Representasi visual transmisi konsep malam (Al-Lail) ke dalam khazanah bahasa Latin.
Transmisi pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa Barat, khususnya selama periode Abad Pertengahan Tinggi, merupakan salah satu babak paling transformatif dalam sejarah intelektual manusia. Pusat-pusat penerjemahan di Toledo, Spanyol, dan Sisilia menjadi episentrum di mana karya-karya filosofis, medis, dan astronomis berbahasa Arab ditransformasikan ke dalam bahasa Latin. Dalam proses yang kompleks ini, banyak istilah kunci Arab diserap secara langsung, diadaptasi, atau diterjemahkan secara harfiah. Salah satu konsep linguistik dan kosmis yang menarik perhatian besar adalah Al-Lail (Arab: الليل), yang secara harfiah berarti ‘Malam’.
Bagi peradaban Latin, pemahaman tentang ‘malam’ seringkali terbatas pada kerangka Romawi-Kristen: *nox* (Latin klasik). Namun, ketika karya-karya astronomis, seperti terjemahan *Almagest* Ptolemy melalui versi Arab, atau tabel-tabel zīz (tabel astronomi), memasuki Eropa, ‘malam’ bukan sekadar waktu istirahat, melainkan unit pengukuran temporal yang sangat spesifik, membutuhkan presisi linguistik yang sebelumnya tidak diperlukan.
Tantangan utama yang dihadapi para penerjemah Latin seperti Gerard dari Cremona atau Adelard dari Bath adalah bagaimana memindahkan nuansa ilmiah dan teologis dari istilah Arab ke dalam struktur bahasa Latin yang kaku. Adaptasi ini menghasilkan berbagai varian fonetik untuk ‘Al-Lail’, yang kemudian diabadikan dalam manuskrip-manuskrip Latin selama berabad-abad.
Toledo, setelah direbut kembali oleh Kristen, menjadi melting pot di mana ulama Latin, Yahudi, dan Arab bekerja sama. Karya-karya yang diterjemahkan di sana tidak hanya terbatas pada teks filosofis Aristoteles yang dimediasi oleh Averroes dan Avicenna, tetapi juga mencakup karya-karya fundamental dalam ilmu pasti. Pemahaman tentang Al-Lail menjadi krusial dalam dua disiplin ilmu utama: astronomi dan astrologi.
Keputusan untuk mempertahankan istilah Arab alih-alih menggunakan padanan Latin klasik (*nox*) sering didorong oleh kebutuhan akan presisi teknis. Kata Latin *nox* tidak memiliki konotasi spesifik yang melekat pada pembagian waktu dalam ilmu falak Arab, yang terkadang membagi malam menjadi dua, tiga, atau empat bagian yang disebut *sā’āt al-layl* (jam-jam malam).
Proses adaptasi fonetik dari bahasa Semit (Arab) ke dalam bahasa Indo-Eropa (Latin) sangatlah rumit, terutama karena bahasa Latin Abad Pertengahan kekurangan mekanisme standar untuk mewakili bunyi tertentu, seperti fonem faringal Arab (ح, ع) atau konsonan penekanan (ط, ص). Dalam kasus 'Al-Lail', tantangan muncul pada pengucapan diftong /ay/ (يْل) dan penentuan apakah artikel definitif *al-* harus dipertahankan.
Penelitian filologis pada manuskrip-manuskrip Latin Abad Pertengahan dari abad ke-12 dan ke-13 mengungkapkan keragaman luar biasa dalam bagaimana ‘Al-Lail’ ditulis. Keragaman ini mencerminkan perbedaan dialek Arab yang didengar oleh penerjemah, serta kebiasaan ortografi Latin regional mereka:
Proses transliterasi ini bukan hanya masalah fonetik, tetapi juga masalah semantik. Dengan memilih mempertahankan 'Al-Lail', para sarjana Latin secara implisit mengakui bahwa 'malam' yang mereka bahas memiliki dimensi teknis, khususnya dalam penghitungan waktu (tempora) yang tidak dapat diwakili sepenuhnya oleh istilah Latin klasik *nox*.
Diftong 'ay' dalam *layl* sering ditulis sebagai 'ei' atau 'eï' dalam Latin Abad Pertengahan, mengikuti pola yang digunakan untuk kata-kata serapan Arab lainnya, seperti *algoritmi* (dari Al-Khwarizmi). Konsonan /L/ ganda (يْل) dalam bahasa Arab seringkali hanya direpresentasikan sebagai satu 'l' dalam Latin, meskipun beberapa penerjemah yang lebih teliti berusaha mereplikasi geminasi (penggandaan konsonan) seperti dalam ‘Alleil’, mungkin untuk membedakannya dari kata-kata Latin lain yang terdengar mirip.
Adaptasi ini menjadi dasar bagi banyak bahasa Romawi modern untuk menyerap konsep-konsep waktu dan astronomi dari sumber Arab. Meskipun ‘Al-Lail’ sendiri tidak bertahan menjadi kata umum (seperti yang dilakukan *algebra* atau *almanac*), jejaknya tertinggal dalam cara pengukuran waktu dan bayangan dipahami dan diajarkan di universitas-universitas Eropa yang baru didirikan.
Dalam konteks Latin Skolastik, penggunaan istilah 'Al-Lail' atau 'Alleil' seringkali berfungsi sebagai penanda jargon teknis, sebuah kode yang menunjukkan bahwa informasi yang disajikan berasal dari tradisi saintifik Arab. Ini kontras dengan penggunaan *nox* atau *tempus nocturnum* yang lebih umum untuk deskripsi filosofis atau teologis. Perbedaan ini adalah kunci untuk memahami bagaimana ilmu-ilmu pasti dipisahkan dari teologi dalam kurikulum Abad Pertengahan.
Misalnya, dalam tabel-tabel navigasi atau gerak planet, referensi kepada *momentis Alleil* (momen-momen malam) memastikan bahwa pembaca tahu titik referensi temporal yang tepat yang digunakan oleh penulis Arab. Tanpa penanda linguistik ini, akurasi perhitungan akan hilang total dalam proses penerjemahan. Transmisi presisi ini, yang didorong oleh istilah spesifik, adalah salah satu sumbangan terbesar dari periode penerjemahan Toledo.
Signifikansi ‘Al-Lail’ melampaui sekadar terjemahan leksikal; ia mewakili pergeseran dalam cara memandang dan mengukur waktu di Barat. Sebelum kontak intensif dengan ilmuwan Arab, sistem pengukuran waktu di Eropa sebagian besar didasarkan pada perhitungan jam sementara (*temporal hours*) yang durasinya bervariasi sesuai musim (jam siang berbeda dengan jam malam). Astronomi Arab memperkenalkan sistem yang lebih seragam dan presisi, dan di sinilah 'Al-Lail' memainkan peran sentral.
Sistem jam ekuinoksial (jam yang panjangnya sama sepanjang tahun, 60 menit) adalah inovasi besar yang datang bersama manuskrip Arab. Al-Lail, dalam konteks ini, bukan hanya setengah dari siklus 24 jam, tetapi periode spesifik yang diukur dari waktu yang ditentukan secara astronomis (terbenam matahari, atau titik tengah malam astronomis). Penerjemah harus berjuang untuk mengintegrasikan konsep ini ke dalam kerangka Latin yang sudah ada:
Penggunaan ‘Al-Lail’ dalam karya-karya seperti *Quadripartitum* (terjemahan Latin dari Al-Kindi) menandai adopsi formal dari metodologi waktu Arab. Para sarjana Latin menggunakan istilah tersebut untuk membedakan secara tegas antara perhitungan mereka yang baru dan yang lama. Hal ini menunjukkan bahwa transmisi pengetahuan bukan sekadar peminjaman kata, tetapi restrukturisasi kognitif terhadap cara realitas temporal diukur.
Selain astronomi, Al-Lail memiliki resonansi mendalam dalam bidang astrologi medis, yang sangat populer di Abad Pertengahan Latin. Kepercayaan bahwa pergerakan langit memengaruhi kesehatan dan temperamen manusia berarti bahwa waktu diagnosis—siang atau malam—adalah faktor vital.
Dalam tradisi Galen-Arab, setiap bagian dari siklus 24 jam dihubungkan dengan planet, elemen, dan humor tertentu. Malam (Al-Lail) secara dominan dikaitkan dengan:
1. Planet: Bulan (Luna) dan Saturnus, yang masing-masing mengatur kelembaban dan kedinginan. Transmisi istilah 'Al-Lail' membantu para tabib Latin merujuk langsung ke tabel planet Arab. 2. Humor: Flegma (dahak) dan Melankoli (empedu hitam). Malam dianggap sebagai waktu ketika cairan tubuh ini meningkat, memerlukan perhatian medis yang berbeda dari diagnosis di siang hari. 3. Kualitas: Dingin dan Lembab. Diagnosis yang dilakukan *in Alleil* harus mempertimbangkan peningkatan kualitas dingin yang dapat memperburuk penyakit tertentu, seperti demam basah atau kondisi sendi.Korelasi Astrologi Malam
Dengan demikian, 'Al-Lail' menjadi bagian integral dari leksikon teknis tabib Latin, memungkinkan mereka untuk mengakses dan menerapkan teori diagnosis yang jauh lebih rinci daripada yang ditawarkan oleh tradisi medis Barat sebelumnya. Penggunaannya membantu mengkodifikasi praktik medis yang berorientasi pada waktu spesifik.
Meskipun penggunaan utama ‘Al-Lail’ dalam Latin adalah teknis dan ilmiah, konsep 'Malam' membawa beban filosofis dan teologis yang berbeda antara tradisi Arab-Islam dan tradisi Latin-Kristen. Saat teks-teks Arab diterjemahkan, perbedaan-perbedaan ini harus dinegosiasikan.
Dalam banyak tradisi mistik dan filosofis Islam, malam bukanlah sekadar ketiadaan cahaya, tetapi waktu yang disucikan untuk kontemplasi, wahyu, dan kedekatan dengan Tuhan. Konsep *Qiyam Al-Lail* (berdiri di malam hari untuk beribadah) mencerminkan nilai positif yang diberikan pada kegelapan. Ketika para sarjana Latin menerjemahkan karya-karya mistik atau etika yang dipengaruhi oleh tradisi ini, mereka harus memilih antara:
Para Neo-Platonis Latin pada abad ke-13 sering menggunakan metafora cahaya (Allah/kebenaran) dan kegelapan (materi/ketidaktahuan). Namun, melalui teks-teks Arab, mereka diperkenalkan pada konsep kegelapan (Al-Lail) yang diperlukan untuk penglihatan yang lebih dalam, seperti dalam optik Alhazen, di mana kegelapan latar belakang penting untuk persepsi visual yang akurat. Transmisi ‘Al-Lail’ membantu memperkaya dikotomi siang/malam dalam pemikiran Skolastik.
Dalam terjemahan karya-karya Averroes mengenai Aristoteles, pembahasan tentang waktu dan keabadian menjadi pusat perhatian. Malam, sebagai batas antara dua periode siang, berfungsi sebagai penanda siklus dan transisi. Dalam konteks Aristotelian yang dihidupkan kembali, ‘Al-Lail’ menyediakan unit waktu yang dapat digunakan untuk menganalisis gerakan yang terus-menerus dan abadi (Gerak Primer) versus gerakan temporal di dunia sublunar.
Diskusi mendalam mengenai batas-batas kognisi manusia seringkali menggunakan metafora malam. Filsuf Muslim sering menekankan bahwa akal manusia terbatas, tidak dapat melihat kebenaran penuh, seperti mata yang tidak dapat melihat dalam kegelapan total. Saat diterjemahkan ke dalam Latin, istilah 'Al-Lail'—bukan sekadar *nox*—membawa konotasi yang lebih spesifik tentang kesulitan pencarian ilmiah di tengah keterbatasan alami, sebuah kesulitan yang hanya dapat diatasi melalui instrumen yang canggih (ilmu astronomi Arab).
Untuk memastikan transmisi yang akurat dari konsep *Al-Lail* yang sarat makna ini, para penerjemah terkadang menggunakan strategi glosarium ganda. Mereka akan mencantumkan *nox* sebagai padanan umum, tetapi segera menambahkan *id est Alleil* (yaitu Al-Lail) di mana konteksnya membutuhkan perhitungan waktu yang ketat. Praktik ini menunjukkan kesadaran yang jelas di antara para sarjana Latin bahwa kata Arab tersebut memiliki kandungan makna teknis yang unik yang tidak dapat diwakili sepenuhnya oleh istilah Latin murni.
Dalam analisis astronomi yang mendalam, terutama ketika membahas fenomena gerhana, Al-Lail adalah periode fundamental di mana pengukuran posisi benda langit dilakukan. Jika penerjemah hanya menggunakan *nox*, pembaca Latin mungkin mengasumsikan pengukuran merujuk pada malam secara umum, padahal konteks Arab memerlukan pengukuran yang dilakukan pada jam-jam tertentu dari malam astronomis tersebut.
Meskipun ‘Al-Lail’ sebagai kata pinjaman teknis Latin tidak bertahan dalam penggunaan sehari-hari, warisannya sangat kentara dalam cara konsep ‘malam’ diintegrasikan ke dalam tradisi ilmiah Barat, dan bagaimana beberapa kata serapan Arab yang terkait dengan waktu dan cahaya berkembang dalam bahasa-bahasa Romawi modern.
Transmisi Al-Lail membantu menormalisasi penggunaan jam ekuinoksial, yang pada akhirnya menggantikan jam sementara di seluruh Eropa untuk tujuan ilmiah dan kemudian komersial. Jika *Al-Lail* adalah unit pengukuran, maka ia secara tidak langsung berkontribusi pada perkembangan:
Para penerjemah Latin berhasil menginternalisasi prinsip-prinsip yang diwakili oleh *Al-Lail*—yaitu, kebutuhan akan presisi dalam waktu—tanpa harus mempertahankan kata itu sendiri. Begitu konsep jam ekuinoksial tertanam kuat dalam kurikulum universitas (seperti Paris dan Oxford), kebutuhan untuk menggunakan transliterasi yang canggung seperti ‘Alleil’ berkurang, dan padanan Latin yang direvitalisasi, *nox* atau *tempus nocturnum*, dapat digunakan dengan makna teknis baru yang diserap dari Arab.
Menarik untuk dicatat mengapa *Al-Lail* memudar, sementara kata-kata Arab lainnya yang berkaitan dengan alam semesta, seperti *Al-Kimiya* (Alchemy/Kimia) atau *Al-Jabr* (Algebra), bertahan. Perbedaan utamanya terletak pada keberadaan padanan yang kuat dalam Latin:
| Istilah Arab | Padanan Latin | Hasil Transmisi |
|---|---|---|
| Al-Lail (Malam) | Nox | Digantikan oleh *Nox* yang diberi makna teknis baru. |
| Al-Jabr (Pemulihan) | Tidak ada padanan tunggal | Diserap langsung sebagai *Algebra*. |
| Al-Kimiya (Kimia) | Tidak ada padanan tunggal | Diserap langsung sebagai *Alchemia*. |
Ini menegaskan bahwa transmisi *Al-Lail* adalah transmisi konsep ilmiah, bukan hanya kata benda yang tidak dapat digantikan. Ketika para sarjana Latin berhasil menyarikan konsep presisi waktu malam dari tradisi Arab dan menginjeksikannya ke dalam kerangka *nox* mereka sendiri, istilah aslinya tidak lagi diperlukan untuk komunikasi sehari-hari, meskipun jejaknya tetap penting bagi sejarawan ilmu pengetahuan yang melacak sumber-sumber manuskrip.
Bahkan jauh setelah puncak periode penerjemahan Toledo, istilah turunan dari *layl* masih muncul dalam teks-teks astrologi yang sangat spesifik, terutama yang membahas pembagian 12 rumah astrologi. Dalam konteks ini, pembagian malam dan siang (atau *Al-Lail* dan *Al-Nahar*) secara eksplisit digunakan untuk mendefinisikan batas-batas rumah horoskop, menunjukkan bahwa presisi Arab tentang waktu malam terus menjadi standar emas dalam praktik okultisme dan astronomi hingga Renaisans.
Dokumen-dokumen dari Universitas Padua dan Bologna, pusat studi Astrologi Abad Pertengahan, sering merujuk pada *ratio Alleil* (rasio malam) ketika menghitung kenaikan tanda-tanda zodiak, sebuah prosedur yang bergantung sepenuhnya pada metodologi yang dikembangkan oleh Al-Battani dan Al-Khwarizmi, yang semuanya didasarkan pada definisi ketat dari Al-Lail.
Transmisi ini, yang terperinci dan sangat teknis, menunjukkan kedalaman pertukaran intelektual yang terjadi. Ini bukan sekadar peminjaman kata, melainkan adopsi seluruh sistem kosmis di mana malam (Al-Lail) berfungsi sebagai poros waktu, sebuah fondasi yang membedakan ilmu pengetahuan Arab dari pendahulunya di Latin.
Untuk benar-benar memahami bagaimana konsep Al-Lail ditransmisikan, kita perlu memeriksa penerapannya dalam karya-karya kunci yang diterjemahkan dari Arab ke Latin. Tiga contoh utama menunjukkan variasi dan tujuan penggunaan istilah ini.
Tabel Toledo, yang dikompilasi ulang oleh Arzachel dan kemudian diterjemahkan ke Latin, adalah salah satu teks astronomi paling berpengaruh di Abad Pertengahan. Tabel-tabel ini adalah panduan praktis untuk menghitung posisi planet dan meramalkan gerhana. Di sinilah ‘Al-Lail’ harus berfungsi sebagai unit pengukuran yang tidak ambigu.
Dalam manuskrip Latin dari Tabel Toledo, Al-Lail biasanya muncul dalam kolom yang diberi judul *Differentia inter horam meridiei et horam Alleil* (Perbedaan antara jam tengah hari dan jam Al-Lail). Penggunaan diksi ganda (meridies/Alleil) secara jelas menandai bahwa ‘Al-Lail’ di sini merujuk pada titik waktu spesifik yang ditentukan secara astronomis, yaitu waktu tenggelamnya matahari atau permulaan malam astronomis, bukan sekadar periode kegelapan secara umum. Para sarjana Latin mempertahankan istilah ini karena jika mereka menggunakan *nox*, mereka berisiko kehilangan akurasi yang diperlukan untuk perhitungan efemeris.
Struktur Tabel Toledo menekankan pembagian hari yang presisi, dan Al-Lail berfungsi sebagai jangkar untuk perhitungan lintang dan bujur. Penerjemah, dalam kasus ini, memilih kejelasan ilmiah daripada purisme linguistik Latin. Keberhasilan Tabel Toledo di Eropa menjamin bahwa ‘Al-Lail’ akan dipelajari dan dipahami oleh setiap astronom Skolastik yang serius.
Gerard dari Cremona (c. 1114–1187) adalah penerjemah paling produktif di Toledo, bertanggung jawab atas lebih dari 70 terjemahan dari Arab ke Latin. Dalam terjemahan *Almagest* dan karya-karya lain, Gerard menghadapi tantangan untuk menstandarisasi terminologi astronomi. Dalam banyak karyanya, ia cenderung menggunakan padanan Latin klasik ketika memungkinkan, tetapi sering beralih kembali ke transliterasi Arab ketika padanan Latin kurang spesifik.
Pendekatan Gerard menunjukkan bahwa istilah ‘Al-Lail’ adalah sebuah alat yang digunakan dengan pertimbangan, sebuah indikasi bahwa istilah tersebut membawa muatan semantik yang lebih berat di bidang ilmu pasti. Pilihan leksikal ini membantu sejarawan memahami prioritas Gerard: yaitu, fidelitas ilmiah harus diutamakan di atas adaptasi bahasa yang mudah.
Michael Scot (c. 1175–1232), penerjemah di Sisilia dan Spanyol, memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Bekerja di bawah Frederick II, Scot menerjemahkan karya-karya yang lebih bersifat filosofis dan okultis, termasuk karya Averroes. Dalam teks-teks non-astronomi, Scot sering memilih terjemahan yang lebih longgar, mengandalkan metafora Latin yang ada.
Meskipun demikian, bahkan dalam teks-teks okultis yang diterjemahkannya, ketika pembahasan menyentuh perhitungan astrologi yang memerlukan penentuan waktu kelahiran atau waktu untuk ritual, Scot akan menyertakan referensi yang jelas kepada metodologi *Alleil* Arab. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-13, bahkan penerjemah yang lebih bebas pun mengakui otoritas terminologi Arab ketika menyangkut presisi temporal—sebuah pengakuan yang membuktikan keberhasilan penetrasi konsep Al-Lail dalam disiplin ilmu Latin.
Konsep malam sangat terkait dengan bayangan. Dalam teks-teks gnomonik (ilmu pengukuran waktu dengan bayangan), para sarjana Latin menggunakan Al-Lail untuk mengkalibrasi jam matahari yang baru dibuat. Mereka menyadari bahwa akurasi jam matahari di siang hari sangat bergantung pada pengetahuan mereka tentang durasi Al-Lail di musim tertentu, yang didapat dari tabel Arab. Dengan demikian, Al-Lail berfungsi sebagai "kunci kalibrasi" yang tersembunyi dalam banyak instrumen pengukuran waktu Latin.
Analisis filologis menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan *Alleil* menurun seiring berjalannya waktu, namun ia digantikan oleh istilah Latin yang telah diperkaya maknanya, seperti *hora nocturna vera* (jam malam yang sebenarnya), yang secara substantif merujuk pada konsep waktu yang dikembangkan di bawah pengaruh Arab. Transformasi ini adalah bukti akhir dari keberhasilan transmisi Al-Lail—kata itu sendiri memudar, tetapi konsep ilmiah yang dibawanya menjadi standar baru di Eropa.
Transmisi ‘Al-Lail’ dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin Abad Pertengahan merupakan sebuah mikrokosmos dari revolusi intelektual yang lebih besar yang terjadi di Eropa selama Abad Pertengahan Tinggi. Ia bukan sekadar kata pinjaman; ia adalah saluran untuk presisi ilmiah dan metodologi temporal yang baru.
Meskipun istilah fonetiknya ‘Alleil’ atau ‘Al Layl’ mungkin telah menghilang dari leksikon Latin umum setelah periode Abad Pertengahan, esensinya—pengukuran waktu malam yang presisi dan seragam—berhasil diintegrasikan ke dalam kerangka berpikir ilmiah Barat. Astronomi, astrologi, dan bahkan kedokteran di Eropa Abad Pertengahan tidak akan pernah sama setelah adopsi konsep yang dibawa oleh istilah ini.
Warisan Al-Lail adalah bukti nyata bahwa bahasa berfungsi sebagai jembatan, membawa bukan hanya kata, tetapi juga struktur kognitif dan sistem pengetahuan yang kompleks. Dengan mempelajari bagaimana para penerjemah berjuang untuk mengadaptasi kata ‘Malam’ ini, kita mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang fondasi di mana ilmu pengetahuan modern Barat dibangun, yaitu melalui dialog dan sintesis peradaban yang kaya di bawah bayangan ‘Al-Lail’.
Seluruh proses ini menunjukkan betapa pentingnya istilah-istilah yang kelihatannya sederhana dapat menjadi sangat penting ketika mereka berfungsi sebagai penanda untuk seluruh sistem pengetahuan yang kompleks. Al-Lail, malam yang diukur dan dipelajari, kini selamanya tertanam dalam sejarah intelektual Latin.