagai mikrokosmos masyarakat, harus melatih mahasiswa dalam etos kewarganegaraan majemuk: kemampuan untuk beroperasi secara efektif dan etis di ruang publik bersama, sambil tetap mempertahankan integritas keyakinan pribadi. Ini adalah keterampilan penting yang melampaui kemampuan teknis, karena menyentuh inti dari cara kita mendefinisikan identitas dalam dunia yang terfragmentasi.
Dalam psikologi kognitif, ada fenomena yang disebut bias konfirmasi, di mana individu cenderung mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang membenarkan keyakinan mereka yang sudah ada. Lingkungan akademik, dengan penekanan pada metodologi kritis, berfungsi sebagai penangkal terhadap bias ini. Studi agama yang jujur harus memaksa mahasiswa untuk menghadapi teks dan interpretasi yang menantang pandangan dunia mereka.
Misalnya, mahasiswa yang mempelajari Surah Al-Kafirun harus dihadapkan pada interpretasi radikal yang menjadikannya dalil isolasi total, dan pada saat yang sama, dihadapkan pada interpretasi historis-kontekstual yang membatasi penerapannya. Proses dialektika ini, yang sering terjadi dalam seminar pascasarjana, adalah esensial untuk melahirkan kedewasaan intelektual—kemampuan untuk memahami kekuatan dan kelemahan argumen, termasuk argumen yang paling sakral.
Intoleransi dan radikalisme seringkali berakar pada penafsiran teks yang dangkal, yang gagal membedakan antara batasan doktrinal dan kewajiban etika sosial. Perguruan tinggi memiliki peran krusial dalam mengatasi hal ini melalui edukasi yang mendalam dan berimbang.
Penting bagi studi agama untuk menyertakan analisis historis tentang kapan dan mengapa keyakinan agama digunakan untuk membenarkan kekerasan. Hampir selalu, kasus kekerasan agama melibatkan pengabaian terhadap prinsip non-koersi dan peleburan batas antara ranah ibadah dan ranah politik/sosial. Dengan mempelajari kegagalan sejarah dalam menerapkan prinsip ini, mahasiswa dapat lebih menghargai pentingnya penegasan batas yang jelas, seperti yang disajikan dalam Surah Al-Kafirun, sebagai upaya preventif teologis terhadap koersi.
Analisis ini harus bersifat global, mencakup inkuisisi Kristen, penggunaan teks-teks Hindu untuk nasionalisme, dan penyalahgunaan teks-teks Islam untuk kekerasan. Pola yang muncul adalah bahwa ketika hak teologis diklaim sebagai hak politik mutlak, prinsip non-koersi terancam dan intoleransi menjadi manifestasi sosial.
Seorang akademisi perlu mengajarkan bahwa keyakinan inti (doktrin) harus kaku—sebab jika tidak, ia tidak dapat menjadi fondasi yang kokoh. Namun, penerapan sosial dan politik dari keyakinan tersebut harus luwes dan akomodatif, menghormati kerangka hukum sipil yang inklusif. Paradoks ini, kekakuan dalam dogma dan keluwesan dalam etika, adalah inti dari etos pluralisme yang sehat.
Misalnya, seorang penganut keyakinan X harus memiliki dogma yang sangat kaku tentang sifat Tuhannya (Iman). Namun, dalam berinteraksi di lingkungan sosial, etika yang mengatur interaksinya (Ihsan) harus bersifat universal dan luwes, memungkinkan kerja sama dengan penganut keyakinan Y. Prinsip "Lakum dinukum wa liya din" adalah formulasi teologis sempurna untuk paradoks ini, menyediakan kekakuan doktrinal yang diperlukan untuk identitas spiritual, sekaligus menyediakan landasan bagi interaksi sosial yang damai dan inklusif.
Salah satu kontribusi terbesar universitas adalah melatih mahasiswa untuk menerapkan metodologi kritis (usul al-fiqh, hermeneutika modern) untuk mengevaluasi klaim otoritas. Ketika ada fatwa atau interpretasi populer yang tampaknya bertentangan dengan prinsip non-koersi, mahasiswa harus mampu menganalisis sumber, konteks, dan metodologi yang digunakan dalam penafsiran tersebut. Ini adalah pertahanan intelektual terbaik melawan penyederhanaan yang mengarah pada radikalisme.
Dengan kata lain, kampus tidak hanya mengajarkan apa yang ada dalam teks, tetapi juga mengajarkan bagaimana berpikir tentang teks, dan bagaimana menolak penafsiran yang menyalahgunakan teks untuk membenarkan paksaan atau diskriminasi. Mempelajari prinsip batas keyakinan secara mendalam adalah kunci untuk memelihara kedamaian intelektual dan sosial dalam masyarakat majemuk.
Integrasi pemahaman mendalam tentang prinsip non-koersi ini ke dalam inti pendidikan tinggi adalah investasi kritis dalam masa depan koeksistensi. Tanpa pemahaman yang jelas tentang di mana batas-batas keyakinan ditarik, dan mengapa batas-batas itu harus dihormati, diskusi tentang pluralisme akan selalu rentan terhadap kerancuan dan konflik yang tidak perlu. Ketegasan dalam keyakinan, yang diimbangi dengan kebebasan non-koersi, adalah fondasi kematangan spiritual dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Prinsip inilah yang memastikan bahwa setiap orang dapat hidup dengan martabatnya sendiri, tanpa harus menjadi salinan dari orang lain.
Perluasan analisis mengenai peran interpretasi teologis dalam memandu etika sosial menunjukkan bahwa bahkan dalam teks-teks yang paling deklaratif mengenai perbedaan, terdapat perintah tersirat mengenai koeksistensi. Jika Tuhan mengizinkan adanya keragaman (seperti yang ditunjukkan oleh Surah Al-Kafirun yang mengakui keberadaan ‘agamamu’), maka upaya manusia untuk menyeragamkan keragaman itu melalui paksaan adalah tindakan yang tidak hanya tidak etis tetapi juga tidak sesuai dengan rancangan teologis. Dengan demikian, tugas seorang pelajar di perguruan tinggi adalah menyingkap lapisan-lapisan pemahaman ini, memisahkan inti dogmatis yang harus dipertahankan dari cangkang etika sosial yang harus inklusif dan luwes.
Pada akhirnya, kajian ini menempatkan tanggung jawab berat di pundak para intelektual dan akademisi: untuk terus-menerus menegaskan garis batas yang tipis namun krusial antara mempertahankan kebenaran yang diyakini (Iman) dan menjalankan keadilan universal kepada semua manusia (Ihsan), tanpa memandang perbedaan agama mereka. Hanya dengan pemahaman yang utuh terhadap prinsip non-koersi dan batasan keyakinan, masyarakat plural dapat mencapai kestabilan yang didambakan.