Surat Al Fatihah, yang dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Quran), adalah permata tak ternilai dalam mushaf. Ia merupakan surat pertama dan paling sering dibaca, diulang minimal tujuh belas kali setiap hari dalam shalat fardhu. Keagungan surat ini tidak hanya terletak pada makna filosofis dan spiritualnya yang mendalam, tetapi juga pada keunikan dan ketelitian dalam penulisannya, yang dikenal sebagai Rasm Utsmani. Memahami penulisan Al Fatihah adalah memahami fondasi ortografi suci Al-Quran, yang menjadi jaminan bagi terpeliharanya bacaan (Qira'at) otentik dari generasi ke generasi.
Penulisan Al Fatihah, seperti seluruh Al-Quran, berpegang teguh pada kaidah Rasm Utsmani, sebuah sistem ejaan yang ditetapkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Rasm ini berbeda dengan ejaan Arab standar (Rasm Imla’i) kontemporer. Perbedaan ini bukan sekadar masalah gaya, melainkan sebuah metode yang dirancang secara ilahiah untuk mengakomodasi dan melestarikan keragaman bacaan yang diturunkan langsung dari Rasulullah ﷺ.
Rasm Utsmani adalah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara penulisan huruf-huruf Al-Quran. Dalam konteks Al Fatihah, kaidah-kaidah penulisan ini memastikan bahwa setiap kata dapat dibaca sesuai dengan riwayat tujuh qira'at mutawatir yang sah. Inilah bukti otentisitas yang melampaui perubahan bahasa dan dialek sepanjang sejarah Islam.
Penulisan Al Fatihah melibatkan beberapa kaidah utama Rasm Utsmani yang harus dipahami secara menyeluruh:
Ketelitian dalam prinsip-prinsip ini memastikan bahwa Rasm Utsmani berfungsi sebagai peta jalan visual bagi para Qari, bukan sekadar transkripsi fonetik. Setiap penambahan atau pengurangan huruf memiliki implikasi hukum bacaan (Tajwid) yang mendalam dan harus ditaati tanpa kompromi.
Untuk memahami kedalaman penulisan Al Fatihah, kita perlu membedah setiap ayat, mengidentifikasi kaidah Rasm yang diterapkan, dan bagaimana kaidah tersebut mempengaruhi Qira'at.
Walaupun Basmalah sering dihitung sebagai ayat terpisah, dalam konteks Al Fatihah, ia adalah ayat pertama menurut pendapat ulama Mazhab Syafi'i. Kaidah Rasm yang paling menonjol di sini adalah Al-Hadzf (Penghapusan) pada kata اسم (Ism/Nama) dan الرحمن (Ar-Rahman).
Pada ayat ini, penulisan relatif mengikuti ejaan standar, namun terdapat nuansa penting dalam kata الْعَالَمِينَ (Al-'Alamin).
Diagram Konseptual Peran Rasm Utsmani
Ayat 3 mengulangi sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Penulisan Ar-Rahman tetap menggunakan kaidah Al-Hadzf (penghapusan Alif setelah Mim).
Ayat 4 adalah titik krusial dalam studi Rasm dan Qira'at:
Ayat ini menekankan tauhid melalui pengutamaan objek (إِيَّاكَ). Dari segi penulisan, kata ini tidak mengandung kaidah Rasm yang ekstrem, namun strukturnya penting:
Dua ayat terakhir ini menampilkan salah satu perbedaan Rasm yang paling terkenal, yaitu pada kata الصِّرَاطَ (As-Shirath) (Jalan).
Penulisan Al Fatihah tidak terlepas dari sejarah kodifikasi Al-Quran secara keseluruhan. Kekakuan Rasm Utsmani adalah hasil dari kesepakatan para Sahabat, bukan sekadar keputusan tata bahasa. Pada masa Utsman bin Affan, perselisihan muncul di antara kaum Muslimin mengenai cara membaca Al-Quran karena perbedaan dialek Arab (disebut Ahruf Sab'ah).
Utsman memerintahkan penyusunan Mushaf standar (Mushaf Al-Imam) yang didasarkan pada suhuf Hafsah dan diawasi oleh komite yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Mushaf ini, yang ditulis dalam dialek Quraisy, ditujukan untuk menyatukan umat Islam di atas satu rangka tulisan (Rasm).
Keputusan kunci yang sangat relevan dengan Al Fatihah adalah bahwa Rasm yang dipilih harus mampu menampung semua riwayat yang valid dari Rasulullah ﷺ. Sebagai contoh, dalam Al Fatihah, penulisan مَالِكِ tanpa harakat atau titik (pada masa awal) memungkinkan pembacaan 'Maaliki' atau 'Maliki' – ini menunjukkan betapa cerdasnya sistem Rasm ini dalam melestarikan pluralitas.
Memahami penulisan Al Fatihah memerlukan pemahaman yang kuat tentang perbedaan mendasar antara Rasm Utsmani dan Rasm Imla’i (ejaan standar Arab modern).
| Kata dalam Al Fatihah | Rasm Utsmani | Rasm Imla’i (Standar) | Kaidah Rasm |
|---|---|---|---|
| Nama (Ism) | بِسْمِ | بِإِسْمِ | Hadzf (Penghapusan Alif) |
| Maha Pengasih (Rahman) | الرَّحْمٰنِ | الرَّحْمَانِ | Hadzf (Penghapusan Alif tengah) |
| Orang Tersesat (Dhâllîn) | الضَّالِّينَ | الضَّالِّينَ (Sama) | Ziyadah (Penambahan Alif pada Mushaf Kuno) |
Kesetiaan terhadap Rasm Utsmani dalam Al Fatihah adalah bentuk kepatuhan terhadap sunnah penulisan yang telah disepakati oleh Sahabat. Penyimpangan dari Rasm ini, bahkan jika secara fonetik benar, dianggap penyimpangan dari tradisi kodifikasi Al-Quran yang dijaga.
Penulisan setiap kata dalam Al Fatihah memiliki bobot gramatikal yang menopang maknanya. Ilmu Nahwu (Gramatika) menjelaskan mengapa bentuk tulisan tersebut dipilih dan bagaimana ia mempertahankan fungsi sintaksisnya yang sempurna.
Dalam bahasa Arab, urutan kata normalnya adalah Kata Kerja (Fi’il) diikuti Subjek (Fa'il) dan Objek (Maf’ul). Kalimat نَعْبُدُ إِيَّاكَ (Na'budu Iyyaka) akan berarti 'Kami menyembah-Mu'. Namun, Al-Quran menulis إِيَّاكَ نَعْبُدُ. Penulisan dan peletakan إِيَّاكَ (kata ganti objek) di awal kalimat merupakan kaidah gramatikal untuk Al-Hashr wal Qasr, yaitu pembatasan atau eksklusivitas.
Penulisan ini secara tegas menyatakan: "Hanya kepada-Mu Kami menyembah." Struktur tulisan ini adalah representasi visual yang sempurna dari makna tauhid rububiyyah dan uluhiyyah yang terkandung di dalamnya. Rasm Utsmani memastikan penulisan kata ini tidak terpisah, menjaga integritas gramatikal dan semantik.
Ketepatan Rasm dalam Al Fatihah adalah kunci untuk mempertahankan I'jaz Nahwi (kemukjizatan gramatikal) Al-Quran. Setiap huruf yang ditulis atau dihilangkan berfungsi sebagai jaminan bahwa pembacaan dan pemahaman gramatikalnya tetap tak tertandingi.
Mengapa penulisan Al Fatihah harus dipelajari secara mendalam? Jawabannya terletak pada keterkaitannya dengan ilmu Qira’at (ilmu bacaan Al-Quran). Rasm Utsmani adalah rumah besar yang menampung variasi bacaan yang sah.
Mari kita kembali pada ayat مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ.
Rasm Utsmani yang menulisnya dengan Alif (مَالِكِ) secara visual mendukung Qira’at Hafs ‘an ‘Ashim yang membaca Maaliki (dengan vokal panjang). Namun, karena titik dan harakat belum ada pada Mushaf Utsmani awal, Qira'at lain, seperti Qira'at Nafi’ dan Abu Ja’far, yang membaca Maliki (Raja), juga bisa dimuat dalam Rasm yang sama dengan asumsi bahwa Alif tersebut adalah Alif Ziyadah (tambahan) atau dihilangkan (Hadzf).
Inilah mukjizat Rasm: satu bentuk tulisan berfungsi sebagai basis untuk beberapa bentuk pengucapan yang telah ditetapkan secara otentik. Penulisan Al Fatihah adalah pelajaran dasar tentang bagaimana Rasm menjadi konsensus yang meminimalkan perselisihan saat terjadi diversitas bacaan.
Kata الصِّرَاطَ (As-Shirath) memberikan contoh lain. Sebagian besar Mushaf dicetak sesuai Rasm yang menggunakan huruf Shad (ص). Namun, ulama Qira’at mencatat bahwa ada dua qira'at mayoritas yang membaca kata ini dengan huruf Sin (س) atau menggabungkan bunyi (Isymam).
Para ulama Rasm menjelaskan bahwa meskipun tulisan pokoknya adalah Shad, Al-Quran memiliki kaidah Al-Ibdal (Penggantian) di mana tulisan Shad berfungsi sebagai 'wadah' bagi bunyi Sin. Karena bunyi Shad dan Sin berdekatan dalam makjraj (tempat keluar huruf), penulisan Shad mengakomodasi kedua bacaan, mencegah perlunya mencetak dua Mushaf berbeda untuk Al Fatihah.
Penulisan Al Fatihah juga merupakan subjek utama dalam seni kaligrafi Islam (Khat). Keindahan visual dari surat ini memperkuat kekhidmatan maknanya. Para kaligrafer berusaha keras untuk menampilkan Rasm Utsmani dengan detail artistik tertinggi.
Representasi Keindahan Khat Naskh
Dalam kaligrafi, kaidah Rasm Utsmani (misalnya, penghapusan Alif pada *Ar-Rahman*) tidak boleh dilanggar. Seniman harus menyeimbangkan antara estetika artistik dan kepatuhan mutlak terhadap ortografi suci. Keindahan tulisan بِسْمِ اللَّهِ tanpa Alif di kata 'Ism' menjadi penanda visual yang dihormati dan unik bagi Al-Quran.
Meskipun Rasm Utsmani adalah landasan, ia sering kali menjadi tantangan bagi pembelajar pemula karena perbedaannya dengan ejaan standar. Oleh karena itu, para ulama mengembangkan metode pengajaran untuk membantu umat memahami penulisan Al Fatihah dan surat lainnya.
Pada awalnya, Mushaf Utsmani ditulis tanpa titik (I'jam) dan harakat (Syakl). Ini adalah bagian dari fleksibilitas Rasm. Namun, untuk mencegah kesalahan bacaan, ulama-ulama seperti Abu Al-Aswad Ad-Du'ali, Yahya bin Ya’mar, dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi memperkenalkan sistem Dhabt (tanda baca, seperti dammah, fathah, kasrah, syaddah, dan mad).
Dalam penulisan Al Fatihah modern:
Ketaatan pada penulisan Rasm Utsmani adalah keharusan mutlak bagi setiap Muslim yang ingin menjaga keaslian bacaannya. Perubahan ejaan, sekecil apa pun, dapat dianggap sebagai bid'ah dalam penulisan Al-Quran, karena ia berpotensi merusak rantai sanad Qira'at mutawatir.
Penulisan Surat Al Fatihah bukan sekadar urusan ejaan; ia adalah penjaga lisan, warisan historis, dan keindahan artistik yang terjalin dalam satu kesatuan. Setiap aspek penulisan, mulai dari Hadzf Alif pada Bism hingga fleksibilitas Shad pada As-Shirath, melayani tujuan yang lebih tinggi: melestarikan seluruh riwayat bacaan yang diturunkan dari Rasulullah ﷺ.
Secara garis besar, empat kaidah utama Rasm Utsmani bekerja secara harmonis dalam tujuh ayat Al Fatihah:
Bagi umat Islam, Mushaf Utsmani, yang dimulai dengan Al Fatihah, adalah dokumen terpenting yang membuktikan keotentikan teks suci ini. Mempelajari penulisan Al Fatihah adalah langkah awal yang fundamental menuju apresiasi yang lebih dalam terhadap ilmu-ilmu Al-Quran dan jaminan bahwa pembacaan kita selaras dengan sanad yang tak terputus dari Nabi Muhammad ﷺ.
Kajian mendalam ini menegaskan kembali bahwa ortografi Al Fatihah tidak bisa disamakan dengan ejaan konvensional; ia adalah warisan ilahiah yang dipertahankan melalui ketekunan dan konsensus para Sahabat, menjadikannya standar abadi yang mengikat semua generasi umat Islam di seluruh dunia.
Pentingnya konsistensi dalam penulisan ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga ritualistik. Ketika seorang Muslim berdiri dalam shalat, ia mengulangi kata-kata yang visual dan fonetiknya telah dijaga dengan presisi absolut, memastikan bahwa setiap huruf yang diucapkan memiliki kaitan langsung dengan sumber wahyu. Inilah yang membedakan Al Fatihah—dan seluruh Al-Quran—dari semua teks suci lainnya. Keutamaan Rasm Utsmani menjadi payung yang melindungi bacaan dari distorsi dan kesalahan yang mungkin timbul akibat perubahan dialek atau perkembangan tata bahasa Arab modern.
Dengan demikian, penulisan Al Fatihah merupakan pelajaran abadi tentang kesakralan ortografi dan perlunya kepatuhan total terhadap warisan Mushaf Al-Imam. Setiap kali kita membuka Mushaf, kita melihat bukan hanya rangkaian kata, tetapi sebuah monumen sejarah dan linguistik yang berdiri kokoh melintasi zaman, dimulai dengan baris-baris suci Ummul Kitab.
Kaidah Al-Hadzf adalah pilar Rasm Utsmani dan sangat menonjol di Al Fatihah. Penghapusan Alif pada kata-kata tertentu bukanlah kebetulan, melainkan penetapan metodis. Jika kita menganalisis tiga kata kunci: Bism, Lillahi, dan Ar-Rahman, pola Hadzf menjadi jelas.
1. Hadzf pada Lafadz Ism (اسم): Kata بِسْمِ (dengan menghilangkan Alif) hanya terjadi dalam Mushaf pada konteks Basmalah yang disambung dengan Ba'. Jika kata 'Ism' berdiri sendiri atau disambung dengan huruf lain (selain Ba' dalam Basmalah), Alif tetap ditulis (إِسْم). Penghapusan ini dikaitkan dengan dua alasan historis utama:
2. Hadzf pada Ar-Rahman (الرَّحْمٰنِ): Penghapusan Alif setelah Mim (م) di الرَّحْمٰنِ adalah Hadzf yang disengaja. Dalam Rasm Imla'i, kata ini pasti ditulis dengan Alif besar: الرَّحْمَان. Penghilangan Alif ini seringkali dijustifikasi oleh ulama Rasm dengan menyatakan bahwa tulisan Alif yang dihilangkan bertujuan untuk mengingatkan pembaca bahwa meskipun dibaca panjang, asal kata ini tidak selalu memerlukan Alif secara etimologis, atau untuk membedakannya dari penggunaan kata 'Rahman' di luar konteks Qur’ani.
Penanda kecil (Alif Khănjariah) yang kita lihat di mushaf modern (الرَّحْمٰنِ) adalah hasil dari upaya ulama Dhabt pasca-Sahabat untuk mempermudah bacaan, memastikan generasi berikutnya tetap membaca mad yang benar, meskipun Alif besarnya telah dihilangkan oleh Rasm Utsmani.
3. Hadzf pada Lafadz Jalalah (Allah - اللَّهِ): Di setiap lafadz Allah dalam Al Fatihah, terjadi Hadzf Alif setelah Lam pertama. Sekali lagi, ini adalah Hadzf karena terlalu seringnya penggunaan (كثرة الاستعمال) dan untuk meringankan penulisan. Kaidah ini konsisten di seluruh Al-Quran.
Pemahaman mendalam tentang Hadzf dalam Al Fatihah menunjukkan betapa disiplin dan sistematisnya Rasm Utsmani. Ia bukan sekadar ejaan yang salah; ia adalah sistem ejaan yang memiliki tujuan suci.
Dalam Al Fatihah, penulisan mad (vokal panjang) terkait erat dengan Az-Ziyadah (penambahan) dan Hadzf (penghapusan). Dua contoh paling vital adalah مَالِكِ dan الضَّالِّينَ.
Mad pada Mâliki: Seperti yang dibahas sebelumnya, penulisan مَالِكِ dengan Alif menunjukkan Mad Thabi'i. Namun, jika Mushaf Utsmani aslinya memungkinkan bacaan 'Maliki' (tanpa Alif panjang), maka Alif yang kita lihat dalam tulisan 'Maaliki' bisa dikategorikan sebagai Alif Ziyadah Fi Al-Rasm yang kemudian dijadikan dasar bagi sebagian Qira'at untuk membacanya panjang.
Mad Lazim pada Adh-Dhâllîn: Kata وَلَا الضَّالِّينَ adalah satu-satunya kata dalam Al Fatihah yang mengandung Mad Lazim Kalimi Mutsaqqal (mad enam harakat). Penulisan Rasm di sini sangat unik. Pada Mushaf Utsmani kuno, kata ini ditulis dengan dua Alif (الضّآلِّيْنَ). Alif pertama berfungsi sebagai huruf Mad, dan Alif kedua (Alif Ziyadah) ditambahkan setelah huruf Dhal (ض) untuk menekankan perpanjangan bunyi yang ekstrem sebelum tasydid.
Penambahan Alif yang tidak dibaca ini (Ziyadah) adalah isyarat visual kepada Qari tentang perlunya Mad yang sangat panjang, membedakan lafaz ini dari kata-kata yang hanya memerlukan dua harakat. Ini adalah contoh sempurna di mana penulisan memandu tajwid, bukan sebaliknya.
Ulama fiqih dan ulama Rasm sepakat bahwa Mushaf harus ditulis berdasarkan Rasm Utsmani, dan tidak boleh mengikuti Rasm Imla’i (ejaan standar modern). Alasan utamanya adalah ta'abbud (peribadatan/kepatuhan ritual).
Tantangan Modernisasi Ejaan: Jika kita mengubah penulisan Al Fatihah menjadi Rasm Imla’i, misalnya dengan menulis بِإِسْمِ الرَّحْمَان (mengembalikan Alif yang dihilangkan), kita menghilangkan kemampuan Rasm tersebut untuk menampung Qira’at yang berbeda. Selain itu, mengubah penulisan sama saja dengan menuduh para Sahabat telah melakukan kesalahan ejaan, sebuah tuduhan yang sangat serius.
Rasm Sebagai Simbol Kesatuan: Al Fatihah adalah surat yang menyatukan umat Islam. Rasm Utsmani adalah satu-satunya ejaan yang diterima secara universal sebagai standar. Ia berfungsi sebagai simbol persatuan tekstual (Orthographic Unity) yang mencegah fragmentasi teks Al-Quran di tengah keragaman bahasa dan dialek di dunia Islam.
Konsensus para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dan ulama Rasm (seperti Ad-Dani dan Asy-Syathibi) menegaskan keharusan mempertahankan penulisan Al Fatihah sesuai Mushaf Utsmani, tidak peduli seberapa "aneh" penulisan tersebut jika dilihat dari sudut pandang tata bahasa modern.
Dalam pendidikan Al-Quran, pengenalan Rasm Utsmani seringkali dimulai dengan Al Fatihah karena frekuensi penggunaannya. Namun, metode pengajaran harus membedakan antara Rasm (skeleton huruf) dan Dhabt (tanda baca).
Ketika anak-anak diajarkan membaca الرَّحْمٰنِ, mereka harus diajarkan bahwa meskipun ada Alif kecil di atas Mim, Alif besar dihilangkan. Hal ini menanamkan kesadaran ortografi sejak dini, mempersiapkan mereka untuk mengenali perbedaan Rasm di seluruh 114 surat. Kesalahan fatal yang sering terjadi adalah mengajarkan ejaan Al Fatihah berdasarkan fonetik tanpa merujuk pada kaidah Rasm yang sebenarnya. Penulisan yang benar adalah ketaatan; pembacaan yang benar adalah Tajwid.
Dengan menguraikan setiap detail penulisan Al Fatihah, kita tidak hanya belajar tentang sejarah tekstual, tetapi juga mengukuhkan keyakinan bahwa teks yang kita pegang adalah persis seperti yang disetujui oleh generasi pertama umat Islam, dilindungi dari perubahan dan kesalahan oleh sistem ortografi yang bijaksana dan suci.
Keseluruhan penulisan Al Fatihah merupakan mahakarya linguistik dan ortografis, membuktikan bahwa bahkan detail terkecil seperti penghapusan satu huruf Alif memiliki tujuan yang monumental dalam menjaga keutuhan wahyu ilahi.