Konsep Qadar Allah, atau ketetapan dan takdir Ilahi, merupakan salah satu pilar fundamental (Rukun Iman) dalam akidah Islam. Keimanan terhadap takdir ini bukanlah sekadar pengakuan pasif terhadap apa yang telah terjadi, melainkan sebuah pemahaman holistik yang menyentuh inti dari tauhid, keesaan Allah, serta sifat-sifat-Nya yang Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak. Memahami Qadar adalah kunci untuk mencapai ketenangan jiwa dan membangun sikap tawakkal yang benar, di mana seorang hamba berikhtiar semaksimal mungkin, namun menyerahkan hasil akhir sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Secara bahasa, ‘Qada’ sering diartikan sebagai ketetapan, keputusan, atau penentuan yang bersifat global dan menyeluruh sejak zaman azali, sebelum segala sesuatu diciptakan. Sementara ‘Qadar’ merujuk pada perwujudan atau pelaksanaan dari ketetapan tersebut dalam ukuran, waktu, dan detail yang spesifik. Meskipun keduanya sering digunakan secara bergantian, dalam pembahasan teologis yang lebih mendalam, Qada adalah rencana keseluruhan, sedangkan Qadar adalah implementasi bertahap dari rencana tersebut di alam semesta.
Inti dari keimanan terhadap takdir adalah keyakinan mutlak bahwa segala sesuatu, baik yang baik maupun yang buruk, yang tampak menyenangkan maupun yang terasa menyakitkan, terjadi di bawah ilmu, kehendak, dan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Keyakinan ini menyingkirkan anggapan bahwa kejadian alam semesta terjadi secara kebetulan atau diatur oleh kekuatan lain selain Allah.
Iman kepada Qadar menempati posisi keenam dalam Rukun Iman. Rasulullah ﷺ bersabda: "Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk." Keimanan ini menjadi penentu kualitas tauhid seseorang, karena menafikan takdir berarti menafikan kesempurnaan ilmu dan kekuasaan Allah.
Dalam praktiknya, Qadar berfungsi sebagai timbangan yang mengatur respons emosional dan spiritual seorang mukmin. Ketika meraih kesuksesan, ia sadar bahwa hal itu adalah karunia dan ketetapan Allah, sehingga terhindar dari kesombongan. Sebaliknya, ketika menghadapi kesulitan atau musibah, ia meyakini bahwa itu adalah ujian atau ketetapan yang memiliki hikmah, sehingga terhindar dari keputusasaan atau penolakan terhadap takdir Tuhan.
Konsep Qadar memiliki pijakan yang kokoh dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Banyak ayat yang menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Penentu setiap peristiwa. Pemahaman dalil-dalil ini sangat penting untuk mencegah pemikiran fatalistik yang salah atau, sebaliknya, pemikiran yang menafikan sama sekali peran Tuhan dalam kejadian di dunia.
Hadits-hadits Rasulullah ﷺ memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana Qadar bekerja, terutama pada tahap penciptaan manusia dan penetapan rezeki serta ajalnya:
Hadits Jibril yang masyhur, yang mencakup enam rukun iman, menegaskan Qadar sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan. Selain itu, terdapat hadits Ibnu Abbas yang berbunyi: "Ketahuilah, sekiranya umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberikannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sekiranya mereka bersatu untuk mencelakakanmu, mereka tidak akan mampu mencelakakanmu kecuali dengan apa yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (HR. Tirmidzi).
Hadits ini mengajarkan konsep kebergantungan total kepada Allah, yang merupakan manifestasi praktis dari pemahaman Qadar. Seorang mukmin tidak bergantung pada kekuatan manusia atau materi, melainkan pada kehendak Ilahi yang telah menetapkan segalanya.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyepakati bahwa keimanan terhadap Qadar harus mencakup empat tingkatan yang tidak boleh dipisahkan. Keempat tingkatan ini menjelaskan urutan logis bagaimana ketetapan Allah diwujudkan, mulai dari pengetahuan-Nya yang azali hingga eksekusi final di alam nyata. Mengingkari salah satu tingkatan ini berarti cacat dalam keimanan terhadap takdir.
Tingkatan pertama adalah keyakinan bahwa Allah ﷻ telah mengetahui secara sempurna segala sesuatu yang akan terjadi, yang sedang terjadi, dan yang tidak akan terjadi—bahkan jika ia terjadi, bagaimana ia akan terjadi. Pengetahuan-Nya bersifat azali (tanpa permulaan), meliputi detail terkecil dan terbesar, baik perbuatan Allah maupun perbuatan hamba-Nya.
Ilmu dan Kitabah: Lauh Mahfuzh, tempat segala ketetapan tercatat.
Setelah Ilmu, tingkatan kedua adalah keyakinan bahwa Allah ﷻ telah mencatat segala sesuatu yang akan terjadi hingga Hari Kiamat di dalam Lauh Mahfuzh (Lembaran yang Terpelihara) 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.
Tingkatan ketiga adalah keimanan bahwa tidak ada satu pun peristiwa—apakah berupa perbuatan Allah (seperti hujan, kematian) atau perbuatan manusia (seperti beribadah, maksiat)—yang terjadi kecuali dengan kehendak (Masyi’ah) Allah ﷻ.
Kehendak Allah dibagi menjadi dua kategori penting, yang sangat krusial untuk memecahkan dilema takdir dan kehendak bebas:
Pembedaan ini menjelaskan bahwa meskipun kemaksiatan terjadi karena kehendak (kauniyah) Allah agar ia ada, kemaksiatan itu tidak terjadi atas ridha dan kecintaan (syar’iyah) Allah.
Tingkatan terakhir adalah keyakinan bahwa Allah ﷻ adalah Pencipta segala sesuatu. Dialah yang menciptakan perbuatan hamba-Nya dan juga hasil dari perbuatan tersebut. Manusia hanya melakukan *kasb* (usaha atau pengakuan terhadap perbuatan), tetapi Allah yang menciptakan gerakan, kemampuan, dan hasil dari usaha itu.
Ini membedakan pandangan Islam moderat dari dua ekstrim: kelompok Jabariyah yang menafikan total kehendak bebas manusia, dan kelompok Qadariyah yang menafikan bahwa Allah menciptakan perbuatan hamba. Menurut Ahlus Sunnah, hamba memiliki kemampuan (istitha’ah) dan pilihan (ikhtiyar), tetapi kemampuan itu sendiri diciptakan oleh Allah, dan perwujudan aksinya juga bergantung pada ciptaan-Nya.
Debat mengenai takdir dan kehendak bebas adalah isu filosofis-teologis tertua dalam sejarah pemikiran manusia. Dalam Islam, masalah ini diselesaikan dengan menetapkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang sejati, namun kehendak tersebut berfungsi dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Qadar Allah.
Manusia dibekali dengan akal (untuk membedakan) dan hati (untuk merasakan), yang menempatkannya sebagai makhluk yang bertanggung jawab (mukallaf). Para ulama membagi perbuatan manusia menjadi dua kategori: perbuatan yang tidak memiliki pilihan dan perbuatan yang memiliki pilihan.
Konsep Kasb, yang dikembangkan oleh ulama, menjelaskan bahwa manusia "mengakuisisi" atau "mendapatkan" perbuatan. Walaupun Allah menciptakan tindakan itu, manusia yang memilih dan mengarahkan niatnya terhadap tindakan tersebut. Ibarat sebuah pisau yang diciptakan oleh Allah; manusia memilih apakah akan menggunakannya untuk memasak (kebaikan) atau untuk melukai (kejahatan). Dalam hal ini, manusia bertanggung jawab atas pilihan niat dan arah penggunaan pisau tersebut.
Pandangan Islam yang benar menempati posisi tengah (wasathiyah):
Ahlus Sunnah meyakini bahwa manusia adalah pelaku sejati dari pilihannya, yang menjadikannya bertanggung jawab, namun pilihan dan kemampuan untuk bertindak itu berada dalam cakupan Qadar Allah. Jadi, kita bertanggung jawab atas usaha kita, sementara hasil dan kemampuan dasarnya adalah ciptaan Allah.
Salah satu poin penting dalam diskusi Qadar adalah peran doa. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa doa dapat mengubah takdir. Ini menimbulkan pertanyaan: Jika takdir sudah tertulis, bagaimana mungkin ia berubah?
Jawabannya terletak pada pemahaman bahwa perubahan yang dimaksud terjadi pada catatan takdir yang bersifat mu’allaq (bergantung/tergantung), bukan pada Lauh Mahfuzh (Qadar Mubram) yang tidak berubah. Di Lauh Mahfuzh, sudah tertulis: "Fulan akan sakit, lalu ia berdoa, maka ia akan sembuh." Dengan demikian, doa dan perubahan itu sendiri adalah bagian dari Qadar yang telah ditetapkan Allah sejak azali.
Doa tidak melawan takdir; doa adalah salah satu sebab (sabab) yang Allah sediakan untuk mewujudkan hasil yang lebih baik. Doa adalah ibadah yang paling kuat, yang menunjukkan kebergantungan total kepada Allah setelah berikhtiar.
Timbangan (Mizan) menunjukkan bahwa manusia memiliki pilihan antara kebaikan dan keburukan.
Allah ﷻ adalah Al-Hakim (Maha Bijaksana). Segala ketetapan-Nya mengandung hikmah yang mendalam, meskipun akal manusia seringkali terbatas untuk memahaminya secara utuh. Keimanan terhadap Qadar memberikan manfaat psikologis dan spiritual yang luar biasa bagi seorang mukmin.
Ketika seseorang sukses atau mendapatkan nikmat, kesadaran bahwa hal itu terjadi semata-mata karena Qadar Allah (sebagai karunia, bukan hasil semata dari kecerdasan atau kekuatannya) akan menundukkan kesombongan. Kesuksesan adalah ujian rasa syukur. Allah berfirman: "Supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu." (QS. Al-Hadid: 23).
Bencana, kegagalan, kehilangan, dan kematian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Keimanan yang kuat terhadap Qadar memastikan bahwa musibah tidak menjerumuskan hamba ke dalam keputusasaan (ya's). Jika seseorang yakin bahwa segala sesuatu telah tertulis dan terjadi atas izin Allah, ia akan lebih mudah bersabar (sabr) dan berharap pahala dari Allah.
Sebaliknya dari pemahaman fatalistik, iman kepada Qadar justru memicu semangat beramal dan berikhtiar. Mengapa? Karena Allah telah menetapkan sebab dan akibat. Rezeki ditetapkan, tetapi Allah mewujudkannya melalui ikhtiar kerja. Kesembuhan ditetapkan, tetapi Allah mewujudkannya melalui ikhtiar pengobatan. Menunggu hasil tanpa berusaha adalah kesalahpahaman terhadap Qadar. Ikhtiar adalah ibadah, dan hasil adalah ketetapan. Rasulullah ﷺ bahkan mendorong Sahabat untuk berikhtiar meskipun mereka tahu semua sudah ditetapkan, karena setiap orang akan dimudahkan menuju apa yang telah diciptakan untuknya.
Keimanan terhadap Qadar adalah manifestasi dari Tauhid Rububiyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan pengaturan). Ini berarti tidak ada yang dapat memberi manfaat atau mencelakakan kecuali Allah. Hal ini menghilangkan rasa takut kepada makhluk (seperti sihir, manusia, atau nasib buruk) dan memfokuskan hati hanya pada Allah (Tawakkal).
Bagaimana seorang mukmin mengaplikasikan keimanan terhadap Qadar dalam berbagai aspek kehidupannya? Ini adalah jembatan antara teologi dan amal perbuatan, yang menghasilkan sikap Tawakkal yang benar.
Tawakkal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah setelah mengambil semua sebab yang diizinkan syariat (ikhtiar). Tawakkal yang buta adalah fatalisme, sedangkan tawakkal yang benar adalah ibadah hati yang menyertai ibadah fisik (usaha).
Contoh klasik adalah kisah seorang badui yang meninggalkan untanya tanpa diikat. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab, "Aku bertawakkal kepada Allah." Nabi ﷺ kemudian bersabda: "Ikatlah (untamu), baru kemudian bertawakkal." Ini mengajarkan bahwa mengambil sebab adalah bagian dari takdir yang Allah perintahkan.
Ketika seseorang berusaha keras dalam bisnis, belajar, atau mencari pasangan hidup, namun gagal, ia tidak boleh menyalahkan dirinya secara berlebihan atau menyalahkan orang lain. Ia meyakini bahwa hasil itu adalah Qadar Allah yang memiliki hikmah tersembunyi. Kegagalan berfungsi sebagai penguji keikhlasan, mengarahkan pada muhasabah (introspeksi), dan mencegah rasa frustrasi yang mendalam.
Rasulullah ﷺ melarang ucapan "Seandainya saja aku berbuat begini, pasti akan terjadi begini..." setelah suatu musibah atau kegagalan yang tidak dapat dihindari. Ucapan ini disebut membuka pintu bagi setan dan menunjukkan penolakan terhadap takdir. Sebaliknya, seorang mukmin berkata: "Qaddarallahu wa ma sya'a fa'ala" (Allah telah menakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki Dia perbuat).
Penyakit dan kesehatan adalah Qadar. Namun, mencari pengobatan (berobat) juga adalah Qadar yang diperintahkan. Para sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ, apakah berobat melawan takdir? Nabi menjawab: "Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit melainkan menciptakan pula obatnya." (HR. Abu Dawud). Dengan demikian, obat (sebab) dan kesembuhan (akibat) sama-sama berada dalam kerangka Qadar.
Salah satu pertanyaan teologis paling rumit adalah: Jika Allah menetapkan segala sesuatu, termasuk keburukan (maksiat, bencana), bagaimana ini sesuai dengan sifat-Nya yang Maha Adil dan Maha Baik?
Ulama menjelaskan bahwa keburukan tidak dinisbatkan secara langsung kepada Allah dalam konteks perbuatan hamba, meskipun Dia menciptakannya. Rasulullah ﷺ bersabda dalam doa: "...dan keburukan (syarr) itu tidak dinisbatkan kepada-Mu." Artinya, meskipun Allah menciptakan kemampuan bagi hamba untuk berbuat buruk (Qadar Kauni), Dia tidak meridhainya (Qadar Syar'i) dan hamba bertanggung jawab penuh atas pemilihan keburukan tersebut.
Dalam konteks bencana alam atau musibah, keburukan yang kita rasakan hanyalah relatif dan temporal. Di balik musibah tersebut, terdapat hikmah yang bersifat mutlak, seperti penghapusan dosa, peningkatan derajat, dan pelajaran bagi umat manusia. Jadi, musibah adalah keburukan bagi hamba yang merasakannya, tetapi kebaikan (hikmah) dalam penetapan Allah.
Ajal (batas waktu hidup) dan rezeki (pemberian materi dan non-materi) telah ditetapkan secara pasti di Lauh Mahfuzh. Tidak ada seorang pun yang dapat maju atau mundur ajalnya, bahkan satu detik pun. Demikian pula rezeki; tidak ada seorang pun yang dapat mengambil rezeki milik orang lain.
Namun, penetapan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bermalas-malasan. Nabi ﷺ bersabda bahwa silaturahim dapat memperpanjang umur, dan berbuat baik dapat menambah rezeki. Bagaimana ini selaras dengan Qadar yang telah ditetapkan?
Jawaban yang paling diterima adalah bahwa silaturahim (sebab) dan perpanjangan umur (akibat) sudah tertulis bersama-sama di Lauh Mahfuzh. Allah telah menetapkan: "Jika Fulan melakukan silaturahim, ajalnya adalah X. Jika tidak, ajalnya adalah Y." Jadi, tindakan (silaturahim) itu sendiri adalah bagian dari Qadar yang menentukan hasil akhirnya.
Syafaat di Hari Kiamat adalah contoh bagaimana sebab-sebab (amal saleh, izin Allah, dan syafaat Nabi) beroperasi di bawah Qadar Allah. Keberuntungan seseorang masuk surga adalah Qadar Allah, tetapi Allah telah menetapkan bahwa salah satu cara (sebab) untuk meraihnya adalah melalui rahmat-Nya yang diwujudkan melalui syafaat Nabi Muhammad ﷺ dan amal saleh yang dilakukan di dunia. Syafaat tidak mengubah takdir, tetapi merupakan cara takdir itu diwujudkan.
Di era modern, konsep Qadar sering disalahgunakan, baik untuk membenarkan kemalasan kolektif maupun untuk menolak tanggung jawab individu atas kegagalan moral atau sosial.
Kesalahpahaman terbesar adalah menggunakan Qadar sebagai pembenaran untuk ketidakaktifan atau kemunduran umat. Misalnya, ketika sebuah komunitas menghadapi masalah ekonomi, mereka berkata, "Ini sudah takdir Allah." Padahal, Allah telah menetapkan bahwa kemajuan datang melalui kerja keras, perencanaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Qadar adalah keyakinan hati (iman), bukan justifikasi fisik (amal). Ketika dihadapkan pada masa depan, kita diperintahkan untuk melihatnya dari kacamata Ikhtiyar (usaha), bukan dari kacamata Qadar yang bersifat rahasia. Ketika melihat masa lalu, barulah kita lihat dari kacamata Qadar untuk menenangkan hati.
Seorang pendosa tidak dibenarkan berdalih bahwa maksiat yang ia lakukan adalah takdir Allah yang tak terhindarkan. Jika demikian, mengapa ia menyesal setelah perbuatannya? Jika ia dipaksa, ia tidak perlu menyesal. Kenyataan bahwa ia merasa bersalah, melakukan taubat, atau menerima hukuman duniawi, membuktikan bahwa ia bertindak atas pilihannya sendiri (meskipun kemampuan memilihnya diciptakan Allah).
Allah ﷻ telah menurunkan petunjuk (Al-Qur'an) dan mengutus Rasul (pembimbing), memberikan akal (alat pembeda), dan kemampuan (istitha'ah). Ini semua menunjukkan bahwa manusia diberi alat yang cukup untuk memilih jalan yang benar. Oleh karena itu, ia bertanggung jawab penuh atas pilihannya.
Beberapa orang menahan diri dari tindakan pencegahan (misalnya, menolak pengobatan, menolak tindakan keamanan) dengan alasan "apapun yang terjadi, itu sudah takdir." Sikap ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ yang senantiasa mengambil tindakan pencegahan, seperti memakai baju besi dalam perang atau mengunci pintu. Tindakan pencegahan adalah bagian dari Qadar, yaitu sebab yang harus diambil untuk mencapai hasil yang ditetapkan.
Ilmu pengetahuan modern—seperti fisika, biologi, dan astronomi—hanya mengungkap hukum-hukum alam (Sunnatullah) yang diciptakan dan ditetapkan oleh Allah. Penemuan ilmiah tentang sebab-akibat yang teratur justru memperkuat keimanan pada Qadar, karena ia menunjukkan kesempurnaan dan konsistensi dari Sang Pengatur Alam Semesta.
Keimanan terhadap Qadar Allah adalah pilar spiritual yang menawarkan ketenangan yang tidak dapat ditemukan dalam filosofi duniawi mana pun. Ia mengajarkan bahwa alam semesta tidak berjalan secara acak, melainkan di bawah kendali Yang Maha Penyayang dan Maha Bijaksana.
Kesimpulan dari kajian mendalam ini adalah perlunya menyeimbangkan dua kutub keimanan:
Dengan memegang teguh keseimbangan ini, seorang mukmin akan hidup dengan penuh semangat untuk berbuat baik, tetapi juga penuh ketenangan ketika menghadapi cobaan. Ia tidak akan sombong saat sukses, dan tidak akan putus asa saat gagal. Inilah esensi tertinggi dari keimanan terhadap takdir: pembebasan jiwa dari kekhawatiran yang sia-sia dan penyerahan diri yang sempurna kepada Sang Khalik.
Segala pujian hanya milik Allah, Yang Maha Mengetahui dan Maha Menetapkan.