Menggapai Puncak Orientasi: Kajian Mendalam QS 94 Ayat 8

Surah Al-Insyirah (Pembukaan) atau Ash-Sharh, merupakan permata Qur’ani yang diturunkan di tengah kesulitan dakwah awal Rasulullah ﷺ. Tujuh ayat pertamanya menawarkan penghiburan ilahi, jaminan kemudahan setelah kesukaran, dan penguatan mental spiritual. Namun, puncak dan kesimpulan dari surah yang penuh ketenangan ini terangkum dalam ayat penutupnya, QS 94 Ayat 8. Ayat ini bukan sekadar penutup, melainkan perintah final yang menjadi kunci orientasi hidup seorang mukmin sejati.

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَب
“Dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap (atau berorientasi).” (Q.S. Al-Insyirah [94]: 8)

Ayat pendek yang mengandung makna universal ini, "Wa ilā Rabbika farghab," adalah fondasi bagi Tauhid dalam aspek pengharapan dan cita-cita. Ia mengajarkan bahwa setelah semua perjuangan, setelah mendapatkan kemudahan, dan setelah menyelesaikan suatu urusan, seluruh energi, harapan, dan keinginan harus diarahkan kepada satu entitas mutlak: Allah ﷻ.

I. Konteks Surah: Dari Kesulitan Menuju Orientasi Mutlak

Untuk memahami kedalaman QS 94:8, kita harus melihatnya sebagai klimaks dari rangkaian ayat-ayat sebelumnya. Surah Al-Insyirah dimulai dengan pertanyaan retoris penuh janji: “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?” (QS 94:1). Kemudian, surah ini mengingatkan akan nikmat penghilangan beban dan pengangkatan derajat (Ayat 2-4). Setelah itu, datanglah janji fundamental yang menjadi doktrin pengharapan: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Ayat 5-6).

Rangkaian ini mengajarkan bahwa hidup adalah siklus perjuangan dan kemudahan. Ayat 7 kemudian memberikan perintah praktis yang bersifat duniawi: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” Ini adalah perintah untuk terus beramal, tidak berdiam diri setelah berhasil. Namun, keberhasilan atau kegagalan dalam urusan duniawi tersebut tidak boleh menjadi terminal akhir fokus. Ayat 8 hadir sebagai penyeimbang spiritual, memastikan bahwa gerak fisik dan mental yang terjadi di dunia (Ayat 7) harus selalu memiliki tujuan akhir yang transenden.

Dengan demikian, Al-Insyirah 8 bukan berdiri sendiri. Ia adalah penutup yang menyempurnakan Tauhid. Jika ayat 7 memerintahkan kerja keras, ayat 8 meluruskan niat kerja keras tersebut. Kerja keras itu bukan untuk mencari pujian manusia, kekayaan semata, atau kesenangan fana, tetapi semata-mata sebagai manifestasi ibadah yang berorientasi hanya kepada Rabb semesta alam.

II. Analisis Linguistik Mendalam: Membongkar Makna 'Farghab'

Ayat ini hanya terdiri dari empat kata pendek, namun setiap unsurnya mengandung kedalaman makna teologis dan praktis. Memahami struktur linguistiknya adalah kunci untuk menangkap esensi harapan dalam Islam.

1. Wa ilā (Dan Hanya Kepada)

Kata ‘ilā’ adalah kata depan yang berarti ‘kepada’ atau ‘menuju’. Namun, dalam konteks bahasa Arab yang fasih, ketika objek yang seharusnya diletakkan setelah kata kerja (yaitu ‘Rabbika’) didahulukan sebelum kata kerja (‘farghab’), ini memberikan makna pembatasan (al-hashr) atau eksklusivitas. Jadi, terjemahan yang paling tepat bukanlah hanya "dan kepada Tuhanmu berharaplah," tetapi "dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap." Pengecualian ini menghapus semua kemungkinan tempat harapan lainnya: bukan kepada kekuasaan, bukan kepada kekayaan, bukan kepada pengaruh, dan bukan kepada manusia.

2. Rabbika (Tuhanmu)

Pemilihan kata ‘Rabb’ (Tuhan, Pemelihara, Penguasa) sangat signifikan. Rabb merujuk pada tiga aspek utama Tauhid Rububiyah: Penciptaan (al-Khalq), Kepemilikan (al-Mulk), dan Pengaturan (at-Tadbir). Ketika seseorang diarahkan untuk berharap kepada Rabbnya, ia diarahkan kepada Sumber yang memiliki kemampuan mutlak untuk menciptakan apa yang belum ada, mengatur segala urusan, dan memelihara hamba-Nya. Penggunaan imbuhan ‘ka’ (mu) menjadikannya sangat personal, menekankan hubungan individual antara hamba dengan Sang Pemelihara yang Maha Dekat dan Maha Tahu akan kebutuhan spesifiknya.

3. Farghab (Hendaknya Kamu Berharap/Berorientasi)

Ini adalah kata kunci sentral. ‘Farghab’ berasal dari akar kata 'Raghaba' (رَغِبَ) yang secara harfiah berarti menginginkan dengan kuat, berhasrat, atau mengarahkan seluruh keinginan. Dalam konteks spiritual, Raghbah (keinginan/harapan) adalah lawan dari Rahbah (ketakutan/gentar). Ia merupakan gerakan hati yang penuh semangat menuju sesuatu yang dicintai dan diharapkan kebaikannya.

Perintah ‘farghab’ (dalam bentuk fi’il amr—kata kerja perintah) mengandung beberapa dimensi:

  1. Orientasi Keinginan: Seluruh energi psikis dan spiritual harus difokuskan kepada Allah. Ini mencakup cita-cita tertinggi, aspirasi terdalam, dan kerinduan terkuat.
  2. Optimisme Spiritual (Raja’): Ini adalah perintah untuk selalu optimis terhadap Rahmat Allah, bahkan setelah kegagalan atau di tengah penderitaan. Harapan kepada Allah tidak pernah mengenal batas.
  3. Sikap Aktif: Kata kerja ini menyiratkan tindakan. Harapan bukanlah pasivitas, melainkan tindakan aktif mencari keridhaan Allah melalui amal saleh.

Simbol Harapan dan Orientasi Sebuah ilustrasi sederhana dari tangan yang terbuka menengadah ke atas, melambangkan doa dan harapan yang terarah kepada Sang Pencipta.

Harapan yang Terarah (Farghab)

III. Integrasi 'Farghab' dalam Pilar Kehidupan Spiritual

Perintah untuk berharap hanya kepada Allah adalah doktrin fundamental yang mengatur tiga pilar utama spiritualitas Islam: Tawakkal (Berserah Diri), Raja’ (Harapan), dan Khawf (Rasa Takut).

1. Farghab dan Tawakkal (Totalitas Berserah Diri)

Tawakkal berarti menyerahkan hasil akhir suatu urusan sepenuhnya kepada Allah. Ayat 7 memerintahkan kita untuk bekerja keras (fansaab), sementara ayat 8 memerintahkan orientasi (farghab). Keduanya tidak bertentangan; mereka saling melengkapi. Kerja keras adalah ikhtiar yang wajib, namun hati tidak boleh terpaut pada hasil kerja keras itu sendiri. Ketika seorang mukmin bekerja dengan sungguh-sungguh, ia telah menunaikan kewajiban fisik. Namun, ketika ia mengarahkan harapan hanya kepada Rabbnya, ia menunaikan kewajiban spiritual. Inilah Tawakkal sejati: bekerja seolah-olah semuanya bergantung pada usaha kita, namun berharap seolah-olah semuanya bergantung pada Rahmat-Nya.

Jika harapan diletakkan pada sebab-sebab (pekerjaan, koneksi, modal), maka ketika sebab itu hilang atau gagal, kita akan putus asa. Namun, jika harapan diletakkan pada Sang Pencipta sebab, keyakinan kita akan tetap teguh tak tergoyahkan, karena Allah tidak pernah mati, tidak pernah tidur, dan tidak pernah gagal dalam janji-Nya.

2. Farghab dan Raja’ (Optimisme Tak Terbatas)

Konsep Raja’ (Harapan) yang diperintahkan oleh farghab adalah sifat khas seorang mukmin. Raja’ adalah optimisme yang didasarkan pada pengetahuan tentang keluasan Rahmat Allah. Seorang mukmin harus selalu berada di antara dua kutub: Khawf (takut akan adzab Allah) dan Raja’ (harapan akan Rahmat Allah). Ketika seseorang terlalu didominasi oleh ketakutan, ia bisa jatuh pada keputusasaan. Ketika ia terlalu didominasi oleh harapan tanpa amal, ia bisa jatuh pada kesombongan. QS 94:8 menyeimbangkan ini: kita berharap (farghab) hanya kepada-Nya, karena kita yakin Rahmat-Nya lebih luas dari murka-Nya.

Harapan kepada Allah tidak bersifat pasif. Harapan ini adalah mesin pendorong yang memotivasi ibadah dan ketaatan. Kita berharap mendapatkan surga, maka kita beramal. Kita berharap diampuni, maka kita bertaubat. Tanpa harapan yang terarah, amal akan terasa hambar dan berat.

IV. Ekspansi Makna Farghab dalam Dimensi Ibadah

Bagaimana aplikasi praktis dari orientasi harapan mutlak ini dalam berbagai bentuk ibadah harian kita?

1. Dalam Shalat dan Doa

Perintah farghab mewajibkan kita untuk mengosongkan hati dari harapan kepada selain Allah saat kita berdiri menghadap-Nya dalam shalat. Shalat adalah puncak dari penyerahan diri. Ketika seorang mukmin mengangkat tangan untuk berdoa (du’a), ia sedang secara fisik dan spiritual mengamalkan farghab. Ia mengakui kebutuhannya yang mutlak dan meyakini bahwa hanya Allah yang mampu memenuhi permintaannya. Du'a yang paling kuat adalah du'a yang dipanjatkan dengan keyakinan penuh, orientasi yang jelas, dan hati yang kosong dari ketergantungan pada makhluk.

Kualitas harapan (farghab) yang terkandung dalam doa menentukan kedalaman munajat. Jika kita berdoa sambil meragukan kemampuan Allah, atau jika kita berdoa namun secara bersamaan mengikatkan harapan pada solusi duniawi, maka orientasi kita terpecah. Farghab menuntut totalitas fokus. Orientasi total ini adalah kunci untuk mencapai ketenangan (tuma'ninah) dalam shalat, menjadikannya bukan sekadar gerakan fisik, melainkan dialog hati antara hamba dan Rabbnya.

2. Dalam Ikhlas dan Pemurnian Niat (Niyyah)

Ikhlas adalah landasan setiap amal. Orientasi harapan (farghab) adalah sinonim dari Ikhlas. Jika harapan kita adalah keridhaan Allah, maka setiap amal—baik besar maupun kecil—akan dilakukan dengan niat yang murni. Ayat ini mencegah kita dari Riya’ (pamer) dan Sum’ah (mencari popularitas), karena kedua penyakit hati ini terjadi ketika harapan kita tertuju pada pujian manusia.

Seorang mukmin yang menerapkan QS 94:8 tidak akan kecewa ketika amalnya tidak dihargai manusia, atau ketika ia difitnah, atau ketika usahanya tidak membuahkan hasil duniawi. Sebab, dia tahu bahwa harapan sejati (farghab) hanya diletakkan pada timbangan Allah. Balasan yang dicari bukanlah pengakuan di dunia, melainkan pahala abadi dari Sang Pemilik Harapan. Inilah yang mengubah aktivitas rutin menjadi ibadah yang bermakna.

Penting untuk diingat bahwa ibadah tidak hanya terbatas pada ritual. Mencari rezeki, mendidik anak, berbuat baik kepada tetangga, bahkan tidur dan makan, dapat menjadi ibadah jika dilakukan dengan niat yang diorientasikan (farghab) kepada keridhaan Allah. Orientasi ini adalah bensin spiritual yang membuat roda kehidupan berputar dalam ketaatan.

3. Dalam Menghadapi Musibah dan Kesulitan

Jika surah ini dimulai dengan pengakuan kesulitan (ayat 1-6), maka ayat 8 adalah resep untuk mengatasinya. Ketika musibah datang, harapan manusia seringkali hancur. Orang bisa beralih kepada hal-hal terlarang, praktik syirik, atau mencari solusi instan dari makhluk. Farghab berfungsi sebagai benteng. Ketika segalanya terasa gelap, dan semua pintu dunia tertutup, seorang mukmin diperintahkan untuk mengarahkan pandangan dan hati hanya kepada Rabbnya.

Keyakinan bahwa Allah mampu mengeluarkan kita dari kesulitan—sebagaimana Dia telah menjanjikan kemudahan bersama kesulitan—adalah manifestasi tertinggi dari farghab. Harapan ini menumbuhkan kesabaran (sabr) dan kerelaan (ridha), karena hati yang penuh harapan kepada Allah tidak pernah benar-benar merasa sendiri atau teraniaya tanpa batas.

Ilustrasi Keseimbangan Dunia dan Akhirat Dua gunung yang bersebelahan, melambangkan usaha duniawi (ayat 7) dan orientasi spiritual (ayat 8), dengan panah yang menunjuk dari yang satu ke yang lain, menuju bintang tunggal di atas.

Keseimbangan antara Usaha dan Harapan Ilahi

V. Dimensi 'Farghab' dalam Orientasi Sosial dan Muamalah

Kajian tentang farghab tidak hanya berhenti pada ritual pribadi. Ayat ini juga memberikan panduan etika yang sangat kuat dalam interaksi sosial dan profesional.

1. Dalam Bekerja dan Mencari Nafkah

Jika ayat 7 memerintahkan kita untuk berpindah dari satu urusan ke urusan lain (bekerja keras), maka ayat 8 memastikan kita tidak menjadi budak dari hasil kerja keras itu. Seseorang yang menerapkan farghab akan berusaha maksimal dalam pekerjaannya, melakukan perencanaan terbaik, dan menginvestasikan waktu serta tenaga. Namun, ia menyadari bahwa hasil (rezeki, kenaikan pangkat, kesuksesan) adalah hak prerogatif Allah ﷻ.

Hal ini membebaskan mukmin dari tekanan kerja yang berlebihan dan rasa dengki (hasad) terhadap rekan kerja. Jika rezeki seseorang bertambah, itu adalah karunia Allah. Jika rezeki kita tertunda, itu adalah hikmah Allah. Dengan demikian, hati tetap tenang dan bebas dari kekecewaan yang ditimbulkan oleh fluktuasi pasar atau kegagalan bisnis. Harapan diletakkan pada Sang Pemberi Rezeki (Ar-Razaq), bukan pada rezeki itu sendiri.

2. Dalam Hubungan Antar Sesama Manusia

Orientasi harapan mutlak kepada Allah menghilangkan ketergantungan (ta'alluq) yang berlebihan kepada manusia. Banyak kekecewaan dalam hubungan interpersonal, pertemanan, dan bahkan pernikahan, berasal dari meletakkan harapan yang seharusnya hanya untuk Allah pada pundak manusia fana.

Manusia diciptakan lemah dan tidak sempurna. Mereka tidak mampu memenuhi semua kebutuhan kita. Jika kita berharap agar manusia memberikan kebahagiaan mutlak, kekayaan tak terbatas, atau perlindungan sempurna, kita pasti akan kecewa. QS 94:8 mengajarkan: cintai manusia karena Allah, berinteraksi dengan baik, namun letakkan harapan tertinggi hanya pada Rabbika. Ini menciptakan hubungan yang sehat, tulus, dan terbebas dari tuntutan yang mustahil dipenuhi.

VI. Membangun Peradaban Berdasarkan Harapan Mutlak

Ayat “Wa ilā Rabbika farghab” memiliki implikasi transformatif, tidak hanya pada individu, tetapi juga pada skala komunitas dan peradaban. Peradaban yang dibangun di atas orientasi harapan mutlak memiliki ciri-ciri tertentu.

1. Ketahanan (Resilience) dan Kreativitas

Ketika harapan ditujukan kepada Allah, peradaban tidak akan mudah menyerah pada krisis ekonomi, bencana alam, atau ancaman politik. Rasa putus asa (al-qunuth) adalah dosa besar yang dilarang karena ia menafikan farghab. Komunitas yang memiliki farghab yang kuat akan terus mencari solusi, berinovasi, dan bekerja keras (sesuai ayat 7), karena mereka yakin bahwa pertolongan Allah (kemudahan setelah kesulitan) pasti akan datang, asalkan mereka memenuhi syarat ketaatan dan usaha.

Inilah yang menjelaskan mengapa peradaban Islam awal, meskipun menghadapi tantangan yang sangat berat (migrasi, perang, kelaparan), mampu bangkit dan mencapai puncak keemasan. Fondasinya adalah keyakinan tak tergoyahkan, yang diterjemahkan dalam farghab, bahwa setiap usaha yang tulus akan diberkahi oleh Allah, terlepas dari kondisi material yang ada.

2. Keadilan dan Amanah

Seorang pemimpin, pedagang, atau hakim yang mengamalkan farghab akan menjalankan tugasnya dengan amanah dan keadilan yang tinggi. Mengapa? Karena ia tidak mencari keuntungan pribadi yang fana, sanjungan massa, atau kekayaan haram. Harapannya diletakkan pada balasan Allah (farghab). Rasa takutnya adalah kehilangan keridhaan Allah. Ketika orientasi keimanan ini tertanam dalam struktur sosial, korupsi dan ketidakadilan akan berkurang, sebab manusia akan menghargai pandangan abadi (akhirat) di atas keuntungan sementara (dunia).

Seorang mukmin yang orientasinya hanya kepada Rabbnya tidak akan gentar mengatakan kebenaran atau memperjuangkan keadilan, meskipun menghadapi tekanan. Hal ini karena ia percaya bahwa kekuatan dan rezeki berasal dari sumber yang tidak terbatas, bukan dari manusia yang berkuasa di bumi.

VII. Pembedaan Harapan Ilahi dan Harapan Duniawi

Salah satu kesalahan terbesar dalam memahami farghab adalah mencampuradukkan antara harapan yang sifatnya syar’i (keagamaan) dan harapan yang sifatnya tabi’i (alami/duniawi). Harapan duniawi, seperti berharap hujan turun atau berharap mendapat promosi, adalah hal yang wajar. Namun, farghab adalah tingkatan harapan yang harus bersifat spiritual dan eksklusif.

1. Harapan kepada Sebab vs. Harapan kepada Musabbib

Harapan kepada sebab (misalnya, berharap mobil akan berfungsi karena sudah diservis) adalah harapan yang sah secara akal. Namun, farghab adalah harapan kepada Musabbib al-Asbab (Sang Pencipta Sebab). Kita berharap kepada Allah bahwa servis tersebut akan bermanfaat, bahwa rezeki akan datang melalui pekerjaan itu, dan bahwa obat akan menyembuhkan atas izin-Nya.

Meletakkan farghab kepada makhluk—sekalipun makhluk itu adalah orang tua, guru, atau pemimpin—adalah bentuk kemusyrikan kecil (syirik asghar) dalam aspek tawakkal. Hal ini membuat hati menjadi rapuh, karena semua makhluk pada akhirnya pasti akan mengecewakan atau menghilang. Hanya Allah yang kekal dan Maha Memenuhi Harapan.

2. Tingkatan Harapan: Raja’ dan Tamanni

Dalam ilmu tasawuf, harapan dibagi menjadi dua: Raja’ dan Tamanni. Tamanni adalah harapan kosong; sekadar berangan-angan tanpa ada upaya nyata. Misalnya, berharap masuk surga tanpa mengerjakan ibadah wajib. Ini adalah harapan yang menipu diri sendiri.

Sedangkan Raja’, yang diperintahkan oleh farghab, adalah harapan yang diiringi dengan usaha, kerja keras, dan ketaatan (sebagaimana perintah ayat 7). Farghab adalah harapan aktif yang mendorong amal. Ia memacu seseorang untuk selalu meningkatkan kualitas ibadahnya dan ketaatannya, bukan untuk berpuas diri dalam kemalasan.

VIII. Penutup: Konsistensi dalam Orientasi (Istiqamah)

Perintah “Wa ilā Rabbika farghab” adalah seruan untuk istiqamah, konsistensi. Jika ayat 7 memerintahkan kita untuk terus beramal tanpa henti (kerja keras berkelanjutan), ayat 8 memerintahkan kita untuk memastikan bahwa fokus dan tujuan dari amal tersebut tidak pernah bergeser dari Allah.

Istiqamah dalam farghab berarti memastikan bahwa, dalam setiap langkah kehidupan—baik dalam kesuksesan maupun kegagalan, dalam kaya maupun miskin, dalam sehat maupun sakit—hati kita secara otomatis mengarahkan seluruh harapan, ketakutan, dan keinginan hanya kepada Sang Pencipta.

Orientasi ini adalah obat mujarab bagi hati yang gelisah di tengah hiruk pikuk dunia. Ia membebaskan hati dari belenggu ketergantungan pada makhluk dan mengikatkannya pada Sumber kekuatan yang tidak terbatas. Dengan menerapkan farghab, seorang mukmin menemukan kemudahan sejati (yusr) yang dijanjikan oleh surah Al-Insyirah, karena kemudahan terbesar bukanlah hilangnya kesulitan, melainkan hadirnya ketenangan hati yang hanya didapatkan melalui harapan mutlak kepada Rabb semesta alam.

Sesungguhnya, ayat ini adalah penutup yang sempurna, sebuah arahan abadi bagi umat manusia: setelah berjuang di dunia, setelah meraih nikmat-nikmat, dan setelah menyelesaikan tugas-tugas, jangan pernah berhenti, dan yang terpenting, jangan pernah mengalihkan harapanmu dari Allah. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam.

***

IX. Eksplorasi Lebih Lanjut: Manifestasi Harapan dalam Sejarah Islam

Konsep farghab tidak hanya tinggal sebagai teori teologis. Ia telah dimanifestasikan dalam kehidupan para Nabi dan Salafush Shalih. Kisah Nabi Ibrahim yang dilemparkan ke api, namun hatinya berorientasi mutlak kepada Allah, adalah contoh farghab yang sempurna. Ketika beliau ditanya apakah beliau membutuhkan pertolongan, jawabannya adalah, "Adapun kepadamu, tidak. Adapun kepada Allah, cukuplah Dia menjadi penolong bagiku." Ini adalah penolakan tegas terhadap harapan kepada makhluk dan afirmasi total terhadap harapan Ilahi.

Demikian pula, dalam kisah Nabi Muhammad ﷺ saat beliau berada di Gua Tsur bersama Abu Bakar, dikelilingi oleh musuh. Ketika Abu Bakar khawatir, Rasulullah berkata, “Lā tahzan innallāha ma'anā” (Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita). Ini adalah puncak keyakinan, manifestasi dari farghab, bahwa bahkan di saat bahaya terbesar, perlindungan dan pertolongan hanya datang dari Rabb mereka, bukan dari kekuatan fisik atau strategi perang.

Keberanian dan ketenangan hati para pahlawan Islam, seperti Khalid bin Walid atau Umar bin Khattab, tidak berasal dari keunggulan militer semata, melainkan dari kedalaman orientasi hati mereka. Mereka bertempur dengan maksimal (ayat 7), namun mereka berharap (ayat 8) hanya kepada Allah untuk kemenangan. Jika mereka menang, itu dari Allah. Jika mereka gugur, syahid adalah tujuan tertinggi yang mereka harap-harapkan dari Rabb mereka.

X. Menjaga Keutuhan Orientasi: Tantangan Kontemporer

Di era modern, godaan untuk mengalihkan farghab kepada selain Allah semakin besar. Kapitalisme mendorong harapan pada akumulasi kekayaan; media sosial mendorong harapan pada validasi dan popularitas; teknologi mendorong harapan pada solusi instan dan kekuatan manusia.

Menghidupkan QS 94:8 di abad ke-21 menuntut kesadaran yang sangat tinggi (muraqabah). Setiap kali kita merasa cemas, takut akan masa depan, atau kecewa karena kegagalan, kita harus segera melakukan koreksi spiritual (muhasabah): Kepada siapa sebenarnya harapan saya tertuju? Apakah saya mengharapkan ketenangan dari jabatan baru, atau dari Rabb yang memberikan jabatan itu? Apakah saya mengharapkan kesembuhan dari obat, atau dari Allah yang mengizinkan obat itu bekerja?

Proses ini adalah jihad spiritual yang berkelanjutan. Tujuannya adalah memastikan bahwa meskipun kita hidup di dunia yang serba materialistik dan penuh hiruk pikuk, jangkar hati kita, harapan tertinggi kita, dan orientasi mutlak kita tetap terikat kuat pada Al-Rabb—Sang Penguasa, Pemelihara, dan Sumber segala kemudahan.

Jika kita berhasil mengamalkan “Wa ilā Rabbika farghab” secara total, maka janji kemudahan (al-yusr) dari ayat-ayat sebelumnya akan terasa nyata dalam bentuk ketenangan hati yang abadi, yang jauh lebih berharga daripada semua harta dan kekuasaan dunia.

***

XI. Tafsir Struktur Kata Kerja dan Implikasinya pada Perintah Ilahi

Kata ‘farghab’ adalah perintah (fi’il amr). Penggunaan perintah dalam konteks ini menunjukkan bahwa harapan kepada Allah bukanlah sekadar pilihan atau anjuran baik, melainkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba. Perintah ini datang setelah serangkaian pengingat tentang nikmat dan petunjuk kerja keras. Ini memperkuat status farghab sebagai pondasi ibadah yang tak terpisahkan.

Mari kita telaah bentuk perintah ini lebih dalam. Dalam bahasa Arab, kata kerja perintah menuntut pelaksanaan yang segera dan totalitas. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak boleh ada penundaan dalam memurnikan orientasi harapan. Begitu seseorang menyadari bahwa ia telah selesai dari suatu urusan duniawi (ayat 7), langkah spiritual berikutnya haruslah segera mengarahkan hati kepada Allah (ayat 8). Ini adalah mekanisme spiritual yang menjaga hati agar tidak ‘menempel’ pada dunia.

Jika kita terlalu lama menunda orientasi ini, hati akan berisiko terisi oleh kekhawatiran terhadap hasil pekerjaan yang baru, atau kesombongan terhadap kesuksesan yang baru diraih. Farghab adalah alat pencegah spiritual. Ia bekerja sebagai penyeimbang yang memaksa jiwa untuk mereset dan memfokuskan kembali energinya pada tujuan utama: keridhaan Allah.

Kewajiban farghab juga berarti bahwa putus asa bukan hanya keadaan emosional yang negatif, tetapi secara definitif adalah pelanggaran terhadap perintah Ilahi. Putus asa (al-qunut) berarti hati telah menolak perintah untuk berharap kepada Rabbnya, menunjukkan keraguan terhadap keluasan Rahmat dan Kekuasaan-Nya. Mukmin sejati, bahkan di titik terendah, wajib memelihara api farghab ini.

XII. Aspek Psikologis Orientasi Harapan Mutlak

Dari sudut pandang psikologi spiritual (Tazkiyatun Nafs), farghab berfungsi sebagai mekanisme kesehatan mental yang luar biasa. Ketika sumber harapan tersebar di banyak tempat (kekayaan, karir, pasangan, teman), setiap kegagalan di salah satu tempat tersebut menyebabkan patah hati dan stres yang signifikan.

Namun, ketika seluruh harapan dan orientasi diarahkan ke Sumber Tunggal yang Abadi dan Maha Kuasa, jiwa akan mencapai titik stabil (sukun). Kegagalan duniawi tidak lagi dianggap sebagai bencana total, tetapi sebagai ujian sementara yang akan diatasi melalui pertolongan dari Sumber Harapan itu sendiri. Ini melahirkan ketenangan batin (tuma'ninah) yang merupakan ciri khas hati yang berorientasi kepada Allah.

Para ulama sufi sering menyebutkan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan dari ketergantungan pada makhluk. Farghab adalah jalan menuju kebebasan itu. Hati yang telah bebas dari harapan kepada manusia adalah hati yang paling kaya, karena ia telah menemukan kekayaan tak terbatas pada hubungan intim dengan Rabbnya. Keterikatan pada Allah menghilangkan keterikatan yang menyakitkan pada dunia.

Bahkan ketika seseorang menghadapi keputusan hidup yang sulit, orientasi farghab akan mempermudah. Setelah melakukan shalat istikharah dan musyawarah, seorang mukmin akan pasrah total. Ia telah bekerja keras (ayat 7), dan kini ia memasukkan seluruh keinginannya kepada Allah (ayat 8). Apapun hasil dari keputusan tersebut, ia yakin bahwa itu adalah kehendak terbaik dari Rabbnya, dan keyakinan ini menghapus penyesalan dan keraguan di masa depan.

XIII. Memperkuat Hubungan Personal dengan Nama Rabb

Kata ‘Rabbika’ (Tuhanmu) memiliki resonansi emosional yang kuat. Rabb adalah yang memelihara kita sejak kita masih berupa setetes air hina, yang memberi rezeki saat kita tidak berdaya, dan yang mengatur setiap detail dari pertumbuhan kita. Menghubungkan farghab kepada Rabbika berarti kita berharap kepada Yang Paling Mengenal dan Paling Peduli terhadap diri kita.

Pengenalan yang mendalam terhadap sifat-sifat Allah (Asmaul Husna) akan memperkuat farghab. Kita berharap kepada Allah karena Dia adalah Al-Wahhab (Maha Pemberi Karunia), Al-Ghafur (Maha Pengampun), dan Al-Qadir (Maha Kuasa). Pengetahuan ini memadamkan api keraguan dan keputusasaan. Bagaimana mungkin kita putus asa, padahal harapan kita terarah kepada Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu? Bagaimana mungkin kita ragu, padahal orientasi kita tertuju pada Yang Maha Pengasih?

Maka, implementasi sejati dari QS 94:8 adalah melalui introspeksi harian tentang hubungan kita dengan Rabbika. Apakah saya benar-benar memperlakukan-Nya sebagai Sumber Harapan Utama? Apakah tindakan saya mencerminkan keyakinan bahwa semua kebaikan datang dari sisi-Nya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan seberapa utuh farghab kita dalam mengarungi kehidupan ini.

***

XIV. Siklus Hidup dan Implementasi QS 94:7 dan 94:8

Surah Al-Insyirah menyediakan siklus sempurna bagi kehidupan seorang mukmin, yang terdiri dari tiga tahapan yang terus berulang:

  1. Tahap Awal: Ujian dan Kemudahan (Ayat 1-6): Pengalaman kesulitan yang diikuti oleh janji kemudahan. Ini membangun mentalitas ketahanan.
  2. Tahap Transisi: Usaha Berkelanjutan (Ayat 7): Setelah kemudahan (atau setelah menyelesaikan pekerjaan), jangan berleha-leha, segera lanjutkan dengan urusan baru (berjuang dan bekerja keras).
  3. Tahap Final: Orientasi Hati (Ayat 8): Seluruh hasil, upaya, dan niat dari perjuangan harus diarahkan mutlak kepada Allah ﷻ.

Tanpa ayat 8, siklus akan menjadi sekuler: bekerja, selesai, bekerja lagi, hanya untuk hasil duniawi. Ayat 8 memastikan bahwa seluruh siklus kehidupan adalah ibadah. Setiap kali kita menyelesaikan satu tugas (sekolah, proyek, ibadah haji), kita harus segera mengisi kekosongan hati dengan orientasi baru kepada Rabb. Ini adalah cara hidup yang tidak mengenal pensiun spiritual, selalu aktif dalam ketaatan, dan selalu terfokus pada tujuan abadi.

Kesinambungan orientasi ini adalah esensi dari farghab. Ini bukan sekadar tindakan sesaat, melainkan kondisi permanen hati yang selalu siaga. Hati seorang mukmin harus selalu "menengadah" kepada Rabbnya, baik di saat terpuruk maupun di saat di puncak kejayaan. Sebab, bahkan kejayaan dan kemudahan itu sendiri adalah nikmat yang harus disyukuri, dan syukur tertinggi diwujudkan dengan pengalihan harapan sepenuhnya kepada Sang Pemberi Nikmat.

Semoga kita termasuk hamba-hamba yang senantiasa mengamalkan perintah mulia ini, menjadikan “Wa ilā Rabbika farghab” sebagai kompas spiritual dalam setiap langkah dan hela napas kita.

***

🏠 Homepage