Dalam kitab suci Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang mengandung petunjuk dan kaidah fundamental bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah Surat Al-Baqarah ayat ke-168, sebuah ayat yang ringkas namun padat makna, memberikan instruksi tegas mengenai pola konsumsi dan etika dalam mencari rezeki. Ayat ini merupakan bagian dari serangkaian ajaran Islam yang bertujuan untuk membangun individu dan masyarakat yang sehat, kuat, dan bertanggung jawab. Memahami dan mengamalkan QS 2 ayat 168 berarti selangkah lebih maju dalam menjalankan syariat Islam secara komprehensif, yang tidak hanya mengatur ibadah ritual semata, tetapi juga muamalah atau hubungan antarmanusia dan interaksi dengan lingkungan.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Hai manusia, makanlah daripada apa yang ada di bumi, yang halal lagi baik, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu."
Ayat ini dimulai dengan panggilan umum kepada seluruh umat manusia, tidak terbatas pada umat Islam saja. Ini menunjukkan universalitas ajaran yang terkandung di dalamnya. Seruan untuk "makanlah daripada apa yang ada di bumi" menyiratkan bahwa Allah SWT telah menyediakan sumber daya yang melimpah di alam semesta untuk dimanfaatkan oleh manusia. Namun, pemanfaatan ini tidak dibiarkan begitu saja tanpa batasan. Ada dua kualifikasi penting yang disematkan pada makanan yang boleh dikonsumsi: halal dan thayyib.
Halal merujuk pada segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat Islam untuk dikonsumsi, baik dari segi zatnya maupun cara memperolehnya. Ini mencakup larangan terhadap segala sesuatu yang diharamkan seperti bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Lebih dari itu, cara memperoleh makanan juga harus halal. Artinya, rezeki yang didapatkan tidak boleh dari hasil mencuri, menipu, merampok, korupsi, atau cara-cara lain yang melanggar hukum agama dan etika.
Sementara itu, thayyib berarti baik, bersih, suci, dan bermanfaat. Makanan yang thayyib adalah makanan yang tidak hanya halal, tetapi juga memiliki kualitas baik, bergizi, dan tidak membahayakan kesehatan tubuh. Makanan yang sudah busuk, basi, atau terkontaminasi zat berbahaya, meskipun secara zatnya halal, tidak dapat dikategorikan sebagai thayyib. Dengan demikian, ayat ini mendorong umat manusia untuk memperhatikan aspek kebersihan, kesehatan, dan nutrisi dalam pola makannya.
Bagian kedua dari ayat ini memberikan peringatan keras: "dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." Setan adalah makhluk yang senantiasa berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Salah satu cara setan menggoda manusia adalah melalui keinginan duniawi yang berlebihan, termasuk dalam urusan makan dan minum.
Mengikuti langkah-langkah setan dalam konteks konsumsi dapat berarti:
Dengan adanya peringatan ini, manusia diingatkan bahwa pilihan-pilihan yang dibuat dalam hal makanan dan rezeki memiliki dampak spiritual. Mengingkari petunjuk Allah dan mengikuti bisikan setan akan menjauhkan diri dari rahmat-Nya dan membawa pada kehancuran. Sebaliknya, kepatuhan terhadap perintah-Nya akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan di dunia maupun akhirat.
QS 2 ayat 168 memiliki implikasi yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari. Dari ayat ini, kita dapat menarik beberapa pelajaran penting:
Di era modern ini, di mana banyak pilihan makanan dan sumber rezeki yang beragam, pemahaman terhadap QS 2 ayat 168 menjadi semakin krusial. Industri makanan yang semakin kompleks, praktik bisnis yang kadang kurang transparan, serta gaya hidup konsumtif dapat mempermudah seseorang tergelincir dalam mengonsumsi yang haram atau tidak thayyib. Oleh karena itu, kembali merujuk pada petunjuk ilahi dalam ayat ini dapat menjadi jangkar moral dan spiritual bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupannya.
Pada akhirnya, QS 2 ayat 168 adalah sebuah pengingat bahwa segala sesuatu yang kita masukkan ke dalam tubuh kita, serta cara kita mendapatkannya, adalah cerminan dari hubungan kita dengan Sang Pencipta. Dengan memilih yang halal dan baik, kita tidak hanya menjaga raga, tetapi juga mensucikan jiwa, serta membangun fondasi masyarakat yang sehat dan beradab, terhindar dari jeratan musuh yang nyata, yaitu setan.