Dalam percakapan sehari-hari, banyak dari kita sering menggunakan ungkapan "Insya Allah" ketika berbicara tentang rencana atau harapan di masa depan. Namun, terkadang cara penulisannya menimbulkan perdebatan, seperti "Insya Allah", "Insha Allah", atau bahkan "InsyaAllah". Pertanyaannya, manakah penulisan yang paling tepat, terutama jika kita merujuk pada sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an?
Untuk memahami kebenaran penulisan "Insya Allah", kita perlu kembali ke akar kata dalam bahasa Arab dan bagaimana lafaz ini muncul dalam kitab suci Al-Qur'an. Kata "Insya Allah" berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti "Jika Allah menghendaki". Frasa ini merupakan bentuk penegasan bahwa segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan adalah atas kehendak dan kuasa mutlak Allah SWT.
Al-Qur'an sendiri memberikan petunjuk yang jelas mengenai penggunaan dan penulisan frasa ini. Terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang mengandung makna dan lafaz "Insya Allah" atau variasi yang merujuk pada makna yang sama. Salah satu ayat yang paling sering dijadikan rujukan adalah Surah Al-Kahfi ayat 23-24:
"Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan tentang sesuatu, 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan yang demikian itu, **sekarang juga**', kecuali (dengan mengucapkan): '**insya Allah**' (jika Allah menghendaki). Dan ingatlah, jika engkau lupa, maka sebutlah Tuhanmu dan katakanlah: 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat dari ini'."
Dalam ayat ini, kata yang digunakan adalah "إِنْ شَاءَ ٱللَّٰهُ" (in syāʾa -llāh). Mari kita bedah komponennya:
Jika digabungkan, maka frasa ini bermakna "Jika Allah berkehendak". Penulisan dalam bahasa Arab ini jelas menunjukkan pemisahan antara ketiga kata tersebut. Dalam transliterasi ke dalam bahasa Latin, pemisahan ini seharusnya tetap dipertahankan untuk mencerminkan makna aslinya.
Berdasarkan dalil Al-Qur'an dan makna aslinya dalam bahasa Arab, penulisan yang paling akurat dan mendekati lafaz aslinya dalam bahasa Indonesia adalah dengan memisahkannya menjadi tiga kata: "Insya Allah".
Mengapa demikian?
Terkadang, karena kemudahan atau kebiasaan, frasa ini ditulis serangkai menjadi "InsyaAllah" atau digabung menjadi "InsyaAllah". Penulisan gabungan ini secara gramatikal dan makna kurang tepat jika merujuk pada sumber aslinya. Penggabungan tersebut dapat menghilangkan nuansa makna bahwa ini adalah sebuah kondisional ("jika") yang bergantung pada kehendak Allah.
Meskipun dalam bahasa sehari-hari masyarakat luas sudah terbiasa dengan berbagai bentuk penulisan, namun sebagai seorang Muslim yang berupaya mengikuti ajaran agama dengan benar, memahami dan mengamalkan penulisan yang paling mendekati kebenaran adalah sebuah bentuk ikhtiar.
Lebih dari sekadar masalah penulisan, penggunaan "Insya Allah" adalah sebuah pengingat spiritual yang mendalam. Mengucapkan atau menulisnya berarti mengakui keterbatasan diri dan kekuasaan absolut Allah. Ini adalah bentuk tawadhu' (kerendahan hati) dan penyerahan diri kepada kehendak-Nya.
Ketika kita berjanji atau merencanakan sesuatu, hendaknya kita selalu menyertakan ungkapan ini. Hal ini bukan hanya untuk menghindari kebohongan jika rencana tidak terwujud (sebagaimana diingatkan dalam Surah Al-Kahfi), tetapi juga sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.
Dengan menjaga kebenaran penulisan "Insya Allah", kita turut menjaga keakuratan makna dan menghargai ajaran Al-Qur'an. Mari kita biasakan untuk menulis dan mengucapkannya dengan pemahaman yang benar, yaitu memisahkan antara "Insya" dan "Allah", sebagai bentuk pengakuan atas kekuasaan-Nya dan kerendahan hati kita sebagai makhluk.