Pintu Gerbang Keyakinan: Mengapa Hari Kebangkitan Tidak Dapat Diragukan
Surah Al-Hajj, sebuah surah yang diturunkan di tengah perjuangan keyakinan di Makkah, membawa pesan yang sangat kuat dan fundamental: hakikat kehidupan dunia adalah sementara, dan hari pertanggungjawaban adalah sebuah kepastian yang tidak terelakkan. Ayat ketujuh dari surah ini berdiri sebagai pilar utama dalam akidah Islam, secara eksplisit menyatakan dua kebenaran agung yang menjadi inti dari seluruh pesan kenabian.
Terjemahannya: “Dan sesungguhnya Hari Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya, dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang yang di dalam kubur.”
Ayat ini bukan sekadar pemberitahuan; ia adalah penegasan, sebuah deklarasi ilahi yang menyingkirkan semua bentuk keraguan yang mungkin menghinggapi hati manusia. Terdapat dua komponen utama dalam ayat ini yang memerlukan analisis mendalam: Pertama, kepastian mutlak kedatangan Al-Sa’ah (Hari Kiamat); Kedua, Kekuasaan Mutlak Allah (Al-Qadir) untuk melakukan Al-Ba’ts (Kebangkitan) terhadap mereka yang telah dikubur.
Pesan ini disajikan dengan ketegasan luar biasa karena menantang logika materialistik manusia. Bagi akal yang hanya melihat realitas fisik, menghidupkan kembali tulang belulang yang telah hancur dan tersebar tampak mustahil. Namun, bagi Zat Yang Maha Pencipta, yang telah menciptakan segalanya dari ketiadaan, mengulang ciptaan adalah sesuatu yang paling mudah dan logis. Kekuatan ayat ini terletak pada penolakan tegas terhadap skeptisisme: “lā raiba fīhā”—tiada keraguan sedikit pun padanya.
I. Analisis Lafaz dan Makna Teologis Ayat 7
A. Wa Anna As-Sa’ata Aatiyatul Lā Raiba Fīhā (Kepastian Mutlak)
Frasa “As-Sa’ah” secara harfiah berarti 'waktu' atau 'saat'. Dalam konteks teologis, ia merujuk pada Hari Kiamat, momen ketika waktu duniawi berakhir dan masa pertanggungjawaban dimulai. Pemilihan kata 'Sa’ah' menyiratkan bahwa kedatangannya akan terjadi mendadak dan cepat, tanpa penundaan yang dapat diperkirakan oleh manusia, meskipun pengetahuannya hanya milik Allah.
Penegasan “Aatiyatun” berarti 'pasti datang' atau 'sedang menuju'. Kata ini menggunakan bentuk partisip aktif yang menunjukkan kepastian yang sedang berlangsung menuju realisasi. Bukan sekadar janji yang mungkin terjadi, tetapi suatu peristiwa yang sedang bergerak menuju kita, seolah-olah sudah berada di ambang pintu sejarah kosmis.
Titik sentral keraguan manusia adalah mengenai apakah janji ini nyata atau hanya mitos. Quran merespons hal ini dengan tegas: “Lā Raiba Fīhā.” Tidak ada celah untuk keraguan. Kepastian ini tidak didasarkan pada perkiraan manusia, melainkan pada janji Allah yang Sempurna. Jika Allah telah berfirman bahwa itu pasti, maka keraguan itu sendiri adalah hal yang mustahil. Keraguan adalah sifat manusia; kepastian adalah sifat ilahi. Menolak keraguan berarti mengakui kesempurnaan dan kejujuran sumber wahyu itu sendiri. Kepastian kiamat adalah kepastian keadilan, kepastian janji, dan kepastian kekuasaan.
Kepastian ini menegaskan bahwa keberadaan alam semesta ini memiliki tujuan, dan tujuan itu harus dipenuhi melalui penyelesaian yang adil. Tanpa hari penghisaban yang pasti, seluruh konsep keadilan akan runtuh. Bagaimana mungkin pelaku kejahatan besar dan pelaku kebajikan murni berakhir sama? Kebutuhan akan hari pembalasan yang sempurna (Al-Jaza’) membuat Hari Kiamat menjadi keharusan logis bagi keadilan Allah (Al-Adl).
B. Wa Annallāha Yab’asu Man Fil Qubūr (Kekuasaan Kebangkitan)
Frasa kedua adalah inti dari tantangan keyakinan. “Yab’asu” berarti 'Dia membangkitkan', 'Dia mengeluarkan', atau 'Dia menghidupkan kembali'. Subjeknya adalah “Allāh,” menggarisbawahi bahwa tindakan maha dahsyat ini hanya dapat dilakukan oleh Zat yang memiliki Kekuatan Mutlak (Al-Qadir).
Objeknya adalah “Man Fil Qubūr,” 'mereka yang ada di dalam kubur'. Ini adalah metafora yang mencakup semua manusia yang telah wafat, terlepas dari bagaimana tubuh mereka berakhir—dibakar, tenggelam di lautan, dimakan binatang buas, atau hancur menjadi debu. Penekanan pada kubur mengingatkan manusia pada ujung fisik mereka dan menyatakan bahwa bahkan dari kehancuran paling total pun, Allah mampu mengembalikan kehidupan secara utuh.
Kebangkitan bukanlah sekadar mengembalikan kehidupan; ia adalah pengembalian ruh kepada jasad, disertai dengan ingatan dan kesadaran penuh akan segala perbuatan yang pernah dilakukan. Ini adalah tindakan penciptaan kedua yang lebih menakjubkan daripada penciptaan pertama. Allah membangkitkan mereka dari kubur, dari ketiadaan bentuk fisik, untuk diadili berdasarkan niat dan amal mereka.
II. Logika Teologis di Balik Kepastian (Lā Raiba Fīhā)
Mengapa Allah perlu berulang kali menekankan bahwa Kiamat itu tidak diragukan? Karena inilah ujian terbesar bagi iman. Manusia cenderung meragukan apa yang tidak dapat mereka lihat atau ukur. Ayat 7 QS Al-Hajj berfungsi untuk menyingkirkan alasan-alasan rasional yang dangkal yang sering digunakan oleh para skeptis.
A. Kepastian sebagai Syarat Keadilan
Skeptisisme terhadap Hari Kiamat pada dasarnya adalah skeptisisme terhadap keadilan Allah. Jika dunia ini adalah satu-satunya arena, maka kehidupan adalah sebuah lelucon tragis. Banyak orang zalim yang hidup makmur tanpa menerima hukuman yang setimpal, dan banyak orang saleh yang hidup dalam penderitaan. Jika tidak ada hari kebangkitan, maka kezaliman akan menang secara definitif. Allah, yang sifat-Nya adalah Al-Adl (Yang Maha Adil), pasti menyediakan mekanisme di mana keadilan sempurna ditegakkan, di mana setiap hak dikembalikan kepada pemiliknya, dan setiap amal (sekecil zarah) dihitung.
Kepastian Kiamat menjamin bahwa setiap air mata yang tertumpah, setiap hak yang terampas, dan setiap niat baik yang tidak terwujudkan di dunia ini akan mendapatkan pemenuhan yang adil di hadapan Hakim Yang Maha Benar. Tanpa kepastian ini, tujuan penciptaan alam semesta dan perintah moral akan sia-sia.
B. Kepastian sebagai Konsekuensi Kekuatan Penciptaan Pertama
Salah satu argumen Quran yang paling kuat terhadap mereka yang meragukan kebangkitan adalah: Jika Allah mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan (penciptaan pertama), bukankah lebih mudah bagi-Nya untuk mengulangi penciptaan itu (penciptaan kedua)?
Ayat 7 tidak hanya memerintahkan kita untuk percaya, tetapi juga menyuruh kita merenungkan sifat Rububiyah (Ketuhanan dalam hal penciptaan dan pemeliharaan). Kekuatan yang menahan jutaan galaksi agar tetap berada di orbitnya, yang mengatur siklus hidrologi, dan yang menciptakan kehidupan dari setetes air mani, adalah Kekuatan yang sama yang akan mengumpulkan kembali tulang-tulang yang berserakan. Keraguan terhadap kebangkitan sama dengan meragukan Kemahakuasaan Allah, sebuah kontradiksi fundamental dalam tauhid.
Ilustrasi Kebangkitan Hari Kiamat: Cahaya dan kehidupan muncul dari kehancuran (kubur) yang tandus.
Kepastian ini bukan hanya pengakuan rasional, tetapi juga penyerahan spiritual. Manusia harus mengakui bahwa cakrawala pemahaman mereka terbatas, sedangkan Kekuasaan Allah tidak mengenal batas. Ketika kita telah menerima premis bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Maha Adil, maka kepastian Hari Kiamat menjadi sebuah keniscayaan.
III. Mekanisme Kebangkitan: Bukti Nyata Kekuatan Yab’asu
Ayat 7 secara tegas menyatakan “yab’asu man fil qubūr” (Allah membangkitkan semua orang yang di dalam kubur). Bagaimana proses kebangkitan ini dijelaskan dalam kerangka pemahaman Al-Quran? Walaupun detailnya adalah urusan ghaib, Al-Quran memberikan analogi yang kuat untuk meyakinkan hati manusia.
A. Analogi Bumi yang Mati dan Hujan
Seringkali di Surah Al-Hajj itu sendiri dan surah-surah lainnya, Allah menggunakan perumpamaan tentang bumi yang kering kerontang. Bumi tampak mati, tak berdaya, tidak ada kehidupan yang dapat dipancarkan. Namun, ketika hujan turun atas izin Allah, bumi itu bergerak, menggembung, dan mengeluarkan segala jenis tumbuhan yang indah.
Analogi ini adalah bukti visual sehari-hari yang paling dekat dengan Kebangkitan. Jasad manusia yang hancur bagaikan bumi yang kering. Ruh yang telah berpisah adalah benih yang tersembunyi. Hujan—yang dalam konteks Akhirat adalah tiupan Sangkakala kedua—adalah perintah ilahi yang mengaktifkan kembali materi dan ruh. Jika manusia melihat mukjizat penciptaan dari ketiadaan setiap musim semi, mengapa mereka meragukan penciptaan kedua yang dilakukan oleh Zat yang sama?
B. Penciptaan Kembali sebagai Perjanjian Ilahi
Kekuatan kebangkitan adalah manifestasi dari janji Allah. Jika Allah telah menjanjikan suatu hari kebangkitan, maka tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat menghalangi janji itu. Fisika, kimia, dan biologi duniawi tunduk pada kehendak Allah. Hukum-hukum alam yang kita kenal hanya berlaku dalam batas-batas ciptaan dunia. Pada Hari Kiamat, batasan-batasan ini dicabut, dan hukum yang berlaku adalah Kehendak Ilahi murni.
Kebangkitan kembali individu dari 'kubur' mereka—atau dari mana pun jasad mereka berada—adalah bukti bahwa Allah memiliki pengetahuan sempurna tentang setiap zarah tubuh manusia, di mana pun ia tersebar. Ilmu Allah meliputi keseluruhan alam semesta, termasuk jejak DNA terakhir dari setiap makhluk. Allah tidak pernah kehilangan jejak ciptaan-Nya. Pengetahuan yang sempurna ini menjamin bahwa setiap individu akan dibangkitkan dalam keadaan yang sempurna untuk diadili.
Proses ini memerlukan sebuah mekanisme yang melampaui imajinasi manusia, namun mudah bagi Allah. Proses ini menegaskan kembali gelar Allah sebagai Al-Bāri’ (Yang Menciptakan) dan Al-Mu’īd (Yang Mengembalikan/Menghidupkan Kembali).
IV. Implikasi Spiritual dan Praktis dari Keyakinan pada Ayat 7
Keyakinan pada QS Al-Hajj Ayat 7 bukan sekadar dogma intelektual; ia adalah fondasi yang mengubah cara pandang seorang mukmin terhadap kehidupan dunia. Jika Kiamat itu pasti dan Kebangkitan itu nyata, maka setiap tindakan harus dipertimbangkan dalam perspektif keabadian.
A. Motivasi untuk Beramal Saleh (Tazkiyah An-Nafs)
Ketika seseorang yakin bahwa ia pasti akan dibangkitkan untuk menghadapi Hari Penghisaban, maka nilai amal saleh (perbuatan baik) meningkat secara eksponensial. Dunia ini berubah dari tujuan akhir menjadi ladang bercocok tanam. Seorang mukmin yang memahami ayat ini tidak akan membuang-buang waktu dalam kesia-siaan, karena setiap detik adalah investasi untuk Akhirat yang pasti datang.
Ketegasan pada kepastian Hari Kiamat memaksa seseorang untuk melakukan Tazkiyah An-Nafs (pembersihan jiwa). Tidak mungkin bagi jiwa yang benar-benar percaya pada kebangkitan untuk berlarut-larut dalam dosa atau kemaksiatan, karena ia tahu bahwa konsekuensinya bukan hanya hukuman duniawi yang fana, tetapi azab yang kekal dan tak terbayangkan.
B. Meningkatkan Rasa Tanggung Jawab (Hisab Diri)
Iman terhadap “Yab’asu Man Fil Qubūr” menciptakan sistem akuntabilitas pribadi yang paling ketat. Sebelum dihisab oleh Allah, seorang mukmin akan menghisab dirinya sendiri. Rasa takut (Khauf) akan hisab yang sempurna mendorong kehati-hatian dalam berinteraksi, dalam mencari rezeki, dan dalam memenuhi amanah.
Tanggung jawab ini mencakup segala aspek: harta, waktu, jabatan, dan bahkan kata-kata yang diucapkan. Karena Allah akan membangkitkan dan menghidupkan kembali tubuh secara utuh, termasuk lidah yang berbicara dan mata yang melihat, maka tidak ada yang dapat disembunyikan. Keyakinan ini menjadikan kejujuran (As-Sidq) sebagai nilai tertinggi, karena Allah mengetahui dan akan mengungkap semua yang tersembunyi di dalam dada.
C. Perspektif Baru tentang Penderitaan Dunia
Bagi mereka yang menderita di dunia ini, keyakinan bahwa Kiamat itu pasti datang memberikan harapan yang tak terbatas. Penderitaan di dunia ini, sekecil apa pun, akan tercatat dan akan mendapatkan kompensasi penuh di hari kebangkitan. Ini memberikan ketenangan (Sakinah) di tengah badai, karena dunia ini hanyalah jembatan, bukan tujuan akhir. Penderitaan adalah ujian, dan balasan bagi kesabaran jauh lebih besar dan abadi.
Sebaliknya, bagi mereka yang zalim dan merasa aman karena kekuasaan duniawi, ayat ini adalah peringatan keras. Kekuatan dan kekayaan mereka tidak berarti apa-apa ketika mereka dibangkitkan dari kubur dalam keadaan yang sama sekali bergantung kepada Allah. Kematian bukanlah akhir dari cerita, melainkan transisi menuju pengadilan yang pasti.
V. Mendalami Hakikat Kebangkitan: Melawan Keraguan yang Berulang
Sejarah mencatat bahwa keraguan terbesar manusia sejak dahulu kala selalu berpusat pada kebangkitan. Para penentang para nabi selalu berkata, "Apakah ketika kami telah menjadi tulang belulang dan debu, kami akan dibangkitkan kembali sebagai ciptaan baru?" QS Al-Hajj Ayat 7 adalah jawaban tegas yang mencabut akar keraguan ini. Kita harus memahami mengapa keraguan itu muncul dan bagaimana iman melampauinya.
A. Ilusi Kehancuran Materi
Manusia terbiasa dengan hukum entropi: segala sesuatu cenderung menuju kehancuran dan ketidakteraturan. Mereka melihat jasad membusuk, tulang hancur, dan materi kembali ke unsur dasarnya. Logika duniawi berpendapat bahwa proses ini ireversibel. Namun, logika ilahi mengajarkan bahwa Allah adalah Al-Muhyi (Yang Menghidupkan) dan Al-Mumit (Yang Mematikan). Allah tidak tunduk pada entropi. Entropi adalah salah satu hukum yang diciptakan-Nya. Ketika Allah memutuskan untuk membangkitkan, Dia menangguhkan hukum tersebut dan menerapkan Kehendak-Nya yang Mutlak.
Kebangkitan menunjukkan bahwa materi tidak hilang, tetapi hanya berubah bentuk. Setiap atom yang pernah membentuk tubuh kita tetap ada dalam pengetahuan Allah. Kebangkitan adalah pengumpulan kembali materi tersebut, disempurnakan, dan dipersatukan kembali dengan ruh, menghasilkan bentuk yang siap untuk kehidupan abadi.
B. Keseimbangan Antara Janji dan Ancaman
Ayat 7 menjaga keseimbangan sempurna. Penegasan 'Lā Raiba Fīhā' memberikan kenyamanan bagi orang beriman yang beramal saleh (janji pahala), sekaligus memberikan ketakutan yang mendalam (ancaman azab) bagi orang yang ingkar. Janji kebangkitan bukan hanya untuk hisab; ia juga untuk realisasi pahala yang sempurna.
Bayangkanlah seorang hamba yang sepanjang hidupnya berjuang di jalan kebaikan, namun tidak pernah melihat hasil usahanya di dunia. Keyakinan pada kebangkitan menjamin bahwa pahalanya tidak akan pernah berkurang sedikit pun. Sebaliknya, bayangkanlah seorang tiran yang mendominasi dan mati tanpa menerima konsekuensi duniawi. Keyakinan pada kebangkitan menjamin bahwa keadilan akan ditegakkan terhadapnya tanpa ada celah sedikit pun.
Kepastian ini menjadikan dunia ini sebagai ujian yang serius, bukan sekadar permainan. Jika ada keraguan sedikit pun mengenai Kiamat, manusia akan cenderung hidup tanpa kendali, mementingkan kepuasan instan dan egois. Namun, karena Kiamat itu pasti, maka orientasi hidup berubah total menjadi orientasi pengorbanan dan investasi jangka panjang (Akhirat).
VI. Menelusuri Kedalaman Konsep Al-Ba’ts (Kebangkitan)
Konsep kebangkitan ('Yab’asu') jauh lebih kompleks daripada sekadar 'hidup kembali'. Ia mencakup penyempurnaan jiwa dan jasad untuk menerima balasan yang kekal, entah itu nikmat surga atau azab neraka.
A. Kebangkitan Jasad dan Ruh: Kesatuan yang Tak Terpisahkan
Islam menekankan kebangkitan jasad (fisik) dan ruh (spiritual). Ini berbeda dari konsep filosofis yang hanya menekankan keabadian jiwa. Mengapa jasad harus dibangkitkan? Karena jasad adalah medium tempat ruh melakukan amal perbuatan di dunia. Jasad ikut merasakan kenikmatan ibadah, dan jasad ikut melakukan maksiat. Oleh karena itu, keadilan menuntut agar jasad pun ikut merasakan balasan, baik kenikmatan abadi maupun azab yang pedih.
Jasad yang dibangkitkan adalah jasad yang disempurnakan, berbeda dari jasad duniawi yang rapuh. Jasad ini akan mampu menanggung kenikmatan abadi Surga atau menanggung beratnya azab Neraka. Proses penyatuan ruh dan jasad pada hari kebangkitan adalah puncak dari manifestasi Kekuasaan Allah dalam mengelola ciptaan-Nya. Tidak ada satu pun ingatan, bekas luka, atau jejak amal yang hilang dalam proses ini.
B. Keberadaan 'Ajbuz Zanab (Tulang Ekor)
Beberapa hadits Nabi menjelaskan bahwa terdapat bagian terkecil dalam tulang manusia, yaitu 'Ajbuz Zanab (tulang ekor), yang tidak hancur. Dari bagian inilah, Allah akan memulai penciptaan kembali jasad manusia pada Hari Kebangkitan, seperti tumbuhnya tanaman dari benih. Walaupun ini adalah detail ghaib, konsep ini memperkuat makna 'yab’asu': Kebangkitan adalah proses terencana dan terperinci, bukan sebuah kebetulan. Ini menghilangkan keraguan tentang bagaimana Allah dapat mengumpulkan kembali bagian tubuh yang telah menjadi debu.
Keyakinan pada 'Ajbuz Zanab' menunjukkan bahwa bahkan pada tingkat sub-atomik, terdapat "cetak biru" yang dipertahankan oleh Allah, menunggu perintah untuk diaktifkan kembali. Ini adalah jaminan bahwa identitas esensial setiap individu akan dipertahankan; Anda akan dibangkitkan sebagai diri Anda yang sejati, siap menerima konsekuensi dari pilihan hidup Anda di dunia.
VII. Surah Al-Hajj: Konteks Peringatan Awal Kiamat
Ayat 7 tidak datang sendirian; ia berada di tengah Surah Al-Hajj, sebuah surah yang dibuka dengan penggambaran yang sangat dramatis mengenai kengerian Kiamat: "Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar." (QS Al-Hajj: 1).
Konteks ini menunjukkan bahwa tujuan utama Surah Al-Hajj adalah untuk menanamkan rasa takut (khauf) yang sehat dan mendalam terhadap Hari Kebangkitan, yang kemudian diikuti dengan penegasan bahwa peristiwa itu tidak dapat dihindari (Ayat 7).
A. Hubungan Kiamat Kecil (Kematian) dan Kiamat Besar (Sa’ah)
Setiap orang akan mengalami 'Kiamat kecil', yaitu kematian. Kematian adalah bukti nyata bahwa tubuh fisik ini fana dan tunduk pada kehendak Allah. Kematian adalah transisi yang tak terhindarkan dan tidak dapat ditawar. Jika manusia saja tidak mampu menghindari kematian, bagaimana mungkin mereka mampu meragukan kedatangan Kiamat Besar yang dijamin oleh Zat yang mengendalikan kematian?
Keyakinan pada Ayat 7 menyelaraskan pandangan hidup. Kematian bukan akhir, tetapi hanya perhentian sementara (di alam Barzakh) sebelum perjalanan panjang menuju kebangkitan. Ini adalah titik yang menghubungkan takdir pribadi dengan takdir kosmik.
B. Penanggulangan Sikap Lengah
Peringatan QS Al-Hajj Ayat 7 secara spesifik ditujukan untuk menanggulangi sikap kelengahan dan kesombongan manusia yang merasa hidup hanya sekali dan tidak ada pertanggungjawaban di masa depan. Kelengahan ini seringkali muncul dari rasa aman palsu atau pengingkaran terhadap realitas Akhirat.
Ayat ini memaksa manusia untuk keluar dari zona nyaman spiritual mereka dan menghadapi kenyataan bahwa dunia ini akan segera berakhir, dan kehidupan sejati baru akan dimulai setelah Allah membangkitkan mereka dari kubur. Ini adalah panggilan untuk segera bertaubat, memperbaiki amal, dan memanfaatkan setiap nafas yang tersisa sebelum 'Sa’ah' itu benar-benar tiba, di mana penyesalan tidak lagi berguna.
Mereka yang mengingkari Kiamat berpegang pada fatamorgana dunia. Mereka membangun kerajaan di atas pasir yang akan ditiup badai Kiamat. Sebaliknya, mereka yang yakin pada kepastian Kiamat, membangun istana mereka di Akhirat melalui amal saleh di dunia ini, sebuah investasi yang dijamin pasti hasilnya oleh Allah SWT.
VIII. Keagungan Kekuasaan Allah: Sebuah Penutup Perenungan
Seluruh Surah Al-Hajj Ayat 7 dapat diringkas sebagai pengakuan terhadap kekuasaan tak terbatas Allah (Al-Qadir Al-Mutlak). Kekuasaan inilah yang menghilangkan semua alasan rasional bagi keraguan manusia. Ketika manusia meragukan, itu karena mereka mengukur Kekuasaan Ilahi dengan keterbatasan Kekuatan Manusia.
A. Kebangkitan sebagai Manifestasi Tawhid (Keesaan)
Mengapa hanya Allah yang dapat membangkitkan? Karena hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak atas kehidupan, kematian, dan penciptaan ulang. Jika ada makhluk lain yang mampu melakukan kebangkitan, maka konsep Tawhid akan ternoda. Kebangkitan adalah tindakan yang sangat eksklusif bagi Allah, mengukuhkan-Nya sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan yang kepadanya segala urusan kembali.
Keyakinan pada kebangkitan menguatkan keimanan pada Hari Akhir, yang merupakan salah satu dari enam rukun iman. Rukun ini tidak dapat dipisahkan dari rukun-rukun lainnya. Tanpa meyakini ‘Lā Raiba Fīhā’, keimanan pada Allah menjadi cacat, karena kita meragukan sifat-sifat-Nya yang Maha Kuasa dan Maha Adil.
B. Kesempurnaan Pengetahuan Allah
Fakta bahwa Allah 'Yab’asu Man Fil Qubūr' membuktikan kesempurnaan ilmu-Nya (Al-Alim). Allah mengetahui di mana setiap fragmen tubuh, setiap rekam jejak amal, setiap niat tersembunyi. Kebangkitan adalah demonstrasi agung dari Ilmu Ilahi yang melingkupi segala sesuatu, dari zarah terkecil hingga galaksi terbesar. Pengetahuan ini adalah dasar dari penghisaban yang adil. Tidak ada yang terlewat, tidak ada yang salah tempat.
Seorang mukmin yang merenungkan ayat ini akan merasa diawasi oleh Pengetahuan yang sempurna ini, sehingga mendorongnya untuk selalu berbuat baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, karena ia tahu bahwa kubur hanyalah tempat peristirahatan sementara sebelum dipanggil kembali oleh Sang Pencipta yang Maha Tahu.
Kesimpulannya, QS Al-Hajj Ayat 7 adalah sebuah manifesto akidah yang ringkas namun padat. Ia menuntut kepastian hati dalam menerima janji Kiamat dan kebangkitan. Kepastian inilah yang membedakan antara orang yang beriman sejati dengan mereka yang hanya mengaku beriman. Kepastian ini adalah pendorong amal, pelurus niat, dan penenang jiwa yang rindu akan Keadilan Abadi.
Maka, sungguh rugi mereka yang menggunakan kehidupan fana ini untuk menentang kebenaran yang tak terelakkan, dan sungguh beruntung mereka yang menjadikan setiap detik hidup sebagai persiapan bagi Hari Kebangkitan, hari di mana Allah akan membangkitkan semua yang di dalam kubur, tanpa sedikit pun keraguan.
Kepastian mutlak yang terkandung dalam frasa “lā raiba fīhā” harus menjadi fondasi kokoh bagi setiap langkah kehidupan kita. Kita hidup dalam bayang-bayang kebangkitan. Kita beramal dalam kesadaran akan hisab. Kita sabar dalam menghadapi cobaan karena kita tahu bahwa semua penderitaan akan terbayar lunas. Ini adalah pesan abadi dari Surat Al-Hajj Ayat 7. Ini adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dihindari, sebuah realitas yang melampaui waktu dan ruang duniawi, sebuah janji yang ditepati oleh Zat Yang Maha Benar.
Perenungan terhadap ayat ini harus diulang dan diperkuat, karena godaan duniawi seringkali mengaburkan visi kita tentang Akhirat. Setiap kali keraguan kecil muncul, kita diingatkan kembali: Hari Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya, dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang yang di dalam kubur. Kepastian ini adalah kekuatan terbesar yang dimiliki oleh seorang mukmin dalam menjalani kehidupan yang penuh ujian ini. Dengan keyakinan ini, dunia yang fana terasa ringan, dan harapan akan kehidupan abadi menjadi nyata. Kita bersaksi bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengembalikan kehidupan setelah kematian total. Maka, persiapkanlah bekal terbaik, sebab panggilan kebangkitan itu pasti akan segera terdengar.
Keyakinan yang teguh pada kebangkitan adalah energi pendorong bagi kemaslahatan umat manusia. Jika setiap individu bertindak berdasarkan kesadaran bahwa mereka akan dibangkitkan dan diadili, maka kezaliman akan berkurang, kejujuran akan meningkat, dan masyarakat akan mencapai kedamaian yang sejati. Kebangkitan adalah kunci menuju perbaikan moral universal. Orang yang beriman tidak akan menunda taubatnya, tidak akan menipu dalam perdagangannya, dan tidak akan berkhianat dalam amanahnya, karena dia tahu bahwa kubur hanyalah menunggu waktu untuk mengeluarkan penghuninya menuju pengadilan agung.
Keterbatasan fisik dan intelektual manusia seringkali menjadi penghalang untuk menerima konsep kebangkitan. Namun, Al-Quran mengatasi keterbatasan ini dengan mengajukan pertanyaan retoris: Apakah penciptaan pertama lebih sulit daripada penciptaan kedua? Jawabannya jelas: tidak. Bagi Allah, keduanya adalah sama-sama mudah. Kebangkitan adalah demonstrasi terakhir dari kekuasaan ilahi di akhir zaman, sebuah penutup yang sempurna bagi drama kehidupan dunia. Setiap detail kehidupan, setiap bisikan hati, setiap pandangan mata, telah direkam dengan sempurna dan akan disajikan pada hari kebangkitan.
Umat manusia dihadapkan pada dua pilihan: percaya pada kepastian yang dijamin oleh Allah, atau hidup dalam keraguan yang merugikan diri sendiri. Mereka yang memilih yang pertama akan mendapatkan ketenangan dunia dan kebahagiaan abadi. Mereka yang memilih yang kedua akan hidup dalam kegelisahan spiritual dan menghadapi konsekuensi yang tidak terhindarkan pada hari di mana semua orang dibangkitkan dari kubur. Ayat ini adalah ultimatum kasih sayang dari Allah kepada hamba-hamba-Nya: Pilihlah jalan kebenaran sebelum terlambat. Kepastian kiamat adalah rahmat, karena ia memberikan kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan diri sebelum hari perhitungan tiba.
Pengulangan dan penegasan yang intensif dalam teks-teks suci mengenai hari kebangkitan menunjukkan betapa pentingnya hal ini dalam tatanan akidah. Kiamat bukan sekadar peristiwa apokaliptik, melainkan titik balik kosmik yang mengubah fana menjadi baqa (kekal). Dengan demikian, pemahaman mendalam terhadap QS Al-Hajj Ayat 7 adalah wajib bagi setiap muslim yang ingin menyempurnakan imannya. Ia adalah sumbu yang menyalakan obor kesalehan dalam hati, mengarahkan setiap langkah menuju ridha Allah. Keyakinan penuh pada ‘wa annallāha yab’asu man fil qubūr’ adalah kunci untuk membuka pintu keberanian dalam menghadapi cobaan dunia dan kemantapan dalam memegang teguh prinsip-prinsip kebenaran, tanpa peduli seberapa besar godaan atau tekanan dari sekitar.
Maka, mari kita jadikan ayat ini bukan hanya hafalan, tetapi cetak biru kehidupan. Marilah kita hidup seolah-olah kita melihat pintu kubur di hadapan kita, dan kita tahu pasti bahwa dari kubur itu kita akan dipanggil kembali. Dengan kesadaran ini, kehidupan menjadi lebih bermakna, amal menjadi lebih ikhlas, dan iman menjadi tak tergoyahkan. Setiap detik berharga, karena Hari Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya, dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang yang di dalam kubur.
Perenungan yang mendalam terhadap setiap kata dalam ayat ini akan memperkuat imunisasi spiritual kita terhadap penyakit keraguan (syubhat) yang disebarkan oleh hawa nafsu dan bisikan setan. Kalimat ‘Lā Raiba Fīhā’ adalah perisai terkuat. Ketika dunia mencoba meyakinkan kita bahwa kehidupan hanya di sini dan sekarang, ayat ini berteriak menentangnya, menegaskan bahwa ada kehidupan yang jauh lebih nyata dan abadi menanti. Kebangkitan adalah realitas final yang menjustifikasi seluruh eksistensi, moralitas, dan ibadah kita di bumi ini.
Semua janji Allah adalah benar. Jika Allah menjanjikan balasan atas kebaikan dan azab atas kejahatan, maka harus ada tempat dan waktu di mana janji itu terpenuhi secara mutlak dan sempurna. Hari Kebangkitan adalah tempat dan waktu itu. Ketiadaan keraguan (Lā Raiba Fīhā) adalah jaminan ilahi yang menghilangkan alasan untuk skeptisisme. Inilah inti dari pesan-pesan kenabian, yang selalu berpusat pada akuntabilitas dan keabadian. Oleh karena itu, bagi seorang mukmin sejati, ayat ini adalah peta jalan menuju kesuksesan abadi, sebuah mercusuar yang menerangi kegelapan keraguan, dan pengingat bahwa Kekuasaan Allah melampaui segala batas yang dapat dibayangkan oleh makhluk-Nya.
Akhir dari perjalanan dunia ini, yang ditandai dengan kedatangan Kiamat, adalah awal dari kehidupan yang sesungguhnya, yang ditandai dengan kebangkitan dari kubur. Jangan biarkan gemerlap dunia menipu kita untuk melupakan tujuan utama ini. Allah telah memberikan peringatan yang sangat jelas dalam Surah Al-Hajj Ayat 7, dan tugas kita hanyalah untuk mendengarkan, meyakini, dan bertindak sesuai dengan keyakinan tersebut. Inilah hakikat ketaatan dan puncak dari tauhid yang sempurna.
Keyakinan ini menghasilkan pribadi yang teguh. Ketika cobaan datang, dia tahu itu fana. Ketika kesuksesan datang, dia tidak sombong, karena dia tahu semua itu akan dihisab. Ketika dia dizalimi, dia sabar, karena dia tahu bahwa ada Hakim yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lalai. Keyakinan pada QS Al-Hajj Ayat 7 adalah sumber ketenangan terbesar di dunia yang dipenuhi ketidakpastian ini, karena ia menjamin kepastian masa depan yang paling fundamental.